"Tsabi?" panggil pria itu tak menyangka akan bertemu kembali di bengkel. Lebih-lebih, Tsabi yang mendatanginya. "Iya Mas, ini aku," ujar Tsabi berusaha tenang. Ada perasaan tak nyaman, campur aduk dan kesal. Kenapa pria ini terlihat datar saja. Apakah benar kalau Shaka sudah melupakan dirinya. Entahlah, bukan itu yang Tsabi pikirkan. Selebihnya dia ingin jujur dengan kehamilannya, karena belum sempat berkabar sejak menghilangnya Shaka. Pria itu tersenyum bingung. Malu lebih tepatnya bertemu dengan Tsabi dalam kondisinya saat ini. "Duduk Tsa, bagaimana kabarmu? Selamat ya dengan kehidupan barumu?" ucap Shaka sadar posisi. Terdengar menyentil hati Tsabi. Kehidupan baru? Apa maksudnya? Apakah pria itu tengah menyindir? "Alhamdulillah baik, ada yang ingin aku katakan padamu, Mas," ucap perempuan itu menata hatinya. Shaka pun mengajak Tsabi masuk ke ruang tamu. Rumah mungil yang terhubung dengan bengkel. Tidak lebih lebar dari ruang kamarnya dulu. Namun, di sini lah Shaka mendapat ke
Shaka benar-benar menyambangi rumah Ustadz Aka malam ini. Walaupun Gus Khalif sudah memperingatkan, sepertinya dia tidak peduli sebelum meluruskan masalah dirinya. Pria itu duduk bersahaja di ruang tamu sembari menunggu Abi yang masih sibuk mengisi kegiatan di aula. Cukup lama Shaka menunggu, duduk seorang diri dengan wajah gelisah. Memperbanyak sabar karena ini adalah awal dari penjelasan hidupnya. "Bi, temui menantumu, dia sudah lama menunggu. Memangnya Abi mau memberikan waktu berapa lama lagi," kata Ummi Shali merasa kasihan juga. Sudah dari satu jam yang lalu Abi kembali ke rumah utama, tetapi tidak kunjung keluar menemui Shaka. Merasa ngeprank kalau sudah begini. "Baru Dua jam, kita saja yang menunggu berbulan-bulan sabar. Ya harus ada ikhtiar dan perjuangan. Kalau sabar abi temui, kalau tidak sabar ya sudah tutup cerita sekalian," jawab Ustadz Aka sepertinya tengah menguji kesabaran menantunya. Kedengarannya agak kesal memang, tetapi begitulah sikapnya. Tegas sekali tebas.
Shaka pulang dengan perasaan lebih tenang. Walaupun belum bisa membawa serta Tsabi, tetapi pria itu mempunyai harapan besar soal calon anak mereka yang tidak bisa dipungkiri akan mendekatkan dirinya dengan Tsabi. Betapa pria itu bahagia luar biasa tahu kalau Tsabi ternyata hamil anaknya. Pria itu rasanya semangat sekali menjemput hari esok. Tidak sabar ingin mengunjungi lagi kediaman Abi Aka sampai pria itu memberikan izin untuk dirinya bersama lagi. Shaka susah menemukan kantuknya, dia terngiang-ngiang wajah istrinya sepanjang malam. Jujur, Shaka sangat merindukannya. Harus banyak sabar, semua butuh perjuangan. Apalagi terlihat Gus Khalif sangat tidak menyukainya. Mungkin, bukannya tidak suka tetapi lebih kepada kecewa, seperti Abi Aka sekarang. "Apakah kamu mempunyai perasaan yang sama, Tsabi? Kamu mengingatku juga di saja. Adakah perasaan cinta untukku," batin Shaka gelisah. Mengenang sepanjang perjalanan rumah tangga mereka yang diwarnai dengan luka, Shaka hanya bisa menyesaliny
Ummi Shali beranjak ke kamar putrinya. Wanita paruh baya itu mengetuk sembari menyerukan namanya. Namun, tak ada sahutan sama sekali. Hingga akhirnya Ummi Shali membuka pintu kamarnya. "Tsabi!" panggil Ummi Shali tak menemukan putrinya di kamar. Ke mana Tsabi? Kamar juga masih nampak rapih tak berpenghuni. "Ummi, ada apa?" tanya putri sulungnya tetiba masuk. Perempuan itu dari arah luar. Wajahnya terlihat berbeda, seperti tengah menahan sesuatum"Kamu dari mana?" tanya Ummi Shali mendapati putrinya dari arah luar. "Belakang Ummi," jawab Tsabi dengan wajah merah padam. Satu tangannya memegang perutnya. "Perutmu sakit?" tanya Ummi Shali melihat putrinya seperti menahan rasa tidak nyaman. Tsabi mengangguk kecil, dari tadi merasakan agak sedikit sakit. "Gimana rasanya? Jangan-jangan kontraksi," ujar perempuan itu mendadak cemas. "Agak nyeri Ummi, tapi sebentar, terus kaya ilang gitu. Sebentar terasa lagi.""Oke sayang, kita ke rumah sakit saja. Sepertinya kamu kontraksi.""Bukannya
