"Arkh!" Mas Jimy merintih. Pak Satria layangkan tonjokkan di pipi kirinya. Pasti sakit sekali."Anda jangan asal bicara. Saya bisa bawa ini ke jalur hukum atas kasus pencemaran nama baik." Dengan gagah perkasa setelah menarik kemeja Pak Satria angkat bicara. Nadanya tak terlalu tinggi tapi ada hentakkan di setiap kata demi kata.••"Alah! Aku juga tahu! Mana punya uang dan mana mau kamu di sewa gratisan!" Mas Jimy tak juga menyesal setelah bicara. Sambil memegangi pipi yang sakit, dia malah menghina Pak Satria. Aku benar-benar malu."Jaga bicara kamu, Mas Jimy! Dari dulu kamu memang tidak beradab. Bicaramu seperti orang yang tidak berpendidikan. Bahkan orang yang tak berpendidikan tinggi seperti kamu pun punya etika yang lebih baik. Ini! Kamu yang katanya makan bangku esde sampai makan bangku kuliah, ternyata mulut kamu tak juga mendapat didikan. Kamu tak lebih dari pria yang hanya sekolah karena gengsi saja. Etika kamu, pendidikan kamu, nol besar, Mas!" Tak tahan lidah ini ingin berg
"Bu, Hanah sama Afni mau ke pasar dulu. Mau beli pakaian buat Afni beberapa. Kan kebanyakan masih di rumah yang dulu. Kalau kesana Hanah takut." Aku ijin pada Ibu untuk pergi ke pasar bersama putri kecilku."Oh iya, hati-hati.""Nenek gak apa-apa di tinggal sendiri?" Anakku khawatir pada neneknya.Ibu menggelengkan kepala lalu ia membungkuk untuk mengelus pipi Afni. "Gak apa-apa dong, Nak. Nenek 'kan bentar lagi mau buka warung. Semuanya juga sudah siap di bantu sama Ibu kamu. Kalau mau pergi, pergi saja. Jaga diri kalian baik-baik." Ibu berpesan. Kini ia kembali berdiri."Nenek mau apa?" tanya putriku."Oleh-olehnya?" kata anakku. Ibu menyeringai. "Ah gak mau apa-apa. Yang penting kalian selamat. Pulangnya jangan terlalu sore, ya." Ibu kembali berpesan."Apa Nenek mau es krim?" tanya anakku lagi. Dasar bocah. Aku hanya tersenyum.Ibu menggelangakan kepala lagi. "Enggak, ah. Gigi Nenek udah gak kuat. Entar gigi Nenek sakit. Suka kesentak uratnya. Sakit. Nenek 'kan sudah sepuh, Nak." I
"Oh, mau ke pasar?""Em, iya, Pak." Aku manggut-manggut."Kalau gitu saya antar saja. Kalau nunggu angkutan lama. Di sebelah sana juga banyak yang menunggu, Mbak. Di bahu jalan. Tapi sepertinya angkot pada penuh." Pak Zen menjelaskan. Ternyata benar, banyak penumpang angkot hari ini."Biar saja saya menunggu, Pak, maksudnya, saya sama anak saya menunggu saja. Kami tidak terburu-buru, kok." Aku menjawab. "Gak apa-apa. Sekalian saya juga mau beli baju buat Helen. Buat pentas seni akhir semester. Katanya dia harus beli kebaya dan perlengkapan wanita lainnya." Pak Zen memberi alasan."Oh gitu ya, Pak?" tanggapku."Iya, lebih baik kalian bareng saja sama kami. Oh ya, gimana kalau Mbak Hanah bantu pilihkan baju kebaya buat anak saya. Saya 'kan awam soal kebaya." Pak Zen menggaruk keningnya yang tak gatal. Mungkin dia malu. Tapi kasihan juga seorang ayah harus mencarikan benda-benda anak gadisnya. Huwh ... gimana ini?"Tapi ....""Gimana, Afni mau?" Pak Zen bertanya pada anakku. Otomatis Af
"Mbak Hanah dan Afni gak usah ke pasar. Belanjanya di sini saja. Biar gak terlalu muter-muter nyari barangnya. Di sini juga komplit." Pak Zen menjelasakan."Nanti saja pulangnya saya ke pasar, Pak. Sekarang saya akan bantu carikan pakaian saja buat Helen." Aku menjawab."Ayok!" Pak Zen sudah ancang-ancang keluar, pun kami menyusul. Ah biarlah, nanti aku balik lagi ke pasar. Sambil pulang.Tak lama berjalan karena kami memakai lift untuk naik, sampailah kami di lantai tiga. Pak Zen yang menekan tombol di lift, karena aku tak terlalu tahu dimana letak penjual kebaya.Akhirnya kami sampai. Benar saja, bermacam-macam busana terpampang. Bagian kiri khusus tema kebaya dan pakaian-pakaian daerah. "Kamu harus pakai kebaya apa, Sayang?" tanyaku pada Helen. "Kebaya apa saja. Warnanya harus merah muda, Tante. Buat menari," jawabnya. Kami sudah berada tepat di depan toko. "Mau kebaya modern atau tradisional?" tanyaku lagi. "Tradisional saja, Tante. Ibu guru suruhnya seperti itu." Helen menjawab
