Horor Villa Tua Lembang
Aku Nisa, akan bercerita tentang pengalaman seram yang aku alami pada tahun 2011, bersama empat sahabat kampus, berlibur menghabiskan libur akhir pekan panjang di Bandung.
Waktu itu kami masih kuliah tingkat akhir. Sama seperti anak-anak muda kebanyakan lainnya, Aku, Hani, Putri, Danang, dan Dimas punya rencana untuk menginap di kota kembang dengan mencari rumah atau Villa, bukan hotel per kamar, jadi bisa lebih leluasa untuk melakukan kehebohan tanpa harus khawatir mengganggu orang lain. Singkatnya, atas rekomendasi teman dari ayahnya Danang, kami memutuskan untuk menyewa satu villa besar bertingkat di daerah Lambang. Menurut Danang, teman ayahnya bilang kalau villa ini memiliki lahan yang luas, jadi gak berdempetan dengan villa atau bangunan lain, dan juga letaknya masih sangat asri dan banyak pepohonan, katanya sih gitu. “Iya, kata temen bokap gw, Villa ini gede, bagus, baru direnovasi, halamannya luas, dan yang pasti gak mahal, hehe.” Begitu kata Danang coba meyakinkan kami lagi.“Gak kegedean emang nang?” Tanya Hani.“Iya Nang, kita cuma berlima loh, masa kamarnya ada empat.” Aku menambahkan. “Aaaahh, nih liat nih poto-potonya.” Jawab Danang sambil menunjukkan poto di layar ponselnya.Setelah melihat poto-poto itu, aku setuju dengan Danang, Villa-nya memang bagus, besar dan bertingkat, lingkungan sekitarnya juga asri, tempat yang tepat untuk menyepi. Ya sudah, singkat kata akhirnya kami setuju untuk berlibur selama empat hari tiga malam di situ, begitu rencananya.Menggunakan mobil Dimas, kami berangkat kamis jam sepuluh pagi menuju Bandung.Bertepatan dengan musim liburan sekolah, ditambah pula dengan long weekend, aku yakin kalau Bandung akan padat dan ramai wisatawan. Menyusuri jalan tol Cipularang yang kala itu belum terlalu ramai, kami bersenda gurau sepanjang perjalanan, ceria. Dimas yang duduk di belakang kemudi mengendarai mobilnya dengan kecepatan sedang. Seperti biasa, kami sangat senang dan gembira ketika sedang berlibur seperti ini, menghabiskan waktu bersenang-senang dengan sahabat erat, sungguh akan menjadi waktu yang menyenangkan, harusnya.Sekitar jam 12 siang, kami akhirnya sampai juga di tol Pasteur, pintu gerbang masuk Bandung kalo kata orang Jakarta.
“Pak Epi, saya sampe villa sekitar jam tiga-an ya, mau cari makan dulu Pak.” Begitu kata Danang berbicara melalui ponselnya dengan Pak Epi, si penjaga Villa. Iya, sesampainya di Bandung tujuan pertama kami adalah makan, di salah satu rumah makan favorit di Cihampelas. Baru setelah makan nantinya kami akan langsung menuju villa.Selesai makan sekitar jam dua, mengikuti rencana kami langsung jalan menuju villa.
Dari Cihampelas kami lewat Cipaganti lalu menyusuri jalan Setiabudi, menuju lembang. Sesampainya di ujung Setia budi, tepatnya di depan terminal, Dimas membelokkan kendaraan ke kiri, masuk ke jalan Sersan Bajuri.“Kenapa gak lurus aja Mas?” Tanyaku penasaran.“Enakan lewat sini, gak macet, pemandangannya lebih asik.” Begitu kata Dimas. Ya sudah, kami nurut aja, toh emang Dimas masih banyak keluarga yang tinggal di Bandung, jadi dia lebih tahu situasinya. Benar kata Dimas, Sersan Bajuri lebih lengang dan pemandangannya lebih enak dipandang mata. Warna-warni bunga menghias sisi jalan yang dilewati, beberapa tempat wisata juga ada di daerah ini, walaupun lebih jauh dan berputar tapi gak apa. Mungkin karena sudah agak lelah setelah menempuh perjalanan dari Jakarta, saat itu kami lebih banyak diam, menikmati sejuknya udara dan pemandangan.Di ujung jalan, di atas nanti, jalan yang kami lalui ini akhirnya akan bertemu juga dengan jalan raya Lembang. Nah, menurut Danang, lokasi villa-nya gak jauh dari pertigaan jalan raya Lembang ini, sekitar 15 menit sebelumnya.“Kalo dari petunjuk jalan yang dikasih tau Pak Epi, di depan itu kita belok kanan Mas.” Danang bilang begitu ke Dimas.“Yakin ya?”“Yakin,” Jawab Danang.Ah akhirnya sebentar lagi sampai, aku sudah gak tahan pingin rebahan, capek juga duduk dari tadi. Dari belokan yang Dimas maksud tadi, kami memasuki jalan mengecil, namun masih bagus untuk dilewati.Jendela kami buka lebar-lebar, membiarkan angina sejuk masuk dan terhirup.“Asik banget ya suasananya,” Putri yang dari awal lebih banyak diam, akhirnya bersuara. Langit yang juga sedang mendung semakin membuat syahdu, benar-benar menenangkan.Kira-kira 20 menit dari belokan tadi, akhirnya kami sampai. “Nah, kayaknya ini nih gerbang masuknya. Gw turun dulu.” Begitu kata Danang, ketika kami sampai di depan gerbang besi besar dan tinggi, lalu dia turun untuk membukanya.Dari gerbang masuk itu, yang kelihatan hanya pepohonan tinggi dan rindang, belum ada bangunan villa sama sekali.Sepertinya baru saja turun hujan, jalanan basah dan beberapa bagiannya ada genangan air. Jalan kecil, hanya bisa dilalui satu mobil saja, dan lagi-lagi jalannya menanjak.Satu atau dua menit kemudian, barulah terlihat ada bangunan, harusnya sih itu villa-nya, karena gak ada bangunan lagi selain itu. Eh bentar, ternyata ada bangunan satu lagi di sebelah kanannya, bentuknya lebih kecil dari bangunan utama.“Yakin lo ini villa nya Nang?” Tanya Hani.