"Tsabi! Dokter tolong istri saya tidak merespon," pekik Shaka cemas. "Bapak tenang ya Pak," ujar Dokter mengarahkan. Pria itu dibimbing untuk keluar karena ruangan menjadi tidak kondusif. Sementara Tsabi mendapatkan penanganan lanjutan. Sementara putri kecil mereka langsung ditangani Dokter Anak. Suasana di luar menjadi tidak tenang saat tahu Tsabi tidak baik-baik saja. Bahkan Shaka dan keluarga menunggu berjam-jam hasil pemeriksaan dengan rasa cemas. "Mas, kenapa dokternya lama sekali?" tanya Ummi Shali dengan raut khawatir. "Kita do'akan saja Ummi, semoga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dengan Tsabi dan cucu kita," ucap Ustadz Aka menenangkan istrinya. Mereka menunggu dengan harap-harap cemas. "Dengan keluarga Ibu Tsabi?" seru Dokter menginterupsi. "Iya, Dok? Bagaimana keadaan istri dan anak saya?" tanya Shaka menemui Dokter yang menangani Tsabi tadi. "Ibu Tsabi masih di ruang observasi, dalam pantauan medis. kalau bayi Anda di ruang NICU. Kondisinya masih sangat rent
"Jangan dilihatin terus Mas," tegur Tsabi malu-malu canggung. Shaka tersenyum, lalu mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Ada perasaan yang membuncah saat bisa sedekat ini. Damai sekali rasanya bisa ngumpul lagi seperti ini. Walau si kecil belum bisa membersamai di tengah-tengah mereka. Setelah sekian prahara yang terjadi dan sempat membuat putus asa. "Tidur kalau nggak pingin dilihatin, sayangnya aku masih betah," ucap Shaka merasakan ketenangan setelah sekian bulan terpisah oleh jarak dan waktu. Rindu itu sedikit terobati. Walau masih membumbung tinggi. "Nggak ngantuk, pingin peluk si kecil, kasihan sekali ya anak kita," kata Tsabi sendu. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Shaka malah yang khawatir kalau sudah begini. "Sabar, dia cantik seperti ibunya. Lembut, tapi agak sedikit cerewet, hihihi." Shaka nyengir. "Mujinya jujur banget, ya kan aku cerewet buat kebaikan kamu juga," jawab Tsabi manyun. "Tahu ... aku kangen banget dicerewetin lagi. Rindu semua yang ada pada diri kam
Tsabi terjaga setelah melewati tidur malamnya yang begitu lelap. Dia tersenyum saat menemukan tangan kanannya dalam genggaman suaminya. Pantas saja terasa hangat sekali. Perasaannya begitu tenang, seperti ada yang menjaganya. Satu tangan Tsabi yang terbelenggu selang infus membelai kepala Shaka. Hingga membuat pria yang tengah lelap itu terusik. Spontan mengangkat kepalanya. "Kamu sudah bangun? Jam berapa ini?" tanya Shaka lalu meluruskan punggungnya. Bangkit meraih ponsel yang ada di nakas. "Belum subuh ya," taya pria itu setelah menilik penunjuk waktu baru jam setengah empat. "Belum kayaknya, kenapa tidur di sini? Tubuhku bisa sakit kalau duduk begitu," kata Tsabi mendapati suaminya tak beranjak sama sekali dari semalam. "Biar lebih dekat," jawab Shaka dengan polosnya. Tsabi bangkit dari pembaringan, ia merasa bagian tubuh atasnya begitu berat. Sepertinya ASI yang diproduksi sudah mulai banyak. Ia merasa penuh di sana. "Ini kenapa gini ya," tanya perempuan itu merasakan tak
