Teman-teman yang lain begitu menikmati suasana pagi hingga menjelang siang di pantai, tapi aku masih saja memikirkan kejadian yang baru saja terjadi di vila.
Gak mau merusak suasana, aku bersikeras untuk gak menceritakannya ke teman-teman. Singkat cerita, kamis pagi itu kami habiskan dengan menikmati suasana pantai.Setelahnya kami pulang kembali ke vila.Masih jam 12, kami sudah sampai di vila. Tapi, sementara teman yang lain langsung istirahat, aku malah berkeliling untuk melihat-lihat lingkungan sekitar. Saat itulah aku baru sadar kalau ternyata halaman belakang sangat luas, sampai-sampai pagarnya nyaris gak kelihatan, karena jauh dan juga tertutup pepohonan serta rumput ilalang. Beberapa pohon besar berdiri tegak, membuat suasana menjadi agak teduh walaupun sinar matahari menyengat terik.Aku terus berjalan berkeliling melihat-lihat. Bagian yang masih dekat vila memang kelihatan terawat dan rapi, tapi berbeda ketika sudah agak menjauh, mendekati pagar, rumput liar dan ilalang tumbuh tinggi, dedaunan kering berserakan. “Waahh, Pak Ilham ngerawat bersihin cuma yang deket-deket vila aja nih.” Begitu gumamku sendirian. Langkahku berhenti ketika hanya tinggal beberapa meter saja dari pagar.Pagar tembok yang harusnya berwarna putih, tapi sudah kusam terlihat.Pagar ini gak tinggi, hanya setinggi dada orang dewasa, jadi aku masih bisa melihat pemandangan yang ada di baliknya. Lanjut melihat-lihat sekitar, Semilir angin berhembus hangat, menerbangkan dedaunan jadi terangkat. Sesekali aku menyeka butir keringat yang jatuh bergulir di wajah. Suasananya sangat sepi, gak terdengar suara selain suara ranting daun pohon tertiup angin, benar-benar sepi.Sangat suka situasi seperti ini, gak ada kebisingan, gak ada hiruk pikuk memekakan telinga.Aku senang, sungguh suasana yang menenangkan. Sambil kaki menendang-nendang dedaunan kering, aku melangkah pelan menyusuri pagar tembok belakang, dari sisi kanan ke sisi kiri.“Loh, kok ada rumah?” Langkahku terhenti, ketika melihat ada satu bangunan di luar pagar, di sebelah kiri belakang. Jaraknya gak terlalu jauh, kira-kira hanya sekitar 20 meter dari tempatku berdiri. Bangunan berbentuk rumah biasa, gak bertingkat, ukurannya gak besar tapi gak bisa dibilang kecil, atapnya terbuat dari genteng tanah yang sudah berwarna gelap. Dinding depannya putih kusam. Aku dapat melihat jelas semuanya karena rumah ini gak berpagar, hanya rumput ilalang berdiri agak tinggi yang sedikit menghalangi pandangan.Sama juga, rumah ini berdiri sendirian, gak ada bangunan lain di kanan kirinya. Yang agak aneh, kalau diperhatikan, ternyata gak ada akses jalan menuju rumah itu, sama sekali gak ada meskipun hanya jalan setapak. Sekelilingnya hanya rumput liar semak belukar setinggi pinggang, seperti yang aku bilang tadi. Melihat semuanya, aku mengambil kesimpulan kalau rumah itu sepertinya rumah kosong, gak berpenghuni. Pada bagian depan, ada pintu dan dua jendela, satu jendela sepertinya jendela kamar, jendela yang lebih besar adalah jendela ruang tamu. Jendela yang besar ini berbentuk kusen kayu dengan permukaan kaca, beberapa kacanya ada yang pecah.“Serem amat itu rumah kosong.” Pikirku dalam hati setelah melihat semuanya, kemudian berniat untuk melangkah pergi dari situ. Tapi, ketika hendak melangkahkan kaki, aku melihat sesuatu,Kelihatan ada seseorang berada di dalam rumah itu.Ada orang di dalam rumah? Bukannya itu rumah kosong?Ya makanya, aku jadi tertarik untuk memperhatikan, alih-alih pergi meninggalkan. Walaupun gak terlalu jelas, tapi aku bisa melihat ada anak kecil sedang berdiri di balik jendela kaca, berdiri diam dengan wajah yang gak kelihatan jelas.Yang pasti, itu anak perempuan, berpakaian terusan warna gelap, rambutnya tergerai panjang. Dia terus saja berdiri, sepertinya berdiri menatapku. Kami saling bertatapan walaupun sinar mentari siang memantul dari jendela kaca.Itu siapa?Anak siapa?Ngapain dia sendirian di rumah kosong itu?Banyak pertanyaan di dalam kepala, Beberapa saat lamanya kami berposisi seperti itu.Hingga akhirnya aku mendengar teriakan memanggil dari belakang. “Neng, hati-hati, suka ada ular di belakang situ.”Ternyata Pak Ilham, dia ternyata sudah berdiri di belakang vila, entah sejak kapan dia sudah berada di situ.“Iya Pak.” Jawabku sambil tersenyum kepadanya. Beberapa detik lamanya aku mengalihkan pandangan dari sosok anak kecil tadi, hanya beberapa detik. Tapi, setelah aku kembali memandang ke rumah kosong itu lagi, ternyata anak perempuan itu sudah menghilang, gak kelihatan lagi. “Pak, itu yang ada di belakang rumah siapa ya? Punya pemilik vila ini juga?” Tanyaku kepada Pak Ilham ketika aku sudah bersamanya.“Bukan neng, itu mah beda pemilik. Punya orang Bandung juga, tapi udah lama gak diurus, gak tau kenapa.” Jawab Pak Ilham. “Jadi itu rumah beneran kosong Pak? Gak ada yang tinggal di situ?”