Aduh bapak hampir lupa, Cokro. Ya tukang bersih-bersih itu. Dia sangat terobsesi dengan senam. Setiap Rabu pagi, dia rutin ikut senam di belakang barisan siswa."Pak, bapak yakin kalau pembunuh Veli adalah Cokro?" Tanya Eldi.
"Iya, bapak pernah bilang kalau Cokro belum sempat diperiksa polisi, tapi sudah meninggal dikeroyok siswa," ujar Gina."Bapak sendiri tidak yakin kalau Cokro pelakunya, tapi kasus itu sama sekali tidak pernah terungkap sampai sekarang," jelas Pak Gimin."Pak, saya yakin kalau kematian siswa di sekolah kita itu karena roh Cokro yang marah. Dia dituduh dan dibunuh begitu saja, siapa tahuCokro bukan pelakunya," Gina mengeluarkan kegelisahannya selama ini."Sudahlah Gina, Eldi. Kalian masih terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti ini.Gina menanyakan lokasi makam Cokro pada Pak Gimin, ia ingin berziarah dan meminta maaf mewakili semua siswa SMA Setia Bakti. Dengan harapan Cokro tidak lagi mengganggu siswa di sekolahnya.Di sampingSangat menyenangkan kalau liburan diisi dengan pergi ke pantai bersama sahabat.Tapi akan jadi trauma mendalam kalau akhirnya malah terjebak di tempat dan waktu yang salah.Alena akan bercerita pengalaman seramnya ketika berlibur di Pangandaran, “Lo denger gak?” Bisik Della pelan, sambil menatapku yang duduk di sampingnya.“Denger apaan?” Jawabku.“Kecilin tv-nya coba bentar.” Kata Della lagi.Aku turuti kemauannya, lalu mengecilkan volume suara tv.Kemudian hening, karena vila sebesar ini hanya berisi kami berdua, “Ah, gak ada suara apa-apa Dellaaaaaa. Udah ah, lagi seru nih acaranya.” Begitu aku bilang ketika sudah mengecilkan volume tv tapi tetap gak mendengar suara apa-apa.“Tadi ada suara, gw denger, sekarang hilang.” Jawab Della..Sudah jam 11 malam, Devin dan Bayu belum juga kembali, tadi jam sembilan sebelu
Teman-teman yang lain begitu menikmati suasana pagi hingga menjelang siang di pantai, tapi aku masih saja memikirkan kejadian yang baru saja terjadi di vila.Gak mau merusak suasana, aku bersikeras untuk gak menceritakannya ke teman-teman.Singkat cerita, kamis pagi itu kami habiskan dengan menikmati suasana pantai.Setelahnya kami pulang kembali ke vila.Masih jam 12, kami sudah sampai di vila. Tapi, sementara teman yang lain langsung istirahat, aku malah berkeliling untuk melihat-lihat lingkungan sekitar.Saat itulah aku baru sadar kalau ternyata halaman belakang sangat luas, sampai-sampai pagarnya nyaris gak kelihatan, karena jauh dan juga tertutup pepohonan serta rumput ilalang.Beberapa pohon besar berdiri tegak, membuat suasana menjadi agak teduh walaupun sinar matahari menyengat terik.Aku terus berjalan berkeliling melihat-lihat.Bagian yang masih dekat vila memang kelihatan terawat dan rapi, tapi berbeda
Hantu Penunggu VilaJessica sahabatku mengajak untuk menginap 3 malam di Villa keluarganya di daerah Batu, Jawa . Sebenarnya aku enggan, karena hal ini mengingatkan akan kenangan masa kecil yang masih membuatku trauma hingga sekarang.Saat itu usiaku baru 8 tahun, ketika keluarga Ibu mengajak kami berlibur di Vila yang baru saja dibangun. Vila tersebut memiliki bangunan 4 lantai, dari luar semua tampak normal dan sama sekali tidak menunjukkan kesan seram.Aku yang saat itu masih kecil dan bosan karena harus melihat orang dewasa sibuk bercerita, memutuskan untuk turun ke bawah. Bawah merupakan ruangan basemant yang disulap menjadi kamar, lengkap dengan kamar mandi yang seluruhnya bertembok kaca.Pada saat siang hari semua tampak begitu indah, belum lagi pada zaman itu bangunan yang dipenuhi kaca masih jarang. Namun jangan harap kamu akan merasa nyaman ketika malam tiba.Keganjilan pertama yang kutemui adalah menemukan jejak kaki anak kecil di lantai, tidak se
