"Oh, iya. Di mana dia?" tanyaku."Di depan, Bu. Dia menunggu di tempat saya.""Baiklah, boleh persilahkan dia masuk ke sini.""Baik, Bu."Asistenku yang bernama Nadya itu telah kembali untuk membawa si Nindi ke mari. Entah untuk apa perempuan gila itu mendatangi tempat kerjaku. Kemarin dia dan Mbak Maya telah kalah olehku, entah ada apa lagi niatnya sekarang ke sini. Apa dia mau branding? Atau mau tanding?Dia itu katanya seorang model, tapi attitude-nya sangat tidak model sekali. Sebenarnya tanganku ini sudah gatal kalau melihat wajahnya. Ingin saja kugaruk sampai wajahnya itu berdarah-darah."Permisi, Bu. Ini Mbak Nindi. Saya permisi ya, Bu."Kini aku bertengadah melihat ke ambang pintu. Nadya sudah mengirim perempuan itu kemari. Tampilannya yang lumayan seksi dengan baju kurang bahan, membuat bola mataku sakit melihatnya. Tampilan Nindi sangat kampungan sekali. Karena sepengetahuanku dan sepengeranku ternyata dia itu seorang muslim.Dia melenggang masuk ke arahku dan duduk di kursi
"Ehm! Apa kamu menginginkan secangkir teh atau air mineral?" Aku menawarkan sekadar basa-basi untuk menetralisir emosi yang sudah menggenggam jiwaku sejak kedatangan perempuan ini.Dia yang duduk dengan angkuh sembari masih melenggak-lenggok Lalu seperti memegangi sebelah kuping yang tak bergiwang itu, menjawab, "oh boleh. Aku mau milkshake. Ada?" Aku menawarkan a dia menginginkan z.Tapi tentu aku harus mempermainkan alur ini. "Oh, di sini tidak hanya ada milkshake, cocktail pun ada. Apa mau?""Cocktail? Seriously?""Jadi kamu ingin minuman yang biasa atau yang beralkohol?""Sudah aku bilang aku hanya meminta milkshake.""Oh baiklah sebentar."Aku langsung memijat nomor khusus yang tertuju langsung ke bagian pantry dengan terus mengendalikan emosi. Aku memesan sesuai apa yang dipesan oleh perempuan gila ini. Aku harus bisa tenang dan memancing apa yang sebenarnya terjadi di hari kemarin.Tak berselang lama pesanan milkshake si Nindy pun tiba di ruanganku. Aku mempersilahkannya untuk
"Jadi, noda lipstik yang berwarna merah di baju Mas Satria itu semalam apa mungkin bekas lipstik dari bibir kamu?"~ Kom Komala ~"Lipstik? Noda lipstik?"Kening Nindi mengernyit dengan sangat kaget. Seharusnya aku yang berekspresi seperti itu yang di sini posisinya sebagai istri Mas Satria. Tapi ini, malah dia yang sepertinya cemburu. Memang wanita kurang aj*r."Iya, di baju Mas Satria ada noda lipstik di bagian kirinya. Apa jangan-jangan itu noda lipstik dari bibir kamu, hah?"Aku berpura-pura kaget. Meski sekarang Aku adalah seorang desainer, namun aktingku juga tak kalah paripurna. Sebisa mungkin aku tidak boleh langsung mengambil keputusan akan apa yang otakku katakan, yang menurutku kurang selaras dengan hati dan perasaan."L–lipstik warna apa?"Perempuan itu bertanya-tanya sembari sedikit memandang ke arah kiri atas akan mengingat-ngingat. Itu artinya dia bingung. "Tolong kamu jawab dengan jujur, apa noda lipstik di pakaian suamiku itu adalah lipstik kamu? Lipstik kamu murahan
Hingga pada akhirnya upaya Nindi membuatku cemburu pun tak sesuai ekspektasi dirinya. Ia pergi usai menggebrak meja dengan angkuh setelah sebuah ancaman dan kemasabodohan yang aku katakan padanya.Aku mengikutinya sampai keluar ruangan, sampai tangan ini dadah-dadah manja saat ia pergi menaiki kendaraan miliknya itu.Karyawanku pasti menatap kejadian ini dengan heran. Mereka pasti bingung, kenapa tamu yang datang, pulang dengan mimik wajah monyet kehabisan akal. Sedangkan aku, yang dikunjungi, keluar dengan mimik wajah singa yang baru saja bertemu dengan jodohnya."Bu, itu siapa? Pakaiannya seksi sekali." Asistenku bertanya sedikit berkomentar. Aku pun jelas langsung menjawab untuk memberikan pemahaman."Itu customer. Nampaknya dia menginginkan pakaian yang lebih modis namun sopan. Ia meminta desain dari kita. Katanya dia kurang nyaman pakai baju kurang bahan seperti itu. Lihat saja, keluar sampai marah-marah. Hemh!" Aku tersenyum sinis."Oh, begitu." Asistenku manggut-manggut. Namun