“Ya gak ada lah neng, rumahnya udah gak keurus pisan gitu.” Aku gak melanjutkan bertanya, gak berani, takut ada pernyataan Pak Ilham yang nantinya bisa jadi akan membuatku ketakutan. Lebih baik diam dan gak membahasnya lagi.Kemudian aku masuk ke dalam Vila, sementara Pak Ilham menyiapkan ikan bakar sebagai menu makan siang kami.“Al, ke depan yuk bentar. Anterin gw beli rokok.”Sore itu ketika kami sedang kumpul di ruang tengah, tiba-tiba Devin mengajakku ke luar. “Bawa mobil gak?” Tanyaku.“Jalan aja ah, ke warung depan aja kok.” Jawab Devin.Ya sudah, lalu kami berdua berjalan kaki menuju toko di depan, Bayu dan Della tetap di vila. Toko kecil yang kami tuju jaraknya mungkin sekitar 200 meter, agak jauh memang, jarak ini memberikan kami waktu untuk berbincang panjang lebar.Berbincang panjang lebar? Iya ternyata Devin mengajak pergi ada tujuannya, dia ingin mengutarakan sesuatu. “Gw pingin ngomong ama elu nih.” Begitu Devin bilang membuka percakapan.“Apaan sih Dev, tumben-tumbenan.”“Gw gak mau ngomong depan Bayu ama Della, ama elu aja dulu deh.”“Ada apaan sih emang?” Aku semakin penasaran. “Lo ngerasa ada yang aneh sama vila itu gak sih Al? Jawab yang jujur ya.”Aku agak kaget mendengar pertanyaan Devin, kami sampai berhenti melangkah sebentar karenanya. “Lo kata nanya begitu?” Aku bertanya balik.“Dari kemarin kita dateng, feeling gw udah gak enak sama vila ini.”“Gak enak gimana?”“Gak enak aja, agak serem gitu perasaan.” Sesampainya di toko, kami lalu duduk di warung kopi yang ada di sebelahnya, lanjut berbincang di situ.“Nah, semalam kayaknya gw liat hantu deh Al.” Begitu Devin bilang to the point.“Hantu? Hantu apaan? Di mana?” Tanyaku.Lalu Devin bercerita panjang lebar. Devin bilang, sepulangnya dia dari luar untuk membeli minuman bersama Bayu, dia melihat sesuatu. Kebetulan, kemarin malam Devin yang duduk di belakang kemudi.Sesampainya mereka di depan vila, Bayu turun untuk membuka pagar supaya mobil bisa masuk. Nah pada saat itulah Devin melihat sesuatu di teras atas, dia melihat ada perempuan sedang berdiri sendirian. Awalnya, Devin pikir itu aku atau Della, karena ketika mereka pergi aku dan Della memang sedang di teras atas. Tapi setelah lampu mobil sudah benar-benar menyorot ke depan rumah, akhirnya dia yakin kalau yang sedang berdiri itu bukan aku atau Della. “Pas gw tegesin lagi, ternyata itu bukan kalian, karena penampakannya kayak anak kecil, masih SD gitu, perempuan, rambutnya panjang. Dia berdiri aja, diem di teras atas.”“Serem Al, gak mungkin itu orang, pasti setan, hiiii, merinding lagi gw.”Begitu cerita Devin. Mendengar itu, akhirnya aku ceritakan semua kejadian yang aku alami kemarin dan tadi pagi, tentang suara langkah kaki di lantai atas dan depan toilet, serta penampakan anak kecil di rumah kosong yang ada di belakang vila. “Nah, klop kan, ternyata lo juga ngerasain. Aduuhh, gimana nih Al? Mana udah dibayar sampe hari minggu nih vila. Asli, gw takut.”“Ya udahlah, gak usah dipikirin, kita senang-senang aja, cuekin. Semoga gak muncul lagi.” Begitu jawabku, pura-pura tegar. Kenapa Devin memutuskan hanya menceritakan semuanya kepadaku? Karena Bayu dan Della sangat penakut, parnoan. Kalau sampai mereka tahu tentang kejadian ini, dijamin langsung minta pergi meninggalkan vila dengan segera.Malam menjelang, malam jumat.Sekitar jam sembilan kami baru saja sampai di vila, sejak jam setengah tujuh menghabiskan waktu di pinggir pantai. Sengaja mengunjungi pantai untuk merasakan suasananya pada malam hari. Tapi, sesampainya di depan pagar vila, kami semua sempat berdiri diam, gak langsung melangkah masuk karena ada yang aneh, kami melihat vila dalam keadaan gelap gulita, sama sekali lampu gak ada yang menyala. “Kenapa gelap ya? Kan tadi lampu udah kita nyalain semua.” Ucapku membuka percakapan.“Iya, gw yakin kok tadi terang, lampu nyala semua.” Kata Bayu menimpali. “Mati lampu mungkin?” Tanya Della pelan.“Gak ah, sepanjang jalan ke sini tadi rumah-rumah lain nyala semua lampunya, masa kita doang yang mati lampu.” Devin akhirnya bicara.ADVERTISEMENT“Iya, bukan mati lampu deh, itu tv di dalam nyala.” Ucapku kemudian. Tv nyala? Iya, ternyata aku melihat ada cahaya dari ruang tengah, dari jendela yang tirainya tertutup pun kami dapat menebak kalau cahaya dari dalam itu berasal dari layar tv yang menyala.Kok bisa? Semua lampu mati tapi tv menyala sendirian? Sebentaran, aku dan Devin saling berpandangan, melempar gelagat yang sama, gelagat keanehan.“Ya udahlah, masuk aja yuk, mungkin ada terminal yang ngejepret.” Begitu Devin bilang, coba menenangkan.Kami akhirnya masuk. Benar, setelah sudah berada di dalam, cahaya terang yang kelihatan dari luar tadi ternyata memang dari layar tv. Dan benar juga, semua lampu di dalam dalam keadaan mati.Hmmmmm..