Horor Villa Tua LembangAku Nisa, akan bercerita tentang pengalaman seram yang aku alami pada tahun 2011, bersama empat sahabat kampus, berlibur menghabiskan libur akhir pekan panjang di Bandung.Waktu itu kami masih kuliah tingkat akhir.Sama seperti anak-anak muda kebanyakan lainnya, Aku, Hani, Putri, Danang, dan Dimas punya rencana untuk menginap di kota kembang dengan mencari rumah atau Villa, bukan hotel per kamar, jadi bisa lebih leluasa untuk melakukan kehebohan tanpa harus khawatir mengganggu orang lain.Singkatnya, atas rekomendasi teman dari ayahnya Danang, kami memutuskan untuk menyewa satu villa besar bertingkat di daerah Lambang.Menurut Danang, teman ayahnya bilang kalau villa ini memiliki lahan yang luas, jadi gak berdempetan dengan villa atau bangunan lain, dan juga letaknya masih sangat asri dan banyak pepohonan, katanya sih gitu.“Iya, kata temen bokap gw, Villa ini gede, bagus, baru direnovasi, halamann
Sekelompok perempuan muda menginjakkan kakinya di area LPK ( Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan ). Tawa mereka riang, penuh suka cita menyambut mimpi kecil mereka. Kegembiraan makin bertambah ketika mereka bercengkerama dengan siswa lain dari beragam daerah. Saling menyapa, kemudian berkenalan. Tak dihiraukan penat yang menyelimuti raga karena kebahagiaan adalah tercapainya harapan dan impian.Akhirnya kelelahan mulai menghinggapi tubuh mereka hingga berbalut keringat. Peluh pun mulai mengaliri kening dan pelipis yang tak lagi bersih, penuh debu. Ada keinginan tak tertahankan untuk meluruskan kaki-kaki panjang mereka di ranjang berkasur empuk. Huuf! Tubuh mereka butuh istirahat!Waktu beranjak cepat hingga di ujung senja. Pelatihan di hari pertama usai sudah. Mereka segera berlari menuju asrama putri. Tiba di depan asrama, mereka pandangi bangunan tua berwarna kuning pucat itu. Sebuah bangunan dengan arsitektur klasik dan berjendela kayu jati. Pintu kayu berd
“Itu di depan mobil siapa Pa?”“Hehe, bagus kan? Temen Papa di kantor jual murah banget. Ya udah Papa beli deh”“Waaah, kenapa beli mobil tua sih, sering mogok loh nanti.”“Enak aja kamu, mesinnya masih bagus itu, bodinya juga mulus kan, hehehe.”Itu percakapan dengan Ayah ketika aku baru sampai rumah sepulang kuliah.Percakapan yang dipicu oleh keherananku ketika melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Mobil yang telihat umurnya sudah cukup tua, tapi bisa dibilang masih bagus penampilannya, bodi mulus mengkilat.“Papa ini ada-ada aja, mobil tua dan kuno kok dibeli.” Lanjutku.“Itu mobil klasik, antik, bukan mobil tua. Dasar kamu ya.” Jawab Papa sambil terus serius melihat ponsel di tangannya.Tapi benar juga sih, mobil yang baru papa beli ini adalah BMW seri 3 tahun 80an, warna silver mengkilat, seperti aku bilang tadi, bodinya masih ke
