"Hanah?"Saat aku baru saja keluar dari butik, hendak pulang ke rumah, tiba-tiba Mbak Maya menghampiriku di parkiran. Ia tadi tidak ikut dengan para kerabatnya untuk memilih busana di butik. Tapi, kenapa sekarang ke mari? Aku pun langsung urung membuka pintu kendaraan."Mbak Maya?" Aku langsung menyapa dan menyambutnya dengan manis. Tentu ini bukan manis gula-gula aroma menyenangkan, hanya senyum sumringah, karena tadi aku menang atasnya. Terbukti, para kerabatnya belanja di butik milikku dengan riang gembira."Kamu jangan merasa menang, ya? Kamu diunggulakan oleh mereka, tapi kamu tetap saja, tidak selevel dengan keluarga Satria."Ucapannya yang kurang tahu malu ini tidak membuat hatiku tersayat-sayat. Aku biasa saja. Mengarungi rumah tangga dulu dengan Mas Jimy, hal seperti ini sudah santapan sehari-hari.Aku pun lantas menghadapi Mbak Maya, perempuan yang seharusnya sudah berperilaku baik karena sudah berusia kepala 5. Dia kurang pantas kalau seperti ini."Diunggulkan? Saya tidak b
Aku benar-benar kaget melihat suami Mbak Maya, yang katanya sedang sibuk di kantor, tapi sekarang malah ada di dalam mobil bersama seorang wanita. Mas Brata, yang usianya sudah tak lagi muda sedang bermain dengan wanita yang sangat jauh usia di bawahnya. Itu bukan putrinya, aku jelas paham dari bahasa tubuh mereka. Mereka ada main di belakang.Lampu merah telah berganti hijau. Kendaraan kini melaju kembali. Kami pun berdampingan melaju ke arah yang sama. Pasti Mbak Maya tidak mengetahui perihal ini. Di pertigaan depan, ternyata Mas Brata malah belok ke arah yang berbeda denganku. Banyak tempat yang bisa dituju di sana, ada Mall, pasar juga ada, tempat makan banyak, bahkan menuju ke arah apartemen kelas menengah. Oiya, satu lagi itu bisa mengarah ke kawasan lokalisasi. Tapi, itu bukan urusanku. Jadi, aku lebih baik langsung menuju rumah untuk segera memasak. Sebenarnya hatiku juga usil, kenapa pria seperti enteng bila mendua di luar sana. Namun, mengingat sikap Mbak Maya, aku jadi tak
Yang terjatuh ternyata adalah sebuah giwang dengan dominan permata. Aku sedikit kaget karena benda itu terjatuh dari pakaian suami. Jelas itu bukanlah milikku. Meskipun aku memiliki banyak anting-anting dan giwang, tapi milik sendiri itu hafal.Aku periksa kembali, mungkin ada pasangannya, ternyata tidak aku temukan. Kalau saja untukku, pasti sepasang, dan pasti ada wadah perhiasannya. Ini sama sekali tidak ada. Persis seperti milik seseorang yang terjatuh atau menyangkut di pakaian suami.Teringat dengan skandal kecil Mas Satria. Tadi ia yang tiba-tiba mematikan nomor handphone miliknya. Itu tidak pernah ia lakukan sebelumnya kecuali baterai sudah sekarat.Aku terus kembali memeriksa. Tidak ada pasangannya giwang yang terjatuh di dekat kakiku. Daripada aku bingung, akan aku tanyakan saja pada Mas Satria. Kenapa dari pakaiannya terjatuh sebuah giwang namun tanpa pasangannya.Setelah aku menyimpan pakaian kotor Mas Satria ke keranjang cucian, Mas Satria pun tak lama sudah selesai bersi
"Apa ini … apa ini punya orang itu, ya?" ucap Mas Satrria dengan bingung. Atas ekspresinya akupun dibuat semakin penasaran."Orang itu? Memang yang kamu senggol dan yang kamu tolong itu wanita, ya?" Di sini aku semakin dibuat penasaran. Kalau memang benar kenapa Mas Satria sejak tadi tidak jujur.Mas Satria yang tadi mengernyitkan keningnya pun kini seakan memikirkan mengenai pertanyaanku. Tatapannya seketika mengarah ke wajahku. "Em, iya, tadi aku memang menyenggol seorang perempuan lalu aku tolong dia sampai ke klinik. Dia juga yang tidak sengaja menyenggol handphone aku sampai jatuh." Mas Satria menjelaskan. Entah benar atau tidak katanya dia sama sekali tidak mengenal perempuan itu.Mas Satria pun memutuskan untuk menyimpan giwang yang aku temukan dari celah-celah pakaiannya. Tapi setelah dipikir-pikir dia lebih baik menyimpan benda itu di tanganku, katanya. Nanti jika dia bertemu lagi dengan perempuan itu akan dia tanyakan dan akan mengambilnya dariku.Mas Satria tidak tahu alama
