"Pak Marlon benar. Pamanku akan memberikan pekerjaan yang baik untukku, tapi aku nggak ingin hidup di bawah perlindungan pamanku seumur hidupku. Aku ingin tumbuh sendiri dan keluar untuk berlatih."Marlon sangat mengagumi sikapnya. "Yah, wawasanmu cukup luas. Apakah rekan itu menggodamu tadi?"Adsila tertegun sejenak, lalu menjelaskan, "Nggak, dia hanya memintaku membantunya merapikan dokumen. Alatnya rusak."Marlon jelas tidak memercayai penyangkalannya. "Orang itu cukup baik. Dia lulus dari sekolah ternama dan cukup tampan. Sebenarnya, kamu mungkin bisa mempertimbangkannya. Perusahaan nggak melarang percintaan di kantor!"Mata Adsila bergetar, alisnya berkerut samar-samar. Dia merasakan penghinaan yang tak terlukiskan, tapi dia tidak marah. Adsila hanya berkata sambil mengangguk, "Baiklah, kalau dia benar-benar tertarik padaku, aku akan memikirkannya. Terima kasih Pak Marlon karena mengkhawatirkan masalah pernikahanku."Marlon sedikit ragu-ragu. Setelah hening selama dua detik, dia t
Marlon secara alami mengalihkan perhatiannya ke Ariel. "Apa hubungan kalian?"Ariel menyesap kopi dengan tatapan tenang dan berkata, "Nggak ada hubungan apa pun."Marlon tersenyum, lalu memandang Justin dengan penuh niat sambil berkata, "Apakah kamu mendengarnya? Ariel bilang dia nggak memiliki hubungan apa pun denganmu!"Tanpa perlu Marlon menggodanya, Justin sudah marah karena jawaban Ariel. "Kamu bilang kamu nggak ada hubungan apa pun denganku? Hari itu ... kamu jelas ... kamu ...."Semakin Justin berbicara, wajahnya semakin merah dan semakin sulit untuk menjelaskannya. Justin bahkan tidak tahu apa yang harus dia lakukan!Terlintas sedikit rasa kesal di wajah Ariel. Dia memarahi dengan suara serius, "Diam! Kalau kamu nggak bisa berbicara, berhentilah bicara! Minggir, jangan menghalangi pekerjaanku!"Justin sangat marah hingga dia tidak bisa berbicara. Dia duduk di kursi di sebelah dengan kesal ....Ariel bahkan tidak memandang Justin. Dia menatap Marlon dan bertanya, "Apakah kamu ma
Marlon berkata sambil melambaikan tangannya, "Nggak akan lagi, nggak akan lagi! Hanya kamu yang akan menyukai wanita jahat dan gila kerja, Tuan Muda Justin!"Justin menunjukkan ekspresi cemberut. Dia tidak suka mendengar apa yang dikatakan Marlon tentang kekasihnya.Ariel melepas kacamatanya dan mencubit alisnya. "Kalau nggak ada hal lain yang ingin kamu katakan, keluarlah dulu. Aku akan menemuimu nanti."Marlon tersenyum, lalu berkata sambil mengangkat bahunya, "Oke! Kalau begitu aku nggak akan mengganggu kalian berdua. Aku sendiri yang akan menelepon Bos dulu!"Ariel memperingatkan, "Jangan bicara omong kosong kepada Bos!"Marlon memberi isyarat oke. Marlon tahu bahwa Ariel tidak ingin dia memberi tahu bosnya tentang hubungan Ariel dengan Justin.Bagaimanapun juga, Justin adalah saudara tiri dari Pamela. Ariel telah membawa masalah kepada orang lain, mungkin dia takut dimarahi oleh bosnya?Setelah Marlon keluar, Ariel memakai kacamatanya lagi dan menatap Justin dengan dingin sambil b