Aku Rizky, Mahasiswa angkatan 2005 salah satu kampus di Jatinangor, Jawa Barat.Yang akan aku ceritakan kali ini adalah peristiwa yang aku alami sendiri pada tahun 2006.Begini ceritanya..Seperti mahasiswa lain yang berasal dari luar daerah di mana letak kampus berada, aku yang berasal dari Sukabumi harus ngekost juga.Tempat kostku gak teralu jauh dari kampus, masih bisa dijangkau dengan jalan kaki untuk pulang pergi kuliah.Dan, sama juga dengan sebagian besar anak kost lainnya, aku juga mengandalkan transportasi umum kalau harus ke tujuan agak jauh, salah satunya angkot.Ngomong-ngomong soal angkot, boleh dibilang aku sangat jarang menggunakannya, karena tempat kost berada di tengah-tengah, jadi kalau mau ke mana-mana masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki.Kalau mau ke tempat tujuan jauh naik apa dong?.Nah, kalau melihat letak di mana Jatinangor berada, yaitu di antara kota Bandung d
“Itu di depan mobil siapa Pa?”“Hehe, bagus kan? Temen Papa di kantor jual murah banget. Ya udah Papa beli deh”“Waaah, kenapa beli mobil tua sih, sering mogok loh nanti.”“Enak aja kamu, mesinnya masih bagus itu, bodinya juga mulus kan, hehehe.”Itu percakapan dengan Ayah ketika aku baru sampai rumah sepulang kuliah.Percakapan yang dipicu oleh keherananku ketika melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Mobil yang telihat umurnya sudah cukup tua, tapi bisa dibilang masih bagus penampilannya, bodi mulus mengkilat.“Papa ini ada-ada aja, mobil tua dan kuno kok dibeli.” Lanjutku.“Itu mobil klasik, antik, bukan mobil tua. Dasar kamu ya.” Jawab Papa sambil terus serius melihat ponsel di tangannya.Tapi benar juga sih, mobil yang baru papa beli ini adalah BMW seri 3 tahun 80an, warna silver mengkilat, seperti aku bilang tadi, bodinya masih ke
Aduh bapak hampir lupa, Cokro. Ya tukang bersih-bersih itu. Dia sangat terobsesi dengan senam. Setiap Rabu pagi, dia rutin ikut senam di belakang barisan siswa."Pak, bapak yakin kalau pembunuh Veli adalah Cokro?" Tanya Eldi."Iya, bapak pernah bilang kalau Cokro belum sempat diperiksa polisi, tapi sudah meninggal dikeroyok siswa," ujar Gina."Bapak sendiri tidak yakin kalau Cokro pelakunya, tapi kasus itu sama sekali tidak pernah terungkap sampai sekarang," jelas Pak Gimin."Pak, saya yakin kalau kematian siswa di sekolah kita itu karena roh Cokro yang marah. Dia dituduh dan dibunuh begitu saja, siapa tahuCokro bukan pelakunya," Gina mengeluarkan kegelisahannya selama ini."Sudahlah Gina, Eldi. Kalian masih terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti ini.Gina menanyakan lokasi makam Cokro pada Pak Gimin, ia ingin berziarah dan meminta maaf mewakili semua siswa SMA Setia Bakti. Dengan harapan Cokro tidak lagi mengganggu siswa di sekolahnya.Di samping
Sekolah angker part3Gina dan Eldi masuk ke perpustakaan."Di, ini persis wajah perempuan yang ada di bayangkan gua semalem. Lihat deh dia masuk ke sekolah ini tahun 2000 dan berhenti tahun 2000 juga," Gina menyodorkan buku Arsip pada Eldi."Iya, juga ya. Kita tanya kepala sekolah aja, Gin. Siapa tahu Pak Gimin masih ingat tentang perempuan ini.""Lu benar, Di."Gina memotret foto Velicia Tjhia. Kemudian mereka bergegas menuju kantor kepala sekolah. Kebetulan Pak Gimin sedang ada di ruangannya. Ia terlihat sibuk dengan lembaran dokumen di atas meja. Malu-malu Gina dan Eldi masuk ke ruangan Pak Gimin."Selamat siang, Pak?""Iya, siang." Pak Gimin menoleh pada mereka berdua."Kami mau bicara sebentar saja.""Oh, iya silakan masuk, Nak."Mereka berdua duduk di hadapan Pak Gimin lalu menunjukkan sebuah gambar di layar smartphone Gina."Maaf ganggu waktunya, Pak. Apakah bapak kenal dengan siswi ini?"Pak Gimin terkejut, ia heran