"Oh, iya. Di mana dia?" tanyaku."Di depan, Bu. Dia menunggu di tempat saya.""Baiklah, boleh persilahkan dia masuk ke sini.""Baik, Bu."Asistenku yang bernama Nadya itu telah kembali untuk membawa si Nindi ke mari. Entah untuk apa perempuan gila itu mendatangi tempat kerjaku. Kemarin dia dan Mbak Maya telah kalah olehku, entah ada apa lagi niatnya sekarang ke sini. Apa dia mau branding? Atau mau tanding?Dia itu katanya seorang model, tapi attitude-nya sangat tidak model sekali. Sebenarnya tanganku ini sudah gatal kalau melihat wajahnya. Ingin saja kugaruk sampai wajahnya itu berdarah-darah."Permisi, Bu. Ini Mbak Nindi. Saya permisi ya, Bu."Kini aku bertengadah melihat ke ambang pintu. Nadya sudah mengirim perempuan itu kemari. Tampilannya yang lumayan seksi dengan baju kurang bahan, membuat bola mataku sakit melihatnya. Tampilan Nindi sangat kampungan sekali. Karena sepengetahuanku dan sepengeranku ternyata dia itu seorang muslim.Dia melenggang masuk ke arahku dan duduk di kursi
"Ehm! Apa kamu menginginkan secangkir teh atau air mineral?" Aku menawarkan sekadar basa-basi untuk menetralisir emosi yang sudah menggenggam jiwaku sejak kedatangan perempuan ini.Dia yang duduk dengan angkuh sembari masih melenggak-lenggok Lalu seperti memegangi sebelah kuping yang tak bergiwang itu, menjawab, "oh boleh. Aku mau milkshake. Ada?" Aku menawarkan a dia menginginkan z.Tapi tentu aku harus mempermainkan alur ini. "Oh, di sini tidak hanya ada milkshake, cocktail pun ada. Apa mau?""Cocktail? Seriously?""Jadi kamu ingin minuman yang biasa atau yang beralkohol?""Sudah aku bilang aku hanya meminta milkshake.""Oh baiklah sebentar."Aku langsung memijat nomor khusus yang tertuju langsung ke bagian pantry dengan terus mengendalikan emosi. Aku memesan sesuai apa yang dipesan oleh perempuan gila ini. Aku harus bisa tenang dan memancing apa yang sebenarnya terjadi di hari kemarin.Tak berselang lama pesanan milkshake si Nindy pun tiba di ruanganku. Aku mempersilahkannya untuk
"Jadi, noda lipstik yang berwarna merah di baju Mas Satria itu semalam apa mungkin bekas lipstik dari bibir kamu?"~ Kom Komala ~"Lipstik? Noda lipstik?"Kening Nindi mengernyit dengan sangat kaget. Seharusnya aku yang berekspresi seperti itu yang di sini posisinya sebagai istri Mas Satria. Tapi ini, malah dia yang sepertinya cemburu. Memang wanita kurang aj*r."Iya, di baju Mas Satria ada noda lipstik di bagian kirinya. Apa jangan-jangan itu noda lipstik dari bibir kamu, hah?"Aku berpura-pura kaget. Meski sekarang Aku adalah seorang desainer, namun aktingku juga tak kalah paripurna. Sebisa mungkin aku tidak boleh langsung mengambil keputusan akan apa yang otakku katakan, yang menurutku kurang selaras dengan hati dan perasaan."L–lipstik warna apa?"Perempuan itu bertanya-tanya sembari sedikit memandang ke arah kiri atas akan mengingat-ngingat. Itu artinya dia bingung. "Tolong kamu jawab dengan jujur, apa noda lipstik di pakaian suamiku itu adalah lipstik kamu? Lipstik kamu murahan
Hingga pada akhirnya upaya Nindi membuatku cemburu pun tak sesuai ekspektasi dirinya. Ia pergi usai menggebrak meja dengan angkuh setelah sebuah ancaman dan kemasabodohan yang aku katakan padanya.Aku mengikutinya sampai keluar ruangan, sampai tangan ini dadah-dadah manja saat ia pergi menaiki kendaraan miliknya itu.Karyawanku pasti menatap kejadian ini dengan heran. Mereka pasti bingung, kenapa tamu yang datang, pulang dengan mimik wajah monyet kehabisan akal. Sedangkan aku, yang dikunjungi, keluar dengan mimik wajah singa yang baru saja bertemu dengan jodohnya."Bu, itu siapa? Pakaiannya seksi sekali." Asistenku bertanya sedikit berkomentar. Aku pun jelas langsung menjawab untuk memberikan pemahaman."Itu customer. Nampaknya dia menginginkan pakaian yang lebih modis namun sopan. Ia meminta desain dari kita. Katanya dia kurang nyaman pakai baju kurang bahan seperti itu. Lihat saja, keluar sampai marah-marah. Hemh!" Aku tersenyum sinis."Oh, begitu." Asistenku manggut-manggut. Namun