Sangat menyenangkan kalau liburan diisi dengan pergi ke pantai bersama sahabat.
Tapi akan jadi trauma mendalam kalau akhirnya malah terjebak di tempat dan waktu yang salah.Alena akan bercerita pengalaman seramnya ketika berlibur di Pangandaran,“Lo denger gak?” Bisik Della pelan, sambil menatapku yang duduk di sampingnya.
“Denger apaan?” Jawabku.“Kecilin tv-nya coba bentar.” Kata Della lagi.Aku turuti kemauannya, lalu mengecilkan volume suara tv.Kemudian hening, karena vila sebesar ini hanya berisi kami berdua, “Ah, gak ada suara apa-apa Dellaaaaaa. Udah ah, lagi seru nih acaranya.” Begitu aku bilang ketika sudah mengecilkan volume tv tapi tetap gak mendengar suara apa-apa.“Tadi ada suara, gw denger, sekarang hilang.” Jawab Della.. Sudah jam 11 malam, Devin dan Bayu belum juga kembali, tadi jam sembilan sebelum pergi mereka bilang mau ke luar sebentar cari minuman. Wajah Della masih terlihat penasaran, sepertinya dia yakin kalau tadi sempat mendengar suara dari lantai dua, tapi belum jelas itu suara apa.Aku coba untuk berpura-pura mengabaikan sikapnya itu, sampai akhirnya dia ikut larut juga menyaksikan acara tv yang aku tonton. Ada apa di Lantai dua? Apa yang Della dengar? Aku Alena. Della, Devin, dan Bayu adalah sahabat dekatku, kami sudah berteman sejak kecil, karena kebetulan tinggal dalam satu komplek perumahan di Jakarta. Bukan kebetulan juga kalau kami jadi lebih akrab dibanding dengan teman-teman yang lain di perumahan tempat tinggal, banyak persamaan yang kami miliki, salah satunya adalah senang jalan-jalan, berpertualang ke tempat baru. Sudah banyak pengalaman yang kami lalui bersama hingga sampai sampai duduk di bangku kuliah saat ini. Dari banyaknya pengalaman yang kami miliki, ada pengalaman seram yang masih membekas di dalam ingatan sampai saat ini. Yaitu pengalaman seram ketika menginap di satu vila di Pangandaran, Jawa Barat. Pertengahan tahun 2016, bertepatan dengan masa libur perkuliahan, Devin punya ide untuk menghabiskan beberapa hari di daerah pantai.Setelah ide dilempar dan berembuk, kami sepakat untuk menjadikan Pangandaran sebagai tujuannya. Pangandaran terkenal sebagai tempat wisata di ujung timur bagian selatan Jawa Barat.Gak perlu diragukan lagi keindahannya, pantai landai tanpa karang, pasir putihnya membentang, sungguh tempat yang sempurna untuk melepas penat melarikan diri dari pengapnya udara metropolitan. “Naaahh, gw udah browsing-browsing nih, ada vila besar dan asri, gak mahal juga. Gak di pinggir pantai banget sih, harus jalan kaki sebentar kalo mau ke pantai, tapi depannya sungai besar, bolak balik ada perahu suka lewat,” Begitu Devin bilang, panjang lebar dia menjelaskan. Gak butuh diskusi panjang dan lama, akhirnya kami sepakat memutuskan untuk berlibur di Pangandaran selama beberapa hari, akan menginap di vila pilihan Devin.*** Di satu rabu pagi kami berangkat dari Jakarta.Pagi cerah dan indah, kendaraan yang kami tumpangi menyusuri jalan mengarah ke sisi selatan pulau Jawa. Ini adalah pertama kalinya wisata ke Pangandaran, jadi benar-benar tempat baru buat kami kunjungi, makanya kami sangat excited.Senda gurau dan tawa lepas mewarnai perjalanan, rentang waktu delapan jam jadi gak terasa, sekitar jam tiga sore akhirnya kami sampai di tujuan. Sesampainya di lokasi, kami baru tahu kalau ternyata letak vila agak jauh dari pantai Pangandaran, kami harus menempuh perjalanan sekitar satu jam lagi. Jadi, letak vila-nya lebih dekat ke pantai Batu Karas, dan juga benar kata Devin, vila berada persis di sisi sungai yang cukup besar, benar-benar menghadap ke sungai itu. Cukup indah, walaupun bukan bangunan baru tapi vila bertingkat dua ini sangat bersih dan terawat. Pagar tinggi mengelilingi wilayah luasnya, beberapa pohon besar berdiri kokoh di halaman depan dan belakang. Kanan kiri vila hanya ada tanah kosong yang dipenuhi oleh pepohonan liar, jauh dari bangunan lain.Bapak penjaga vila mendampingi kami berkeliling sambil menjelaskan semuanya, Pak Ilham namanya. Pak Ilham ini gak tinggal di vila, tapi tinggal di rumahnya yang gak jauh dari lokasi vila. Beliau ditugaskan untuk merawat dan membersihkan vila oleh sang pemilik. “Pak Ilham kenapa gak tinggal di sini aja?” Tanya Bayu penasaran.