"Apa ini … apa ini punya orang itu, ya?" ucap Mas Satrria dengan bingung. Atas ekspresinya akupun dibuat semakin penasaran."Orang itu? Memang yang kamu senggol dan yang kamu tolong itu wanita, ya?" Di sini aku semakin dibuat penasaran. Kalau memang benar kenapa Mas Satria sejak tadi tidak jujur.Mas Satria yang tadi mengernyitkan keningnya pun kini seakan memikirkan mengenai pertanyaanku. Tatapannya seketika mengarah ke wajahku. "Em, iya, tadi aku memang menyenggol seorang perempuan lalu aku tolong dia sampai ke klinik. Dia juga yang tidak sengaja menyenggol handphone aku sampai jatuh." Mas Satria menjelaskan. Entah benar atau tidak katanya dia sama sekali tidak mengenal perempuan itu.Mas Satria pun memutuskan untuk menyimpan giwang yang aku temukan dari celah-celah pakaiannya. Tapi setelah dipikir-pikir dia lebih baik menyimpan benda itu di tanganku, katanya. Nanti jika dia bertemu lagi dengan perempuan itu akan dia tanyakan dan akan mengambilnya dariku.Mas Satria tidak tahu alama
"Oh, iya. Di mana dia?" tanyaku."Di depan, Bu. Dia menunggu di tempat saya.""Baiklah, boleh persilahkan dia masuk ke sini.""Baik, Bu."Asistenku yang bernama Nadya itu telah kembali untuk membawa si Nindi ke mari. Entah untuk apa perempuan gila itu mendatangi tempat kerjaku. Kemarin dia dan Mbak Maya telah kalah olehku, entah ada apa lagi niatnya sekarang ke sini. Apa dia mau branding? Atau mau tanding?Dia itu katanya seorang model, tapi attitude-nya sangat tidak model sekali. Sebenarnya tanganku ini sudah gatal kalau melihat wajahnya. Ingin saja kugaruk sampai wajahnya itu berdarah-darah."Permisi, Bu. Ini Mbak Nindi. Saya permisi ya, Bu."Kini aku bertengadah melihat ke ambang pintu. Nadya sudah mengirim perempuan itu kemari. Tampilannya yang lumayan seksi dengan baju kurang bahan, membuat bola mataku sakit melihatnya. Tampilan Nindi sangat kampungan sekali. Karena sepengetahuanku dan sepengeranku ternyata dia itu seorang muslim.Dia melenggang masuk ke arahku dan duduk di kursi
"Ehm! Apa kamu menginginkan secangkir teh atau air mineral?" Aku menawarkan sekadar basa-basi untuk menetralisir emosi yang sudah menggenggam jiwaku sejak kedatangan perempuan ini.Dia yang duduk dengan angkuh sembari masih melenggak-lenggok Lalu seperti memegangi sebelah kuping yang tak bergiwang itu, menjawab, "oh boleh. Aku mau milkshake. Ada?" Aku menawarkan a dia menginginkan z.Tapi tentu aku harus mempermainkan alur ini. "Oh, di sini tidak hanya ada milkshake, cocktail pun ada. Apa mau?""Cocktail? Seriously?""Jadi kamu ingin minuman yang biasa atau yang beralkohol?""Sudah aku bilang aku hanya meminta milkshake.""Oh baiklah sebentar."Aku langsung memijat nomor khusus yang tertuju langsung ke bagian pantry dengan terus mengendalikan emosi. Aku memesan sesuai apa yang dipesan oleh perempuan gila ini. Aku harus bisa tenang dan memancing apa yang sebenarnya terjadi di hari kemarin.Tak berselang lama pesanan milkshake si Nindy pun tiba di ruanganku. Aku mempersilahkannya untuk
"Jadi, noda lipstik yang berwarna merah di baju Mas Satria itu semalam apa mungkin bekas lipstik dari bibir kamu?"~ Kom Komala ~"Lipstik? Noda lipstik?"Kening Nindi mengernyit dengan sangat kaget. Seharusnya aku yang berekspresi seperti itu yang di sini posisinya sebagai istri Mas Satria. Tapi ini, malah dia yang sepertinya cemburu. Memang wanita kurang aj*r."Iya, di baju Mas Satria ada noda lipstik di bagian kirinya. Apa jangan-jangan itu noda lipstik dari bibir kamu, hah?"Aku berpura-pura kaget. Meski sekarang Aku adalah seorang desainer, namun aktingku juga tak kalah paripurna. Sebisa mungkin aku tidak boleh langsung mengambil keputusan akan apa yang otakku katakan, yang menurutku kurang selaras dengan hati dan perasaan."L–lipstik warna apa?"Perempuan itu bertanya-tanya sembari sedikit memandang ke arah kiri atas akan mengingat-ngingat. Itu artinya dia bingung. "Tolong kamu jawab dengan jujur, apa noda lipstik di pakaian suamiku itu adalah lipstik kamu? Lipstik kamu murahan
