"I-iya, belum la-lama," sahutku terbata-bata. Aku sampai susah untuk berbicara gara-gara lihat giginya. Mual dan ingin muntah. Mana dia terus saja nemamerkan giginya lagi. Astaghfirullah! Aku melihat ke sekeliling ruang tamu ini, untuk mengalihkan pandang dari giginya. Tapi bayang-bayang gigi kuningnya selalu membuatku bergidik. "Kamu nggak tanya, saya?" tanya Luki saat aku tidak bersuara sama sekaliApa yang harus aku tanyakan? Sedangkan aku saja tidak tertarik padanya Sudah keburu ilfil lihat giginya. Aku kalau tidak suka sama orang, malas untuk bertanya. "Tanya apa, ya?" Aku menggaruk-garuk kepala yang tiba-tiba saja gatal.Sungguh, keadaan ini sangat amat canggung. "Ya, tanya apa gitu, kek!" ucapnya seraya kembali menghisap rokoknya. "Gigi kamu, apa nggak pernah disikat?" tanyaku tertahan di dalam hati. Nggak mungkin, kan, aku nyeletuk seperti itu? Bisa-bisa sakit hati dia. Terus di sant*t aku nanti. "Abang tinggal, di mana?" tanyaku terpaksa.Ya, akhirnya hanya pertanya
Pandu tertawa setelah Luki pergi. Dia sampai memegangi perutnya. "Ada yang lucu?" tanyaku sewot."Ahm. Nggak ada," jawabnya seraya menahan tawanya. "Senang sekali ya, kamu melihatku menyedihkan begini!" sungutku. "Siapa yang senang? Jangan su'udzon, kamu itu!" sahutnya seraya tersenyum. Senyum yang membuatku semakin jengkel. Sudah bertahun-tahun tidak bertemu, dia masih saja menjengkelkan."Hiish!" Aku menyandarkan tubuhku ke sandaran sofa. "Jangan marah-marah, nanti cepat tua!" Pandu menatapku sambil mengulum senyum. "Memang sudah tua. Puas kamu!""Kamu itu, sama Pamannya kok galak banget. Kuwalat nanti kamu sama orang tua!"Awas saja. Tunggu pembalasan dariku. Aku tau, dia sangat suka melihatku terlihat menyedihkan begini. Dia itu, suka banget menggangguku dari dulu. Bahkan dia pernah berpura-pura menjadi Abang yang galak saat ada teman lelakiku yang datang ke rumah ingin PDKT. Dia akan memarahi lelaki itu habis-habisan. Ceramah panjang lebar juga ia lontarkan. Yang katanya
"Iya, Paman. Dita tau. Makanya Dita tidak mau asal-asalan memilih pasangan lagi. Takutnya malah menjanda dua kali. Biarpun status Dita janda, Dita harus selektif memilih pasangan. Biarlah lama prosesnya. Yang terpenting, Dita tidak akan menjadi janda lagi." Aku mengucapkan isi hatiku yang sudah lama terpendam. Aku tidak mau terus menerus dipaksa menikah oleh Paman. Apalagi pilihan paman tidaklah sesuai dengan keinginanku. Paman membuang napas kasar. Aku tau dia sedikit kecewa denganku. Tapi aku harus bagaimana? Aku benar-benar tidak bisa menerima pilihanhya, yang menurutku tidak sesuai dengan pilihanku. Aku benar-benar tidak mau mendapatkan suami yang hanya bermalas-malasan, dan hanya mau menerimaku saja. Aku inginnya dia juga bisa menerima anakku, dan dia juga rajin bekerja.Mungkin bagi sebagian orang, keinginanku ini terlalu berlebihan. Mengingat statusku sebagai janda. Tapi, menurutku, saat kita sudah menjadi janda, maka kita harus pintar-pintar memilih pasangan. Jangan sembar
Pov Adi"Dasar, gatal!" teriakku pada Dita yang sedang dibonceng oleh seorang laki-laki. Dasar, murahan sekali dia! Baru saja lepas dariku, sudah dapat pengganti.Ternyata, dia menolakku karena sudah mendapatkan penggangiku. Awas, saja kau Dita! Tunggu karma untukmu! 'GRRUUSSAAKK!'Karena terlalu fokus melihat Dita bersama kekasihnya, aku sampai masuk parit seperti ini. Air di dalam parit lumayan dalam. Jika diukur, mungkin air tersebut sedalam betisborang dewasa. "Bangs*t!" Makiku, saat kaki ini terasa terjepit sepeda motor. Ini semua gara-gara Dita. Untuk apa coba dia bertemu denganku di jalan ini? Pasti dia sengaja melewati jalan ini karena ingin membuatku cemburu. Dia ingin memamerkan kekasih barunya itu. Aku kembali menoleh ke belakang untuk melihat Dita. Ternyata dia berhenti, dan terlihat sedang berdebat dengan lelaki itu. Huh, malas sekali melihat mereka berdua. Aku membuang muka, dan tak lagi peduli dengan mereka berdua. Aku mencoba berdiri tapi, gagal dikarenakan posis