“Ntar, gw telpon Pak Epi dulu.” Jawab Danang. Kemudian Dimas memarkirkan kendaraan di depan Villa besar itu, lalu kami semua turun dari kendaraan.Sementara Danang coba menghubungi Pak Epi, kami berjalan melihat-lihat keadaan sekitar villa. Benar kata Danang, Villa ini bangunan lama tapi kelihatan rapih dan bagus, sepertinya memang baru daja direnovasi. Bertingkat, tomboknya tebal dan kokoh, bercat putih dengan sedikit garis hitam pada kusen pintu dan jendela. Halamannya sangat luas, sekeliling villa terhampar rumput hijau terawat, pohon pinus menjulang di banyak bagian. Benar-benar asri dan menyejukkan.Sementara teman-teman melihat bagian sisi lain, aku malah tertarik dengan bangunan kecil di sebelah kanan. Iya, bangunan ini menarik perhatianku. Berbentuk bangunan dasar, empat dinding membentuk bangunan persegi panjang, dengan atap genteng segi tiga. kecil tapi gak terlalu kecil.Dinding tembok hanya jadi pondasi setinggi satu atau dua meter, selebihnya kayu yang jadi penunjang atap. “Ini bangunan apa sih?” Aku bertanya-tanya dalam hati sambil berdiri tepat di depan pintunya, pintu kayu yang besar, dan sepertinya gak terkunci karena agak sedikit terbuka. Aku semakin tertarik setelah beberapa saat kemudian mendengar suara, sepertinya suara yang berasal dari dalam.“Krieeeeet, krieeeeeeet, krieeeet,” Kira-kira seperti itu bunyinya.“Suara apa itu?” Gumamku sendirian. Suara aneh, membuat aku semakin ingin untuk membuka pintunya dan melihat ke dalam.Krieeeeet, krieeeeeeet, krieeeet..Kedengaran lagi,Penasaran, akhirnya aku nekat meraih gagang pintu dan perlahan membukanya. Krieeeeet, krieeeeeeet, krieeeet..Setelah pintu sudah sebagian terbuka, aku masih belum bisa melihat ke dalam dengan jelas karena sangat gelap, sama sekali gak ada cahaya.Semakin penasaran, karena ketika pintu sudah dibuka, suara itu masih saja kedengaran. Krieeeeet, krieeeeeeet, krieeeet, “Nisaaa!, ngapain lo di situ, ayok masuk.”Teriakan Dimas dari depan villa mengagetkanku. Ya sudah, aku tutup lagi pintu bangunan kecil itu sebelum sempat melihat apa-apa di dalamnya.“Pak, itu bangunan apa ya?”Masih penasaran, aku akhirnya bertanya kepada Pak Epi yang ternyata sudah datang sejak tadi, dia sedang berbincang dengan Danang. “Oh, itu gudang neng. Jangan masuk ke situ lah ya, kotor. Banyak barang-barang teu jelas.” Begitu kata Pak Epi sambil menghisap rokok, lelaki berumur sekitar 40 tahun, bertubuh kurus dan berkumis tebal. Oh ternyata gudang.Tapi aku masih saja penasaran dengan bunyi misterius yang terdengar dari dalamnya tadi, suara apakah itu? “Ini di dalam sudah siap semua, Gas untuk masak, kompor, air minum, kopi, teh, sudah ada semua. Termasuk kayu bakar dan perlengkapan panggang sudah ada di belakang. Kamar juga sudah bersih, pokoknya tinggal isi weh, hehe.” Begitu kata Pak Epi dengan logat sundanya yang kental. “Saya tinggal di bawah situ, cuma lima menit dari sini, kalo ada apa-apa atau perlu apa-apa tinggal telpon aja kana hape, 24 jam siap sedia, hehe.” Sekali lagi beliau cengengesan di akhir kalimat. Orang yang menyenangkan. Gak lama setelah itu, Pak Epi pergi dengan motornya, meninggalkan kami.Udara dingin sejuk terhirup ketika kami masuk ke dalam villa.Bangunan yang sangat bersih, lantai terbuat dari keramik berwarna gelap khas bangunan jaman dulu, dinding tebal didominasi cat putih bersih. Kami langsung menemui ruang tengah, dengan sofa kulit besar dan meja di tengahnya, menghadap tv tabung besar di sisi berlawanan.Ruang tengahnya sangat besar, ada dua kamar di lantai dasar. Di bagian belakang tempatnya dapur dan dua kamar mandi bersebelahan. Di depan kamar mandi dan dapur ada tangga yang menuju lantai atas. Aku lalu naik ke atas. Di atas ada tiga kamar, gak ada kamar mandi, tapi ada ruang tengahnya juga, gak ada tv.Teras cukup besar jadi tempat bersantai di lantai atas bagian depan. Wait, di bawah ada dua kamar, di atas ada tiga kamar, bukannya kemarin Danang bilang kamarnya ada empat, kok tiba-tiba ada lima? “Nang, kok kamarnya lima?” Tanyaku ke Danang di lantai bawah.“Iya, barusan gw telpon Pak Epi, dia bilang kamar yang itu kuncinya rusak, jadi gak bisa dibuka. Katanya gudang juga dalemnya.” Jawab Danang sambil tangannya menunjuk ke kamar depan yang letaknya di sebelah kiri tv. Oh gitu, kok gitu ya? Emang seberapa susah sih memperbaiki kunci pintu sampai dibiarkan kamarnya tertutup rapat?, pertanyaan itu yang muncul di kepalaku. Tapi ya sudahlah, aku gak memikirkannya lebih jauh. Secara keseluruhan, villa ini sangat nyaman, tempat yang benar cocok untuk menyepi menjauh dari hingar bingar sesak Jakarta.Kami sangat senang dengan keadaan dan suasananya, pada awalnya“Gw sama Danang Putri mau nyari ayam dulu buat ntar malem ya, lo ikut gak Nis? Hani gak mau ikut katanya.”Sekitar jam setengah lima Dimas bilang begitu, mereka bertiga mau ke pasar Lembang.“Gak ah, gw mau di sini aja.” Jawabku. Ya sudah, akhirnya mereka bertiga berangkat menggunakan mobil. Tapi sebelum berangkat, Hani bilang kalau dia mau nebeng sampai ke toko yang letaknya gak jauh dari Villa, dia mau membeli minuman dan makanan kecil, Hani bilang juga dia akan kembali ke Villanya jalan kaki aja, gak jauh juga katanya. Akhirnya aku sendirian di villa pada sore hari itu.Sendirian? masa sih..Setelah keempat sahabatku pergi, aku bersantai di depan tv, sambil menunggu Hani pulang.
