Tsabi langsung mendapatkan pertolongan medis sementara. Perempuan itu dibawa ke rumah sakit untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut. "Aww ... sakit, Om, ini nyeri," kelih Tsabi mengaduh saat Dokter Zayyan memeriksanya. "Sebentar, ini harus dibersihkan dan dikompres. Tahan sakit sebentar, kalau dibiarkan bisa bengkak," jelas Dokter Zayyan memberikan penanganan lanjutan setelah sampai di rumah sakit. Tsabi memejam, dalam pemeriksaannya otaknya terus mengingat Shaka. Bagaimana pria itu pulang, di mana tempat tinggalnya sekarang. Apakah dia masih suka pergi malam dan pulang pagi. Sesungguhnya Tsabi ingin sekali menanyakan dan sepeduli dulu, tetapi sekarang merasa tidak perlu. Mungkin juga Shaka akan merasa bebas saat ini dan lebih nyaman karena tak lagi mendengar bawelnya. "Tsabi, tidak begitu sakit kan? Sedikit ditinggikan kakinya," ujar Dokter Zayyan menginterupsi. Setelah memberikan perban elastis untuk menekan terjadinya pembengkakan. Tsabi merasa lebih baik walau masih harus h
Tsabi langsung turun dari ranjang dengan bantuan kruk, perutnya bergejolak hebat seakan memuntahkan isinya. Dia menunju kamar mandi agak tergesa. Rasanya sangat tidak nyaman. Agak pusing, lemas, dan seperti kurang tenaga. "Tsabi, kamu mual Nak?" tanya Ummi Shali menyusulnya. "Iya, Ummi, sepertinya Tsabi masuk angin," jawab Tsabi walau ada praduga lain. Dia belum berani jujur dengan ibunya. Ada kecemasan yang sulit diartikan. Bagaimana kalau dia benar-benar hamil. "Minum obat ya," ujar Ummi Shali memberi saran. Perempuan itu membantu putrinya kembali ke ranjang. "Boleh minta tolong nggak, Mi, kerokin aja. Biasanya sembuh kalau udah kerokan," ujar Tsabi mempunyai kebiasaan saat masuk angin. "Iya, Ummi bantu, Nak. Bentar ambil minyak angin dulu," ujar ibu dari anak tiga tersebut berlalu. Mendadak Tsabi mengingat Ameena adiknya yang saat ini hidup ikut suaminya. Sudah lama Tsabi tidak bertemu. Dulu sewaktu masuk angin begini, kakak beradik itu suka saling tolong. Sekarang hanya menj
"Ada apa, Nak? Bapak lihat kamu tidak beranjak sedari tadi?" tanya seorang penjaga masjid yang mengamati Shaka sedari tadi. Beliau hendak memadamkan lampu masjid yang sudah cukup malam menyala. "Maaf Pak, boleh tidak kalau saya bermalam di sini. Mau menunggu subuh," jawab Shaka yang sebenarnya tengah dalam kebimbangan. Bapak penjaga itu nampak bingung. Dia tidak bisa mengiyakan mengingat prosedur malam masjid akan dikunci agar aman. Namun, melihat pria itu yang sepertinya dalam kegalauan, Bapak tersebut menawarkan sebuah tumpangan. "Mas mau ke mana? Apakah dalam perjalanan?" tanya beliau mengingat Shaka membawa tas ranselnya. "Saya hanya ingin mencari tempat tinggal dan pekerjaan," jawab Shaka hanya itu yang ada dalam pikirannya. Ternyata begini susahnya hidup di jalanan, lontang-lantung tanpa kejelasan. Apakah keputusannya menentang Paman salah? Kenapa justru cobaan silih berganti setelah Shaka memutuskan hijrah. "Ya Allah ... mudahkan langkah hamba, ke mana aku harus mengawalin
"Biar abi yang suapin, sepertinya itu lebih baik," ujar Ustadz Aka membujuk putrinya. Beliau duduk di pinggir ranjang lalu mengambil nampan yang tersaji makanan sehat. "Buka mulutmu sayang, kamu butuh tenaga untuk dirimu dan juga calon anakmu," bujuk Ustadz Aka penuh perhatian. "Abi ... Tsabi bukan anak kecil. Aku bisa makan sendiri," katanya mrengut. Merampas sendok di tangan abinya lalu memasukkan suapan pertama ke mulutnya. "Bagi abi dan ummi, kamu tetap Tsabi kecil yang manis. Jadi, kalau tidak mau makan biar aku suapin," ujarnya tersenyum. Tsabi akhirnya menyuap satu persatu sendok hingga isi piring itu berkurang. "Abi, kapan Tsabi boleh pulang?" tanya perempuan itu sembari mengunyah. "Nanti, kalau kamu sudah baikan. Pasti cepat pulang," jawab Ummi Shali menenangkan. "Nantinya kapan, sore boleh? Tsabi ingin tidur di kasur Tsabi. Di kamar Tsabi yang nyaman.""Emang boleh sengeyel ini? Kalau lagi sakit itu nurut, sembuh dulu baru pulang," timpal seseorang yang baru saja masu
