Share

Bab 6

Pov Adi

"DITTAAA!" Aku meneriaki wanita yang selama tiga bulan ini mengisi lubuk hatiku.

Wanita itu hanya menoleh sambil tertawa terbahak-bahak. Dia terus saja berjalan tanpa melihat ke belakang lagi. 

Padahal, kalau dia lihat ke belakang, itu berarti kita jodoh. Sama seperti sinetron yang sering aku lihat di ponsel. 

Tapi sayangnya, sampai tubuhnya menghilang di ujung jalan, Dita tetap terus saja berjalan dengan langkah penuh keyakinan. 

"SIAL!" Aku mengumpat, karena wajahku sudah penuh dengan kotoran sapi. 

Semua ini, gara-gara Dita!

"Huueekk!"

Akhirnya aku memuntahkan isi perutku karena bau dari tai sapi itu. Dasar sapi nggak ada akhlak! Membuang kotoranpun, bukan pada tempatnya. 

Aku memungut uang yang dilemparkan oleh Dita. Lumayan, dilebihkan lima belas ribu. Bisa lah untuk beli bakso. 

"Adi! Cepat kau masuk! Cuci itu wajahmu!" sungut Ibu sambil memencet hidungnya karena aku sudah berada di dekatnya. 

"Iya, iya, Bu!" jawabku seraya melewatinya. 

"Heh, dari belakanh sana! Jorok banget sih kamu!" omel Ibu seraya menjauh dari jangkauanku. 

Duuhh, baunya ini. Membuatku ingin muntah lagi. Aku menuruti perintah Ibu. Berjalan dari samping, lalu masuk ke kamar mandi dari pintu dapur.

Dengan cepat, aku langsung menyiram wajahku dengan air mengalir Kemudian aku memakai sabun pencuci wajah punya Ibu, agar wajahku juga kinclong. Dan Dita merasa menyesal karena sudah memilih meninggalkanku. 

Setelah kurasa sudah bersih. Aku keluar dari kamar mandi Ibu, dan hendak pulang ke rumah. 

"Mau ke mana kamu?" tanya Ibu saat kami berpapasan di halaman rumah ibu. 

"Mau, pulang. Mau mandi dan ganti baju, Bu. Ini bau banget," jawabku seraya mencium kerah bajuku. 

Emmm, wangi .... Wangi, wangi kecut gitu deh. Jangan ditiru! Adegan ini, hanya dilakukan oleh profesional. 

"Oh, ya, sudah. Seminggu lagi, gajian kan?" tanya Ibu sambil menaikkan alisnya. 

Kalau sudah menyangkut uang. Indra penciuman Ibu langsung berfungsi dengan benar. 

"Hmmm," jawabku malas. 

"Jangan lupa, uang bulanan Ibu dilebihin sedikit, ya? " tawarnya seraya tersenyum. 

"Bu, kebutuhan Adi dan anak-anak, banyak. Jatah untuk Ibu, ditunda dulu, ya! Ini semua juga gara-gara Ibu." Aku mengerucutkan bibir, teringat kejadian siang tadi. 

"Tidak bisa! Jatah bulanan Ibu, tidak bisa ditunda. Ibu sudah janji akan membeli tas keluaran terbaru dengan harga tiga ratus ribu, itu loh," ucapnya tidak terima. 

"Baik lah. Tapi tidak bisa lebih. Aku cuma bisa ngasih seperti biasanya saja." 

"Loh, nggak bisa gitu dong! Ibu mau perawatan di salon Murni. Lihat ini, wajah Ibu sudah kusam." Ibu menunjuk wajahnya yang masih berkilau seperti gorengan yang sudah dingin.

Aku tidak tau standar kusam seorang wanita itu, yang bagaimana. Menurutku, wajah Ibu tidaklah kusam. 

"Bu, tolong, lah. Adi benar-benar lagi butuh ini," ucapku memohon. 

