"Dita, tolong jangan pergi!" Mas Adi berlari mengejarku.
Dia menarik tanganku dengan kasar. Sampai aku menghentikan langkah dengan terpaksa.
"Mas, mohon, jangan kita selesaikan semuanya secara baik-baik, Dit." Mas Adi berlutut di hadapanku. Aku sampai terkejut melihat aksinya.
"Adi! Jangan bodoh kamu! Lepaskan dia! Biarkan saja dia pergi dari rumah ini masih banyak wanita lain!" sungut Ibunya seraya mendekat.
"Tapi, Bu-"
"Kamu jangan takut, Nak. Tidak akan ada lelaki yang mau dengan janda beranak dua seperti dia! Sudah lah tidak cantik, tidak kaya, ah, pokoknya tidak ada yang bisa dibanggakan dari dia. Syukur-syukur, masih ada yang mau memberi mahar seratus ribu, padanya!" ucap wanita itu dengan nada tinggi.
Wanita paruh baya itu, seperti hendak meluapkan emosinya. Dadanya terlihat daik turun dengan napas yang sudah memburu.
"Janda, kok, minta mahar nggak pakai ot*k! Masih mending ada yang mau. Mikir kamu itu!" Mantan calon Ibu mertua menunjuk wajahku.
Aku segera menepisnya dengan berani. Enak saja Ia main tunjuk-tunjuk wajahku.
"Dari pada mengeluarkan uang banyak hanya untuk menikahi janda, lebih baik kamu kunikahkan dengan gadis ting-ting. Sudah jelas masih disegel. Lah, situ, sudah bolong, pernah bongkar mesin dua kali, pula. Minta mahar kok setinggi langit. Dasar, tidak punya malu!" ucap wanita itu dengan enteng dan tanpa rasa bersalah.
Aku dan dia sama-sama wanita. Tapi dia tega sekali berkata seperti itu.
"Hey, orang tua! Seharusnya, sebagai orang tua dan sebagai perempuan. Anda itu tau bagaimana perasaan saya. Kenapa Anda tega sekali berkata seperti itu? Apakah anak Anda keluar dari punggung? Apakah Anda tidak pernah bongkar mesin? Dijaga, ucapan Anda! Ingat, karma tidak semanis kurma! Hari ini Anda merendahkan saya sebagai wanita, suatu saat nanti, giliran Anda yang akan direndahkan!" sahutku tegas.
Kesabaranku benar-benar diuji kali ini. Ingin kabur, tapi kakiku masih dipegangi Mas Adi.
"Dan Anda ingat, ya. Tidak akan ada yang mau menjadi Istri Mas Adi, jika Anda terus saja ikut campur urusan rumah tangga anak laki-laki Anda. Dan jika menikahi gadis, belum tentu mereka mau dengan status Mas Adi, sebagai duda beranak tiga."
Aku menatapnya dengan sinis.
"Hey, jangan sepele kamu! Anakku ini, bisa mencari sepuluh gadis untuk dijadikan istrinya. Siapa coba yang nggak mau punya suami mapan seperti Adi. Gadis mana pun,pasti akan tergila-gila padanya," ucapnya sombong.
"Yakin, Bu? Wanita sekarang, banyak yang cerdas. Tidak b*d*h seperti pemikiran Ibu. Jadi jangan sepele. Bisa saja Mas Adi menikah lagi dengan gadis. Tapi setelah beberapa hari, langsung ditinggal minggat! Nggak akan ada yang sanggup, punya suami seperti anakmu itu, Bu. Sudah bekerja mati-matian di rumah dan mengurus anak, uang belanja pun hanya dikasih pas-pasan. Eh maaf, ralat. Bisa dibilang, uang belanja pun, kurang." Aku mengucapkan semuanya dengan penuh penekanan.
Aku mencoba menggoyangkan kakiku agar terlepas dari Mas Adi. Tapi tetap saja tidak bisa.
"Hey, jaga mulutmu itu! Kau tidak tahu, kan, jika mantan istri Adi bisa cukup dengan uang segitu. Bahkan, dia masih bisa menabung dan mendirikan rumah yang saat ini dihuni oleh Adi dan anak-anaknya!" ucapnya seraya menarik tubuh Sang anak.
