Cari Istri atau Babu?
"Siapa nama, kamu?" tanya wanita paruh baya di hadapanku.
Hari ini, Mas Adi membawaku bertemu dengan Ibunya. Kami sudah sepakat untuk saling memperkenalkan diri pada keluarga masing-masing.
Mas Adi mengatakan jika dia ingin menjalin hubungan yang lebih serius denganku. Jadi, kami harus saling berkenalan pada kedua belah pihak keluarga.
Mas Adi sudah kubawa ke rumah orang tuaku, dan sambutan orang tuaku sangat baik. Orang tuaku juga menyerahkan semua keputusan padaku.
Aku dan Mas Adi sudah dekat sejak tiga bulan yang lalu. Dan dia memberanikan diri untuk menikahiku.
Aku belum pernah membahas terlalu jauh dengannya. Hanya sebatas menikah saja. Aku tau dia adalah seorang duda beranak empat yang ditinggalkan oleh istrinya. Mas Adit, membawa tiga anaknya, sementara sang mantan istri membawa satu anak bungsunya.
Kata Mas Adi, mantan istrinya itu meninggalkan dirinya gara-gara sang istri malas mengurus banyak anak.
Entahlah, aku belum percaya seratus persen padanya.
Dan aku juga janda ber-anak dua yang ditinggalkan oleh suamiku karena kepincut wanita lain. Sudah satu setengah tahun aku bercerai dengan Mas Fadli. Dan baru tiga bulan terakhir ini aku dekat dengan laki-laki lagi.
Aku menerima Mas Adi, karena nasibnya sama denganku, yaitu ditinggalkan oleh pasangan. Jadi aku tahu bagaimana perasaannya.
"Sttt! Ditanya Ibu, itu!" Mas Adi menyenggol lenganku pelan.
"Nama saya, Dita, Bu," jawabku se-sopan mungkin.
Kesan pertama, tidak boleh buruk. Soal lanjut atau enggaknya, itu urusan belakangan.
"Oh, kamu janda?" tanyanya dengan tatapan tidak suka.
"Iya, Bu, saya janda anak dua, dan kedua anak saya, ikut dengan saya," jawabku jujur.
"Ohhh, bercerai karena apa?" tanyanya lagi, masih sinis.
"Karena mantan suami selingkuh, Bu."
"Sudah berapa tahun kamu menjadi janda?"
"Satu setengah tahun, Bu."
"Selama itu, apakah bapak dari anak-anakmu pernah mengirim uang untuk nafkah kedua anaknya?"
"Tidak pernah, Bu. Alhamdulillah, saya bekerja."
"Bekerja di mana?" tanyanya seperti detektif.
Mau cari menantu, atau cari penjahat sih?
"Bekerja di rumah saja, Bu. Mencuci dan menggosok pakaian tetangga. Saya juga antar jemput anak tetangga ke sekolah."
"Berapa gajimu sebulan?"
Sampai gaji pun, ditanyakan?
"Dua setengah juta, Bu," jawabku berbohong.
Gajiku sebulan, bisa mencapai empat juta. Karena aku mengantar jemput banyak anak tetangga. Mencuci pakaian juga tidak hanya satu rumah saja. Ada beberapa ibu rumah tangga yang mempercayakan pakaiannya padaku untuk kucuci dan gosok.
"Owh, bagus lah. Kau tau anak Adi ada tiga, kan?"
"Iya, Bu, saya tau." Aku mengangguk.
"Bagus. Jadi, jika nanti kalian menikah, ibu tidak mau kau bawa anakmu untuk tinggal bersama kalian. Kau bisa menitipkan anakmu pada Ibumu, atau mantan mertua dan suamimu. Ibu mau, kau hanya fokus mengurus ketiga anak Adi beserta rumahnya. Ibu tidak mau melihat rumah Adi berantakan oleh segala macam maianan ketiga anaknya. Kau tahu kan, jika Adi adalah karyawan di salah satu pabrik terbesar di kota ini?" tanyanya.
Aku hanya mengangguk saja, untuk menjawabnya.