“Kalo lagi gak ada tamu, kadang menginap di sini, tapi jarang banget, soalnya rumah saya kan dekat.” Begitu jawab pak Ilham. “Trus kalo malam, vila ini lebih sering kosong?” Aku ikut menimpali.“Iya neng, kosong terus, tapi tenang aja, semuanya bersih dan terawat kok, hehe. Kalo ada apa-apa tinggal telepon hp saya, 24 jam siap, hehe.” Jawab Pak Ilham lagi. Benar kata beliau, vila ini beserta lingkungannya memang bersih dan terawat, hampir-hampir gak ada debu yang kelihatan.Di lantai satu ada satu kamar, dan satu kamar mandi. Ruang tengahnya besar, memanjang jadi satu dengan meja makan dan dapur. Di lantai atas ada dua kamar dan satu kamar mandi, ada ruang tengah juga tapi hanya berisi beberapa kursi mengelilingi meja rotan.Oh iya, di lantai atas ada teras depan, sangat nyaman terasnya, menghadap langsung ke halaman rumah dan sungai besar di depan. Sungai yang sepertinya termasuk jalur wisata, sesekali terlihat ada perahu bermesin kecil berisi wisatawan. “Oh itu perahu yang nganter ke grand canyon di sebelah sana, bagus tempatnya.” Begitu kata Pak Ilham menjelaskan ketika kami menanyakan perihal perahu yang melintas depan vila. Begitulah gambaran vila yang kami tempati, rencananya kami akan menginap sampai hari minggu.Itu rencananya.*** Aliran sungai yang tenang, dengan latar langit biru berbintang tanpa awan. Kami menikmati betul suasana malam pertama di teras atas.Perbincangan seru sesekali diselingi gelak tawa memecah keheningan malam di tempat agak terpencil ini. Nyanyian merdu suara Della yang memang seorang penyanyi serta diiringi permainan gitar Bayu, jadi latar menambah ceria suasana.Sungguh saat-saat yang menyenangkan. “Ayok Bay, cabut ah, udah jam sembilan nih.” Tiba-tiba Devin bilang begitu.“Mau pada ke mana sih?” Tanyaku.“Beli minum di depan sebentar.” Kata Bayu menimpali.“Jangan lama-lama ya lo pada. Gak mau gw sama Alena sendirian di sini, sepinya gila” Della ikutan sedikit ngomel. “Iyaaaa, bentaran aja kok, manja banget.” Sungut Devin.Singkatnya, Mereka berdua akhirnya benar-benar pergi, meninggalkan aku dan Della sendirian di teras atas. Malam itu, sama sekali gak ada perahu yang melintas di sungai, gak seperti sore hari tadi, sama sekali sepi dan tentu saja gelap.Untungnya cahaya dari langit membantu sedikit penerangan, tapi tetap saja kami gak bisa melihat sekitaran sungai secara detail. Sepeninggal Devin dan Bayu, aku dan Della melanjutkan obrolan, sukurlah gak jadi membosankan karena kami malah lebih banyak topik yang bisa dibahas. Sampai akhirnya, jam sudah menunjukkan pukul sepuluh malam. Walaupun masih termasuk daerah pesisir, tapi udara di vila ini termasuk sejuk, mungkin karena jarak ke pantai masih cukup jauh ditambah banyaknya pepohonan di sekeliling. Di saat ketika kami sudah banyak jeda obrolan, alias saling diam larut dalam lamunan, tiba-tiba aku melihat ada bayangan yang muncul dari arah sungai.Bayangan itu bergerak masuk ke pekarangan vila, berbentuk seperti anak kecil, perempuan. “Eh eh eh. Lo liat gak barusan Del?” Tanyaku sambil menegakkan posisi duduk.“Liat apaan?” Jawab Della dengan tanya.“Kayak ada bayangan anak kecil masuk ke vila”“Ah lo jangan macem-macem deh, udah malem nih, mana anak dua itu lagi pergi lagi.” “Asli, gw liat bayangan.”“Alena! Gak ada aaahh.”