"Oh, jadi rumah itu adalah milik istri Mas Adi Pantas saja ditinggal kabur. Sudah tidak tahan dia diperbudak oleh kalian." Aku kembali menyunggingkan senyum sinis padanya.
"Sudah, Bu, sudah, Dit. Jangan bertengkar lagi. Tolong lah, untuk saling memaafkan demi kelangsungan hubungan kita." Wajah Mas Adi terlihat sangat sedih.
Tapi aku tidak akan termakan dengan wajah sedihnya itu.
"Maaf, Mas. Saya sudah tidak beminat untuk melanjutkan hubungan ini. Jadi sebaiknya, kau lepaskan aku!" sungutku seraya menghentakkan kaki.
Ah, kenapa sih, tenaga laki-laki satu ini kuat sekali. Kakiku madih berada di dalam dekapannya.
"Lepaskan dia, Adi! Jangan bodoh kamu, sampai harus memohon seperti itu!" bentak Ibunya dan membuat Mas Adi melepaskan kakiku.
"Aku sudah memohon padamu. Tapi kamu tetap akan meninggalkanku. Baik lah. Aku kabulkan permintaanmu. Pergi lah! Aku masih bisa mencari wanita yang lebih dari kamu. Benar kata Ibu, janda sepertimu tidak akan pernah menemukan lelaki baik sepertiku. Yang selalu menurut pada surganya. Cari lah laki-laki pembangkang, agar kamu masuk neraka bersamanya. Pantas lah, suamimu pergi meninggalkanmu. Ternyata sifat egoismu itu yang membuatnya tidak tahan. Untung saja kita belum menikah, kalau sampai sudah menikah. Pasti aku akan menjadi duda untuk ke dua kalinya karena tidak tahan punya istri sepertimu!" Mas Adi tertawa sinis.
Baru saja dia memohon, kini sudah tertawa seperti Ibl*s.
'PLAK!'
'PLAK!'Aku menamp*r pipi lelaki itu tanpa perasaan. "Ya, ampun. Maaf, Mas. Itu tadi ada nyamuk yang hinggap di pipi, kamu." Aku pura-pura menyesal. karena sudah men*mp*rnya.Padahal, hatiku rasanya puas sekali sudah meluapkan emosi dengan cara menempelkan pisang goreng pada pipinya. Itu sebagai pelajaran untuknya, agar tidak sembarangan bersuara. "Kau!" Mas Adi menggeram seraya mengacungkan jarinya padaku. Aku tahu, jika dia pasti sangat emosi karena terkena tamp*r*nku."Berani sekali kau men*mpar anakku!" sungut wanita itu dengan wajah memerah. Marah. 'PLAK!'Tamp*ran kembali mendarat di pipi Mas Adi. Tapi, kali ini bukan aku pelakunya, melainkan sang Ibu. Wanita dengan penuh uban di kepalanya itu, sebenarnya hendak menyerangku. Namun aku dengan sigap mengelak. Sehingga Mas Adi lah, yang terkena akibatnya."Sakit, Bu," keluh Mas Adi sambil memegangi kedua pipinya. Jika aku mendaratkan tangan kapalanku ini di pipi kanannya, sang Ibu sebaliknya. Ia mendaratkan tangan keriputnya
Pov Adi"DITTAAA!" Aku meneriaki wanita yang selama tiga bulan ini mengisi lubuk hatiku.Wanita itu hanya menoleh sambil tertawa terbahak-bahak. Dia terus saja berjalan tanpa melihat ke belakang lagi. Padahal, kalau dia lihat ke belakang, itu berarti kita jodoh. Sama seperti sinetron yang sering aku lihat di ponsel. Tapi sayangnya, sampai tubuhnya menghilang di ujung jalan, Dita tetap terus saja berjalan dengan langkah penuh keyakinan. "SIAL!" Aku mengumpat, karena wajahku sudah penuh dengan kotoran sapi. Semua ini, gara-gara Dita!"Huueekk!"Akhirnya aku memuntahkan isi perutku karena bau dari tai sapi itu. Dasar sapi nggak ada akhlak! Membuang kotoranpun, bukan pada tempatnya. Aku memungut uang yang dilemparkan oleh Dita. Lumayan, dilebihkan lima belas ribu. Bisa lah untuk beli bakso. "Adi! Cepat kau masuk! Cuci itu wajahmu!" sungut Ibu sambil memencet hidungnya karena aku sudah berada di dekatnya. "Iya, iya, Bu!" jawabku seraya melewatinya. "Heh, dari belakanh sana! Jorok b