Setelahnya, kami berempat langsung menyalakan semua lampu, membuat seisi vila jadi terang kembali, lalu beraktivitas normal seperti biasanya, coba gak memikirkan keanehan yang baru saja terjadi, khususnya aku dan Devin. Kemudian malam semakin larut, kami masih terus berbincang di ruang tengah lantai bawah, di depan tv. Semilir angin terasa lebih kencang dari hari sebelumnya, semilir dinginnya masuk ke dalam melalui lubang-lubang ventilasi.“Malam ini anginnya kenceng ya, dingin pula.” Ucap Della.“Iya nih, dingiiiiinn.” Aku menimpali. “Guys, malam ini kita tidur sekamar aja ya, biar bisa ngobrol sambil nunggu ngantuk gitu.” Devin melempar ide, aku sepertinya mengerti maksud dia. Devin kelihatan mulai ketakutan, raut wajahnya beberapa kali memandangku dengan tatapan aneh, seperti memberi kode.ADVERTISEMENTBenar, aku mengerti maksudnya, kami berdua berfikir kalau tidur berempat dalam satu kamar mungkin akan bisa menghindari sesuatu yang gak diinginkan. Gak bisa dipungkiri, setelah kejadian lampu mati semua tapi tv menyala tadi, perasaanku jadi semakin gak enak, semakin menyadari kalau ada yang aneh dari tempat ini. Syukurlah, Bayu dan Della setuju dengan ide Devin, akhirnya kami memutuskan untuk tidur berempat, tidur di kamar atas yang dekat teras.Sekitar jam sebelas, kami semua masuk kamar, seluruh lampu kami biarkan menyala. Di dalam kamar, sebentar kami masih berbincang, tapi kemudian satu persatu akhirnya tidur.Kami semua terlelap..*** Awalnya gak tahu saat itu jam berapa, tapi tiba-tiba aku terbangun.Kamar dalam keadaan gelap, hanya sedikit cahaya dari luar yang membantu penglihatan. Aku mengambil ponsel yang tergeletak di samping bantal, lalu melihat ke layarnya, ternyata masih jam satu, kira-kira baru dua jam kami tertidur.Aku yang tidur di sisi ranjang, dapat melihat kalau Bayu dan Devin masih di posisinya masing-masing, tidur di lantai. Sementara aku dan Della di atas tempat tidur.Tapi tunggu, ternyata Della gak ada di sebelahku, dia gak ada di tempat tidur.Ke mana Della? “Ah mungkin dia ke kamar mandi.” Begitu pikirku dalam hati, karena melihat pintu kamar agak terbuka sedikit, mungkin itu pertanda kalu Della memang sedang ke kamar mandi.Dari celah pintu itu aku dapat melihat lampu ruang tengah dalam keadaan mati, jadinya temaram. Sedikit perang batin, logikaku mengatakan gak mungkin Della keluar kamar sendirian, kalau harus ke kamar mandi dia pasti akan membangunkanku untuk menemaninya, gak akan mungkin berani sendirian.Lalu kenapa pintu kamar dalam keadaan terbuka? Tapi aku terus memaksa diri untuk berpikir positif, coba menyingkirkan pikiran-pikiran jelek dan seram yang terus memaksa masuk ke dalam kepala.Aku hanya bisa diam, menunggu Della kembali ke kamar. Satu menit..Dua menit ..Tiga menit..Lima menit berlalu, belum juga ada tanda-tanda Della datang.Mulai semakin ketakutan bercampur panik, menit berikutnya aku berniat untuk membangunkan Devin dan Bayu, agar kami dapat mancari tahu keberadaan Della bersama-sama. Tapi, belum aku membangunkan mereka, tiba-tiba perhatianku teralihkan.Aku melihat kalau ada yang sedang berdiri di luar, berdiri di depan pintu..Della kah? Bukan, itu bukan Della. Ada anak kecil yang sedang berdiri di depan pintu, dalam temaramnya cahaya aku masih dapat melihatnya dengan jelas. Anak perempuan mengenakan baju berwarna gelap, rambutnya panjang tergerai ke belakang.Aku terpaku melihatnya, anak perempuan itu tetap berdiri diam sambil menatapku. Beberapa saat lamanya aku seperti terhipnotis.Kami berpandangan.Sampai kemudian, tiba-tiba dia tersenyum, tertawa..