Ariel mengangkat kepalanya, lalu berkata sambil melirik ke arah Justin, "Kenapa kamu nggak pergi? Apakah kamu nggak punya uang saku untuk makan? Apakah kamu ingin aku memberimu?"Setelah mendengar Ariel ingin memberinya, Justin yang baru saja merasa diabaikan oleh Ariel menjadi lebih energik lagi. Dia merasa bahwa Ariel jelas-jelas peduli padanya ...."Nggak perlu! Aku punya uang, tapi kamu seharusnya menemaniku makan, jangan tinggalkan aku sendiri!"Alis Ariel kembali mengernyit dengan jijik. "Maaf, menurutku, dunia ini nggak ada kata seharusnya. Hanya anak-anak yang akan terus menekankan kata seharusnya."Justin kembali berkata, "Aku bukan anak kecil!"Ariel berkata sambil mencibir, "Apakah aku mengataimu?"Justin menyilangkan tangannya dan duduk dengan marah. Sebelumnya, Justin belum pernah diperlakukan seperti ini oleh seorang wanita. Sementara wanita ini sangat tidak tahu aturan! Justin benar-benar marah!Ariel mengabaikan Justin. Dia menyesuaikan kacamatanya, lalu fokus pada peke
Kemampuan pemahaman bocah ini sepertinya sangat rendah."Aku nggak butuh kamu temani."Justin tidak percaya, dia menggerutu, "Kalian para wanita memang lain di mulut lain di hati, jelas-jelas tadi kamu menyelimuti aku, khawatir aku kedinginan!"Ariel terdiam.Lebih baik diam daripada terus berdebat.Tak mau lagi menghiraukan Justin, Ariel berjalan cepat menuju kantor Marlon.Tidak ada orang di meja sekretaris di depan kantor Marlon, Ariel merasa agak aneh. Sebelum masuk, dia menoleh dan berkata dengan serius pada Justin, "Kamu tunggu di luar, jangan ikut masuk."Justin merasa tidak senang, "Kenapa? Untuk apa kamu menemui Marlon?" tanyanya.Ariel menjelaskan, "Aku sedang bekerja, ini di kantor, Marlon itu rekan kerjaku! Sedangkan kamu bukan karyawan di sini, jadi kamu nggak punya hak ikut mendiskusikan pekerjaan."Melihat keseriusan Ariel, Justin pun memperbolehkan dengan angkuh, "Baiklah! Aku nggak akan mengganggu pekerjaanmu, masuklah. Aku akan menunggu di sini."Setelah menatap dingi
Mereka tidak tahu fungsi peredam suara di kantor Wakil Direktur tidak sebaik yang mereka kira, suara mereka telah menyelinap ke dalam ruangan ....Ariel duduk di seberang meja kerja Marlon, pelipisnya terasa sakit.Marlon justru tersenyum penuh minat sambil menyindir, "Kenapa? Kenapa mukamu masam begitu? Daun mudanya nggak enak?"Ariel menjulingkan mata, lalu berkata, "Berhenti menyindir, kamu pikir aku suka daun muda?"Marlon menopang dagu sambil berkata, "Suka atau nggak, toh kamu sudah memakannya!"Ariel memegangi keningnya sembari berkata, "Satu kesalahan membuat semuanya nggak bisa diperbaiki! Apa kamu punya cara mencampakkannya?"Marlon mengerutkan kening sambil berkata, "Ada sih, tapi menurutku jangan buru-buru mencampakkannya. Zaman sekarang, pria polos seperti Justin sulit ditemukan, kamu nggak mau mencicipinya lagi dulu?""Cicipi kepalamu! Cepat bantu aku melepaskan diri dari bocah itu!" marah Ariel."Itu mudah saja! Hubungi saja kakaknya, Jason Yanuar, bilang Justin menggang
Adsila yang sedang menyedot minumannya hampir tersedak boba, "Huk ... huk .... Apa katamu? Pacarmu ... Bu Ariel?"Justin mengangguk sembari menjawab, "Hm, benar!"Adsila kaget setengah mati, di matanya, kedua orang itu berasal dari dunia yang berbeda, bagaimana mungkin mereka bersama?"Kalau begitu ... kamu calon istrinya bosku?" gumam Adsila.Justin tidak senang mendengarnya, dia memprotes, "Istri bos kepalamu! Adsila, otakmu bermasalah, ya? Aku mau dia jadi menantu Keluarga Yanuar, bukan