Hingga pada akhirnya upaya Nindi membuatku cemburu pun tak sesuai ekspektasi dirinya. Ia pergi usai menggebrak meja dengan angkuh setelah sebuah ancaman dan kemasabodohan yang aku katakan padanya.Aku mengikutinya sampai keluar ruangan, sampai tangan ini dadah-dadah manja saat ia pergi menaiki kendaraan miliknya itu.Karyawanku pasti menatap kejadian ini dengan heran. Mereka pasti bingung, kenapa tamu yang datang, pulang dengan mimik wajah monyet kehabisan akal. Sedangkan aku, yang dikunjungi, keluar dengan mimik wajah singa yang baru saja bertemu dengan jodohnya."Bu, itu siapa? Pakaiannya seksi sekali." Asistenku bertanya sedikit berkomentar. Aku pun jelas langsung menjawab untuk memberikan pemahaman."Itu customer. Nampaknya dia menginginkan pakaian yang lebih modis namun sopan. Ia meminta desain dari kita. Katanya dia kurang nyaman pakai baju kurang bahan seperti itu. Lihat saja, keluar sampai marah-marah. Hemh!" Aku tersenyum sinis."Oh, begitu." Asistenku manggut-manggut. Namun
Tak usah aku ceritakan kejadian Nindi datang ke tempat kerjaku pada Mas Satria. Lagipula, itu tidaklah penting. Aku takut dia malah overthinking, kepikiran, pada akhirnya dia menemui si wanita kurang waras itu. Aku hanya ingin Nindi berpikir, bahwa aku tidak cemburu dan memang hubunganku dengan Mas Satria baik-baik saja."Bu, Pak, ada Bu Maya datang."Asisten rumah tangga kami memberitahu kedatangan kakak kandungnya Mas Satria. Ini hari Minggu, jadi kami ada di rumah.Aku dan Mas Satria menghampiri Mbak Maya yang nyatanya dia hanya datang sendiri. Ia sudah duduk dengan santai seperti biasa. Attitude-nya memang diragukan sejak kami saling mengenal. Keangkuhannya itu tiada tanding. Kupikir sudah berubah, nyatanya tidak. Skandal sewaktu aku permalukan dia dengan Nindi pun tidak bocor ke telinga Mas Satria. Aku bukan tukang ngadu, selama aku masih bisa mengatasi, suamiku tidak akan tahu menahu."Mbak?" Mas Satria lebih dulu menyapanya, disusul aku. Kami pun segera duduk."Satria." Ia bali
Mas Satria tadi menolehku sesaat tanpa ekspresi yang bisa aku artikan. Kini ia mengarahkan lagi pandangannya pada sang kakak, lalu menanggapi dengan mimik wajah tenang. "Aku paham bagaimana sifat istriku, Mbak. Kalau ada sesuatu hal yang membuat Nindi kurang nyaman, itu pasti karenanya pula."Dengarlah, dia adalah suamiku. Sosok yang selalu melihat dari segala sisi sebelum mengeluarkan pendapat. Tanpa aku melolong, tanpa aku mencari pembelaan, Mas Satria sudah paham. Aku pun kini hanya anteng saja duduk sembari menatap mimik wajah Mbak Maya yang keheranan."Sat, kamu ini gimana sih? Itu artinya, attitude istrimu buruk saat di depan orang lain. Kamu kok gak ada respect-nya sama si Nindi? Dia itu datang baik-baik, malah istrimu menanggapi dirinya kurang enak." Mbak Maya klarifikasi. Sosok dirinya yang tak ingin kalah, dan selalu ingin dipuja, membuat diriku seakan muak. Tapi, aku punya sikap, biarkan suami yang menanggapi. Hasilnya merah atau hijau, aku tidak perlu bicara banyak saat in