“Hihihihihihi..”Lalu lari ke arah kiri, menuju tangga.Aku seperti tersentak, lalu tersadar, kemudian merinding ketakutan.Lemas tubuhku kemudian. Beberapa detik kemudian, jantungku kembali seperti berhenti, karena tiba-tiba anak perempuan itu muncul lagi, kali ini dia berlari ke teras depan, berlari sambil tertawa riang.Aku semakin ketakutan.. Hanya berselang beberapa detik, anak itu lalu kelihatan lagi, balik lagi berlari menuju tangga, aku melihat semua itu masih dari celah pintu kamar yang terbuka.Cekam belum berhenti di saat itu, masih berlanjut. Beberapa detik setelah anak itu kelihatan sekelebat lari ke arah tangga, tiba-tiba aku melihat Della,dia berjalan cepat dari arah teras menuju tangga juga, dari gesturnya dia seperti mengejar anak perempuan tadi, Della terdengar sambil tertawa pelan. “Della..” Refleks aku memanggilnya.Tapi Della cuek, dia terus saja berlari kecil menuju tangga. Aku yang penasaran, kemudian berdiri lalu menuju pintu, belum berani langsung keluar kamar.Dari pintu aku melongokkan kepala, melihat ke arah tangga. Aku melihat Della sedang berdiri diam persis di depan tangga, dia gak bergerak sama sekali menghadap ke tangga bawah, membelakangiku.“Della..” Sekali lagi aku memanggilnya, tapi sekali lagi dia gak memberi respons. Akhirnya, perlahan aku memberanikan diri untuk melangkahkan kaki, untuk mendekat ke tangga, tempat di mana Della berada.Sangat pelan aku melangkah, rasa takut dan penasaran campur aduk menjadi satu. Sampai kemudian, akhirnya aku hanya tinggal satu langkah lagi untuk berada persis di samping Della. Tapi, pada posisi ini aku berhenti, diam gak bergerak, pandanganku tertuju ke tempat yang sepertinya Della juga sedang memandang ke sana, ke ujung tangga bagian bawah. Napasku sesak, lalu merasakan hawa panas yang tiba-tiba mengalir dari punggung lalu manjalar ke seluruh tubuh, aku melihat sesuatu yang menyeramkan di ujung bawah tangga.. Ada perempuan yang sedang berdiri, perempuan dengan wajah yang mengerikan, menyeringai menunjukkan mimik seram.Sosok perempuan itu gak sendirian, tangan kirinya menggandeng anak perempuan yang berdiri diam juga, tapi tawa kecilnya terdengar pelan cekikikan, “Hihihihihi..” Beberapa belas detik lamanya kami terus berposisi seperti itu. Hingga akhirnya, entah dapat kekuatan dari mana, aku meraih tangan Della lalu menariknya mundur.Della seperti dalam keadaan gak sadar, namun matanya terbuka lebar, wajahnya datar tanpa ekspresi.Aku terus menariknya menuju kamar. Setelah sudah berada di dalam kamar, aku menutup pintu.“Bayu, Devin, bangun..!” Dengan suara pelan, aku membangunkan dua teman laki-lakiku, sambil mengguncang-guncang tubuh mereka. “Della kenapa Al?” Tanya Bayu ketika sudah bangun dari tidurnya, dia aneh melihat Della berdiri di pojok kamar.Sementara Devin, dia langsung berdiri lalu mencari kunci mobil, dia seperti sudah tahu apa yang sedang terjadi. Kemudian, Della menangis pelan, tapi masih saja belum berbicara sepatah kata pun juga, hanya menangis. “Kita cabut, kita pergi dari vila ini.” Kata Devin.Aku setuju. Bayu juga begitu, tanpa banyak tanya dia langsung berdiri dan siap-siap keluar kamar. “Lo duluan Dev. Hati-hati di tangga, tadi ada di situ.” Bisikku ke Devin.“Lo sama Bayu bawa Della ya” Kata Devin lagi. Aku dan Bayu mengangguk pelan. Kemudian kami keluar kamar, Devin berjalan paling depan, Aku dan Bayu mengikuti di belakangnya sambil memeluk Della yang masih terus saja menangis. Sampai juga kami di tempat di mana tadi aku sebelumnya melihat sosok menyeramkan bersama anak kecil, tangga ke bawah.Syukurlah, dua sosok itu sudah menghilang, gak ada di tempatnya lagi.Buru-buru kami melangkah, menuruni tangga lalu berjalan cepat ke pintu keluar. Di luar, kami langsung masuk ke dalam mobil, Devin duduk di belakang kemudi. Lalu perlahan mobil meninggalkan halaman vila. Ketika sudah berada di luar pagar, aku yang duduk di kursi belakang, menoleh lagi ke arah vila. Saat itu aku melihat sosok perempuan bersama anak kecil itu lagi, mereka sedang berdiri di atas teras, bergandengan tangan, menatap kami yang berjalan terus menjauh pergi. Setelah sudah cukup jauh, barulah Della seperti tersadar.