Harusnya sih Hani gak lama, karena kalau gak salah toko yang dia tuju gak terlalu jauh jaraknya. Sekitar 20 menit kemudian, aku mendadak pingin buang air kecil. Kebiasaan di tempat dingin, aku akan sering buang air kecil, begitulah.Ya sudah, aku lalu berjalan menuju kamar mandi yang letaknya di belakang. Seperti yang aku bilang di awal tadi, ada dua kamar mandi yang letaknya bersebelahan persis.Kamar mandi berpintu tebal, di dalamnya masih menggunakan bak air besar, walau sudah ada air mancur air panas.Aku masuk ke kamar mandi sebelah kanan, lalu melaksanakan niatku. Ternyata, setelah aku perhatikan, di dalam kamar mandi ada lubang kecil pada bagian atas dindingnya. Lubang ini sepertinya terhubung dengan kamar mandi sebelah. Jadi harusnya kalau ada aktivitas di kamar mandi sebelah, akan kedengaran olehku. Benar saja, tiba-tiba aku mendengar suara pintu terbuka kemudian menutup dari sebelah.Sepertinya itu Hani, aku yakin itu, karena memang harusnya dia sudah kembali ke villa lagi. “Han, langsung ke kamar mandi aja lo. Kebelet ya? Hehe.” Tanyaku.“Iyaa.” Hani menjawab dari sebelah, dengan logat sunda.Logat sunda? Hani kan orang jawa, sama sekali gak bisa berlogat sunda. “Halaah, baru beberapa jam di Bandung aja udah sunda logat lo Han, lebay ah.” Aku bilang begitu, masih di dalam kamar mandi.“Iyaa, hihihihi.” Hani menjawab begitu, pelan, sambil cekikikan.Dasar Hani, begitu gumamku dalam hati. Setelah selesai, aku keluar dan bermaksud kembali ke ruang tengah.Tapi, ketika sedang di depan kamar mandi, aku melihat kalau pintu kamar mandi sebelah dalam keadaan terbuka dan dalamnya kosong. Hani ke mana? Kok gak ketahuan keluarnya?.Aku pikir juga, mungkin Hani sudah masuk ke kamarnya di atas.Gak pikir macam-macam, aku lalu menuju ruang tengah, kembali bersantai depan tv. Ketika sedang asik-asiknya bersantai, tiba-tiba Hani muncul dari pintu depan, membawa serta banyak belanjaan di kedua tangannya. “Aduh, ternyata tokonya agak jauh ya, capek juga gw jalan kaki, mana nanjak terus lagi. Hehe.”Begitu kalimat pertama yang muncul dari mulutnya, lalu dia merebahkan tubuhnya di sofa. “Han, lo baru dateng emang? Beneran baru dateng?” Tanyaku sangat penasaran.“Lah iya, emang kenapa? Kok kaget? Ngeliat gw kaya ngeliat setan aja lo ah.” Jawab Hani. “Lo gak becanda kan? Gak lagi ngerjain gw?” Tanyaku sekali lagi.“Nggak Nisaaa, ini keringet gw masih bercucuran kayak habis hiking. Ada apa sih emangnya?”“Gak, gak ada apa-apa.” Jawabku pendek.Kalau Hani baru aja datang, lalu siapa yang tadi ada di kamar mandi sebelah?Malam pun tiba,Sekitar jam tujuh, Dimas Danang dan Putri akhirnya kembali ke rumah dengan semua keperluan kami.Aku yang sore tadi baru saja mengalami kejadian janggal, sudah bisa sedikit tenang dan agak melupakan ketika semua akhirnya berkumpul. Malam pertama, kami menghabiskannya dengan barbekyu-an di teras atas, berbincang senda gurau sambil menikmati dinginnya malam.Oh iya, dari teras atas ini kami bisa menikmati juga city light yang menjadi pemandangan indah.Sungguh saat-saat yang menyenangkan. Hmmm, seperti yang kubilang tadi, aku menjadi sering ingin buang air kecil kalau sedang berada di udara dingin. Sekitar jam sembilan, hasrat itu muncul lagi, aku pingin pipis. “Gw ke bawah dulu ya, kebelet lagi nih.” Aku bilang begitu.“Ah beser lo Nis kalo di bandung. Perlu ditemenin gak?” Kata Dimas.“Gak perlu, sebentar kok.” Jawabku.Lalu aku bergegas ke bawah, sementara empat temanku tetap di teras atas. Sesampainya di bawah, keadaannya terang benderang, karena memang kami biarkan lampu menyala semua, termasuk dua kamar mandi dan dapur.Aku coba berjalan dengan santai tanpa beban karena tiba-tiba teringat dengan peristiwa sore tadi. Akhirnya memutuskan buru-buru melangkah agar cepat sampai kamar mandi. Aku memilih kamar mandi yang sebelah kanan lagi, sebelum masuk aku melihat kalau kamar mandi sebelah kiri pintunya dalam keadaan terbuka.Sesampainya di dalam aku langsung pipis. Dalam keparnoan yang mulai muncul lagi, aku jadi semakin was-was ketika terdengar kalau pintu kamar mandi sebelah seperti ada yang menutupnya, iya, pintunya tertutup. Awalnya aku diam, sambil terus menajamkan pendengaran, tapi gak ada suara apa-apa lagi.Penasaran..“Put..? Hani..? lo ya? Jangan becanda deh kalian.” Begitu ucapku.Gak ada jawaban..Tapi, beberapa detik kemudian baru terdengar suara.. “Nisa..”Begitu suaranya, ada yang memanggil namaku dari dalam kamar mandi sebelah!Suaranya jelas terdengar, diakhiri dengan suara tawa tertahan.Sontak aku langsung keluar kamar mandi, lalu lari menuju lantai atas, tanpa sedikit pun melihat ke belakang.*** “Knapa muka lo begitu Nis?” Tanya Putri sesampainya aku di teras atas.“Hmmm, ada yang aneh di villa ini.” Jawabku pelan.“Aneh gimana?” Tanya Danang yang ikut penasaran.Lalu aku ceritakan kepada mereka semua tentang kejadian yang baru saja aku alami dan sore tadi. “Mungkin gak sih kalo itu cuma perasaan lo doang Nis?” Hani coba untuk mencari celah logika.