Sambil berjalan, aku membayangkan wajah Dita yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Aku yakin, dia pasti sedang menertawaiku di sana.Arrrggghhh! Dengan perasaan yang sudah panas membara, aku terus berjalan menuju rumah Raina, untuk menjemput ketiga anakku. Sesampainya di sana, si sulung sedang bermain dengan adiknya. "Ayo, kita pulang. Ayah mengantuk ini," ajakku pada kedua anakku yang sedang bermain. Mereka semua menyetujuinya dan berjalan sambil berlarian. Aku mengambil Rafli, putra ke tigaku yang sedang tertidur dan menggendongnya.Rumahku dan Raina tidak terlalu jauh. Jadi masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki. Sesampainya di rumah, aku manaruh putraku ke dalam kamar. Dan dua lagi melanjutkan bermain. Biasanya, jika aku bekerja, Ibu juga ikut mengasuh ketiga anakku ini. Ia akan tinggal di rumah untuk menjaganya dan untuk memasak. Aku tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Jika tidak Ibu, ya, Raina. Kadang juha Silva, adik bungsuku. "Ayah, mau tidur. Jan
(Baiklah. Jadi, tanggung jawabmu sebagai Ibu, Apa?) Aku mengirimkan balasan lagi. Selama ini aku hanya diam saat dia melupakan anaknya. Tapi kali ini, aku harus memperjuangkan hak anak.Jika dia sudah sukses, bukankah anakku juga memiliki hak atas kesuksesan dia? Enak saja dia ingin menikmati kesuksesannya dengan bersenang-senang bersama lelaki itu. Seharusnya, anak nomor satu, dan pasangan nomor dua. Buakan malah sebaliknya. Dasar wanita tidak tau diri!(Kamu cari saja di google, tanggung jawab seorang Ibu yang sudah berpisah dari mantan suaminya, itu apa saja? Aku tidak perlu menjelaskanya padamu.) balasnya. Kurang aj*r! Enak sekali dia memintaku untuk mencari tahu di google. Apa dia pikir aku miskin ilmu?(Aku sudah tau tugas seorang wanita setelah berpisah dari mantan suaminya. Maka dari itu, aku meminta tanggung jawab darimu.)(Kalau sudah tau, tidak. seharusnya kau meminta uang padaku.) balasnya singkat. (Oh, jadi begitu? Baiklah. Bersenang-senang lah, kau bersama lelakimu i
Pov Dita. "Assalamu'alaikum," ucapku saat akan memasuki rumah kedua orang tuaku. Hari ini, aku menitipkan kedua buah hatiku pada orang tuaku, karena ingin bertemu dengan Ibunya Mas Adi. Tapi sayangnya, kesan pertama bertemu dengan mereka tidaklah baik.Pertemuan pertama sekaligus terakhir. Karena pastinya, aku tidak akan pernah lagi ke sana."Waalaikumsalam," sahut anak sulungku yang sudah berlari menemuiku. Dara. Ya, gadis cilik itu bernama Dara. Usianya saat ini sudah berjalan sembilan tahun. Aku sudah bisa memintanya untuk membantuku mengerjakan pekerjaan rumah, seperti menyapu dan mencuci piring. Walaupun tidak bersih, tapi aku harus mengajarkannya pekerjaan rumah sejak dini. Agar nantinya dia bisa mandiri dan tidak bergantung pada orang lain. Setiap orang tua memiliki cara untuk membesarkan dan mendisiplinkan anaknya. Dan begitulah caraku. "Kakek, Nenek, dan Adik, mana, Kak?" tanyaku pada putri sulungku itu."Di dalam, Mak. Mamak dari mana?" tanyanya sambil berjalan bersam