Pov Dita"Apaan sih, kamu bekap-bekap mulutku!" gerutu Pandu setelah berhasil melepaskan tanganku dari mulutnya. Aku sengaja membekap mulutnya agar dia tidak menjawab pertanyaan Mas Adi. Biarkan saja dia semakin kebakaran mendengar jawabanku yang mengatakan jika Pandu adalah kekasihku. Aku tau dia sangat marah padaku saat melihat aku berboncengan dengan laki-laki, makanya dia sampai berani mengataiku gatal.Dia juga pasti masih merasa cemburu melihatku jalan dengan lelaki lain, sampai-sampai dia kehilangan fokus dan nyebur ke parit. Untung saja bukan sungai. Kalau sungai, kurasa sudah hilang dia terbawa arus. Mas Adi belum tau jika aku memiliki Paman yang usianya masih sangat muda. Aku belum mengenalkan padanya semua anggota saudaraku. Yang dia tau hanyalah Bapak dan Ibu."Elah! Cuma gitu doang marah!" Aku memutar bola mata malas seraya nersedekap. Pandu sudah menaiki sepeda motornya sementara aku masih setia berdiri di sampingnya. "Kamu pikir, nggak engap tu tangan juga menutup
"Nggak bisa, Dit! Aku nggak mau dipanggil kakek. Aku masih muda, masih perjaka ting-ting pula. Dengar ya, anak-anak. Kalian harus panggil saya Paman Pandu. Nanti, Paman kasih uang untuk beli jajan." Pandu merayu kedua anakku yang masih berdiri sambil bersedekap tangan di teras. "Anda mau nyuap kami? Nggak ingat dosa, tah? Maaf, ya, Kek. Aku tidak mau makan uang haram," ucap Dara tegas. Gadisku satu ini. Apa yang diajarkan oleh gurunya, selalu meresap di otaknya. Dia akan selalu menerapkan apa yang menurut gurunya baik. Dia selalu patuh bahkan kadang mempraktikkan apa saja yang sudah diajarkan gurunya. "Ini bukan uang haram sayang. Ini uang halal. Yakin deh sama Paman," ucap Pandu meyakinkan Dara."Suap itu hukumnya haram. Jadi itu uang haram. Lagian, udah cocok kok di panggil Kakek, tuh rambutnya sudah banyak yang putih!" Dara menahan tawanya. Ia menunjuk ke arah kepala Pandu. Lelaki dengan postur tinggi tegap itu langsung memegangi kepalanya. Ingin kacahan, tapi tak. ada kaca. "
"Heh, bocah! Aku belum menikah. Kenpa kamu bilang sudah banyak anak? Tadi, kan, sudah Paman belikan jajan. Kenapa sekarang nggak bisa kerja sama?" tanya Pandu kesal."Kalau kakek-kakek, kan, anaknya sudah banyak. Buktinya aja, kakek Bapak anaknya, juga udah banyak," jelas Dara dengan sangat polos. Kakek Bapak adalah sebutan untuk Bapakku. Dia selalu memanggilnya dengan kakek Bapak karena terlalu banyak kakeknya. Untuk membedakan, dia selalu punya cara sendiri untuk memanggilnya. "Huuhhh. Susah memang ngejelaskan sama bocah ingusan begini!" Pandu mengacak-acak rambutnya sampai berantakan. Frustasi sekali dia gara-gara tak jadi berkenalan dengan Afifah. Hmmm, dasar lelaki! Lihat yang kinclong sedikit, aja. Langsung hijau matanya. "Kek, lihat tuh rambutnya, kayak singa bangun tidur!" Dara menunjuk kepala Pandu dan membuat lelaki itu menatap Dara dengan tajam. Kenapa sekarang ada tom and jerry di sini. Dara adalah penggantiku yang suka adu mulut dengan pandu. Hahahaha Ternyata memang
Cari Istri atau Babu? "Siapa nama, kamu?" tanya wanita paruh baya di hadapanku. Hari ini, Mas Adi membawaku bertemu dengan Ibunya. Kami sudah sepakat untuk saling memperkenalkan diri pada keluarga masing-masing.Mas Adi mengatakan jika dia ingin menjalin hubungan yang lebih serius denganku. Jadi, kami harus saling berkenalan pada kedua belah pihak keluarga. Mas Adi sudah kubawa ke rumah orang tuaku, dan sambutan orang tuaku sangat baik. Orang tuaku juga menyerahkan semua keputusan padaku.Aku dan Mas Adi sudah dekat sejak tiga bulan yang lalu. Dan dia memberanikan diri untuk menikahiku.Aku belum pernah membahas terlalu jauh dengannya. Hanya sebatas menikah saja. Aku tau dia adalah seorang duda beranak empat yang ditinggalkan oleh istrinya. Mas Adit, membawa tiga anaknya, sementara sang mantan istri membawa satu anak bungsunya.Kata Mas Adi, mantan istrinya itu meninggalkan dirinya gara-gara sang istri malas mengurus banyak anak.Entahlah, aku belum percaya seratus persen padanya.