"Hemh, kamu ini, Sat. Oiya, kenapa kamu belum juga hamil, Hanah? Apa tidak mau memiliki anak seibu sebapak?" celetuk Mbak Maya lagi. Mulutnya seperti enggan untuk diam. Kalau diam, rasanya seperti akan Jontor. Entah apa tanggapan Mas Satria saat ini. Intinya, dia pasti tersinggung. Karena yang Namanya keturunan, itu direncanakan oleh sepasang suami dan istri."Bagi kami keturunan memang penting. Tapi kalau kami belum memiliki keturunan lagi, itu artinya bukan tidak mau. Mbak Maya ini kalau bicara, dijaga sedikit kenapa? Mbak tidak perlu berkata dengan kalimat yang membuat orang lain kesal. Kita ini saudara, tak seharusnya Mbak memandang kami sesinis ini." Dengan penuh wibawa Mas Satria menanggapinya.Aku hanya diam, berharap hanya Mas Satria saja, itu cukup membuat Mbak Maya bungkam. Sungguh di sini Mbak Maya tidak nampak seperti wanita yang berharga. Dia di depan adiknya seperti tak dihormati karena ucapannya yang sering nyelekit."Sat, aku ini Mbakmu! Aku ini kakakmu. Apalagi usia
PoV Maya***Akhirnya kami bisa mendapatkan tiket dadakan meskipun harganya memang mahal. Aku tiba di NTT subuh-subuh. Aku berharap di sini bisa bertemu dengan suami yang entah di mana menginapnya. Yang jelas di sini banyak hotel yang bisa saja menjadi kemungkinan tempatnya menginap."Ma, enak juga ya liburan ke sini. Udah lama nggak ke sini," kata anakku dengan tengilnya. Ke sini kami akan melabrak pelakor tapi dia malah mementingkan pemikirannya mengenai liburan."Kamu bukan mau enak-enakan ke sini, tapi kamu mau labrak papamu yang berbohong sama Mama.""Halah, Ma, Ya sambil liburan aja. Aku juga akan tanyain ke orang-orang untuk melihat detail dari fotonya si Nindy. Siapa tahu mereka mengetahui ada di mana posisi tersebut.""Iya, soalnya waktu kita ke sini pun bukan hotel seperti itu bentukan dalamnya.""Iya, Ma. Aku akan tanyakan."Baru turun dari bandara darah ini sudah mendidih lagi. Kalau dicek suhunya Mungkin saja bisa sampai ratusan derajat. Begini memang enaknya banyak uang,
PoV Maya***"Maaf, Bu, saya memang pergi ke Pontianak tapi dengan GM perusahaan. Kalau bapak sepertinya ada kepentingan yang lain, Bu. Bapak tidak di sini dengan kami. Kami juga akan pulang besok hari."Aku sangat kaget mendengar pernyataan dan penjelasan yang dikatakan oleh asisten pribadi suami. Ternyata benar, Mas Brata tidak pergi ke Pontianak melainkan dia sedang berada di tempat lain. Bagaimana tidak kini batinku semakin rusuh. Aku telah menduga hal-hal lain yang semakin negatif dari sebelumnya."Kamu Beneran tidak sedang dengan bapak?" tanyaku untuk kembali memastikan. Siapa tahu memang suamiku ada di sana tapi tidak sedang berada dengan mereka."Memangnya Ibu tidak tahu bapak ke mana? Saya pikir beliau akan menghubungi Ibu. Memang sejak 3 hari yang lalu, bapak ke sini dulu, hanya saja beliau langsung pergi. Tapi beliau tidak mengatakan akan pergi ke mana. Saya pikir beliau kembali lagi ke sana."Deg!Semakin tajam saja pemikiranku ini atas apa yang sedang dilakukan oleh suam
PoV Maya***Kalau tidak salah aku memang pernah membeli celana kolor itu untuk si Papa. Kalau beli aku tidak hanya satu tapi ada beberapa namun dengan motif yang sama. Aku pun segera mengecek ke rumah, ke lemari pakaian si papa untuk melihat apakah benar atau tidak Itu mirip dengan yang si papa pakai.Aku langsung menuju lemari dan melihat untuk menyamakan celana kolor yang ada di postingan si Nindi itu dengan milik suami. Gila saja otakku memikirkan mengenai mereka. Tidak mungkin anak itu mau dengan suamiku. Mas Brata kan sudah tua."Ma, gimana mama udah ketemu?" tanya anakku."Ketemu apa?" ucapku balik."Ya disamain itu kolornya si papa sama si Nindi. Jangan-jangan perempuan itu lagi sama si papa."Dugaan putriku benar-benar membuatku marah dan kesal. Tidak mungkin Nindy melakukan hal itu, bisa jadi memang pria itu memiliki celana kolor yang sama dengan suamiku."Kamu jangan ngomong macam-macam. Si Nindy itu seleranya si Satria bukan si papa. Kamu jangan macam-macam kalau ngomong.