“Hahaha, iya iya, mungkin gw salah liat.” Tutupku menenangkan Della. Mungkinkah aku salah lihat? Saat itu gak tahu. Lalu kami kembali diam, tenggelam dalam lamunan, menikmati malam yang semakin larut. “Alena, masuk aja yuk, nonton tv aja, sambil nunggu anak dua itu pulang.” Tiba-tiba Della melontarkan ide.“Ya udah yuk masuk, anginnya juga mulai kenceng nih.” Aku setuju.Lalu kami masuk, menuju ruang tengah lantai satu. Di dalam, kami duduk di depan tv, di ruang tengah lantai bawah.Lampu terang benderang kami biarkan semuanya menyala. Udara di dalam lebih hangat, mungkin karena agak tertutup, angin malam sedikit terhambat untuk masuk. Sampai akhirnya, gak terasa sudah setengah jam kami menonton tv, kebetulan waktu itu acaranya cukup membuatku tertarik, sampai-sampai pikiranku teralihkan dari gelagat aneh yang ditunjukkan oleh Della. Iya, bukannya gak sadar itu, tapi aku memperhatikan kalau Della kelihatan sedikit resah, seperti ada yang mengusik pikirannya, tapi aku terus memaksa diri untuk gak peduli, coba untuk fokus menonton tv. Della beberapa kali melihat tangga, lalu memperhatikan ke atas, ke lantai dua. Hingga akhirnya Della gak tahan lagi, dia bicara juga.“Lo denger gak?” Bisik Della pelan, sambil menatapku.“Denger apaan?” Jawabku.“Kecilin tv-nya coba bentar.” Kata Della lagi.Aku turuti kemauannya, lalu mengecilkan volume suara tv.Kemudian hening, sangat sepi. “Ah, gak ada suara apa-apa Dellaaaaaa. Udah ah, lagi seru nih acaranya.”Begitu aku bilang ketika sudah mengecilkan volume tv tapi tetap gak mendengar suara apa-apa.“Tadi ada suara, gw denger, sekarang hilang.” Jawab Della. Wajah Della masih terlihat penasaran, dia kelihatan masih yakin kalau tadi sempat mendengar suara dari lantai dua, tapi jelas itu suara apa. Aku coba untuk berpura-pura mengabaikan sikapnya lagi, sampai akhirnya dia ikut larut juga menyaksikan acara tv yang aku tonton. Sukurlah.Aku bukannya gak mendengar apa yang mungkin Della tadi maksudkan, aku dengar juga.
Terdengar ada langkah kaki di lantai atas, langkah-langkah kecil seperti sedang berlarian, bolak balik dari belakang sampai ke teras depan. Aku dengar semuanya, tapi berusaha untuk terus mengabaikan sampai akhirnya melihat gelagat Della.Aku bohong dengan tujuan agar Della gak jadi parno, karena dia penakutnya keterlaluan. Sudah jam 11 lewat, Devin dan Bayu belum balik juga, entah nyangkut di mana mereka berdua.Lalu kami terus menonton tv, sambil berusaha menahan kantuk yang mulai datang. Della masih kelihatan penasaran, di balik gelak tawanya masih terlihat kalau dia merasakan ada yang aneh, sesekali masih saja memperhatikan tangga. Berikutnya, tiba-tiba Della merebut remote tv, lalu mengecilkan suaranya lagi.. Lalu..Duk, duk, duk, duk..Terdengar suara seperti itu,Aku gak bisa bohong lagi, karena kami mendengarnya bersama-sama.“Tuh, lo denger gak.” Tanya Della nyaris berbisik.Aku mengangguk. “Ada yang lari-larian di atas, Alena.” Suara Della mulai gemetar, dia ketakutan.“Udah biarin aja, nonton tv lagi aja. Gedein lagi suaranya coba.” Aku merebut lagi remote tv, lalu membesarkan volumenya. Iya, benar, ada suara langkah kaki kecil berlarian di lantai dua, sangat jelas kami mendengarnya.Della kelihatan ketakutan, aku juga sama, tapi mau gimana lagi. Kami jauh dari mana-mana, di luar gelap, kendaraan gak ada. Della terus saja memperhatikan tangga, sementara langkah kaki kasih kedengaran sesekali walaupun samar tertutup suara tv.Sampai akhirnya, kami mendengar suara pagar depan terbuka, aku lari ke jendela untuk melihatnya. Ternyata itu Devin dan Bayu, akhirnya mereka pulang.Lanjut ya, balik ke Alena lagi.. Kamis pagi, aku menyiapkan sarapan untuk kami semua, nasi goreng andalanku jadi sajiannya. Suasana pagi hari yang cukup indah, sesekali suara mesin perahu terdengar dari arah sungai, juga banyak penduduk setempat sedang berjalan kaki menuju pantai lewat jalan yang ada persis di depan vila. “Ah makan lo lama, ayok buruan ngapa, biar cepetan jalan ke pantai.” Devin mulai menggerutu, dia ingin cepat-cepat ke pantai.