"Nah, gaji Adi itu besar. Setiap bulan, dia mendapatkan lima juta rupiah. Dari semua itu, setiap bulan, Adi membagi gajinya pada Ibu satu juta rupiah. Untuk adiknya Adi, lima ratus ribu, dan adiknya yang satu lagi lima ratus ribu. Dia harus membantu adiknya karena dulu Ibu menyekolahkan dia sampai dia bisa bekerja dan berada di posisi ini. Sisa uang hanya tiga, juta. Kau bagi untuk keperluan dapur dan keperluan anak-anak. Oh, ya, jangan lupa berikan dulu satu juta untuk biaya transportasi Adi."
Mataku melotot sempurna mendengar rincian calon Ibu mertua.
"Hanya tersisa dua juta, Bu," ucapku mengingatkan Ibu, agar dia sadar jika uang itu tidak lah cukup untuk keperluan sekeluarga dengan lima orang.
"Iya. Ibu tau. Makanya, kau bagi-bagi itu untuk keperluan dapur dan sekolah anak-anak. Jika masih kurang, kau masih bisa bekerja untuk membantu keuangan Adi. Gajimu juga besar itu, dua setengah juta. Untuk kedua anakmu, cukup beri lima ratus saja pada Ibumu. Dan sisanya, bisa untuk keperluan rumah tanggamu. Toh, kedua anakmu itu, sepenuhnya masih tanggung jawab Ayahnya, meskipun kalian telah berpisah. Minta saja pada Ayahnya tiap bulan untuk nafkah anaknya. Sedangkan Adi, ketiga anaknya adalah tanggung jawabnya. Jadi, kau harus membantunya," ucap Ibu panjang lebar dengan sangat enteng.
"Pagi kau bisa bangun jam setengah empat pagi, memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah. Pokoknya, jam enam pagi semuanya harus sudah selesai. Jadi, jadi kau bisa mengurus semua keperluan anak Adi untuk bersekolah. Setelah itu, kau antarkan anak-anak sekolah, dan kau bisa bekerja mengantar anak tetanggamu bersekolah dan kau juga masih bisa menerima cucian pakaian." Calon Ibu mertuaku itu juga merinci setiap pekerjaan rumah serta pekerjaanku.
"Bagaimana, Dit? Kamu setuju dengan Ibuku, kan?" tanya Mas Adi seraya tersenyum.
"Maaf, Mas. Kau ingin mencari istri, atau mencari babu gratisan yang bisa sekalian mencari uang untuk keluargamu?" tanyaku seraya tersenyum sinis.
"Loh, jawaban kamu kenapa begitu, Dit? Yang dikatakan Ibu itu benar, loh. Kamu harus tau, Dit, jika surganya istri ada pada suami. Jadi, apapun yang suami pinta, istri harus menurutinya. Dan kamu tahu kan, kalau surganya suami ada pada Ibunya? Maka dari itu, apapun yang dikatakan Ibu, aku selalu setuju. Dan sebagai calon istri, kamu juga harus menuruti Ibu. Karena-""Karena kalau mau ke surga, harus melalui ibumu dulu! Begitu, kan?"Aku langsung saja memotong ucapan Mas Adi. Enak saja Ibunya yang mengatur urusan rumah tangga anaknya. Mau sampai kapan berada di ketiak Ibunya? Pantas lah ditinggalkan istrinya. Bukan karena istri malas mengurus anak, tapi karena mertua terlalu ikut campur, dan suami yang tidak pernah mau tahu tentang istri. "Dit, yang sopan, dong! Ada Ibu ini loh," tegurnya seraya melirik sang Ibu tak enak. "Mataku juga tidak buta, Mas. Aku tau kalau di sini ada Ibumu," sahutku kesal."Kalau sudah tau di sini ada, Ibu. Kamu bisa kan, berbicara yang sopan padaku? Aku i