sebaliknya! Istri bos apaan!"Adsila mengisap minumannya lagi, lalu berkata, "Apa bedanya? Tapi, kamu hebat juga bisa berkencan dengan Bu Ariel! Dia itu pecandu kerja yang terkenal, sama sekali nggak menghiraukan pria!"Mata Justin seketika berbinar, "Benarkah? Biasanya dia nggak pernah menghiraukan pria?"Adsila mengangguk, lalu menjelaskan, "Benar! Seringkali ada mitra kerja tampan mencoba mendekati Bu Ariel, mengiriminya bunga maupun tas, tapi Bu Ariel nggak pernah menghiraukannya, hadiahnya kalau
Adsila barusan masih berbincang dengan Justin, tiba-tiba beberapa orang datang dan menyeretnya pergi. Dia belum mencerna situasi yang terjadi, sedotan minuman masih menempel di mulutnya, matanya berulang kali berkedip."Enak sekali, minum teh susu?"Mendengar suara Marlon, Adsila segera tersadar, lalu meletakkan gelas teh susu miliknya.Marlon tersenyum sambil berkata, "Nggak ada yang melarangmu minum, apa yang kamu takutkan? Tapi, kenapa minum sendiri, punyaku mana?"Adsila bangkit menjelaskan, "Hm ... Pak Marlon, bukan aku yang memesannya, rekan dari divisi lain yang mentraktirku. Lagi pula ini teh susu murah, seharusnya nggak sesuai dengan selera lidah Pak Marlon, jadi mereka juga nggak berani memesannya untukmu."Dia menjelaskan dengan hati-hati, takut mencelakakan rekannya.Marlon tersenyum sembari mengangkat alisnya sambil berkata, "Benarkah? Bagaimana kalian tahu nggak sesuai seleraku? Sini, biar kucicipi!"Cicipi? Mereka nggak memesan untuknya, bagaimana dia mencicipinya? Adsil
Ketakutan masih melanda Phillip ketika dia membayangkan situasi saat itu, Dian meratakan alis pria itu, "Aku tahu kamu pasti akan datang untuk menyelamatkanku, sama seperti sebelumnya.""Aku mencintaimu, Phillip."Sebelumnya Dian sudah menyatakan cintanya, tapi dia mengatakannya dalam keadaan tidak sadar. Sekarang dia sudah sadar, pikirannya jernih, bahkan sambil tersenyum tipis. Ucapannya membuat Phillip tersipu sejenak."Aku juga mencintaimu," balas Phillip.Dian hanya dirawat sebentar di rumah sakit, tak lama kemudian dia kembali ke Kediaman Sanders.Seperti yang mereka katakan, kondisi Dian tidak serius, dirawat di rumah sakit hanya akan memperlambat pemulihannya.Lebih baik dia dirawat di rumah.Phillip tidak pernah menyinggung pekerjaan Dian. Sebaliknya, Dian langsung pergi ke Surat Kabar Sino untuk mengundurkan diri.Kondisinya saat ini tidak sesuai untuk menyelidiki kasus terkait, lagi pula Phillip langsung menyerahkan barang bukti ke kantor polisi, pihak kepolisian yang akan m
"Phillip, aku menyukaimu, aku mencintaimu."Phillip memeluk Dian dengan perasaan sakit yang tiada tara, "Ini salahku, seharusnya aku lebih cepat.""Aku nggak pernah menyalahkanmu. Aku hanya ingin melihatmu tersenyum. Selama kamu bersedia membiarkanku tetap di sisimu, aku nggak meminta pengakuanmu.""Aku tahu keluargamu menyulitkanmu, aku bisa melihatnya ...."Para pengawal yang ikut menerobos masuk merasa canggung ketika melihat CEO mereka menangis.Namun, yang terpenting saat ini adalah membawa Dian ke rumah sakit untuk pemeriksaan fisik. Setelah lama terikat, aliran darahnya surut, menyebabkan mati rasa yang akan menjadi masalah serius jika tidak bisa pulih.Akhirnya, para pengawal mendorong bos mereka yang sangat pemberani untuk menasihati Phillip. Phillip menundukkan kepala, menyeka air matanya, dia menggendong Dian dengan mudah, tidak membiarkan orang lain turun tangan. Gerakannya sangat lembut, seolah-olah sedang menggendong tuan putri.Untungnya, hasil pemeriksaan menyatakan kon