“Iya, sabar, ini bentar lagi beres,” Jawabku. Singkatnya, setelah selesai sarapan lalu kami berangkat ke pantai, untuk menikmati suasana pagi di pinggir laut selatan.Jarak pantai dari vila sekitar 10 menit berjalan kaki, kurang lebih. Benar dugaan kami, suasana pagi di pantai sangat indah. Menikmati tenangnya air laut yang nyaris tanpa gelombang, gak ada angin sama sekali.Terlihat beberapa rombongan nelayan menarik jala panjang dari tengah laut, kami memperhatikan semuanya. Beneran, suasana pagi hari di pantai memang gak ada duanya, aku sangat menyukainya. Tapi, sekitar jam delapan, ada sesuatu yang mengharuskanku untuk kembali ke vila.“Aduh, aku mules, pingin pup, gimana ini.” Aku sakit perut. “Aaaaah, kebiasaan, merusak suasana, udah tuh numpang di warung itu aja.” Bayu agak emosi bilang begitu sambil tangannya menunjuk ke arah warung pinggir pantai.“Ah gak bisa Baaayy, aku harus balik ke vila, ayo ah anterin.” Aku memelas. “Gak mau ah, Vin lo aja gih yang anter Alena.” Bayu bilang begitu ke Devin.“Ya udah ayok buruan, aku juga agak mules sih.” Begitu Devin bilang sambil cengar cengir.Ya sudah, akhirnya aku dan Devin jalan pulang lagi ke Vila. Singkat cerita lagi, gak lama kemudian kami sampai.“Gw ke warung dulu ya, beli rokok. Gak jauh kok warungnya, tuh di sana.” Begitu Devin bilang ketika kami sudah berada di depan pagar.“Ya udah buruan, jangan lama-lama, gw pingin ke pantai lagi.” Jawabku. Setelah itu aku masuk ke dalam vila, sementara Devin lanjut berjalan ke arah jalan raya, menuju toko untuk membeli rokok. Karena sudah gak tahan lagi, aku langsung lari menuju kamar mandi lantai bawah, yang letaknya di belakang.Aaahh, lega rasanya, setelah sudah berada di toilet dan melepas hajat. Sudah selesai, aku masih duduk di atas toilet, melamun sebentar sebelum bersih-bersih. Tapi, kemudian lamunanku buyar, ketika tiba-tiba mendengar suara langkah-langkah kaki, langkah kaki yang sepertinya sama persis dengan yang aku dan Della dengar malam sebelumnya. Suaranya seperti suara langkah anak kecil berlarian, kali ini di lantai bawah. Terdengar jelas, karena memang dekat, di ruang tengah. Aku memperhatikan langkah-langkah kaki itu, terus menajamkan pendengaran dari dalam kamar mandi.Benar, sangat jelas kalau sepertinya ada anak kecil yang sedang berlarian di ruang tengah. Aku hanya bisa diam, ketakutan. Semakin takut lagi ketika langkah kaki itu tiba-tiba berhenti, berhenti tepat di depan pintu kamar mandi! Ya Tuhan, apa yang harus lakukan? Diam, gak berani bergerak sedikit pun supaya gak menghasilkan suara. Aku sangat yakin si pemilik langkah kaki itu sedang berdiri di balik pintu.Beberapa saat lamanya situasi seperti itu..Aku merinding ketakutan, nyaris menangis. Lalu langkah kaki terdengar lagi, kali ini menjauh dari pintu, menuju ruang tengah. Aku terus mengikuti pergerakannya. Kemudian langkah kaki berhenti lagi, kali ini berhenti di ruang tengah. Lalu tiba-tiba terdengar keras suara tv.. Tv yang aku sangat yakin dalam keadaan mati ketika masuk tadi, tiba-tiba terdengar menyala dengan sendirinya, dengan suara yang benar-benar keras.Aku menangis pelan, ketakutan, gak berani keluar..Tapi.. “Alenaaaaa, lo nyalain tv kenceng banget sih? Biar kedengeran sampe kamar mandi maksudnya?”Terima kasih Tuhan, akhirnya aku mendengar suara Devin, kemudian buru-buru keluar kamar mandi. “Yuk ah ke pantai lagi.” Aku menarik tangan Devin, mengajaknya untuk buru-buru meninggalkan vila. Peristiwa pagi itu sengaja gak aku ceritakan kepada teman-teman lainnya, aku gak mau merusak suasana