“Ini kok kita ada di mobil? Mau ke mana? Ada apa sih?” Tanya Della, dia terlihat gak tahu sama sekali tentang peristiwa seram yang baru saja terjadi.***Hantu Penunggu VilaJessica sahabatku mengajak untuk menginap 3 malam di Villa keluarganya di daerah Batu, Jawa . Sebenarnya aku enggan, karena hal ini mengingatkan akan kenangan masa kecil yang masih membuatku trauma hingga sekarang.Saat itu usiaku baru 8 tahun, ketika keluarga Ibu mengajak kami berlibur di Vila yang baru saja dibangun. Vila tersebut memiliki bangunan 4 lantai, dari luar semua tampak normal dan sama sekali tidak menunjukkan kesan seram.Aku yang saat itu masih kecil dan bosan karena harus melihat orang dewasa sibuk bercerita, memutuskan untuk turun ke bawah. Bawah merupakan ruangan basemant yang disulap menjadi kamar, lengkap dengan kamar mandi yang seluruhnya bertembok kaca.Pada saat siang hari semua tampak begitu indah, belum lagi pada zaman itu bangunan yang dipenuhi kaca masih jarang. Namun jangan harap kamu akan merasa nyaman ketika malam tiba.Keganjilan pertama yang kutemui adalah menemukan jejak kaki anak kecil di lantai, tidak se
Horor Villa Tua LembangAku Nisa, akan bercerita tentang pengalaman seram yang aku alami pada tahun 2011, bersama empat sahabat kampus, berlibur menghabiskan libur akhir pekan panjang di Bandung.Waktu itu kami masih kuliah tingkat akhir.Sama seperti anak-anak muda kebanyakan lainnya, Aku, Hani, Putri, Danang, dan Dimas punya rencana untuk menginap di kota kembang dengan mencari rumah atau Villa, bukan hotel per kamar, jadi bisa lebih leluasa untuk melakukan kehebohan tanpa harus khawatir mengganggu orang lain.Singkatnya, atas rekomendasi teman dari ayahnya Danang, kami memutuskan untuk menyewa satu villa besar bertingkat di daerah Lambang.Menurut Danang, teman ayahnya bilang kalau villa ini memiliki lahan yang luas, jadi gak berdempetan dengan villa atau bangunan lain, dan juga letaknya masih sangat asri dan banyak pepohonan, katanya sih gitu.“Iya, kata temen bokap gw, Villa ini gede, bagus, baru direnovasi, halamann
Sekelompok perempuan muda menginjakkan kakinya di area LPK ( Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Kesehatan ). Tawa mereka riang, penuh suka cita menyambut mimpi kecil mereka. Kegembiraan makin bertambah ketika mereka bercengkerama dengan siswa lain dari beragam daerah. Saling menyapa, kemudian berkenalan. Tak dihiraukan penat yang menyelimuti raga karena kebahagiaan adalah tercapainya harapan dan impian.Akhirnya kelelahan mulai menghinggapi tubuh mereka hingga berbalut keringat. Peluh pun mulai mengaliri kening dan pelipis yang tak lagi bersih, penuh debu. Ada keinginan tak tertahankan untuk meluruskan kaki-kaki panjang mereka di ranjang berkasur empuk. Huuf! Tubuh mereka butuh istirahat!Waktu beranjak cepat hingga di ujung senja. Pelatihan di hari pertama usai sudah. Mereka segera berlari menuju asrama putri. Tiba di depan asrama, mereka pandangi bangunan tua berwarna kuning pucat itu. Sebuah bangunan dengan arsitektur klasik dan berjendela kayu jati. Pintu kayu berd
“Itu di depan mobil siapa Pa?”“Hehe, bagus kan? Temen Papa di kantor jual murah banget. Ya udah Papa beli deh”“Waaah, kenapa beli mobil tua sih, sering mogok loh nanti.”“Enak aja kamu, mesinnya masih bagus itu, bodinya juga mulus kan, hehehe.”Itu percakapan dengan Ayah ketika aku baru sampai rumah sepulang kuliah.Percakapan yang dipicu oleh keherananku ketika melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Mobil yang telihat umurnya sudah cukup tua, tapi bisa dibilang masih bagus penampilannya, bodi mulus mengkilat.“Papa ini ada-ada aja, mobil tua dan kuno kok dibeli.” Lanjutku.“Itu mobil klasik, antik, bukan mobil tua. Dasar kamu ya.” Jawab Papa sambil terus serius melihat ponsel di tangannya.Tapi benar juga sih, mobil yang baru papa beli ini adalah BMW seri 3 tahun 80an, warna silver mengkilat, seperti aku bilang tadi, bodinya masih ke