Sejak kedatangan Angel ke rumah, Tsabi terus kepikiran tentang Shaka. Dia menduga-duga dengan keadaan suaminya saat ini. Terlebih ada calon anak mereka yang kini tengah tumbuh di rahim Tsabi. "Besok chek up jam berapa?" tanya Khai menemui kakaknya yang tengah termenung sendirian di tepi kolam. Terdengar jelas suara alunan orang mengaji dari sudut speaker masjid. "Siang, kamu bisa nganter? Kalau tidak bisa jangan dipaksa. Aku bisa sendiri," ujar Tsabi sudah mulai terbiasa dengan kesendiriannya. "Berdua lebih baik, nanti kalau ada apa-apa di jalan kan bisa banget ada yang jaga," ujar Khai tersenyum. "Oke, pulangnya mampir beli sagon ya. Mendadak kepingin ini.""Sagon apaan?" tanya pria itu tak paham dengan makanan yang disebut kakaknya."Itu loh jenis kue dari olahan tepung beras ketan yang diberikan campuran parutan kelapa terus dipanggang," jelas Tsabi menyebut jenis kue khas kota dingin. "Emang ada?" tanya pria itu lagi seperti belum pernah menjumpainya. "Ada, tempo hari pernah
Tsabi terdiam dalam pijakan, terperangah mendapati sosok pria yang hampir satu semester ini tak bersua. Begitupun dengan pria itu, terdiam dengan wajah kaget. Tangannya masih mengambang menyodorkan ponselnya. "Terima kasih, ayo Tsa!" ujar Gus Khalif mengambil ponsel dari tangan Shaka. Meninggalkan seulas senyum dan gumaman terima kasih, lalu menuntun kakaknya yang masih menjeli di tempatnya. Rasanya bibir itu hendak menyapa. Namun, kelu seketika mendapati orang yang masih berseliweran di otaknya diam saja. Benarkah itu Shaka? Suaminya yang selama ini berpisah dengannya. Kenapa dia diam saja. Dan kenapa dia tidak menyapa Tsabi? Perempuan itu melangkah bingung mengikuti langkah Khalif yang menuntun tangannya. "Bang, melamun di si sini. Ayo!" tegur seseorang menepuk pundaknya. Seketika Shaka tersentak dari rasa kejutnya yang baru saja menyapa. Tsabi? Benarkah itu Tsabi istrinya? Terus siapakah pria itu? Apakah dia suami baru Tsabi, dan— apakah sekarang Tsabi sedang hamil? Mungkinkah
"Tsabi?" panggil pria itu tak menyangka akan bertemu kembali di bengkel. Lebih-lebih, Tsabi yang mendatanginya. "Iya Mas, ini aku," ujar Tsabi berusaha tenang. Ada perasaan tak nyaman, campur aduk dan kesal. Kenapa pria ini terlihat datar saja. Apakah benar kalau Shaka sudah melupakan dirinya. Entahlah, bukan itu yang Tsabi pikirkan. Selebihnya dia ingin jujur dengan kehamilannya, karena belum sempat berkabar sejak menghilangnya Shaka. Pria itu tersenyum bingung. Malu lebih tepatnya bertemu dengan Tsabi dalam kondisinya saat ini. "Duduk Tsa, bagaimana kabarmu? Selamat ya dengan kehidupan barumu?" ucap Shaka sadar posisi. Terdengar menyentil hati Tsabi. Kehidupan baru? Apa maksudnya? Apakah pria itu tengah menyindir? "Alhamdulillah baik, ada yang ingin aku katakan padamu, Mas," ucap perempuan itu menata hatinya. Shaka pun mengajak Tsabi masuk ke ruang tamu. Rumah mungil yang terhubung dengan bengkel. Tidak lebih lebar dari ruang kamarnya dulu. Namun, di sini lah Shaka mendapat ke
Shaka benar-benar menyambangi rumah Ustadz Aka malam ini. Walaupun Gus Khalif sudah memperingatkan, sepertinya dia tidak peduli sebelum meluruskan masalah dirinya. Pria itu duduk bersahaja di ruang tamu sembari menunggu Abi yang masih sibuk mengisi kegiatan di aula. Cukup lama Shaka menunggu, duduk seorang diri dengan wajah gelisah. Memperbanyak sabar karena ini adalah awal dari penjelasan hidupnya. "Bi, temui menantumu, dia sudah lama menunggu. Memangnya Abi mau memberikan waktu berapa lama lagi," kata Ummi Shali merasa kasihan juga. Sudah dari satu jam yang lalu Abi kembali ke rumah utama, tetapi tidak kunjung keluar menemui Shaka. Merasa ngeprank kalau sudah begini. "Baru Dua jam, kita saja yang menunggu berbulan-bulan sabar. Ya harus ada ikhtiar dan perjuangan. Kalau sabar abi temui, kalau tidak sabar ya sudah tutup cerita sekalian," jawab Ustadz Aka sepertinya tengah menguji kesabaran menantunya. Kedengarannya agak kesal memang, tetapi begitulah sikapnya. Tegas sekali tebas.