liburan, walaupun kejadiannya cukup membuatku berpikir tentang siapakah pemilik langkah-langkah kaki itu?.Teman-teman yang lain begitu menikmati suasana pagi hingga menjelang siang di pantai, tapi aku masih saja memikirkan kejadian yang baru saja terjadi di vila.Gak mau merusak suasana, aku bersikeras untuk gak menceritakannya ke teman-teman.Singkat cerita, kamis pagi itu kami habiskan dengan menikmati suasana pantai.Setelahnya kami pulang kembali ke vila.Masih jam 12, kami sudah sampai di vila. Tapi, sementara teman yang lain langsung istirahat, aku malah berkeliling untuk melihat-lihat lingkungan sekitar.Saat itulah aku baru sadar kalau ternyata halaman belakang sangat luas, sampai-sampai pagarnya nyaris gak kelihatan, karena jauh dan juga tertutup pepohonan serta rumput ilalang.Beberapa pohon besar berdiri tegak, membuat suasana menjadi agak teduh walaupun sinar matahari menyengat terik.Aku terus berjalan berkeliling melihat-lihat.Bagian yang masih dekat vila memang kelihatan terawat dan rapi, tapi berbeda
Hantu Penunggu VilaJessica sahabatku mengajak untuk menginap 3 malam di Villa keluarganya di daerah Batu, Jawa . Sebenarnya aku enggan, karena hal ini mengingatkan akan kenangan masa kecil yang masih membuatku trauma hingga sekarang.Saat itu usiaku baru 8 tahun, ketika keluarga Ibu mengajak kami berlibur di Vila yang baru saja dibangun. Vila tersebut memiliki bangunan 4 lantai, dari luar semua tampak normal dan sama sekali tidak menunjukkan kesan seram.Aku yang saat itu masih kecil dan bosan karena harus melihat orang dewasa sibuk bercerita, memutuskan untuk turun ke bawah. Bawah merupakan ruangan basemant yang disulap menjadi kamar, lengkap dengan kamar mandi yang seluruhnya bertembok kaca.Pada saat siang hari semua tampak begitu indah, belum lagi pada zaman itu bangunan yang dipenuhi kaca masih jarang. Namun jangan harap kamu akan merasa nyaman ketika malam tiba.Keganjilan pertama yang kutemui adalah menemukan jejak kaki anak kecil di lantai, tidak se
Horor Villa Tua LembangAku Nisa, akan bercerita tentang pengalaman seram yang aku alami pada tahun 2011, bersama empat sahabat kampus, berlibur menghabiskan libur akhir pekan panjang di Bandung.Waktu itu kami masih kuliah tingkat akhir.Sama seperti anak-anak muda kebanyakan lainnya, Aku, Hani, Putri, Danang, dan Dimas punya rencana untuk menginap di kota kembang dengan mencari rumah atau Villa, bukan hotel per kamar, jadi bisa lebih leluasa untuk melakukan kehebohan tanpa harus khawatir mengganggu orang lain.Singkatnya, atas rekomendasi teman dari ayahnya Danang, kami memutuskan untuk menyewa satu villa besar bertingkat di daerah Lambang.Menurut Danang, teman ayahnya bilang kalau villa ini memiliki lahan yang luas, jadi gak berdempetan dengan villa atau bangunan lain, dan juga letaknya masih sangat asri dan banyak pepohonan, katanya sih gitu.“Iya, kata temen bokap gw, Villa ini gede, bagus, baru direnovasi, halamann
Sekelompok perempuan muda menginjakkan kakinya di area LPK ( Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan ). Tawa mereka riang, penuh suka cita menyambut mimpi kecil mereka. Kegembiraan makin bertambah ketika mereka bercengkerama dengan siswa lain dari beragam daerah. Saling menyapa, kemudian berkenalan. Tak dihiraukan penat yang menyelimuti raga karena kebahagiaan adalah tercapainya harapan dan impian.Akhirnya kelelahan mulai menghinggapi tubuh mereka hingga berbalut keringat. Peluh pun mulai mengaliri kening dan pelipis yang tak lagi bersih, penuh debu. Ada keinginan tak tertahankan untuk meluruskan kaki-kaki panjang mereka di ranjang berkasur empuk. Huuf! Tubuh mereka butuh istirahat!Waktu beranjak cepat hingga di ujung senja. Pelatihan di hari pertama usai sudah. Mereka segera berlari menuju asrama putri. Tiba di depan asrama, mereka pandangi bangunan tua berwarna kuning pucat itu. Sebuah bangunan dengan arsitektur klasik dan berjendela kayu jati. Pintu kayu berd
