"Lesti, katakan yang sejujurnya, apa kejadian hari ini ada hubungannya denganmu?"Jari-jari Lesti membeku di bahu Fabian. Dia ingin menarik kembali tangannya, tapi Fabian menangkapnya. Dia menjawab dengan senyuman canggung di wajahnya, "Apa maksudmu? Bukankah sebelumnya aku sudah menjelaskannya padamu?""Kenapa kamu masih menanyakannya?"Fabian mengamati wajahnya dengan cermat, tidak ingin ada ekspresi yang luput dari pengamatannya."Bagaimanapun juga Dian putriku, aku paling memahami karakternya, dia nggak mungkin melakukan hal seperti ini.""Sekalipun suka bersenang-senang, dia nggak akan main-main dengan tubuhnya, apalagi dokter mendeteksi adanya kandungan obat tidur dalam tubuhnya.""Setahuku kualitas tidur Dian sangat baik, sama sekali nggak ada gejala insomnia, lalu dari mana obat tidur ini berasal?"Lesti mengulurkan tangan, berlagak marah, "Berarti maksudmu, aku berbohong?""Dian, putrimu itu anak yang baik, dia nggak pernah melakukan kesalahan, aku yang mencelakainya!""Dia su
"Kalau tahu kamu di rumah sakit, aku pasti nggak akan membiarkan kamu menemaniku ke sini, ini bukan kabar baik, nggak perlu banyak orang mengetahuinya."Lesti membalikkan badannya, terlihat marah. Dia menyeka air matanya dalam diam, "Kalau aku memberitahumu, apa kamu akan percaya? Aku harus berulang kali menjelaskan sesuatu yang dapat diketahui dengan mudah. Intinya, kamu nggak percaya padaku.""Di hatimu, nggak ada yang bisa menandingi putri kandungmu.""Ya, aku tahu, ini urusan Keluarga Sandiga, aku yang orang luar nggak berhak ikut campur. Tapi aku sudah bertahun-tahun mengambil peran ibu tiri, setidaknya aku punya hak memperhatikan Dian, 'kan?""Kalau Pak Fabian bahkan nggak memberiku hak sekecil ini, aku benar-benar kehabisan kata-kata."Fabian menjawab, "Sudahlah, aku nggak pernah bilang begitu, bukankah kamu bicara seperti ini karena marah?""Hanya saja, saat melihat Dian sekamar dengan pria lain dalam keadaan berantakan, sebagai ayahnya, aku sangat terpukul. Seharusnya kamu mem
Dian yang belum sadarkan diri tidak mengetahui tindakan Fabian yang akan membuatnya tidak dapat menghadapi Phillip untuk waktu yang lama.Phillip yang masih memikirkan Dian setelah meninggalkan hotel juga tidak menyangka Fabian yang tidak disukainya akan membuat rencana untuk menjebaknya.Mungkin tanpa campur tangan Fabian, dia akan jatuh cinta pada Dian suatu hari nanti, tapi karena campur tangannya, mereka bahkan tidak bisa memulai secara normal.Dia benci dipaksa menikah oleh orang lain.Dia lebih membenci dirinya sendiri karena bisa dimanipulasi seperti ini.Dian kebingungan ketika terbangun, tidak tahu di mana dirinya berada.Dia perlahan menggerakkan jarinya, Fabian yang terus berada di sisinya langsung terbangun. Meski memilih memercayai Lesti untuk sementara, dia tetap bersikeras berjaga di sisi Dian dan meminta Ririn menemani ibunya pulang."Dian, akhirnya kamu sadar, kamu membuat Ayah takut setengah mati."Fabian menyeka wajah Dian, lalu segera membunyikan bel agar perawat ma
Fabian terpaksa menceritakan situasi yang dia ketahui saat itu, "Kalau Phillip nggak datang tepat waktu, mungkin kamu sudah kehilangan kesucianmu, Ayah nggak tahu siapa pelakunya, Ayah hanya tahu, kamu nggak berhati-hati."Dian terdiam sejenak, dia tidak pernah menyangka seseorang akan menggunakan metode tercela seperti itu untuk menghadapinya. Pantas saja dia merasa pusing ketika menaiki tangga untuk mencari kamar, otaknya juga tidak bisa berpikir jernih."Jadi semua itu bukan halusinasiku, Phillip benar-benar datang, lalu mana dia?"Entah mengapa, Dian merasa akan mendapatkan kronologi yang lebih lengkap dari Phillip.Dian menghela napas. Bagaimanapun, Fabian sudah punya rumah tangga dengan wanita lain, pasti ada penyortiran ketika menceritakan kejadian ini."Untuk apa kamu menanyakannya? Dia bilang kalian berdua hanya berteman.""Saat itu hanya ada kalian berdua di kamar, aku bahkan nggak tahu apakah dia menyentuhmu."Fabian berkata demikian karena marah, Dian mengerutkan kening dan