“Gak Han, gw yakin, gw denger suara itu jelas banget.” Aku bersikukuh. “Jadi tolong, malam ini kita tidur bareng-bareng aja ya, gw takut.”Mereka setuju, supaya aku merasa tenang.Akhirnya, sekitar jam 11 acara berbincang selesai, lalu kami masuk ke dalam, karena udara juga sudah semakin dingin menusuk tulang.*** Benar, akhirnya kami tidur bersama dalam satu kamar.Tetapi ketika pertama kali masuk kamar, hanya aku, Putri, dan Hani, sementara Dimas dan Danang masih ingin menonton tv di bawah. Mungkin karena sudah lelahnya badan ini, aku jadi gak kesulitan untuk tidur, ketika sudah bertemu bantal dan berselimut aku langsung terlelap.Tapi hanya sebentar, sekitar jam satu dini hari aku terbangun karena tiba-tiba pingin pipis. Posisi tidur kami bertiga berjajar di atas tempat tidur yang sangat besar, aku di sisi sebelah pinggir, Hani di tengah. Sedangkan Putri di bagian ranjang dekat dinding, tidurnya pun menghadap dinding, aku hanya melihat punggungnya saja. Sebelum berjalan ke bawah, aku duduk sebentar di pinggir tempat tidur, mengucek-ngucek mata, mengumpulkan kesadaran. “Nisa mau ke mana?” Tiba-tiba seperti suara Putri kedengaran bertanya.“Pipis Put.” Jawabku pendek sambil melirik ke arah Putri yang masih saja menghadap ke dinding.Lalu aku melihat Putri hanya mengeleng, tanpa bersuara. Sementara hani masih saja terlelap. Aku lalu berjalan ke luar kamar dan menuruni tangga, menuju kamar mandi.Di bawah, aku melihat Danang, Dimas, dan Putri, mereka bertiga masih asik ngobrol depan TV.Iya, ada Putri juga ternyata. Aku berhenti melangkah di ujung tangga ketika sadar akan hal itu. “Knapa lo Nis?” Tanya Dimas.“Pipis lagi lo?” Tanya Danang.Aku lalu ke kamar mandi, karena memang sudah sangat kebelet pipis. Setelah selesai dari kamar mandi, aku lalu menceritakan kejadian yang baru saja aku alami. Kemudian kami semua naik ke kamar atas, untuk melihat keadaan.Benar saja, di dalam kamar hanya ada Hani sendirian yang masih saja terlelap, gak ada siapa-siapa lagi.*** Keesokan harinya, kami bangun agak siang karena semalaman kurang tidur membahas beberapa peristiwa yang aku alami.Jam sepuluh, kami baru berkumpul semua di ruang tengah.Nasi goreng buatan Hani menjadi santapan pagi itu. “Nanti, gw sama Danang jumatan di masjid yang di depan itu ya, gak jauh-jauh kok. Nanti beres jumatan baru kita jalan muter-muter Lembang, hehe.” Begitu Dimas bilang di tengah kami bersantap. Begitulah, jam 12 siangnya, Danang dan Dimas benar menuju masjid depan untuk sholat jumat, aku bersama Hani dan Putri menunggu di villa sambil bersiap untuk keluar. Sambil menunggu Dimas Danang Jumatan, aku mencari udara segar dengan berkeliling sekitaran villa, sementara Hani dan Putri mandi dan bersiap. Siang itu cuaca sangat cerah, langit biru nyaris tanpa awan, tapi tetap saja udaranya sejuk dan dingin. Aku terus berjalan melihat-lihat sekitar. Sampai akhirnya lagi-lagi aku mendengar suara, suara yang persis sama dengan yang aku dengar ketika baru saja tiba kemarin, “Krieeeeet, krieeeeeeet, krieeeet”, kira-kira seperti itu. Sumbernya pun sama, dari dalam bangunan kecil yang ada di samping kanan villa, menurut Pak Epi itu adalah gudang kotor, yang kebetulan saat itu aku sedang berdiri gak jauh dari situ. Penasaran, aku lalu melangkah menuju pintu gudang.Semakin dekat jarak langkah, semakin jelas suara kriet-kriet itu terdengar. Agak ragu ketika akhirnya aku sampai di depannya, antara takut dan penasaran. Tapi akhirnya rasa penasaran mengalahkan segalanya, lalu aku memberanikan membuka pintunya.Belum sempat pintu terbuka penuh, tiba-tiba ada suara memanggil dari arah villa. “Nisaaaa, mau ngapain lo? Hayu jalan ah.” Dimas memanggilku, ternyata dia sudah selesai jumatan.Gagal lagi aku untuk tahu suara apa gerangan dari dalam gudang.Setelah itu, kami langsung keluar villa untuk berjalan-jalan keliling lembang.*** Sekitar jam 10 malam, kami sudah sampai lagi di villa setelah selesai jalan-jalan.Beda dengan malam kemarin yang cuacanya cerah, kali ini langit Lembang tertutup awan, gerimis kecil turun dari langit. Di dalam villa kami bergantian mandi membersihkan diri, setelah itu berkumpul lagi di ruang tengah untuk berbincang dan bersenda gurau. Kami coba untuk melupakan semua peristiwa seram yang aku alami kemarin. Singkat kata, sekitar jam 12 malam kami masuk kamar atas, berlima tidur dalam satu kamar.Semuanya berjalan normal, gak lama setalah masuk kamar kami semua langsung terlelap dalam mimpi masing-masing. Normal..Tapi hanya beberapa jam saja, karena sekitar jam dua ada kehebohan di dalam kamar, aku jadi kaget terbangun. “Nisa, ayok cepetan beresin barang-barang lo, kita pergi dari villa ini sekarang juga.” Begitu kata Dimas agak panik dan heboh.“Ada apa Mas? Yang lain pada ke mana?” Tanyaku yang jadi ikutan panik. “Nanti aja ceritanya, buruan beresin barang-barang lo. Yang laen udah pada di bawah, udah siap pergi semua.” Lanjut Dimas.Ya sudah, aku nurut, lalu membereskan semua barang-barangku. Setelahnya kami langsung ke bawah. Benar, sudah ada Hani Putri dan Danang di bawah.Wajah Hani pucat, dengan mimik sangat ketakutan, begitu juga dengan Putri.