“Itu di depan mobil siapa Pa?”“Hehe, bagus kan? Temen Papa di kantor jual murah banget. Ya udah Papa beli deh”“Waaah, kenapa beli mobil tua sih, sering mogok loh nanti.”“Enak aja kamu, mesinnya masih bagus itu, bodinya juga mulus kan, hehehe.”Itu percakapan dengan Ayah ketika aku baru sampai rumah sepulang kuliah.Percakapan yang dipicu oleh keherananku ketika melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Mobil yang telihat umurnya sudah cukup tua, tapi bisa dibilang masih bagus penampilannya, bodi mulus mengkilat.“Papa ini ada-ada aja, mobil tua dan kuno kok dibeli.” Lanjutku.“Itu mobil klasik, antik, bukan mobil tua. Dasar kamu ya.” Jawab Papa sambil terus serius melihat ponsel di tangannya.Tapi benar juga sih, mobil yang baru papa beli ini adalah BMW seri 3 tahun 80an, warna silver mengkilat, seperti aku bilang tadi, bodinya masih ke
Aku Rizky, Mahasiswa angkatan 2005 salah satu kampus di Jatinangor, Jawa Barat.Yang akan aku ceritakan kali ini adalah peristiwa yang aku alami sendiri pada tahun 2006.Begini ceritanya..Seperti mahasiswa lain yang berasal dari luar daerah di mana letak kampus berada, aku yang berasal dari Sukabumi harus ngekost juga.Tempat kostku gak teralu jauh dari kampus, masih bisa dijangkau dengan jalan kaki untuk pulang pergi kuliah.Dan, sama juga dengan sebagian besar anak kost lainnya, aku juga mengandalkan transportasi umum kalau harus ke tujuan agak jauh, salah satunya angkot.Ngomong-ngomong soal angkot, boleh dibilang aku sangat jarang menggunakannya, karena tempat kost berada di tengah-tengah, jadi kalau mau ke mana-mana masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki.Kalau mau ke tempat tujuan jauh naik apa dong?.Nah, kalau melihat letak di mana Jatinangor berada, yaitu di antara kota Bandung d
“Itu di depan mobil siapa Pa?”“Hehe, bagus kan? Temen Papa di kantor jual murah banget. Ya udah Papa beli deh”“Waaah, kenapa beli mobil tua sih, sering mogok loh nanti.”“Enak aja kamu, mesinnya masih bagus itu, bodinya juga mulus kan, hehehe.”Itu percakapan dengan Ayah ketika aku baru sampai rumah sepulang kuliah.Percakapan yang dipicu oleh keherananku ketika melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Mobil yang telihat umurnya sudah cukup tua, tapi bisa dibilang masih bagus penampilannya, bodi mulus mengkilat.“Papa ini ada-ada aja, mobil tua dan kuno kok dibeli.” Lanjutku.“Itu mobil klasik, antik, bukan mobil tua. Dasar kamu ya.” Jawab Papa sambil terus serius melihat ponsel di tangannya.Tapi benar juga sih, mobil yang baru papa beli ini adalah BMW seri 3 tahun 80an, warna silver mengkilat, seperti aku bilang tadi, bodinya masih ke
Jangan Main ke Wahana IniKenalkan, aku Sarah. Tahun lalu sekitar pertengahan bulan Agustus, aku dan teman-temanku mengalami kejadian mengerikan di sebuah wahana angker. Ini semua gara-gara Dion kalau saja dia tidak mengajak kami main ke wahana itu mungkin petaka ini tak akan pernah menimpa kami.Dion itu salah satu sahabatku. Jadi, kami tuh sahabatan empat orang. Aku, Dion, Rendi (dia pacarku), dan satu lagi si Arin. Persahabatan kami sudah terjalin dari sejak lama.Di suatu siang, kami berempat sedang kumpul di kantin. Awalnya obrolan kami membahas dosen killer yang suka mengusir mahasiswa dari kelas. Tiba-tiba topik obrolan kami beralih membahas wahana malam. Kata Dion di dekat sini ada wahana malam yang seru banget.“Pokoknya kalian nggak akan kecewa. Ayolah kita ke sana,” kata Dion, ekspresi wajahnya penuh semangat.“Emang wahananya daerah mana sih?” tanya Rendi penasaran.“Di dekat Cise