"Terima kasih ya, Pak, saya jadi gak enak. Ini belanjaan banyak sekali." Kami sudah berjalan ke arah lantai dasar mall. Sengaja pakek eskalator biar sambil lihat-lihat saja."Saya yang terima kasih, Mbak Hanah. Mbak sudah mau temani anak saya pilih baju," jawabnya."Sama-sama, Pak.""Jangan di buang bajunya ya, Mbak," katanya lagi. Aku terkekeh. "Ya ampun, mana mungkin saya buang baju ini, Pak. Tapi memang Bapak terlalu berlebihan," ujarku lagi. Anak-anak jalan di depan kami."Gak berlebihan, kok. Mbak Hanah santai saja. Jangan gak enak hati seperti itu." "Oh ya, bagaimana dengan sidang perceraian kalian?" Kini Pak Zen bertanya soal perceraianku dengan Mas Jimy."Baru sidang pertama, Pak. Sidang selanjutnya juga akhir bulan ini," jawabku."Oh, seperti itu?" Aku mengangguk.Tak berlama-lama lagi kami langsung bergegas pulang. Apalagi kami sudah satu jam ada di dalam mall. Tak terasa. Padahal hanya membeli sebuah kebaya saja. Tapi, kalau ke pasar, mungkin juga lebih lama dari ini.***
Memang kalau belanja dari pasar biasanya belanjaan di kemas dengan kresek hitam saja. "Kok lesu gitu jawabnya?" Ibu bertanya lagi. Memang bagaimanapun aku makin tidak enak hati. "Gak enak saja, Bu, terlalu di belanjakan kayak gini." "Tapi kamu gak minta, kan?" "Enggak lah, Bu. Afni juga katanya di tawari gak mau. Tapi pak Zen tetap memaksa." Mata Ibu mengedip sendu. "Ya sudah, Alhamdulillah saja. Ini rezeki. Bukan kamu yang minta. Tapi ... istrinya?" Ibu bertanya perihal Pak Zen. Dan memang tak aku jelaskan kalau Pak Zen adalah seorang duda."Dia seorang duda, Bu. Baru saja proses perceraian mereka selesai." "Oh begitu? Pantas saja. Ibu pikir kamu di bawa sama laki-laki beristri, Han.""Ibu, ya enggak lah, Bu. Itu juga karena pak Zen meminta Hanah untuk pilihkan baju kebaya anaknya." Alisku dua-duanya meninggi."Apa ... jangan-jangan dia suka sama kamu?" kata Ibu. Benar-benar membuatku kaget. "Ah, Ibu, gak mungkin. Dia itu owner hotel, Bu. Seleranya tinggi. Mantan istrinya saja p
Malam ini kuhamparkan sajadah di atas tikar berukuran agak lebih besar dari sajadahnya. Lalu kuraih mukenah yang di lipat di dalam lemari. Waktu tepat menunjukkan pukul dua malam. Suara-suara katak di dalam kolam samping rumah tetangga terdengar menghiasi keheningan malam. Seokan angin terasa sangat menusuk kulit. Mungkin karena ventilasi kamar ada beberapa. Anginnya menerobos masuk. Menjadikan kita yang tidur itu amat terlelap. Saat bangun ingin tidur lagi. Itulah godaan beribadah tengah malam. Ada bisikan-bisikan khusus dari penggoda iman supaya kita lebih baik terlelap tidur daripada harus pergi ke kamar mandi untuk membasuh diri dengan air wudhu. Maka dari itu shalat tengah malam pahalanya amat besar. Mukenah telah kukenakan. Wajah ini masih terasa basah dengan air wudhu. Kubilas dengan handuk pun tadi hanya sekilas."Bu," ucap seseorang. Suaranya gadis belia. Dan dia adalah anakku."Afni? Bangun?" tanyaku dengan senyuman."Antar ke kamar mandi dong, Bu. Afni juga mau ambil wudh
"Loh, kok Mbak-mbak bicara seperti ini? Saya kapan ganggu tetangga, ya? Siapa yang bilang?" Aku mendapat ocehan dari tetangga mengenai masalah pribadi. Dan itu menyinggung statusku sebagai seorang istri yang sebentar lagi akan menjadi janda.Tiba-tiba ada Mbak Uri datang. "Iya, saya saksinya. Kamu godain suami saya. Saya lihat dengan mata kepala saya sendiri."Degh!Kedua bola mataku terbelalak. "Apa? Mbak Uri jangan asal tuduh saya ya, Mbak!" Kuelus dada beberapa kali setelah mengeluarkan nada tinggi."Ada apa, Han?" Ibu menghampiri kami di depan pintu. Ia nampak heran dan tak tahu apapun. Untungnya Afni masih di dalam."Ini, Bu, anak Ibu kemarin godain suami saya. Saya saksinya. Terus anak Ibu juga godain mas Ipul, suami mbak Emi. Saya lihat kemarin." Apa yang di katakan oleh mereka jelas-jelas fitnah. Sama sekali aku tidak pernah menganggu suami mereka."Masya Allah, anak saya bukan wanita seperti itu, Bu-ibu, jangan asal tuduh saja." Ibu membelaku. Wajahnya mengiba.Ada dua orang