“Ada apa sih ini?” Tanyaku semakin panik.“Nanti aja Nis di jalan ceritanya. Ayok berangkat” Jawab Danang. Lalu, pada jam dua pagi itu, kami pergi meninggalkan villa menuju kota Bandung untuk mencari hotel, kami pindah penginapan.“Ada apa siiiiiih?, kalian cerita doooong.” Di dalam mobil dalam perjalanan, sekali lagi aku bertanya. Jadi, ternyata sekitar jam satu, Hani dan Putri mengalami kajadian yang sangat menyeramkan.Sambil terbata-bata dan menahan tangis, keduanya akhirnya bisa mulai cerita.*** Jadi, setelah kami masuk kamar kemudian terlelap, sekitar jam satu Hani terbangun.Dia terbangun karena mendengar suara yang samar namun masih jelas. “Krieeeeet, krieeeeeeet, krieeeet,” Kira-kira seperti itu suaranya menurut cerita Hani.Suara yang persis sama dengan yang aku dengar bebrapa kali sebelumnya. Hani penasaran, dia bangun dari tidurnya, lalu duduk di atas tempat tidur, menajamkan pendengaran.Benar, dia yakin kalau mendengar suara itu, dan yakin juga kalau suaranya berasal dari gudang di sebelah villa. “Han, lo denger juga?” Tiba-tiba Putri yang tidur di sebelah bilang begitu.“Iya Put, gw denger. Itu suara apa ya?” Jawab Hani.“Udahlah tidur aja, abaikan.”“Gak bisa Put, suaranya ganggu banget, penasaran juga gw.” “Trus lo mau apa? Nyamperin itu suara?”“Iya Put, anterin yuk. Penasaran gw.”ADVERTISEMENT“Aaaah gw takut ah”“Ayolaaah Put, takut ada apa-apa.” Akhirnya, entah apa yang ada di pikiran Putri, akhirnya dia menuruti permintaan Hani, kemudian mereka turun lalu keluar villa menuju asal suara, yaitu gudang di sebelah. Hanya berbekal cahaya lampu senter dari ponsel, perlahan mereka menembus gelap, berjalan di atas rumput basah sisa hujan.Krieeeeet, krieeeeeeet, krieeeet..Sementara suara itu semakin jelas terdengar, seiring dengan semakin dekatnya jarak gudang.Terus terdengar.. Sampai akhirnya mereka berdua sampai juga di depan pintu gudang.Gudang dalam keadaan gelap total, gak ada cahaya sama sekali, lagi-lagi hanya cahaya senter ponsel yang membantu penglihatan.Krieeeeet, krieeeeeeet, krieeeet.. Akhirnya, Hani memberanikan diri untuk meraih gagang pintu untuk membukanya..Perlahan tapi pasti, pintu gudang akhirnya terbuka lebar. Isi gudang masih gelap, sama sekali gak kelihatan apa-apa, karena Hani dan Putri belum menyorot cahaya ponselnya ke dalam, tapi suara kriet-kriet itu sangat jelas kedengaran. Sampai akhirnya mengarahkan cahaya senter ponsel ke dalam, baru pada saat itulah mereka bisa melihat semuanya, bisa melihat sumber suara misterius itu berada. Persis di tengah gudang, ada perempuan yang menggantung dengan tali di lehernya, tubuhnya berayun ke depan ke belakang.Ada perempuan berposisi gantung diri.. Suara kriet-kriet itu ternyata berasal dari gesekan tali tambang yang terikat pada palang kayu di atap gudang, tali tambang di ujung satu laginya melilit di leher perempuan yang berayun di bawahnya. Sontak mereka langsung menjerit ketakutan, dan berlari masuk ke villa sambil menangis. Dimas yang pertama kali ditemui, langsung mereka ceritakan kejadian yang baru saja dialami.Dimas yang pemberani, kemudian melangkah menuju gudang tanpa ragu, untuk memeriksanya, apakah benar ada orang gantung diri di gudang? Dimas ingin memastikan itu. Ternyata, Dimas gak menemukan apa-apa, gudang sempit itu kosong melompong, gak ada siapa-siapa.Makanya, setelah itu mereka langsung membangunkanku yang masih tertidur di kamar atas.Itulah alasannya kenapa kami memaksa diri untuk meninggalkan villa saat itu juga.Sekelompok perempuan muda menginjakkan kakinya di area LPK ( Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan ). Tawa mereka riang, penuh suka cita menyambut mimpi kecil mereka. Kegembiraan makin bertambah ketika mereka bercengkerama dengan siswa lain dari beragam daerah. Saling menyapa, kemudian berkenalan. Tak dihiraukan penat yang menyelimuti raga karena kebahagiaan adalah tercapainya harapan dan impian.Akhirnya kelelahan mulai menghinggapi tubuh mereka hingga berbalut keringat. Peluh pun mulai mengaliri kening dan pelipis yang tak lagi bersih, penuh debu. Ada keinginan tak tertahankan untuk meluruskan kaki-kaki panjang mereka di ranjang berkasur empuk. Huuf! Tubuh mereka butuh istirahat!Waktu beranjak cepat hingga di ujung senja. Pelatihan di hari pertama usai sudah. Mereka segera berlari menuju asrama putri. Tiba di depan asrama, mereka pandangi bangunan tua berwarna kuning pucat itu. Sebuah bangunan dengan arsitektur klasik dan berjendela kayu jati. Pintu kayu berd