Aduh bapak hampir lupa, Cokro. Ya tukang bersih-bersih itu. Dia sangat terobsesi dengan senam. Setiap Rabu pagi, dia rutin ikut senam di belakang barisan siswa."Pak, bapak yakin kalau pembunuh Veli adalah Cokro?" Tanya Eldi."Iya, bapak pernah bilang kalau Cokro belum sempat diperiksa polisi, tapi sudah meninggal dikeroyok siswa," ujar Gina."Bapak sendiri tidak yakin kalau Cokro pelakunya, tapi kasus itu sama sekali tidak pernah terungkap sampai sekarang," jelas Pak Gimin."Pak, saya yakin kalau kematian siswa di sekolah kita itu karena roh Cokro yang marah. Dia dituduh dan dibunuh begitu saja, siapa tahuCokro bukan pelakunya," Gina mengeluarkan kegelisahannya selama ini."Sudahlah Gina, Eldi. Kalian masih terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti ini.Gina menanyakan lokasi makam Cokro pada Pak Gimin, ia ingin berziarah dan meminta maaf mewakili semua siswa SMA Setia Bakti. Dengan harapan Cokro tidak lagi mengganggu siswa di sekolahnya.Di samping
Sekolah angker part3Gina dan Eldi masuk ke perpustakaan."Di, ini persis wajah perempuan yang ada di bayangkan gua semalem. Lihat deh dia masuk ke sekolah ini tahun 2000 dan berhenti tahun 2000 juga," Gina menyodorkan buku Arsip pada Eldi."Iya, juga ya. Kita tanya kepala sekolah aja, Gin. Siapa tahu Pak Gimin masih ingat tentang perempuan ini.""Lu benar, Di."Gina memotret foto Velicia Tjhia. Kemudian mereka bergegas menuju kantor kepala sekolah. Kebetulan Pak Gimin sedang ada di ruangannya. Ia terlihat sibuk dengan lembaran dokumen di atas meja. Malu-malu Gina dan Eldi masuk ke ruangan Pak Gimin."Selamat siang, Pak?""Iya, siang." Pak Gimin menoleh pada mereka berdua."Kami mau bicara sebentar saja.""Oh, iya silakan masuk, Nak."Mereka berdua duduk di hadapan Pak Gimin lalu menunjukkan sebuah gambar di layar smartphone Gina."Maaf ganggu waktunya, Pak. Apakah bapak kenal dengan siswi ini?"Pak Gimin terkejut, ia heran
Pembunuhan"Anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru, ya," kata Bu Yati, guru matematika.Veli dengan percaya diri masuk ke dalam kelas 3A didampingi kepala sekolah. Di kantong tasnya ada buah rambutan pemberian Pak Cokro."Hai semua, kenalin namaku Velicia Tjhia. Atau biasa dipanggil Veli. Aku pindahan dari SMA Darma Bakti Yogyakarta. Salam kenal semua," ujar Veli sambil tersenyum."Hai Veli," serentak semua murid di kelas itu menyapanya."Veli, kamu bisa duduk di samping Sinta ya," Kata Bu Yati.Veli mengangguk dan langsung menuju tempat duduknya."Baik, anak-anak. Tolong temani Veli dan terima dia dengan baik, ya." ucap Pak kepala sekolah."Iya, Pak," jawab semua murid serentak.Walau Veli siswa pindahan, tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan teman-temannya juga dengan setiap mata pelajaran. Veli terbilang siswi yang pintar. Ia kini menjadi pesaing beratnya Mona yang setiap tahun meraih juara satu di kelas itu.
Siapa nama kamu?Gina, lu serius berani sendiri?"Fika mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah tiga lantai. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati."Iya Fik. Itu jam tangan pemberian almarhum nyokap gua. Takut ilang kalau nggak diambil sekarang.""Lagian lu ada-ada aja pake lupa segala. Eh, gua nggak berani nganter lu masuk ke kelas, ya. Gua nunggu di sini.""Iya nggak apa-apa. Lu jagain motor gua.""Eh, tapi gua juga takut sendirian di sini gimana dong?" Fika merengek."Lu tenang aja. Gua pasti nggak akan lama-lama."Gina membuka gerbang sekolah yang kebetulan tidak dikunci. Sekolah SMA Setia Bakti memang tidak ada satpamnya. Pihak sekolah sudah membuka lowongan, tapi tidak ada orang yang berani melamar. Banyak cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut tentang sekolah itu."Gin, tunggu. Lu yakin mau masuk," Fika menarik lengan bajunya Gina."Eh, gua kan udah bilang kalau gua yakin mau masuk.