Aku Rizky, Mahasiswa angkatan 2005 salah satu kampus di Jatinangor, Jawa Barat.Yang akan aku ceritakan kali ini adalah peristiwa yang aku alami sendiri pada tahun 2006.Begini ceritanya..Seperti mahasiswa lain yang berasal dari luar daerah di mana letak kampus berada, aku yang berasal dari Sukabumi harus ngekost juga.Tempat kostku gak teralu jauh dari kampus, masih bisa dijangkau dengan jalan kaki untuk pulang pergi kuliah.Dan, sama juga dengan sebagian besar anak kost lainnya, aku juga mengandalkan transportasi umum kalau harus ke tujuan agak jauh, salah satunya angkot.Ngomong-ngomong soal angkot, boleh dibilang aku sangat jarang menggunakannya, karena tempat kost berada di tengah-tengah, jadi kalau mau ke mana-mana masih bisa dijangkau dengan berjalan kaki.Kalau mau ke tempat tujuan jauh naik apa dong?.Nah, kalau melihat letak di mana Jatinangor berada, yaitu di antara kota Bandung d
“Itu di depan mobil siapa Pa?”“Hehe, bagus kan? Temen Papa di kantor jual murah banget. Ya udah Papa beli deh”“Waaah, kenapa beli mobil tua sih, sering mogok loh nanti.”“Enak aja kamu, mesinnya masih bagus itu, bodinya juga mulus kan, hehehe.”Itu percakapan dengan Ayah ketika aku baru sampai rumah sepulang kuliah.Percakapan yang dipicu oleh keherananku ketika melihat ada mobil asing terparkir di halaman. Mobil yang telihat umurnya sudah cukup tua, tapi bisa dibilang masih bagus penampilannya, bodi mulus mengkilat.“Papa ini ada-ada aja, mobil tua dan kuno kok dibeli.” Lanjutku.“Itu mobil klasik, antik, bukan mobil tua. Dasar kamu ya.” Jawab Papa sambil terus serius melihat ponsel di tangannya.Tapi benar juga sih, mobil yang baru papa beli ini adalah BMW seri 3 tahun 80an, warna silver mengkilat, seperti aku bilang tadi, bodinya masih ke
Jangan Main ke Wahana IniKenalkan, aku Sarah. Tahun lalu sekitar pertengahan bulan Agustus, aku dan teman-temanku mengalami kejadian mengerikan di sebuah wahana angker. Ini semua gara-gara Dion kalau saja dia tidak mengajak kami main ke wahana itu mungkin petaka ini tak akan pernah menimpa kami.Dion itu salah satu sahabatku. Jadi, kami tuh sahabatan empat orang. Aku, Dion, Rendi (dia pacarku), dan satu lagi si Arin. Persahabatan kami sudah terjalin dari sejak lama.Di suatu siang, kami berempat sedang kumpul di kantin. Awalnya obrolan kami membahas dosen killer yang suka mengusir mahasiswa dari kelas. Tiba-tiba topik obrolan kami beralih membahas wahana malam. Kata Dion di dekat sini ada wahana malam yang seru banget.“Pokoknya kalian nggak akan kecewa. Ayolah kita ke sana,” kata Dion, ekspresi wajahnya penuh semangat.“Emang wahananya daerah mana sih?” tanya Rendi penasaran.“Di dekat Cise
tersenyum Waktu saya datang ke yayasan, adik saya maksa ikut, akhirnya saya ajak dia, tapi sore harinya ibu panti datang dan jemput dia pulang. Saya ga bisa telpon atau sekedar nanya kabar adik saya, saya kangen banget aki," Aki Toha tersenyum mendengar cerita gadis itu.Nama kamu siapa?,” tanya Aki.“Andini, Aki," jawabnya sambil tersenyum ceria.Setelah sampai di pasar, Andini meminta ijin untuk menuju panti yang letaknya bersampingan dengan toko klontong, Andini menunjuk panti itu kepada Aki dan berjanji akan kembali setelah 30 menit. Aki mengiyakan dan merekapun turun dari mobil.Ada Makhluk Gaib yang Mengikuti KamiSampai malam tiba, Dion tidak kunjung bangun. Dia tidur dengan sangat nyenyak. Aku tak tega kalau harus membangunkannya. Kami akhirnya menginap di rumah ambu Minah, kebetulan dia sangat baik dan mengizinkan kami untuk menginap di rumahnya.Ambu Minah memang hanya tinggal sendirian di rumah itu. Suaminya sudah lama