"Heh, kamu jangan ngada-ngada ya, Res. Stop bikin kisruh Papa dan Mama. Kamu jangan sampaikan berita-berita kayak gitu. Aku tahu kok kalau kamu mungkin sengaja ingin membuat rusuh suasana. Kamu tahu kan kalau mama dan papa itu memang pernah ada konflik." Putrinya Mbak Maya nimbrung tidak menerima atas apa yang diinformasikan oleh Resti."Ya, bukan begitu. Hanya kalau beneran ke Lombok kok gak ngajak-ngajak sih." Hanya itu tanggapan Resti. "Coba kamu telepon di mana papa kamu sekarang. Coba VC!" Mbak Maya tiba-tiba menyuruh putrinya untuk melakukan video call dengan papanya. Akhirnya memang itu dilakukan oleh putrinya Mbak Maya.Resti sedikit nyengir karena dia seperti salah telah mengatakan hal itu. Jadi memang dia pikir Mas Brata itu pergi ke Lombok."Gak diangkat, Ma. Mungkin papa sedang sibuk," ujar putrinya Mbak Maya. Dia seperti mencoba berulang kali namun sepertinya hasilnya sama."Coba biar Mama yang hubungin." Mbak Maya yang menghubungi suaminya. Dia juga sepertinya tidak me
Saat ini usia kehamilanku sudah menginjak 4 bulan. Tidak terasa waktu ini sangat singkat sehingga kami hanya menunggu lahiran 5 setengah bulan lagi. Aku dan suami belum melakukan USG karena janinnya juga pasti baru terbentuk dan bernyawa. Biarkan nanti saja setelah mendekati waktu persalinan kami melihat si jabang bayi. Kami sudah memiliki dua anak perempuan dan keinginannya adalah bayi laki-laki. Hanya saja setelah aku pikirkan mau perempuan mau laki-laki yang lahir itu adalah kehendak dari Tuhan. Itu adalah rezeki yang harus kami jaga sebisa kami dan semampu kami.Di rumah hari ini ada selamatan 4 bulanan. Di waktu inilah katanya janin kami diberikan nyawa. Maka dari itu tasyakuran 4 bulanan lebih diutamakan. Apalagi sebagai salah satu cara kami untuk mengeluarkan rezeki dan berbagi dengan orang-orang sekitar. Tetangga dan anak-anak yatim kami undang ke rumah. Semua keluarga pun tentu tidak terlupakan.Hanya doa yang kami pinta dari mereka. Semoga calon bayi kami kelak lahir dengan
Aku tadi melihat dari kaca spion, anaknya Mbak Maya dengan brutal lari ke arah kendaraan milik papanya. Dia berhasil menyergap perempuan yang sedang bersama ayahnya dan entah hal apa yang dia lakukan. Ibu, bapak, dan anak sama saja. Sama songongnya dan sama pintar berskenario.Saat ini aku masih berkendara membelah jalan raya untuk sampai di rumah. Perasaan, dari tadi di belakang ada yang mengikuti. Dari kaca spion depan dan samping aku bisa melihatnya. Mobil itu terus saja membuntutiku.Ah, teringat dengan skenario Mas Brata kemarin. Aku tak boleh terjebak lagi. Sejak saat ini aku harus lebih hati-hati, bahaya memang selalu mengancam.Aku injak pedal gas untuk menghasilkan kecepatan yang lebih tinggi. Kulihat pula kendaraan di belakang semakin kencang melajunya, jelas-jelas kendaraan itu memang mengikuti kendaraanku.Saat ini aku akan memancing kendaraan itu untuk mengarah ke jalan yang sunyi. Aku sudah menghubungi seseorang untuk menolongku. Aku menginformasikan padanya ada kendaraa
