Share

Bab 7

Sambil berjalan, aku membayangkan wajah Dita yang sedang tersenyum penuh kemenangan. Aku yakin, dia pasti sedang menertawaiku di sana.

Arrrggghhh! 

Dengan perasaan yang sudah panas membara, aku terus berjalan menuju rumah Raina, untuk menjemput ketiga anakku. 

Sesampainya di sana, si sulung sedang bermain dengan adiknya. 

"Ayo, kita pulang. Ayah mengantuk ini," ajakku pada kedua anakku yang sedang bermain. 

Mereka semua menyetujuinya dan berjalan sambil berlarian. 

Aku mengambil Rafli, putra ke tigaku yang sedang tertidur dan menggendongnya.

Rumahku dan Raina tidak terlalu jauh. Jadi masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki. 

Sesampainya di rumah, aku manaruh putraku ke dalam kamar. Dan dua lagi melanjutkan bermain. 

Biasanya, jika aku bekerja, Ibu juga ikut mengasuh ketiga anakku ini. Ia akan tinggal di rumah untuk menjaganya dan untuk memasak. 

Aku tidak pernah mengerjakan pekerjaan rumah sendirian. Jika tidak Ibu, ya, Raina. Kadang juha Silva, adik bungsuku. 

"Ayah, mau tidur. Jangan diganggu, ya!" Aku memperingatkan kedua putraku yang hanya menoleh lalu melanjutkan bermain lagi.

Huuffttt. Lelah rasanya mengurus tiga putra.

Karena tidak dihiraukan, akhirnya aku berjalan menuju kamar. Dan merebahkan tubuh di atas kasur. Aku memandangi langit-langit kamar seraya menerawang jauh. Membayangkan Dita. 

Terus terang, aku memang menyukainya. Selain cantik, dia juga wanita pekerja keras yang tidak pernah mengeluh tentang sulitnya kehidupan. Apalagi dia adalah seorang janda yang ditinggalkan suaminya berselingkuh. Pasti dia lebih kuat dan setia dari pada wanita yang lainnya. 

Dita dengan telaten membesarkan kedua buah hatinya sendirian tanpa nafkah dari sang mantan suami. Aku tau itu semua, karena aku pernah bertanya pada Dita dan dia menjawabnya dengan sangat santai. Duta tidak mungkin berbohong. Karena aku sudah mencari tahu tentangnya. 

Dan karena semua itu lah, aku mau menjadikannya istri. Dita sudah tau betapa sulitnya hidup ini. Dia juga sudah mandiri. Jika kami menikah, dia pasti bisa diandalkan untuk membantu ekonomi keluargaku.

Soal anak, biarlah kedua anaknya bersama mantan suami atau mantan Ibu mertuanya. Toh, tanggung jawab kedua anaknya masih berada di tangan Bapaknya, karena sang Bapak masih hidup. Kecuali sudah mati. Kalaupun sudah mati, kedua anaknya tetap saja menjadi tanggung jawab keluarga mantan suaminya, yang laki-laki. Jadi, bisa mereka di serahkan pada keluarganya. 

Dan aku, tidak perlu repot mengurus kedua buah hatinya bersama lelaki tidak tahu diri itu. 

Begitu lah rencana yang sudah kususun dengan rapi. Tapi sayang sekali Dita tidak setuju. Padahal, aku ini tampan. Rumahku juga besar dan bagus bila dibandingkan dengan rumahnya atau pun rumah kedua orang tuanya.

Ah, bodoh sekali Dita. Dia pasti akan menyesal karena sudah menolakku. Akan kucari wanita pengganti, yang jauh lebih cantik dari dia.

Pokoknya, aku tidak boleh kalah dari dia. Aku harus di atas satu tingkat darinya.

'Ting!'

(Bro! Jangan lupa, hutangmu dibayarkan, ya, bulan ini.) 

Pesan masuk dari Joni. Akkhh, aku sampai lupa. Gajian ini, gajiku tidak akan full. Aku sudah berhutang pada Joni untuk berjudi online.

Awalnya aku hanya coba-coba saja karena penasaran. Namun lama kelamaan, aku ketagihan dan terus saja bermain judi online, hingga hutangku pada Joni menumpuk.

Kalau tidak salah, hutangku padanya, satu setengah juta. Pada Mbak Weni, pemilil kantin, setengah juta.

JIka dibayarkan hutang semua, berarti gajiku hanya tersisah tiga juta lima ratus ribu saja. Mana dibagi untuk Ibu dan kedua adikku lagi.

Arrkkhh. Hanya tersisa satu setengah juta saja. Cukup apa uang segitu? Kebutuhan sehari-hari tidak mungkin akan cukup selama sebulan. 

Aregghhh! Sakit kepala memikirkannya. 

Dari pada aku pusinh sendiri, lebih baik aku menghubungi Wilda saja. Meminta bantuan untuk biaya hidup ketiga anaknya. 

Pasti dia tidak akan keberatan. Toh dulu, dia pernah meminta ketiga anak ini. Tapi kutolak, karena aku tidak mau kehilangan anak-anakku, dan aku tidak bisa hidup jauh dari anak-anakku. 

'Ting!'

(Bro, gimana?) tanya Joni lagi. 

Tidak sabaran banget sih? Gajian juga masih lama, dia sudah terus-terusan menagih hutangnya. 

(Iya, nanti kalau sudah gajian aku bayar.) balasku dengan jengkel. 

(Wil, anak-anak butuh biaya banyak. Bisakah kamu mengirimkan uang untuk membantunya?) Aku mengirimkan pesan pada Wilda. 

Aku harus menurunkan harga diri demi anak-anak. Aku tau, meskipun sekarang Wilda sudah bersama lelaki lain, tapi dia masih punya perasaan cinta padaku. Buktinya saja, dia masih menyimpan nomorku. Karena, pesan yang kukirimkan masuk dan sudah dibaca. 

Aku masih menyimpan nomor Wilda, karena untuk koleksi saja. Bukan karena masih cinta. 

(Maaf, Mas. Kalau sudah tidak sanggup membiayai, sebaiknya mereka kamu antarkan saja padaku.) balasnya dan membuat darahku seketika mendidih. 

Enak saja dia mau meminta ketiga anakku! Aku bukan tidak sanggup membiayai, tapi sekarang memang sedang sulit aja.

Dua tahun aku mengurus ketiga buah hati kami tanpa bantuan apapun darinya. Sekarang, dengan entengnya dia katakan aku tidak sanggup membiayai?

(Aku bukan tidak sanggup membiayai! Aku hanya meminta tanggung jawabmu sebagai Ibunya. Enak sekali kamu bersenang-senang dengan lelaki barumu tanpa peduli pada anak-anakmu! Sebagai Ibunya, kau juga harus membiayai mereka. Ini anak kita berdua. Jadi, harus kita juga yang berjuang demi mereka!) Aku kembali mengirimkan pesan dengan unek-unek yang selama ini sudah menumpuk di dalam hatiku. 

Sudah lima menit, tapi Wilda tidak membalas pesannya. Kurang aj*r! Dia mau main-main rupanya sama aku!

(Aku tau aku ini Ibunya. Tapi, menafkahi bukan tanggung jawabku. Selamanya, soal nafkah menjadi tanggung jawabmu sebagai Ayahnya.) 

Balasan dari Wilda semakin menyulut emosiku. Bisa-bisanya dia berkata seperti itu. 

Aaarrgghhhhh. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status