"Udah?" tanya Shaka sengaja menunggu Tsabi di depan kamar mandi. "Astaghfirullah ... ngagetin aja, Mas. Udah balik? kok cepet banget," ujar Tsabi manyun. "Kamu suka lama kalau di dalam, bikin khawatir saja. Katanya jangan lama-lama, ya langsung balik," ujarnya tersenyum. "Namanya juga perempuan baru lahiran," jawab Tsabi malu-malu. Tak menjelaskan detailnya, tapi Shaka pasti tahu. "Makasih," sambung perempuan itu melihat Shaka membawakan belanjaan untuknya. Usai mendapat jatah sarapan, Tsabi kembali memompa ASI-nya. Kali ini tak mengusir Shaka, hanya saja agak menghindar saat pria itu terus menatapnya. "Tidak ada yang menarik di sini, Mas, kanu bikin aku keki saja.""Justru karena penasaran, makanya dilihatin. ASInya lancar kan?""Alhamdulillah Mas, makin lancar. Semoga setelah Zayba minum banyak, dia cepet pulih ya, biar bisa pulang," ujar Tsabi penuh harap "Aamiin ... udah nggak sabar pulang ke rumah," kata pria itu tersenyum. Sembari mengusap puncak kepalanya yang tertutup h
"Tapi apa Mas?" Tsabi yang penasaran langsung mencicipinya. Tidak ada masalah, rasanya juga cukup enak. Namun, ia sedikit eneg ketika mendapati isian bawang bombainya."Hehehe. Seharusnya kamu bikin lebih banyak lagi. Aku suka, kalau ukurannya kecil gini kurang sayang.""Ish ... bikin worry saja. Habisin semuanya Mas, aku kenyang.""Kapan kamu makan?" Sedari bangun Shaka belum melihat istrinya mengisi perutnya."Lihatin kamu udah kenyang. Aku belum lapar, udah minum susu tadi," jawab Tsabi benar adanya."Sini aku suapin," ujar pria itu membagi sisa gigitannya.Sebenarnya Tsabi agak mual dengan bawang bombay, tetapi isian itu kurang menarik tanpa umbi satu itu.Tsabi baru mengunyah beberapa suapan, tetapi dia merasa semakin eneg. Wanita itu langsung beranjak dari kursi seraya menutup mulutnya.Shaka yang melihat itu langsung berdiri menyusul. Paling tidak bisa melihat istrinya dalam kesusahan."Sayang, maaf, kamu beneran mual?" ucap pria itu iba. Kasihan sekali melihat Tsabi yang menda
"Kamu juga capek kan Mas, kenapa mijitin?" tanya wanita itu sembari menyender di kepala ranjang. "Lelahku hilang saat melihat senyum kamu sayang," ujar Shaka jujur. Sedamai itu ketika menatap wajahnya yang teduh. Selalu menenangkan. "Bisa aja kamu Mas," jawab Tsabi tersenyum. Ditemani gini saja sudah mengembalikan moodnya. Apalagi dipijitin begini, sungguh Mas Shaka suami yang romantis dan pengertian. Perlahan netra itu mulai berat. Seiring sentuhan lembut yang mendamaikan. Tsabi terlelap begitu saja. Melihat itu, Shaka baru menyudahi pijitanya, dia membenahi posisi tidur istrinya agar lebih nyaman. Sebenarnya ada hasrat rindu yang menggebu, apalagi memang pria itu sudah beberapa hari tak berkunjung. Namun, nampaknya waktu dan keadaan kurang memberikan kesempatan. Tsabi juga terlihat lelah akibat aktivitas seharian di luar. Shaka akan menundanya besok sampai waktu memungkinkan. Agar keduanya sama-sama nyaman. Terutama Tsabi yang saat ini tengah hamil muda. Kadang moodian. Shaka h
"Nggak jadi aja ya, perasaan aku nggak enak," kata Shaka yang sebenarnya takut kalau nanti istrinya bakalan sakit hati lagi. "Kenapa, kalau dia nggak mau ketemu sama aku, mungkin mau dijengukin kamu. Kita bisa bawakan makanan kesukaan Angel dan mukena. Aku yakin dia mau berubah. Kita tidak boleh memusuhinya Mas.""Kenapa sih kamu jadi orang baik banget. Dia udah jahat banget loh sama kamu, sama keluarga kita. Wajar kan kalau pada akhirnya aku nggak respect.""Sangat wajar, itu namanya naluriah. Ketika seseorang disakiti terus membalas. Aku cuma mau kasih ini Mas, mana tahu dia bisa terketuk hatinya untuk melakukan kebaikan.""Oke, nanti aku antar," ucap Shaka pada akhirnya. Mereka benar-benar mengunjungi Angel yang saat ini dalam tahanan. Akibat perbuatannya, Angel harus menerima sanksi berat. Mendapatkan kurungan yang tak sebentar. Karena mencoba melakukan penganiayaan dan juga pembunuhan."Ngapain kalian ke sini? Puas lihat aku di sini seperti ini," sentak Angel menatap sinis pasu