"Nggak salah kamu, meminta mahar dan uang hantaran sebanyak itu?" tanya Ibu dengan suara naik beberapa oktaf. Wajahnya memerah, kedua tangannya mengepal sempurna. "Enggak, lah. Tapi tadi Ibu sendiri yang menyanggupi permintaanku!" ucapku menyindirnya. Ibu semakin melebarkan matanya. Bibirnya sudah miring ke kanan dan ke kiri. Kena mental, nggak tuh? "Ibu bayangkan saja, berapa uang yang akan saya hasilkan selama menjadi istri Mas Adi. Usia saya saat ini, tiga puluh tahun. Kalau menurut dengan umur nabi, berarti sisa tiga puluh tiga tahun lagi. Nah, selama itu pula, saya akan bekerja mencari uang dengan penghasilan dua juta sebulan, di kali setahun sudah tiga puluh juta, sepuluh tahun sudah berapa, dan tiga puluh tahun sudah berapa? Belum lagi, saya di rumah sudah bisa menjadi babu gratisan, yang bisa mencuci, memasak, menjaga anak, serta mengurus kebutuhan lahir batin Mas Adi.Coba saja kalau Mas Adi menyewa pengasuh anak, sebulan gajinya saja sudah dua juta lebih, ART sebulan gaj
"Dita, tolong jangan pergi!" Mas Adi berlari mengejarku.Dia menarik tanganku dengan kasar. Sampai aku menghentikan langkah dengan terpaksa."Mas, mohon, jangan kita selesaikan semuanya secara baik-baik, Dit." Mas Adi berlutut di hadapanku. Aku sampai terkejut melihat aksinya. "Adi! Jangan bodoh kamu! Lepaskan dia! Biarkan saja dia pergi dari rumah ini masih banyak wanita lain!" sungut Ibunya seraya mendekat. "Tapi, Bu-""Kamu jangan takut, Nak. Tidak akan ada lelaki yang mau dengan janda beranak dua seperti dia! Sudah lah tidak cantik, tidak kaya, ah, pokoknya tidak ada yang bisa dibanggakan dari dia. Syukur-syukur, masih ada yang mau memberi mahar seratus ribu, padanya!" ucap wanita itu dengan nada tinggi. Wanita paruh baya itu, seperti hendak meluapkan emosinya. Dadanya terlihat daik turun dengan napas yang sudah memburu."Janda, kok, minta mahar nggak pakai ot*k! Masih mending ada yang mau. Mikir kamu itu!" Mantan calon Ibu mertua menunjuk wajahku. Aku segera menepisnya denga
'PLAK!'Aku menamp*r pipi lelaki itu tanpa perasaan. "Ya, ampun. Maaf, Mas. Itu tadi ada nyamuk yang hinggap di pipi, kamu." Aku pura-pura menyesal. karena sudah men*mp*rnya.Padahal, hatiku rasanya puas sekali sudah meluapkan emosi dengan cara menempelkan pisang goreng pada pipinya. Itu sebagai pelajaran untuknya, agar tidak sembarangan bersuara. "Kau!" Mas Adi menggeram seraya mengacungkan jarinya padaku. Aku tahu, jika dia pasti sangat emosi karena terkena tamp*r*nku."Berani sekali kau men*mpar anakku!" sungut wanita itu dengan wajah memerah. Marah. 'PLAK!'Tamp*ran kembali mendarat di pipi Mas Adi. Tapi, kali ini bukan aku pelakunya, melainkan sang Ibu. Wanita dengan penuh uban di kepalanya itu, sebenarnya hendak menyerangku. Namun aku dengan sigap mengelak. Sehingga Mas Adi lah, yang terkena akibatnya."Sakit, Bu," keluh Mas Adi sambil memegangi kedua pipinya. Jika aku mendaratkan tangan kapalanku ini di pipi kanannya, sang Ibu sebaliknya. Ia mendaratkan tangan keriputnya
Pov Adi"DITTAAA!" Aku meneriaki wanita yang selama tiga bulan ini mengisi lubuk hatiku.Wanita itu hanya menoleh sambil tertawa terbahak-bahak. Dia terus saja berjalan tanpa melihat ke belakang lagi. Padahal, kalau dia lihat ke belakang, itu berarti kita jodoh. Sama seperti sinetron yang sering aku lihat di ponsel. Tapi sayangnya, sampai tubuhnya menghilang di ujung jalan, Dita tetap terus saja berjalan dengan langkah penuh keyakinan. "SIAL!" Aku mengumpat, karena wajahku sudah penuh dengan kotoran sapi. Semua ini, gara-gara Dita!"Huueekk!"Akhirnya aku memuntahkan isi perutku karena bau dari tai sapi itu. Dasar sapi nggak ada akhlak! Membuang kotoranpun, bukan pada tempatnya. Aku memungut uang yang dilemparkan oleh Dita. Lumayan, dilebihkan lima belas ribu. Bisa lah untuk beli bakso. "Adi! Cepat kau masuk! Cuci itu wajahmu!" sungut Ibu sambil memencet hidungnya karena aku sudah berada di dekatnya. "Iya, iya, Bu!" jawabku seraya melewatinya. "Heh, dari belakanh sana! Jorok b