Setelah itu, Lesti pergi tanpa menoleh, sama sekali tidak menunjukkan keraguan.Masa depan dirinya dan Fabian ada dalam kandungannya, tidak mungkin dia menyerahkan semua hartanya pada Ririn.Karena putrinya tidak menurut, maka dia akan mengandalkan putra dalam kandungannya.Bukankah Ririn senang menemui Juko? Kalau begitu, biarkan saja mereka hidup bersama.Lagi pula dia sudah menghabiskan banyak usaha untuk membesarkan putrinya itu.Ririn menghabiskan paruh pertama hidupnya bersama Lesti, paruh kedua hidupnya sudah seharusnya menjadi giliran Juko.Satu-satunya hal yang membuat Phillip bersyukur adalah Juko tidak mempermainkannya, tampaknya dia masih peduli pada putrinya.Phillip bersama para pengawalnya berhasil menemukan rumah bobrok itu.Pelaku cukup waspada, mereka memilih rumah bobrok di pinggiran desa.Setelah pintu didobrak, Phillip menemukan Dian terbaring sendirian di lantai, tanpa ada yang menghiraukannya.Penjahat yang berjaga menunggu instruksi Juko, tanpa perintah darinya,
Lesti meneteskan air mata, duduk bersila dan terdiam, tidak ingin membela diri.Ririn satu-satunya orang yang masih berusaha memberikan penjelasan, tapi apa pun yang dia katakan, Fabian tidak lagi memercayainya.Hal seperti ini sudah terjadi berkali-kali dan setiap kali Fabian selalu memilih memercayai Lesti dan putrinya.Namun kini dia menyadari bahwa dia sepenuhnya salah.Dian dulunya sangat perhatian dan berperilaku baik, tetapi setelah Lesti dan Ririn memasuki hidup mereka, dia merasa putrinya mulai bermulut tajam dan selalu bertingkah di hadapannya.Sekarang dia baru menyadari, semua itu Dian lakukan untuk mendapatkan lebih banyak perhatian darinya atau setidaknya hanya ingin dia memperlakukan dirinya dan Ririn secara adil.Hanya saja dia tidak pernah menyadarinya. Sebaliknya, dia merasa Dian harus mengalah pada Ririn karena lebih tua."Karena kamu begitu menyukai ayah kandungmu, mulai sekarang kamu bisa hidup bersamanya.""Jangan pernah datang lagi ke rumah ini. Sedangkan ibumu,
Ririn buru-buru bertanya, "Ibu tertipu?""Kenapa Ibu menghubungi Juko?""Sekarang mereka tahu keberadaan Dian, Ibu mengacaukan rencanaku, apa yang ada di kepala Ibu?"Namun Lesti tidak menggubris, dia menangis dan menampar Ririn, "Kamu membuat Ibu takut setengah mati. Kalau terjadi sesuatu padamu, Ibu harus bagaimana? Susah payah Ibu membesarkanmu, apa Ibu harus melihatmu mati?""Ibu 'kan sudah bilang, jangan menemui Juko Sanders, kenapa kamu masih diam-diam menemuinya, bahkan menyuruhnya melakukan hal seperti ini, apa kamu sudah gila?""Ibu hanya ingin menjalani sisa hidup dengan damai bersamamu, kenapa kamu nggak mau mendengarkan Ibu?"Ririn sangat kecewa pada ibunya. Sejak hamil, Lesti tidak pernah lagi memberi pelajaran pada Dian.Namun, Ririn tidak terima, Dian bagaikan duri yang menancap di matanya, duri itu harus disingkirkan agar dia merasa lega."Apa Ibu nggak tahu aku menyukai Phillip?""Aku yang duluan menyukai Phillip, tapi Dian merampasnya. Mana mungkin aku melepaskannya.