"Assalamu'alaikum," ucapku saat akan memasuki rumah Paman Burhan. "Waalaikumsalam," jawab Bi Susi, istri Paman Burhan. Ia berjalan mendekatiku. Aku langsung mengulurkan tangan untuk menyalaminya, dan mencium punggung tangannya. Seperti permintaan Ibu tiga hari yang lalu. Aku datang untuk menemui Paman Burhan. Kebetulan hari ini adalah hari minggu. Jadi, aku tidak perlu repot mengantar atau menjemput anak sekolah. Dara dan Raka juga sudah kutitipkan pada Ibu. Setelah Ibu memintaku untuk datang ke rumah Paman Burhan, aku meminta waktu tiga hari untuk menemuinya. Dan hari ini, sudah tepat tiga hari. "Ehh, Dita. Ayo, masuk!" Bi Susi mengajakku masuk bersamanya."Sebentar, ya! Bibi panggilkan Pamanmu dulu," ucap Bibi setelah mempersilahkanku duduk. Rumah Paman Burhan jauh lebih cantik dibandingkan rumah orang tuaku. Bahkan di ruang tamunya saja, sudah tersedia sofa. Beda dengan di rumah yang hanya beralaskan tikar. "Oh, Dita. Apa kabar?" tanya Paman, setelah melihatku duduk. "Alham
"I-iya, belum la-lama," sahutku terbata-bata. Aku sampai susah untuk berbicara gara-gara lihat giginya. Mual dan ingin muntah. Mana dia terus saja nemamerkan giginya lagi. Astaghfirullah! Aku melihat ke sekeliling ruang tamu ini, untuk mengalihkan pandang dari giginya. Tapi bayang-bayang gigi kuningnya selalu membuatku bergidik. "Kamu nggak tanya, saya?" tanya Luki saat aku tidak bersuara sama sekaliApa yang harus aku tanyakan? Sedangkan aku saja tidak tertarik padanya Sudah keburu ilfil lihat giginya. Aku kalau tidak suka sama orang, malas untuk bertanya. "Tanya apa, ya?" Aku menggaruk-garuk kepala yang tiba-tiba saja gatal.Sungguh, keadaan ini sangat amat canggung. "Ya, tanya apa gitu, kek!" ucapnya seraya kembali menghisap rokoknya. "Gigi kamu, apa nggak pernah disikat?" tanyaku tertahan di dalam hati. Nggak mungkin, kan, aku nyeletuk seperti itu? Bisa-bisa sakit hati dia. Terus di sant*t aku nanti. "Abang tinggal, di mana?" tanyaku terpaksa.Ya, akhirnya hanya pertanya
Pandu tertawa setelah Luki pergi. Dia sampai memegangi perutnya. "Ada yang lucu?" tanyaku sewot."Ahm. Nggak ada," jawabnya seraya menahan tawanya. "Senang sekali ya, kamu melihatku menyedihkan begini!" sungutku. "Siapa yang senang? Jangan su'udzon, kamu itu!" sahutnya seraya tersenyum. Senyum yang membuatku semakin jengkel. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu, dia masih saja menjengkelkan."Hiish!" Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran sofa. "Jangan marah-marah, nanti cepat tua!" Pandu menatapku sambil mengulum senyum. "Memang sudah tua. Puas kamu!""Kamu itu, sama Pamannya kok galak banget. Kuwalat nanti kamu sama orang tua!"Awas saja. Tunggu pembalasan dariku. Aku tau, dia sangat suka melihatku terlihat menyedihkan begini. Dia itu, suka banget menggangguku dari dulu. Bahkan dia pernah berpura-pura menjadi Abang yang galak saat ada teman lelakiku yang datang ke rumah ingin PDKT. Dia akan memarahi lelaki itu habis-habisan. Ceramah panjang lebar juga ia lontarkan. Yang katanya