Pembunuhan"Anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru, ya," kata Bu Yati, guru matematika.Veli dengan percaya diri masuk ke dalam kelas 3A didampingi kepala sekolah. Di kantong tasnya ada buah rambutan pemberian Pak Cokro."Hai semua, kenalin namaku Velicia Tjhia. Atau biasa dipanggil Veli. Aku pindahan dari SMA Darma Bakti Yogyakarta. Salam kenal semua," ujar Veli sambil tersenyum."Hai Veli," serentak semua murid di kelas itu menyapanya."Veli, kamu bisa duduk di samping Sinta ya," Kata Bu Yati.Veli mengangguk dan langsung menuju tempat duduknya."Baik, anak-anak. Tolong temani Veli dan terima dia dengan baik, ya." ucap Pak kepala sekolah."Iya, Pak," jawab semua murid serentak.Walau Veli siswa pindahan, tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan teman-temannya juga dengan setiap mata pelajaran. Veli terbilang siswi yang pintar. Ia kini menjadi pesaing beratnya Mona yang setiap tahun meraih juara satu di kelas itu.
Siapa nama kamu?Gina, lu serius berani sendiri?"Fika mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah tiga lantai. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati."Iya Fik. Itu jam tangan pemberian almarhum nyokap gua. Takut ilang kalau nggak diambil sekarang.""Lagian lu ada-ada aja pake lupa segala. Eh, gua nggak berani nganter lu masuk ke kelas, ya. Gua nunggu di sini.""Iya nggak apa-apa. Lu jagain motor gua.""Eh, tapi gua juga takut sendirian di sini gimana dong?" Fika merengek."Lu tenang aja. Gua pasti nggak akan lama-lama."Gina membuka gerbang sekolah yang kebetulan tidak dikunci. Sekolah SMA Setia Bakti memang tidak ada satpamnya. Pihak sekolah sudah membuka lowongan, tapi tidak ada orang yang berani melamar. Banyak cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut tentang sekolah itu."Gin, tunggu. Lu yakin mau masuk," Fika menarik lengan bajunya Gina."Eh, gua kan udah bilang kalau gua yakin mau masuk.
Pagi ini aku tidak masuk kerja karena tiba-tiba badanku demam tinggi. Aku juga sudah minum obat, tapi demamku tidak kunjung reda. Sekarang tubuhku malah menggigil. Wajahku tampak pucat saat kulihat di cermin. Kantung mataku juga mendadak hitam. Segera kubenamkan diri di atas kasur. Semakin lama tubuhku malah menggigil."Dinda...," dengan suara serak kupanggil Dinda."Iya, Mbak," sahutnya dari luar. Kudengar langkah kakinya mendekat ke kamarku."Mbak sakit?" tanya Dinda sambil melongokkan kepala dari balik pintu."Iya, Dinda. Kalau kamu nggak keberatan, tolong ambilkan mbak air hangat ya," pintaku sambil menggigil."Iya, Mbak. Tunggu ya."Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan membawa segelas air hangat. Aku meraih gelas itu dan menyeruput airnya."Mbak sakit apa? Sudah minum obat?" Dinda duduk di sampingku."Aku demam, Din. Sudah tadi," kuserahkan kembali gelas itu pada Dinda."Semoga lekas sembuh, Mbak," kata Dinda.Dia lalu ke
“Kamu apa-apaan Din! Mbokmu sudah meninggal! Hargai mbokmu!” aku meneriakinya.“Mbokku hidup lagi kok hahaha…,” Dinda lari-lari kecil mengelilingi jenazah mboknya.“Dinda! Mbak bilang hargai Mbok kamu!” aku menerobos hujan yang kian lebat, menghampiri Dinda.Kain kafan Mbok Ibah basah kuyup dan kotor, “Astagfirullah! Dinda apa-apaan kamu! Sadar Dinda sadar!” kupegang erat kedua tangannya agar dia mau diam.“Lepasin Mbak ih…!” dia berontak.“Ada apa ini?!” Pak Rahmat muncul dengan membawa payung.“Kenapa jenazah Mbok Ibah ada di sini?!” Pak Rahmat terkejut melihat jenazah itu.Dia langsung membopong jenazah Mbok Ibah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dinda susah sekali dikendalikan, dia malah menangis sambil memanggil-manggil mboknya. Pak Rahmat kembali tanpa menggunakan payung, dia langsung memangku paksa si Dinda yang masih mengamuk.“Is