“Itu di depan mobil siapa Pa?”“Hehe, bagus kan? Temen Papa di kantor jual murah banget. Ya udah Papa beli deh”“Waaah, kenapa beli mobil tua sih, sering mogok loh nanti.”“Enak aja kamu, mesinnya masih bagus itu, bodinya juga mulus kan, hehehe.”Itu percakapan dengan Ayah ketika aku baru sampai rumah sepulang kuliah.Percakapan yang dipicu oleh keherananku ketika melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Mobil yang telihat umurnya sudah cukup tua, tapi bisa dibilang masih bagus penampilannya, bodi mulus mengkilat.“Papa ini ada-ada aja, mobil tua dan kuno kok dibeli.” Lanjutku.“Itu mobil klasik, antik, bukan mobil tua. Dasar kamu ya.” Jawab Papa sambil terus serius melihat ponsel di tangannya.Tapi benar juga sih, mobil yang baru papa beli ini adalah BMW seri 3 tahun 80an, warna silver mengkilat, seperti aku bilang tadi, bodinya masih ke
Aku Rizky, Mahasiswa angkatan 2005 salah satu kampus di Jatinangor, Jawa Barat.Yang akan aku ceritakan kali ini adalah peristiwa yang aku alami sendiri pada tahun 2006.Begini ceritanya..Seperti mahasiswa lain yang berasal dari luar daerah di mana letak kampus berada, aku yang berasal dari Sukabumi harus ngekost juga.Tempat kostku gak teralu jauh dari kampus, masih bisa dijangkau dengan jalan kaki untuk pulang pergi kuliah.Dan, sama juga dengan sebagian besar anak kost lainnya, aku juga mengandalkan transportasi umum kalau harus ke tujuan agak jauh, salah satunya angkot.Ngomong-ngomong soal angkot, boleh dibilang aku sangat jarang menggunakannya, karena tempat kost berada di tengah-tengah, jadi kalau mau ke mana-mana masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki.Kalau mau ke tempat tujuan jauh naik apa dong?.Nah, kalau melihat letak di mana Jatinangor berada, yaitu di antara kota Bandung d
“Itu di depan mobil siapa Pa?”“Hehe, bagus kan? Temen Papa di kantor jual murah banget. Ya udah Papa beli deh”“Waaah, kenapa beli mobil tua sih, sering mogok loh nanti.”“Enak aja kamu, mesinnya masih bagus itu, bodinya juga mulus kan, hehehe.”Itu percakapan dengan Ayah ketika aku baru sampai rumah sepulang kuliah.Percakapan yang dipicu oleh keherananku ketika melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Mobil yang telihat umurnya sudah cukup tua, tapi bisa dibilang masih bagus penampilannya, bodi mulus mengkilat.“Papa ini ada-ada aja, mobil tua dan kuno kok dibeli.” Lanjutku.“Itu mobil klasik, antik, bukan mobil tua. Dasar kamu ya.” Jawab Papa sambil terus serius melihat ponsel di tangannya.Tapi benar juga sih, mobil yang baru papa beli ini adalah BMW seri 3 tahun 80an, warna silver mengkilat, seperti aku bilang tadi, bodinya masih ke
Jangan Main ke Wahana IniKenalkan, aku Sarah. Tahun lalu sekitar pertengahan bulan Agustus, aku dan teman-temanku mengalami kejadian mengerikan di sebuah wahana angker. Ini semua gara-gara Dion kalau saja dia tidak mengajak kami main ke wahana itu mungkin petaka ini tak akan pernah menimpa kami.Dion itu salah satu sahabatku. Jadi, kami tuh sahabatan empat orang. Aku, Dion, Rendi (dia pacarku), dan satu lagi si Arin. Persahabatan kami sudah terjalin dari sejak lama.Di suatu siang, kami berempat sedang kumpul di kantin. Awalnya obrolan kami membahas dosen killer yang suka mengusir mahasiswa dari kelas. Tiba-tiba topik obrolan kami beralih membahas wahana malam. Kata Dion di dekat sini ada wahana malam yang seru banget.“Pokoknya kalian nggak akan kecewa. Ayolah kita ke sana,” kata Dion, ekspresi wajahnya penuh semangat.“Emang wahananya daerah mana sih?” tanya Rendi penasaran.“Di dekat Cise
tersenyum Waktu saya datang ke yayasan, adik saya maksa ikut, akhirnya saya ajak dia, tapi sore harinya ibu panti datang dan jemput dia pulang. Saya ga bisa telpon atau sekedar nanya kabar adik saya, saya kangen banget aki," Aki Toha tersenyum mendengar cerita gadis itu.Nama kamu siapa?,” tanya Aki.“Andini, Aki," jawabnya sambil tersenyum ceria.Setelah sampai di pasar, Andini meminta ijin untuk menuju panti yang letaknya bersampingan dengan toko klontong, Andini menunjuk panti itu kepada Aki dan berjanji akan kembali setelah 30 menit. Aki mengiyakan dan merekapun turun dari mobil.Ada Makhluk Gaib yang Mengikuti KamiSampai malam tiba, Dion tidak kunjung bangun. Dia tidur dengan sangat nyenyak. Aku tak tega kalau harus membangunkannya. Kami akhirnya menginap di rumah ambu Minah, kebetulan dia sangat baik dan mengizinkan kami untuk menginap di rumahnya.Ambu Minah memang hanya tinggal sendirian di rumah itu. Suaminya sudah lama
Kamar mandi, satu ruangan yang selalu ada di setiap bangunan, entah itu rumah, kantor, tempat ibadah, mall, dan lain sebagainya, kamar mandi pasti ada.Ya memang tujuan dibuat untuk memenuhi salah satu hasrat manusia, yaitu membersihkan diri alias mandi, buang air, atau kegiatan lainnya.Di dalam bangunan tempatnya berada, letak kamar mandi hampir pasti di bagian belakang, atau di lokasi yang agak tersembunyi, jarang sekali letaknya di bagian depan bangunan, hampir gak ada kan?Isi di dalamnya juga beda-beda, dari yang sederhana sampai yang mewah.Dulu, di rumah nenek, kamar mandinya masih ada bak air besar, di sebelahnya ada sumur sebagai sumber air, dan tentu saja letaknya di belakang rumah, di luar malah.Gw juga punya teman, yang kamar mandi rumahnya berukuran sangat besar dan mewah, gak ada bak air tentunya. Yang seru, di dalamnya ada taman kecil, sangat cocok buat sambil melamun, hehe.Begitulah kamar