Sambil berjalan, aku membayangkan wajah Dita yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Aku yakin, dia pasti sedang menertawaiku di sana.Arrrggghhh! Dengan perasaan yang sudah panas membara, aku terus berjalan menuju rumah Raina, untuk menjemput ketiga anakku. Sesampainya di sana, si sulung sedang bermain dengan adiknya. "Ayo, kita pulang. Ayah mengantuk ini," ajakku pada kedua anakku yang sedang bermain. Mereka semua menyetujuinya dan berjalan sambil berlarian. Aku mengambil Rafli, putra ke tigaku yang sedang tertidur dan menggendongnya.Rumahku dan Raina tidak terlalu jauh. Jadi masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Sesampainya di rumah, aku manaruh putraku ke dalam kamar. Dan dua lagi melanjutkan bermain. Biasanya, jika aku bekerja, Ibu juga ikut mengasuh ketiga anakku ini. Ia akan tinggal di rumah untuk menjaganya dan untuk memasak. Aku tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Jika tidak Ibu, ya, Raina. Kadang juha Silva, adik bungsuku. "Ayah, mau tidur. Jan
(Baiklah. Jadi, tanggung jawabmu sebagai Ibu, Apa?) Aku mengirimkan balasan lagi. Selama ini aku hanya diam saat dia melupakan anaknya. Tapi kali ini, aku harus memperjuangkan hak anak.Jika dia sudah sukses, bukankah anakku juga memiliki hak atas kesuksesan dia? Enak saja dia ingin menikmati kesuksesannya dengan bersenang-senang bersama lelaki itu. Seharusnya, anak nomor satu, dan pasangan nomor dua. Buakan malah sebaliknya. Dasar wanita tidak tau diri!(Kamu cari saja di google, tanggung jawab seorang Ibu yang sudah berpisah dari mantan suaminya, itu apa saja? Aku tidak perlu menjelaskanya padamu.) balasnya. Kurang aj*r! Enak sekali dia memintaku untuk mencari tahu di google. Apa dia pikir aku miskin ilmu?(Aku sudah tau tugas seorang wanita setelah berpisah dari mantan suaminya. Maka dari itu, aku meminta tanggung jawab darimu.)(Kalau sudah tau, tidak. seharusnya kau meminta uang padaku.) balasnya singkat. (Oh, jadi begitu? Baiklah. Bersenang-senang lah, kau bersama lelakimu i
Pov Dita. "Assalamu'alaikum," ucapku saat akan memasuki rumah kedua orang tuaku. Hari ini, aku menitipkan kedua buah hatiku pada orang tuaku, karena ingin bertemu dengan Ibunya Mas Adi. Tapi sayangnya, kesan pertama bertemu dengan mereka tidaklah baik.Pertemuan pertama sekaligus terakhir. Karena pastinya, aku tidak akan pernah lagi ke sana."Waalaikumsalam," sahut anak sulungku yang sudah berlari menemuiku. Dara. Ya, gadis cilik itu bernama Dara. Usianya saat ini sudah berjalan sembilan tahun. Aku sudah bisa memintanya untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menyapu dan mencuci piring. Walaupun tidak bersih, tapi aku harus mengajarkannya pekerjaan rumah sejak dini. Agar nantinya dia bisa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Setiap orang tua memiliki cara untuk membesarkan dan mendisiplinkan anaknya. Dan begitulah caraku. "Kakek, Nenek, dan Adik, mana, Kak?" tanyaku pada putri sulungku itu."Di dalam, Mak. Mamak dari mana?" tanyanya sambil berjalan bersam