Share

Bab 5

'PLAK!'

Aku menamp*r pipi lelaki itu tanpa perasaan. 

"Ya, ampun. Maaf, Mas. Itu tadi ada nyamuk yang hinggap di pipi, kamu."  Aku pura-pura menyesal. karena sudah men*mp*rnya.

Padahal, hatiku rasanya puas sekali sudah meluapkan emosi dengan cara menempelkan pisang goreng pada pipinya. Itu sebagai pelajaran untuknya, agar tidak sembarangan bersuara. 

"Kau!" Mas Adi menggeram seraya mengacungkan jarinya padaku. 

Aku tahu, jika dia pasti sangat emosi karena terkena tamp*r*nku.

"Berani sekali kau men*mpar anakku!" sungut wanita itu dengan wajah memerah. Marah. 

'PLAK!'

Tamp*ran kembali mendarat di pipi Mas Adi. Tapi, kali ini bukan aku pelakunya, melainkan sang Ibu. 

Wanita dengan penuh uban di kepalanya itu, sebenarnya hendak menyerangku. Namun aku dengan sigap mengelak. Sehingga Mas Adi lah, yang terkena akibatnya.

"Sakit, Bu," keluh Mas Adi sambil memegangi kedua pipinya. 

Jika aku mendaratkan tangan kapalanku ini di pipi kanannya, sang Ibu sebaliknya. Ia mendaratkan tangan keriputnya pada pipi kiri Mas Adi. 

"Kamu, sih, kenapa di situ!" omel sang Ibu, yang menatap anaknya Iba.

"Ini semua, gara-gara kamu!" hardiknya seraya menunjukku lagi.

"Gara-gara aku?" Aku menunjuk diriku sendiri. 

"Hahahah. Yang memang ini semua gara-gara aku. Tapi, semua ini juga karena mulut Ibu dan Mas Adi yang sudah terlebih dulu mengataiku. Aku tahu, jika janda sepertiku, memang tidak akan mendapatkan suami seperti dirimu. Janda sepertiku, pasti bisa mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari, kamu. Bahkan lenih berkali-kali lipat baiknya." Aku berkata dengan sangat tegas. 

Aku tidak bisa langsung pergi begitu saja, tanpa membalas semua penghinaan darinya.

Aku jelas tidak terima dengan semua ucapan yang keluar dari mulut busuknya bersama ibunya itu. 

Mantan suamiku, memang meninggalkanku karena lebih memilih pelakor. Tapi, itu semua bukan karena keegoisanku. Tapi, karena sebagai laki-laki, dia kurang bersyukur. 

Jika manusia yang pintar mensyukuri apa yang sudah diberi Tuhan. Pasti dia tau bagaimana caranya menghargai wanita dan tidak akan tergoda dengan wanita lain. Tidak ada manusia yang sempurna di bumi ini. Setiap ada kelebihan, pasti ada kekurangannya juga. Jika kita bisa menerima kekurangan serta kelebihan itu dengan lapang dada. Mungkin saja rumah tangga akan bertahan. Intinya dalam berumah tangga adalah saling mengerti dan memahami satu sama lain saja.

Sedangkan aku dan mantan suamiku tidak saling mengerti satu sama lain. Dia terlalu banyak menuntut, agar aku menjadi wanita yang sempurna. Hingga akhirnya dia menemukan wanita yang dianggapnya sempurna di luaran sana.

Banyak wanita sudah cantik, kaya raya, pintar cari duit. Tapi tetap saja diselingkuhi suaminya, dengan berbagai alasan yang mereka lontarkan. Merasa istri terlalu banyak kekurangannya sampai lupa diri, bahwa diri mereka pun memiliki banyak kekurangan. 

"Dan Ingat! Kau bukan sepupu Tuhan yang bisa menentukanku untuk masuk surga atau pun neraka. Kita lihat saja kedepannya. Wanita seperti apa yang bersedia menjadi istrimu nanti. Anak sama Ibu, sama saja! Sama-sama g*la!" sungutku, seraya tersenyum miring 

"Yang pasti, bukan wanita sepertimu, yang tidak tahu diri. Sudah janda, tapi banyak tingkah!" sungutnya. 

"Ya, jelas dong! Wanita cerdas seperti diriku ini. Tidak akan mungkin mau dengan laki-laki seperti kamu! Sudah tidak bertanggung jawab, tidak tau bersyukur lagi. Ngasih gaji dua juta untuk semua keperluan, sudah seperti ngasih gaji ratusan juta. Terlalu banyak mengatur, harus begini dan begitu!" Aku memutar bola mata, jengah. 

"Sudah lah, ya! Malas pula, meladeni kalian. Kalau begitu, aku pulang dulu. Bye!" ucapku ketus seraya melangkahkan kaki ke luar rumah.

"Hey, wanita tidak tahu diri! Jangan lupa, kembalikan pulsa yang pernah aku belikan untukmu. Pulsa seratus ribu, yang baru dua minggu lalu aku kirimkan padamu. Karena kamu mengeluh tidak punya paket data!" teriaknya dan membuatku menghentikan langkah tepat di depan pintu pagar.

Apa? Nggak salah dengar aku? Dia meminta pulsa yang dirimkannya padaku dua minggu yang lalu? 

Bukannya dia yang memaksa untuk membelikan pulsa tersebut? 

Saat aku menolaknya, dia dengan tegas mengatakan tidak apa-apa. Bahkan dia tetap mengirimkannya secara diam-diam. Saat pulsa tersebut sudah masuk, baru lah dia memberi kabar jika sudah mengisikanku pulsa. 

"Dasar kismin! Pulsa seratus ribu saja diminta kembali! Katanya karyawan di salah satu pabrik terbesar di kota ini dengan gaji yang besar pula. Tapi hanya gara-gara batal menikah, pulsa seratus ribu pun diminta. Hahahahah. Tidak tahu malu!" Aku tertawa terbahak-bahak sambil merogoh tas yang aku bawa. 

"Uuppsss. Aku sampai lupa. Lelaki seperti dirimu, kan nggak mau rugi, ya! Maunya untung besar dan tak mau keluar modal!" ejekku, seraya menarik satu lembar uang dari dalam tas.

"Nih, untuk beli pulsa!" Aku mengepalkan uang lembaran seratus ribu serta dua puluh ribu yang kudapat dari saku baju, menjadi satu. Lalu melemparkannya begitu saja.

"Dasar lelaki kikir, pelit, medit. Kelaut aja sana loh!" ejekku seraya berlalu. 

Mas Adi berjalan dengan cepat. Ia hendak memungut uang tersebut. 

'BRUK!'

Namun naas, dia berjalan dengan tidak memperhatikan langkahnya. Kedua kakinya beradu hingga dia terjatuh ke depan dan wajahnya mencium kotoran sapi, yang kebetulan berada di sana.

Saat Mas Adi mengangkat wajahnya, aku tidak dapat lagi menahan tawa.

Seketika, tawaku pecah melihat wajahnya yang belepotan dengan tai sapi. 

"DIIITTTAAAAA!" teriaknya sangat marah. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status