"Ahhh, baiklah! Emang susah diandalkan kamu itu!" sungutnya, meninggalkanku yang masih berdiri di halaman. 

Merajuk lagi. Duhh, susahnya punya surga tukang merajuk. 

Aku berjalan dengan gontai menuju sepeda motor. Ahh, malang sekali nasibku. Jodoh tidak dapat, Ibu pun jadi merajuk. 

Aku menstater sepeda motor dan melajukannya, menjauh dari rumah Ibu. 

Hanya butuh waktu dua menit, untuk sampai di rumahku.

Rumah yang dibangun oleh Wilda dari hasil menghematnya.

Wilda adalah mantan istri pertamaku, yang kurang bersyukur karena sudah punya suami sepertiku. Dia memilih pergi membawa anak hungsuku yang saat itu masih berusia enam bulan. 

Sampai detik ini, aku tidak pernah menghubunginya. Pantang bagiku menghubungi wanita yang sudah dengan tega meninggalkanku hanya gara-gara uang belanjanya kupotong untuk keperluan Ibu yang ingin nyalon.

Akh! Jika ingat wanita itu, hatiku rasanya sakit. 

Setelah bercerai secara resmi setahun lalu, dia sudah berani memposting foto bersama lelaki di sosial medianya. 

Aku memang tidak berteman dengan Wilda. Tapi, aku terkadang penasaran dan membuat akun palsu untuk mengikutinya agar bisa melihat kesehariannya, tanpa dia tau, jika itu aku.

Setelah melihat kesehariannya, aku bukannya bahagia. Yang ada aku uring-uringan melihat dia sangat amat bahagia bersama pasangan barunya.

Foto liburan ke luar kota, bahkan luar Negri, selalu dia pamerkan. Dia sudah terlihat menjadi wanita sukses sekarang.

Tapi sayangnya, dia melupakan ketiga buah hatinya yang ikut bersamaku. Dia tidak pernah mengirim uang sama sekali untuk ketiga anakku ini.

Seharusnya, karena anak yang bersamaku adalah anak kami bersama, maka dia juga harus mengeluarkan dana dong, untuk membesarkan ketiganya. Jangan hanya mau senang-senang bersama pasangan barunya itu saja.

Seharusnya dia berpikir, jika aku di sini sedang kesulitan biaya, karena harus membesarkan tiga anak. Tanpa diminta, seharusnya dia sudah mengirimkan uangnya.

Huuffttt. Lelah rasanya. 

"Mas itu anak kamu, diambil! Aku sudah capek menjaganya!" keluh Raina, adik perempuanku.

Raina sudah berkeluarga. Jadi aku sering menitipkan anak di rumahnya. Sebagai imbalannya, setiap bulan aku memberikan uang lima ratus ribu sebagai upah momong. 

"Kenapa nggak kamu antar saja?" tanyaku jengkel.

Padahal, rencananya aku mau beristirahat sejenak. Tapi gagal karena Rania memintaku untuk mengambil anak-anak. Jika ada anak-anak di rumah, aku tidak bisa beristirahat. Karena mereka selalu saja bertengkar berebut mainan.

"Aku nggak bisa bawa semuanya sekalian. Apalagi, Si Rafli tidur!" sungutnya marah.

Hmmm. Menyusahkan saja. 

"Ya, udah. Kamu pulang lah. Ini aku susul," ucapku seraya berdiri. 

Raina berbalik dan berjalan pulang ke rumahnya. 

Aku berjalan mengekorinya sambil melihat-lihat status W******p dari teman+temanku.

Ah, saat aku sedang menggeser-geser layar, tak sengaja mataku tertuju pada status yang baru saja diunggah oleh Dita. 

'Alhamdulillah. Terhindar dari malapetaka, marabahaya, dan musibah!'

Begitu lah isi statusnya. Kurang aj*r! Dia pasti sedang menyindirku. "Awas saja kau, Dita!" geramku seraya meremas ponsel. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status