Aduh bapak hampir lupa, Cokro. Ya tukang bersih-bersih itu. Dia sangat terobsesi dengan senam. Setiap Rabu pagi, dia rutin ikut senam di belakang barisan siswa."Pak, bapak yakin kalau pembunuh Veli adalah Cokro?" Tanya Eldi."Iya, bapak pernah bilang kalau Cokro belum sempat diperiksa polisi, tapi sudah meninggal dikeroyok siswa," ujar Gina."Bapak sendiri tidak yakin kalau Cokro pelakunya, tapi kasus itu sama sekali tidak pernah terungkap sampai sekarang," jelas Pak Gimin."Pak, saya yakin kalau kematian siswa di sekolah kita itu karena roh Cokro yang marah. Dia dituduh dan dibunuh begitu saja, siapa tahuCokro bukan pelakunya," Gina mengeluarkan kegelisahannya selama ini."Sudahlah Gina, Eldi. Kalian masih terlalu dini untuk memikirkan hal-hal seperti ini.Gina menanyakan lokasi makam Cokro pada Pak Gimin, ia ingin berziarah dan meminta maaf mewakili semua siswa SMA Setia Bakti. Dengan harapan Cokro tidak lagi mengganggu siswa di sekolahnya.Di samping
Sekolah angker part3Gina dan Eldi masuk ke perpustakaan."Di, ini persis wajah perempuan yang ada di bayangkan gua semalem. Lihat deh dia masuk ke sekolah ini tahun 2000 dan berhenti tahun 2000 juga," Gina menyodorkan buku Arsip pada Eldi."Iya, juga ya. Kita tanya kepala sekolah aja, Gin. Siapa tahu Pak Gimin masih ingat tentang perempuan ini.""Lu benar, Di."Gina memotret foto Velicia Tjhia. Kemudian mereka bergegas menuju kantor kepala sekolah. Kebetulan Pak Gimin sedang ada di ruangannya. Ia terlihat sibuk dengan lembaran dokumen di atas meja. Malu-malu Gina dan Eldi masuk ke ruangan Pak Gimin."Selamat siang, Pak?""Iya, siang." Pak Gimin menoleh pada mereka berdua."Kami mau bicara sebentar saja.""Oh, iya silakan masuk, Nak."Mereka berdua duduk di hadapan Pak Gimin lalu menunjukkan sebuah gambar di layar smartphone Gina."Maaf ganggu waktunya, Pak. Apakah bapak kenal dengan siswi ini?"Pak Gimin terkejut, ia heran
Pembunuhan"Anak-anak. Hari ini kita kedatangan murid baru, ya," kata Bu Yati, guru matematika.Veli dengan percaya diri masuk ke dalam kelas 3A didampingi kepala sekolah. Di kantong tasnya ada buah rambutan pemberian Pak Cokro."Hai semua, kenalin namaku Velicia Tjhia. Atau biasa dipanggil Veli. Aku pindahan dari SMA Darma Bakti Yogyakarta. Salam kenal semua," ujar Veli sambil tersenyum."Hai Veli," serentak semua murid di kelas itu menyapanya."Veli, kamu bisa duduk di samping Sinta ya," Kata Bu Yati.Veli mengangguk dan langsung menuju tempat duduknya."Baik, anak-anak. Tolong temani Veli dan terima dia dengan baik, ya." ucap Pak kepala sekolah."Iya, Pak," jawab semua murid serentak.Walau Veli siswa pindahan, tidak butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi dengan teman-temannya juga dengan setiap mata pelajaran. Veli terbilang siswi yang pintar. Ia kini menjadi pesaing beratnya Mona yang setiap tahun meraih juara satu di kelas itu.
Siapa nama kamu?Gina, lu serius berani sendiri?"Fika mengarahkan cahaya senter ke gedung sekolah tiga lantai. Tak ada lampu yang menyala di gedung itu, mungkin listriknya sedang mati."Iya Fik. Itu jam tangan pemberian almarhum nyokap gua. Takut ilang kalau nggak diambil sekarang.""Lagian lu ada-ada aja pake lupa segala. Eh, gua nggak berani nganter lu masuk ke kelas, ya. Gua nunggu di sini.""Iya nggak apa-apa. Lu jagain motor gua.""Eh, tapi gua juga takut sendirian di sini gimana dong?" Fika merengek."Lu tenang aja. Gua pasti nggak akan lama-lama."Gina membuka gerbang sekolah yang kebetulan tidak dikunci. Sekolah SMA Setia Bakti memang tidak ada satpamnya. Pihak sekolah sudah membuka lowongan, tapi tidak ada orang yang berani melamar. Banyak cerita horor yang beredar dari mulut ke mulut tentang sekolah itu."Gin, tunggu. Lu yakin mau masuk," Fika menarik lengan bajunya Gina."Eh, gua kan udah bilang kalau gua yakin mau masuk.