Pagi ini aku tidak masuk kerja karena tiba-tiba badanku demam tinggi. Aku juga sudah minum obat, tapi demamku tidak kunjung reda. Sekarang tubuhku malah menggigil. Wajahku tampak pucat saat kulihat di cermin. Kantung mataku juga mendadak hitam. Segera kubenamkan diri di atas kasur. Semakin lama tubuhku malah menggigil."Dinda...," dengan suara serak kupanggil Dinda."Iya, Mbak," sahutnya dari luar. Kudengar langkah kakinya mendekat ke kamarku."Mbak sakit?" tanya Dinda sambil melongokkan kepala dari balik pintu."Iya, Dinda. Kalau kamu nggak keberatan, tolong ambilkan mbak air hangat ya," pintaku sambil menggigil."Iya, Mbak. Tunggu ya."Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan membawa segelas air hangat. Aku meraih gelas itu dan menyeruput airnya."Mbak sakit apa? Sudah minum obat?" Dinda duduk di sampingku."Aku demam, Din. Sudah tadi," kuserahkan kembali gelas itu pada Dinda."Semoga lekas sembuh, Mbak," kata Dinda.Dia lalu ke
“Kamu apa-apaan Din! Mbokmu sudah meninggal! Hargai mbokmu!” aku meneriakinya.“Mbokku hidup lagi kok hahaha…,” Dinda lari-lari kecil mengelilingi jenazah mboknya.“Dinda! Mbak bilang hargai Mbok kamu!” aku menerobos hujan yang kian lebat, menghampiri Dinda.Kain kafan Mbok Ibah basah kuyup dan kotor, “Astagfirullah! Dinda apa-apaan kamu! Sadar Dinda sadar!” kupegang erat kedua tangannya agar dia mau diam.“Lepasin Mbak ih…!” dia berontak.“Ada apa ini?!” Pak Rahmat muncul dengan membawa payung.“Kenapa jenazah Mbok Ibah ada di sini?!” Pak Rahmat terkejut melihat jenazah itu.Dia langsung membopong jenazah Mbok Ibah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dinda susah sekali dikendalikan, dia malah menangis sambil memanggil-manggil mboknya. Pak Rahmat kembali tanpa menggunakan payung, dia langsung memangku paksa si Dinda yang masih mengamuk.“Is
Sore itu semua petugas puskesmas sudah pulang. Pak Sukra memberikan kunci puskesmas kepadaku. Malam ini aku mau menginap saja di puskesmas. Kebetulan ada hal yang mau kukerjakan. Aku akan menyusun rancangan penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya keselamatan saat bersalin.Lebih dari itu, jujur saja aku masih trauma kalau harus pulang ke rumah Dinda. Ada yang tak beres sama mboknya. Dan, aku yakin bidan yang pernah tinggal di rumah Dinda juga mengalami hal yang sama.Selepas magrib kututup gerbang puskesmas lalu mengunci pintu rapat-rapat. Aku mulai bekerja menyusun rancangan dan materi untuk penyuluhan. Selang beberapa saat ada yang mengetuk pintu. Sepertinya ada yang mau berobat. Segera aku beranjak dari tempat duduk dan langsung membukakan pintu.Di depanku berdiri seorang perempuan berbaju daster yang sedang hamil tua. Dia memegangi kandungannya sambil meringis kesakitan.“Tolong aku, Bu!” katanya dengan suara yang tertahan.“
Sebelum saya menceritakan pengalaman teman saya yang mulai dinas didaerah terpencil sebagai bidanOh iya, perkenalkan dulu, aku Maya. Aku tuh seorang bidan. Setelah lulus kuliah, aku sempat kerja di klinik. Sebenarnya klinik itu milik kakak iparku. Kalau kalian pernah ke Balaraja, klinik tempatku bekerja tidak jauh dari pasar Balaraja. Selama dua tahun aku bekerja di sana.Tahun 2016, pemerintah membuka lowongan CPNS. Aku iseng-iseng ikutan daftar. Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja bagaimana tes CPNS itu dan tidak punya harapan tinggi bisa lolos tes. Tapi, Tuhan berkata lain. Alhamdulillah aku lolos CPNS, lalu ditugaskan ke kampung terpencil.Nama kampungnya Mekar Sari. Di sana ada puskesmas yang kekurangan tenaga bidan. Oh iya, bukan kekurangan tapi tidak ada bidannya. Jadi bidan yang pernah tugas di sana minta dimutasi ke daerah lain. Dan... aku ditugaskan untuk mengisi kekosongan bidan di puskesmas itu.Aku tidak menyangka kalau kampung ini benar-benar terp
Menjelang setelah asar Pakde Anom sudah terlihat datang ke rumah keluarga pak Saiful. Lelaki paruh baya itu menyambutnya penuh suka cita. Ujung matanya juga menangkap dua sosok pemuda lain di belakang Pakde Anom. Seolah mampu membaca pikiran, pakde Anom pun menjawab:“Ini murid-muridku Pul, mereka juga akan membantu proses peruwatan nanti."“Oh, begitu pakde,” jawab pak Saiful sembari mempersilakan ketiganya masuk ke dalam rumah.Pukul 11 malam, kompleks perumahan terlihat mulai sepi. Tampak dua orang pemuda yang dibawa pakde Anom menggali tanah dengan sekop dan memendam sesuatu di empat sudut penjuru rumah.Tujuannya adalah menanam pagar gaib untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan saat proses ritual pengusiran. Pak Saiful tampak mengintip dari jendela di dalam rumah mengamati aktivitas tersebut. Sebuah tepukan pelan di bahu kanan membuatnya menoleh. Dilihatnya Pak Hasan mencoba memberikan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.Kedu