Ingin sekali Lesti menamparnya, untuk apa dia bicara seperti itu?Jika dulu pria itu tidak melakukan tindak kekerasan padanya, hubungan mereka tidak mungkin jadi seburuk ini.Sekarang beraninya dia mengatakan berbuat seperti ini demi putrinya, dia kira nyawa Dian bisa diambil semudah itu?Dian adalah Nona Besar Keluarga Sandiga, belum lagi dia sudah menikah dengan Phillip Sanders, sekarang dia adalah istri dari pemilik Perusahaan Sanders. Juko kira siapa dirinya? Beraninya dia menculik Dian!Napas Lesti tidak teratur, dia tersentak, "Kalau kamu nggak percaya, dengarkan saja teriakan putrimu.""Aku nggak bisa menyelamatkannya, nyawanya ada di tanganmu. Lagi pula aku sedang mengandung anak Fabian. Tanpa Ririn sekalipun, aku masih punya anak yang lain, tapi nggak denganmu!"Phillip sangat mengagumi Lesti. Di saat seperti ini, dia tidak lupa mengungkapkan kesetiaannya pada Fabian, secara tidak langsung memberi tahu Fabian bahwa dia selalu berpihak padanya, sungguh hebat.Di ujung telepon,
Phillip menaikkan alisnya sambil berkata, "Jangan khawatir, paling-paling hanya jari tangannya yang disentuh, nggak akan jadi masalah besar. Cedera otot dan tulang akan pulih dalam beberapa bulan. Kalian bisa merawatnya dengan baik di rumah, dijamin dia akan segera pulih."Lesti tidak tega mendengarnya, dia bergegas ke arah Phillip untuk memukulnya, tetapi sebelum berhasil mendekat, pengawal sudah menghentikannya.Fabian juga khawatir, dia segera memeluk Lesti erat-erat ke sisinya, "Kalau benar nggak ada hubungannya dengan Ririn, dia pasti akan keluar dengan selamat, tetapi kalau sebaliknya, kamu harusnya tahu ...."Suara Fabian tiba-tiba berubah dingin. Dia tidak pernah menyangka penculikan putri kandungnya ternyata berhubungan dengan putri tirinya ini.Namun, dia juga tidak terlalu bodoh dan langsung bertanya, "Bagaimana seorang gadis seperti Ririn bisa membawa Dian?""Bahkan kaca mobilnya pecah, pasti ada yang membantunya.""Mungkinkah ada hubungannya dengan ayah kandung Ririn?"Phi
"Benar aku menemui ayah kandungku, tapi hanya satu kali, aku nggak berniat kembali ke sisinya!""Kalau nggak, aku pasti sudah dari dulu meninggalkan Keluarga Sandiga, tapi aku peduli padamu, Ayah. Ayah sudah menjagaku selama bertahun-tahun, aku sudah menganggapmu sebagai ayah kandungku. Kenapa Ayah memperlakukan kami seperti ini?""Sekarang Phillip berbicara nggak bermoral dan melimpahkan semua kesalahan padaku. Ayah harus melihat kebenarannya!"Lesti mengangguk berulang kali, tapi di saat bersamaan, dia penasaran, kapan Ririn menemui Juko?Gadis itu tidak mengatakan apa pun padanya, tapi malah tertangkap oleh Phillip.Sepertinya kejadian yang menimpa Dian memang berhubungan dengannya. Lesti hanya ingin menyelesaikan masalah ini secepatnya agar Phillip tidak berlama-lama di sana.Dia sama sekali tidak punya pemikiran seperti itu, apalagi untuk rujuk dengan Juko.Dia hanya ingin melahirkan putranya dengan selamat di Keluarga Sandiga. Kelak Keluarga Sandiga akan menjadi milik putranya, d
Phillip paling benci ditunjuk orang saat berbicara dengannya. Dia bangkit dari duduknya, seketika tubuhnya lebih tinggi dari Fabian."Kamu masih berani mengaku sebagai ayah kandungnya Dian, kalau aku jadi kamu, aku akan memilih diam dan menyingkir.""Demi putri orang lain, kamu menuduhku mengancam Ririn. Dari ekspresi bersalahnya saja sudah cukup membuktikan kalau masalah ini berhubungan dengannya.""Sekalipun nggak percaya padaku, minimal gunakan otakmu. Pantas saja Perusahaan Sandiga semakin terpuruk, cepat atau lambat akan tamat di tanganmu."Phillip tidak lagi memberi muka. Saat mengucapkan kata-kata ini, dia mundur berulang kali, memegangi dadanya dan hampir kehabisan napas.Lesti melupakan tubuh lemahnya dan maju beberapa langkah, "Begini caramu berbicara dengan ayah mertuamu? Apa Ririn pernah menyinggungmu? Sebelumnya dia bahkan menyukaimu, Ririn masih kecil, kenapa kamu memperlakukannya seperti ini?"Dia mengatakannya berulang kali, tetapi sikap Phillip sudah jelas dan para pen