Tak usah aku ceritakan kejadian Nindi datang ke tempat kerjaku pada Mas Satria. Lagipula, itu tidaklah penting. Aku takut dia malah overthinking, kepikiran, pada akhirnya dia menemui si wanita kurang waras itu. Aku hanya ingin Nindi berpikir, bahwa aku tidak cemburu dan memang hubunganku dengan Mas Satria baik-baik saja."Bu, Pak, ada Bu Maya datang."Asisten rumah tangga kami memberitahu kedatangan kakak kandungnya Mas Satria. Ini hari Minggu, jadi kami ada di rumah.Aku dan Mas Satria menghampiri Mbak Maya yang nyatanya dia hanya datang sendiri. Ia sudah duduk dengan santai seperti biasa. Attitude-nya memang diragukan sejak kami saling mengenal. Keangkuhannya itu tiada tanding. Kupikir sudah berubah, nyatanya tidak. Skandal sewaktu aku permalukan dia dengan Nindi pun tidak bocor ke telinga Mas Satria. Aku bukan tukang ngadu, selama aku masih bisa mengatasi, suamiku tidak akan tahu menahu."Mbak?" Mas Satria lebih dulu menyapanya, disusul aku. Kami pun segera duduk."Satria." Ia bali
Mas Satria tadi menolehku sesaat tanpa ekspresi yang bisa aku artikan. Kini ia mengarahkan lagi pandangannya pada sang kakak, lalu menanggapi dengan mimik wajah tenang. "Aku paham bagaimana sifat istriku, Mbak. Kalau ada sesuatu hal yang membuat Nindi kurang nyaman, itu pasti karenanya pula."Dengarlah, dia adalah suamiku. Sosok yang selalu melihat dari segala sisi sebelum mengeluarkan pendapat. Tanpa aku melolong, tanpa aku mencari pembelaan, Mas Satria sudah paham. Aku pun kini hanya anteng saja duduk sembari menatap mimik wajah Mbak Maya yang keheranan."Sat, kamu ini gimana sih? Itu artinya, attitude istrimu buruk saat di depan orang lain. Kamu kok gak ada respect-nya sama si Nindi? Dia itu datang baik-baik, malah istrimu menanggapi dirinya kurang enak." Mbak Maya klarifikasi. Sosok dirinya yang tak ingin kalah, dan selalu ingin dipuja, membuat diriku seakan muak. Tapi, aku punya sikap, biarkan suami yang menanggapi. Hasilnya merah atau hijau, aku tidak perlu bicara banyak saat in
"Hemh, kamu ini, Sat. Oiya, kenapa kamu belum juga hamil, Hanah? Apa tidak mau memiliki anak seibu sebapak?" celetuk Mbak Maya lagi. Mulutnya seperti enggan untuk diam. Kalau diam, rasanya seperti akan Jontor. Entah apa tanggapan Mas Satria saat ini. Intinya, dia pasti tersinggung. Karena yang Namanya keturunan, itu direncanakan oleh sepasang suami dan istri."Bagi kami keturunan memang penting. Tapi kalau kami belum memiliki keturunan lagi, itu artinya bukan tidak mau. Mbak Maya ini kalau bicara, dijaga sedikit kenapa? Mbak tidak perlu berkata dengan kalimat yang membuat orang lain kesal. Kita ini saudara, tak seharusnya Mbak memandang kami sesinis ini." Dengan penuh wibawa Mas Satria menanggapinya.Aku hanya diam, berharap hanya Mas Satria saja, itu cukup membuat Mbak Maya bungkam. Sungguh di sini Mbak Maya tidak nampak seperti wanita yang berharga. Dia di depan adiknya seperti tak dihormati karena ucapannya yang sering nyelekit."Sat, aku ini Mbakmu! Aku ini kakakmu. Apalagi usia
"Jadi benar 'kan?" ujar Mas Satria dengan santainya. Mbak Maya seakan termakan oleh alur yang aku saja tidak paham. "Benar apanya? Kamu jangan menghakimi mbakmu ini seperti penjahat deh, Sat!" pekik Mbak Maya. Dia seakan tak ingin ada di posisi yang salah."Mbak jangan bohong, itu tidak baik. Di usia Mbak saat ini seharusnya Mbak rajin-rajinlah beribadah dan berbuat baik. Bukan harus mengurusi kehidupan orang lain dan malah membuat onar keluarga adik Mbak sendiri. Maksud Mbak ingin mendekatkan aku dengan Nindi yang sudah pisah dari suaminya 'kan?" celetuk Mas Satria. Saat ini aku seperti sedang menonton sebuah drama perfilman di mana tokoh yang selalu jahat itu mati karena omongan-omongan protagonisnya."Aduh, Sat. Kayaknya kamu ini cuma ngarang, ya? Udahlah, Mbak sekarang mau pulang. Mbak mau ke mall." Mbak Maya malah seperti tak ingin memperpanjang persoalan ini. Dia seakan tak mau lagi bersilat lidah karena dirinya tahu mengenai hal yang Mas Satria duga.Mbak Maya malah berdiri ak