Fabian tersenyum sambil mengelus rambut Dian."Ini nggak ada apa-apanya, semasa muda dulu Ayah sering bergadang semalaman.""Malam ini Ayah harus menemanimu."Semasa kecil, setiap kali Dian sakit, Fabian dan Nadin akan merawatnya.Fabian mempertahankan kebiasaan ini, dia akan menemani Dian setiap kali putrinya itu tidak enak badan.Mengingat kenangan masa lalu itu, Dian tidak bisa menahan air matanya, dia memanggil "Ayah". Tak peduli seberapa aman dirinya sekarang, dia masih dilanda ketakutan.Dia membujuk Fabian pulang karena kasihan padanya, tapi sebenarnya dia membutuhkan kehadiran ayahnya di sini.Tidak ada yang bisa menandingi rasa aman yang diberikan seorang ayah.Fabian merapikan rambut berantakan Dian dan mengaitkannya ke belakang telinga sambil berkata, "Ayah akan selalu menemanimu, jangan takut."Sesuai dugaan Fabian, Dian terbangun tengah malam.Dia tanpa sadar memanggil ayahnya, Fabian bergegas ke sisinya, seolah belum tidur.Kata-kata Fabian sebelum Dian tertidur bagaikan
Dian mengedipkan mata sambil bertanya, "Tapi bagaimana kalau terjadi sesuatu?"Fabian menjawab dengan tegas, "Nggak mungkin."Dian ingin bertanya, jika sesuatu terjadi padanya dan Lesti serta Ririn pada saat yang sama, apakah dia masih akan bergegas ke sisinya seperti ini?Namun, pertanyaan ini terdengar terlalu perhitungan.Karena Fabian sudah cukup menderita, Dian tidak ingin menanyakan hal seperti ini lagi, dia takut mendengar jawaban ataupun melihat keraguan ayahnya.Fabian terus menghibur Dian hingga akhirnya tertidur lelap, mungkin karena ada sosok ayah di sisinya, kali ini dia tidak bermimpi buruk, sebaliknya tidur nyenyak sampai fajar.Setelah bangun, Dian merasa seperti berada di dunia lain.Fabian memenuhi janjinya berada di sisi Dian. Saat ini, dia berdiri di dekat jendela sambil minum secangkir teh. Meskipun belum terlalu tua, dia harus menerima kenyataan, setelah tidak tidur semalaman, dia harus mengandalkan teh pekat ini untuk mempertahankan semangatnya di siang hari."Su
Fabian memapah Dian sambil berkata, "Bibi Sri paling tahu seleramu. Kalau bukan karena Ayah bilang kesehatanmu belum membaik dan melarangnya datang, pasti sekarang dia sudah menangis di hadapanmu."Seulas senyuman muncul di wajah Dian ketika menyebut Bibi Sri, "Kalau begitu sepulang nanti, beri tahu Bibi kalau aku baik-baik saja, jangan membuatnya khawatir."Lesti mengambil kesempatan ini untuk mengusulkan Dian pulang dan tinggal di rumah.Dian mengunyah roti tanpa bersuara, rasa roti ini sangat familier, memang buatan Bibi Sri.Fabian tidak langsung menjawab, hanya mendengar Lesti melanjutkan, "Kejadian besar baru saja menimpa Dian, tubuhnya juga masih lemah. Bukankah sulit baginya merawat diri kalau tinggal di luar?""Lebih baik tinggal di rumah, kita semua bisa membantunya, Dian juga bisa makan makanan kesukaannya. Bukankah tubuhnya akan lebih cepat pulih?""Fabian, bagaimana menurutmu?"Fabian juga mengangguk, tapi tidak memaksa Dian."Dian, apa kamu mau pulang?""Kalau nggak mau,
Keduanya saling memandang, lalu berpelukan."Terima kasih, Lesti. Kamu nggak tahu, betapa bahagianya aku."Mata Lesti berkaca-kaca, "Akhirnya kita punya anak, Fabian. Kita sudah terlalu lama menantikannya."Dian memandang mereka dengan tatapan dingin, Ririn bahkan mendekat dan memeluk ibunya."Ayah, Ibu, sebentar lagi kita akan menyambut adik laki-laki, Keluarga Sandiga akan semakin lengkap."Saat ini, Fabian melepaskan Lesti, seolah teringat sesuatu. Dia menyeka air mata di sudut matanya, benar-benar tidak menyangka Lesti akan memberinya kejutan sebesar itu, "Bisa jadi adik perempuan, nggak peduli laki-laki atau perempuan, dia akan jadi anak kesayanganku."Lesti menitikkan air mata dan mengangguk sambil berkata, "Dia memang anak kesayangan kita."Mereka bertiga sepenuhnya mengabaikan Dian yang terbaring di ranjang rumah sakit.Fabian terlalu senang hingga melupakan putri sulungnya.Lesti dan Ririn melakukannya dengan sengaja, terutama saat mereka bertiga sekeluarga berpelukan, Ririn d