Sore itu semua petugas puskesmas sudah pulang. Pak Sukra memberikan kunci puskesmas kepadaku. Malam ini aku mau menginap saja di puskesmas. Kebetulan ada hal yang mau kukerjakan. Aku akan menyusun rancangan penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya keselamatan saat bersalin.Lebih dari itu, jujur saja aku masih trauma kalau harus pulang ke rumah Dinda. Ada yang tak beres sama mboknya. Dan, aku yakin bidan yang pernah tinggal di rumah Dinda juga mengalami hal yang sama.Selepas magrib kututup gerbang puskesmas lalu mengunci pintu rapat-rapat. Aku mulai bekerja menyusun rancangan dan materi untuk penyuluhan. Selang beberapa saat ada yang mengetuk pintu. Sepertinya ada yang mau berobat. Segera aku beranjak dari tempat duduk dan langsung membukakan pintu.Di depanku berdiri seorang perempuan berbaju daster yang sedang hamil tua. Dia memegangi kandungannya sambil meringis kesakitan.“Tolong aku, Bu!” katanya dengan suara yang tertahan.“
Sebelum saya menceritakan pengalaman teman saya yang mulai dinas didaerah terpencil sebagai bidanOh iya, perkenalkan dulu, aku Maya. Aku tuh seorang bidan. Setelah lulus kuliah, aku sempat kerja di klinik. Sebenarnya klinik itu milik kakak iparku. Kalau kalian pernah ke Balaraja, klinik tempatku bekerja tidak jauh dari pasar Balaraja. Selama dua tahun aku bekerja di sana.Tahun 2016, pemerintah membuka lowongan CPNS. Aku iseng-iseng ikutan daftar. Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja bagaimana tes CPNS itu dan tidak punya harapan tinggi bisa lolos tes. Tapi, Tuhan berkata lain. Alhamdulillah aku lolos CPNS, lalu ditugaskan ke kampung terpencil.Nama kampungnya Mekar Sari. Di sana ada puskesmas yang kekurangan tenaga bidan. Oh iya, bukan kekurangan tapi tidak ada bidannya. Jadi bidan yang pernah tugas di sana minta dimutasi ke daerah lain. Dan... aku ditugaskan untuk mengisi kekosongan bidan di puskesmas itu.Aku tidak menyangka kalau kampung ini benar-benar terp
Menjelang setelah asar Pakde Anom sudah terlihat datang ke rumah keluarga pak Saiful. Lelaki paruh baya itu menyambutnya penuh suka cita. Ujung matanya juga menangkap dua sosok pemuda lain di belakang Pakde Anom. Seolah mampu membaca pikiran, pakde Anom pun menjawab:“Ini murid-muridku Pul, mereka juga akan membantu proses peruwatan nanti."“Oh, begitu pakde,” jawab pak Saiful sembari mempersilakan ketiganya masuk ke dalam rumah.Pukul 11 malam, kompleks perumahan terlihat mulai sepi. Tampak dua orang pemuda yang dibawa pakde Anom menggali tanah dengan sekop dan memendam sesuatu di empat sudut penjuru rumah.Tujuannya adalah menanam pagar gaib untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan saat proses ritual pengusiran. Pak Saiful tampak mengintip dari jendela di dalam rumah mengamati aktivitas tersebut. Sebuah tepukan pelan di bahu kanan membuatnya menoleh. Dilihatnya Pak Hasan mencoba memberikan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.Kedu