-Sudut pandang Kevin-“Vin, ibu sebenarnya berat harus cerita ini ke kamu, di umur kamu sekarang mungkin kamu tidak akan paham akan keadaan keluarga akhir-akhir ini, tapi kamu sudah dewasa. Bahkan tahun ini keinginan kamu kuliah ibu ragu Vin,” ucap ibu, sambil mengelus kepalaku yang sedang duduk di teras rumah.“Kevin juga paham Bu, apalagi Ayah akhir-akhir ini terlihat tidak biasanya dan banyak sekali teman-teman ayah yang berkunjung ke rumah ada apa sih bu sebenarnya?” tanyaku.“Ayah bangkrut, utang ke Bank dari perusahan ayah tidak bisa dibayar lagi, sudah mencari investor ke mana-mana Ayah tidak dapat Vin,” jawab Ibu, sambil meneteskan air mata.Aku hanya bisa terdiam, baru kali ini selama aku lahir dari rahim yang aku sebut malaikat ini, aku harus melihat air matanya perlahan turun membasahi pipinya.Tatapannya pada wajahku sangat berat, seolah kalimat yang barusan keluar adalah kalimat yang tidak
Aduh bapak hampir lupa, Cokro. Ya tukang bersih-bersih itu. Dia sangat terobsesi dengan senam. Setiap Rabu pagi, dia rutin ikut senam di belakang barisan siswa."Pak, bapak yakin kalau pembunuh Veli adalah Cokro?" Tanya Eldi."Iya, bapak pernah bilang kalau Cokro belum sempat diperiksa polisi, tapi sudah meninggal dikeroyok siswa," ujar Gina."Bapak sendiri tidak yakin kalau Cokro pelakunya, tapi kasus itu sama sekali tidak pernah terungkap sampai sekarang," jelas Pak Gimin."Pak, saya yakin kalau kematian siswa di sekolah kita itu karena roh Cokro yang marah. Dia dituduh dan dibunuh begitu saja, siapa tahuCokro bukan pelakunya," Gina mengeluarkan kegelisahannya selama ini."Sudahlah Gina, Eldi. Kalian masih terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti ini.Gina menanyakan lokasi makam Cokro pada Pak Gimin, ia ingin berziarah dan meminta maaf mewakili semua siswa SMA Setia Bakti. Dengan harapan Cokro tidak lagi mengganggu siswa di sekolahnya.Di samping
Sekolah angker part3Gina dan Eldi masuk ke perpustakaan."Di, ini persis wajah perempuan yang ada di bayangkan gua semalem. Lihat deh dia masuk ke sekolah ini tahun 2000 dan berhenti tahun 2000 juga," Gina menyodorkan buku Arsip pada Eldi."Iya, juga ya. Kita tanya kepala sekolah aja, Gin. Siapa tahu Pak Gimin masih ingat tentang perempuan ini.""Lu benar, Di."Gina memotret foto Velicia Tjhia. Kemudian mereka bergegas menuju kantor kepala sekolah. Kebetulan Pak Gimin sedang ada di ruangannya. Ia terlihat sibuk dengan lembaran dokumen di atas meja. Malu-malu Gina dan Eldi masuk ke ruangan Pak Gimin."Selamat siang, Pak?""Iya, siang." Pak Gimin menoleh pada mereka berdua."Kami mau bicara sebentar saja.""Oh, iya silakan masuk, Nak."Mereka berdua duduk di hadapan Pak Gimin lalu menunjukkan sebuah gambar di layar smartphone Gina."Maaf ganggu waktunya, Pak. Apakah bapak kenal dengan siswi ini?"Pak Gimin terkejut, ia heran
Pembunuhan"Anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru, ya," kata Bu Yati, guru matematika.Veli dengan percaya diri masuk ke dalam kelas 3A didampingi kepala sekolah. Di kantong tasnya ada buah rambutan pemberian Pak Cokro."Hai semua, kenalin namaku Velicia Tjhia. Atau biasa dipanggil Veli. Aku pindahan dari SMA Darma Bakti Yogyakarta. Salam kenal semua," ujar Veli sambil tersenyum."Hai Veli," serentak semua murid di kelas itu menyapanya."Veli, kamu bisa duduk di samping Sinta ya," Kata Bu Yati.Veli mengangguk dan langsung menuju tempat duduknya."Baik, anak-anak. Tolong temani Veli dan terima dia dengan baik, ya." ucap Pak kepala sekolah."Iya, Pak," jawab semua murid serentak.Walau Veli siswa pindahan, tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan teman-temannya juga dengan setiap mata pelajaran. Veli terbilang siswi yang pintar. Ia kini menjadi pesaing beratnya Mona yang setiap tahun meraih juara satu di kelas itu.
Siapa nama kamu?Gina, lu serius berani sendiri?"Fika mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah tiga lantai. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati."Iya Fik. Itu jam tangan pemberian almarhum nyokap gua. Takut ilang kalau nggak diambil sekarang.""Lagian lu ada-ada aja pake lupa segala. Eh, gua nggak berani nganter lu masuk ke kelas, ya. Gua nunggu di sini.""Iya nggak apa-apa. Lu jagain motor gua.""Eh, tapi gua juga takut sendirian di sini gimana dong?" Fika merengek."Lu tenang aja. Gua pasti nggak akan lama-lama."Gina membuka gerbang sekolah yang kebetulan tidak dikunci. Sekolah SMA Setia Bakti memang tidak ada satpamnya. Pihak sekolah sudah membuka lowongan, tapi tidak ada orang yang berani melamar. Banyak cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut tentang sekolah itu."Gin, tunggu. Lu yakin mau masuk," Fika menarik lengan bajunya Gina."Eh, gua kan udah bilang kalau gua yakin mau masuk.