"Alhamdulillah, kamu sudah pulang, Sayang. Sepi di rumah ini tanpa kamu. Kaila juga hanya diem terus."Kedatangan putri kami Afni ke rumah membuat kami gembira. Dia telah membawa nama baik sekolah dalam event kemarin. Mereka membawakan dengan lancar, karena video rekaman pun dikirim dari pengajar Afni di sekolah. Sungguh luar biasa mereka."Mbak, jangan pergi lama-lama lagi. Aku di rumah gak ada temen!" Kaila berkomentar pada kakaknya yang sudah tiba sejak beberapa jam yang lalu ini. Pastinya dia rindu karena tak ada yang bisa diusili."Ah, kamu kalau ada Mbak suka usil. Kalau gak ada, kangen ya?" tebak Afni, sehingga mereka pun kini tengah bersama-sama bercanda kembali. Aku tak bisa untuk tidak bersyukur melihat kebahagiaan ini.Berumah tangga dengan Mas Satria teramat membuat hati gembira. Hanya saja memang godaan-godaan dari orang luar yang selalu membumbui keluarga kami. Tapi kami harus bisa melewati dan menghadapinya. Aku yakin, ketika kami sudah berjuang dan berusaha, semuanya a
Mas Satria kini melihat bukti yang aku perlihatkan kepadanya dengan teliti. Tak ada rekayasa apapun di sana memang apa adanya.Kini Mas Satria menarik nafas kasar lalu ia menyimpan handphone milikku di atas meja. Ia menoleh kakak kandungnya yang usianya sudah sepuh itu namun terlihat sangat kekanak-kanakan."Kenapa Mbak tega menuduh istriku sebagai pelakor hanya mereka bertemu di kafe saja? Apa Mbak tidak pernah bertemu dengan keluarga Mbak di kafe?" Pertanyaan Mas Satria langsung membuat mimik wajah Mbak Maya syok. "Sat, kamu tidak paham ya? Mbak denger sendiri kalau suami Mbak itu akan bertemu dengan seorang wanita. Namun ternyata setelah Mbak ikuti mereka sedang duduk di kafe berdua. Apa kamu masih mau menduga kalau perempuan itu bukan istrimu? Itu jelas-jelas perempuan yang ditelepon oleh suami Mbak sendiri." Mbak Maya nyerocos menjelaskan seperti rel kereta api.Lalu kini didukung putrinya yang sama bencinya kepadaku saat ini. "Iya, Om Satria harus percaya kalau istri Om Satria
"Mas, ada Mbak Maya ke mari dengan putrinya. Pasti ingin bicara sama kamu."Keluar dari kamar mandi, aku segera memberitahukan ini kepada suami. Padahal Mas Satria belum berbusana selain handuk yang melilit di pinggang. Jelas saja Mas Satria yang heran karena ekspresi wajahku ini mempertanyakan."Ada apa memangnya?" Ia sembari mengeringkan rambut dengan cara menggosoknya dengan handuk yang lain. "Em, pakai baju dulu ya, Mas? Maaf." Aku memang terlalu cepat memulai bicara. Padahal, seharusnya aku diam saja dulu, biar nanti setelah dia beres lalu buka suara.Mas Satria pun mengangguk. Ia mengikuti arahanku untuk segera mengenakan pakaian khusus sore menjelang tidur.Setelah Mas Satria berpakaian rapi, kami berdua mulai keluar dari kamar. "Ada apa Mbak Maya, ya?" tanyanya kembali. Dengan kedatangan perempuan yang sering membuat dia kesal itu tentu saja aneh."Mas, ini akan jadi jawaban atas memarnya pipiku." Hanya itu pungkasku.Begitu kagetnya ketika Mas Satria mendengar apa yang aku