Pagi ini aku tidak masuk kerja karena tiba-tiba badanku demam tinggi. Aku juga sudah minum obat, tapi demamku tidak kunjung reda. Sekarang tubuhku malah menggigil. Wajahku tampak pucat saat kulihat di cermin. Kantung mataku juga mendadak hitam. Segera kubenamkan diri di atas kasur. Semakin lama tubuhku malah menggigil."Dinda...," dengan suara serak kupanggil Dinda."Iya, Mbak," sahutnya dari luar. Kudengar langkah kakinya mendekat ke kamarku."Mbak sakit?" tanya Dinda sambil melongokkan kepala dari balik pintu."Iya, Dinda. Kalau kamu nggak keberatan, tolong ambilkan mbak air hangat ya," pintaku sambil menggigil."Iya, Mbak. Tunggu ya."Tak lama kemudian dia muncul kembali dengan membawa segelas air hangat. Aku meraih gelas itu dan menyeruput airnya."Mbak sakit apa? Sudah minum obat?" Dinda duduk di sampingku."Aku demam, Din. Sudah tadi," kuserahkan kembali gelas itu pada Dinda."Semoga lekas sembuh, Mbak," kata Dinda.Dia lalu ke
“Kamu apa-apaan Din! Mbokmu sudah meninggal! Hargai mbokmu!” aku meneriakinya.“Mbokku hidup lagi kok hahaha…,” Dinda lari-lari kecil mengelilingi jenazah mboknya.“Dinda! Mbak bilang hargai Mbok kamu!” aku menerobos hujan yang kian lebat, menghampiri Dinda.Kain kafan Mbok Ibah basah kuyup dan kotor, “Astagfirullah! Dinda apa-apaan kamu! Sadar Dinda sadar!” kupegang erat kedua tangannya agar dia mau diam.“Lepasin Mbak ih…!” dia berontak.“Ada apa ini?!” Pak Rahmat muncul dengan membawa payung.“Kenapa jenazah Mbok Ibah ada di sini?!” Pak Rahmat terkejut melihat jenazah itu.Dia langsung membopong jenazah Mbok Ibah dan membawanya masuk ke dalam rumah. Dinda susah sekali dikendalikan, dia malah menangis sambil memanggil-manggil mboknya. Pak Rahmat kembali tanpa menggunakan payung, dia langsung memangku paksa si Dinda yang masih mengamuk.“Is
Sore itu semua petugas puskesmas sudah pulang. Pak Sukra memberikan kunci puskesmas kepadaku. Malam ini aku mau menginap saja di puskesmas. Kebetulan ada hal yang mau kukerjakan. Aku akan menyusun rancangan penyuluhan terhadap masyarakat tentang pentingnya keselamatan saat bersalin.Lebih dari itu, jujur saja aku masih trauma kalau harus pulang ke rumah Dinda. Ada yang tak beres sama mboknya. Dan, aku yakin bidan yang pernah tinggal di rumah Dinda juga mengalami hal yang sama.Selepas magrib kututup gerbang puskesmas lalu mengunci pintu rapat-rapat. Aku mulai bekerja menyusun rancangan dan materi untuk penyuluhan. Selang beberapa saat ada yang mengetuk pintu. Sepertinya ada yang mau berobat. Segera aku beranjak dari tempat duduk dan langsung membukakan pintu.Di depanku berdiri seorang perempuan berbaju daster yang sedang hamil tua. Dia memegangi kandungannya sambil meringis kesakitan.“Tolong aku, Bu!” katanya dengan suara yang tertahan.“
Sebelum saya menceritakan pengalaman teman saya yang mulai dinas didaerah terpencil sebagai bidanOh iya, perkenalkan dulu, aku Maya. Aku tuh seorang bidan. Setelah lulus kuliah, aku sempat kerja di klinik. Sebenarnya klinik itu milik kakak iparku. Kalau kalian pernah ke Balaraja, klinik tempatku bekerja tidak jauh dari pasar Balaraja. Selama dua tahun aku bekerja di sana.Tahun 2016, pemerintah membuka lowongan CPNS. Aku iseng-iseng ikutan daftar. Sebenarnya aku hanya ingin tahu saja bagaimana tes CPNS itu dan tidak punya harapan tinggi bisa lolos tes. Tapi, Tuhan berkata lain. Alhamdulillah aku lolos CPNS, lalu ditugaskan ke kampung terpencil.Nama kampungnya Mekar Sari. Di sana ada puskesmas yang kekurangan tenaga bidan. Oh iya, bukan kekurangan tapi tidak ada bidannya. Jadi bidan yang pernah tugas di sana minta dimutasi ke daerah lain. Dan... aku ditugaskan untuk mengisi kekosongan bidan di puskesmas itu.Aku tidak menyangka kalau kampung ini benar-benar terp
Menjelang setelah asar Pakde Anom sudah terlihat datang ke rumah keluarga pak Saiful. Lelaki paruh baya itu menyambutnya penuh suka cita. Ujung matanya juga menangkap dua sosok pemuda lain di belakang Pakde Anom. Seolah mampu membaca pikiran, pakde Anom pun menjawab:“Ini murid-muridku Pul, mereka juga akan membantu proses peruwatan nanti."“Oh, begitu pakde,” jawab pak Saiful sembari mempersilakan ketiganya masuk ke dalam rumah.Pukul 11 malam, kompleks perumahan terlihat mulai sepi. Tampak dua orang pemuda yang dibawa pakde Anom menggali tanah dengan sekop dan memendam sesuatu di empat sudut penjuru rumah.Tujuannya adalah menanam pagar gaib untuk mencegah hal-hal yang tak diinginkan saat proses ritual pengusiran. Pak Saiful tampak mengintip dari jendela di dalam rumah mengamati aktivitas tersebut. Sebuah tepukan pelan di bahu kanan membuatnya menoleh. Dilihatnya Pak Hasan mencoba memberikan keyakinan bahwa semua akan baik-baik saja.Kedu