Pagi ini aku tidak masuk kerja karena tiba-tiba badanku demam tinggi. Aku juga sudah minum obat, tapi demamku tidak kunjung reda. Sekarang tubuhku malah menggigil. Wajahku tampak pucat saat kulihat di cermin. Kantung mataku juga mendadak hitam. Segera kubenamkan diri di atas kasur. Semakin lama tubuhku malah menggigil."Dinda...," dengan suara serak kupanggil Dinda."Iya, Mbak," sahutnya dari luar. Kudengar langkah kakinya mendekat ke kamarku."Mbak sakit?" tanya Dinda sambil melongokkan kepala dari balik pintu."Iya, Dinda. Kalau kamu nggak keberatan, tolong ambilkan mbak air hangat ya," pintaku sambil menggigil."Iya, Mbak. Tunggu ya."Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan membawa segelas air hangat. Aku meraih gelas itu dan menyeruput airnya."Mbak sakit apa? Sudah minum obat?" Dinda duduk di sampingku."Aku demam, Din. Sudah tadi," kuserahkan kembali gelas itu pada Dinda."Semoga lekas sembuh, Mbak," kata Dinda.Dia lalu ke
“Kamu apa-apaan Din! Mbokmu sudah meninggal! Hargai mbokmu!” aku meneriakinya.“Mbokku hidup lagi kok hahaha…,” Dinda lari-lari kecil mengelilingi jenazah mboknya.“Dinda! Mbak bilang hargai Mbok kamu!” aku menerobos hujan yang kian lebat, menghampiri Dinda.Kain kafan Mbok Ibah basah kuyup dan kotor, “Astagfirullah! Dinda apa-apaan kamu! Sadar Dinda sadar!” kupegang erat kedua tangannya agar dia mau diam.“Lepasin Mbak ih…!” dia berontak.“Ada apa ini?!” Pak Rahmat muncul dengan membawa payung.“Kenapa jenazah Mbok Ibah ada di sini?!” Pak Rahmat terkejut melihat jenazah itu.Dia langsung membopong jenazah Mbok Ibah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dinda susah sekali dikendalikan, dia malah menangis sambil memanggil-manggil mboknya. Pak Rahmat kembali tanpa menggunakan payung, dia langsung memangku paksa si Dinda yang masih mengamuk.“Is
Sore itu semua petugas puskesmas sudah pulang. Pak Sukra memberikan kunci puskesmas kepadaku. Malam ini aku mau menginap saja di puskesmas. Kebetulan ada hal yang mau kukerjakan. Aku akan menyusun rancangan penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya keselamatan saat bersalin.Lebih dari itu, jujur saja aku masih trauma kalau harus pulang ke rumah Dinda. Ada yang tak beres sama mboknya. Dan, aku yakin bidan yang pernah tinggal di rumah Dinda juga mengalami hal yang sama.Selepas magrib kututup gerbang puskesmas lalu mengunci pintu rapat-rapat. Aku mulai bekerja menyusun rancangan dan materi untuk penyuluhan. Selang beberapa saat ada yang mengetuk pintu. Sepertinya ada yang mau berobat. Segera aku beranjak dari tempat duduk dan langsung membukakan pintu.Di depanku berdiri seorang perempuan berbaju daster yang sedang hamil tua. Dia memegangi kandungannya sambil meringis kesakitan.“Tolong aku, Bu!” katanya dengan suara yang tertahan.“
Sebelum saya menceritakan pengalaman teman saya yang mulai dinas didaerah terpencil sebagai bidanOh iya, perkenalkan dulu, aku Maya. Aku tuh seorang bidan. Setelah lulus kuliah, aku sempat kerja di klinik. Sebenarnya klinik itu milik kakak iparku. Kalau kalian pernah ke Balaraja, klinik tempatku bekerja tidak jauh dari pasar Balaraja. Selama dua tahun aku bekerja di sana.Tahun 2016, pemerintah membuka lowongan CPNS. Aku iseng-iseng ikutan daftar. Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja bagaimana tes CPNS itu dan tidak punya harapan tinggi bisa lolos tes. Tapi, Tuhan berkata lain. Alhamdulillah aku lolos CPNS, lalu ditugaskan ke kampung terpencil.Nama kampungnya Mekar Sari. Di sana ada puskesmas yang kekurangan tenaga bidan. Oh iya, bukan kekurangan tapi tidak ada bidannya. Jadi bidan yang pernah tugas di sana minta dimutasi ke daerah lain. Dan... aku ditugaskan untuk mengisi kekosongan bidan di puskesmas itu.Aku tidak menyangka kalau kampung ini benar-benar terp
Menjelang setelah asar Pakde Anom sudah terlihat datang ke rumah keluarga pak Saiful. Lelaki paruh baya itu menyambutnya penuh suka cita. Ujung matanya juga menangkap dua sosok pemuda lain di belakang Pakde Anom. Seolah mampu membaca pikiran, pakde Anom pun menjawab:“Ini murid-muridku Pul, mereka juga akan membantu proses peruwatan nanti."“Oh, begitu pakde,” jawab pak Saiful sembari mempersilakan ketiganya masuk ke dalam rumah.Pukul 11 malam, kompleks perumahan terlihat mulai sepi. Tampak dua orang pemuda yang dibawa pakde Anom menggali tanah dengan sekop dan memendam sesuatu di empat sudut penjuru rumah.Tujuannya adalah menanam pagar gaib untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan saat proses ritual pengusiran. Pak Saiful tampak mengintip dari jendela di dalam rumah mengamati aktivitas tersebut. Sebuah tepukan pelan di bahu kanan membuatnya menoleh. Dilihatnya Pak Hasan mencoba memberikan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.Kedu