Sepekan telah berlalu, tapi kesedihan nampaknya masih membekas di hati Shaka. Suasana hatinya beberapa hari ini sedang tidak baik-baik saja. Beruntung Tsabi adalah istri yang begitu perhatian dan pengertian. Wanita itu sangat sabar menemani suaminya yang dalam suasana duka.Hari ini pria itu sudah mulai beraktivitas kembali seperti biasanya. Toko dan bengkelnya juga sudah mulai dibuka kembali. Setelah sepekan tutup total karena dalam suasana berkabung. Ibunya memang belum meninggalkan banyak kenangan manis dengannya. Namun, sebagai seorang anak pasti sangat kehilangan ditinggalkan orang yang telah melahirkannya untuk selamanya. "Mas, ini ganti kamu hari ini," ujar Tsabi menyiapkan pakaian ganti suaminya. Walaupun beraktivitas di samping rumahnya, tentu Tsabi tak pernah lupa mengurusi pakaian suaminya juga untuk kesehariannya. Santai, tapi bersih dan tertata. "Makasih sayang," jawab Shaka memakainya begitu saja di depan istrinya. Sudah tidak tabu lagi. Bahkan menjadi pemandangan men
Tepat pukul lima sore hari Nyonya Jesy menghembuskan napasnya yang terakhir. Shaka sangat terpukul dengan kepergian ibunya. Pria itu tersedu sembari membacakan ayat-ayat suci di dekat ibunya. Tsabi mengusap lembut punggung Shaka setelah menyelesaikan surat yasin menutup doa ibu mertuanya. "Yang ikhlas Mas, biar mommy tenang," ucap Tsabi menguatkan. Dia tahu ini berat, hanya doa terbaik untuk almarhum mommy yang sekarang bisa ia lakukan. Wanita itu langsung menghubungi keluarganya. Ummi Shali, Ustadz Aka, dan Khalif serta beberapa orang abdi dalem langsung bertolak ke rumah sakit. Tentu saja untuk mengurus kepulangan dan juga pemakamannya. Beberapa orang lainnya nampak sudah bersiap menunggu jenazah pulang ke rumah duka. Suasana mengharu biru saat jenazah itu tiba dan hendak disholatkan. Ustadz Aka sendiri yang mengimaminya. Berhubung waktu belum terlalu malam, almarhum langsung dikuburkan malam itu juga. Tepatnya setelah sholat maghrib. Semuanya seakan berjalan begitu cepat. Padah
"Tsabi, apa yang terjadi sayang?" Ummi Shali dan suaminya langsung bertolak ke rumah menantunya begitu mendapatkan kabar dari Shaka. "Zayba jatuh Ummi, dia sepertinya sangat kaget," jelas Tsabi mengingat bocah kecil itu terlepas dari troli. Salah satu karyawan toko yang menggendongnya dan langsung mengamankan bayi itu. "Astaghfirullah ... Mas, cucuku gimana ini. Kita bawa ke tukang pijat.""Kenapa bisa sampai seteledor itu menjaga anak kecil. Bukankah kamu di rumah?""Tsabi tidak enak badan abi, tadi habis periksa. Aku nitip ke mommy, tapi malah ada musibah begini.""Kamu sakit?" tanya Ummi Shali menatap dengan serius. "Sakit, tapi sebenarnya—" Tsabi terdiam, agak ragu berkata jujur saat ini. Namun, bukankah kabar baik itu harus berbagi. "Sebenarnya apa?" tanya Abi Aka giliran yang menatapnya. "Zayba mau punya adik, Ummi," kata Tsabi malu dan ragu membagi kabar bahagia tersebut. "Kamu hamil lagi?" tanya Ummi cukup kaget. Baby Zayba belum genap satu tahun sudah mau punya bayi. Ba
"Ide menarik, boleh dicoba kalau nanti gagal.""Maaf ya, belum bisa bahagiakan kamu," ucap Shaka tiba-tiba. Baru saja mau bangkit, sepertinya ada saja halangannya. "Aku nggak ngerasa gitu kok, maaf juga kalau masih banyak mengeluh selama jadi istri kamu." Tsabi mencoba menerima dan bersabar dengan ujian yang datang dari keluarga Shaka. Dia juga harus bisa menerima keluarganya juga bukan. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan. Hampir satu purnama Angel menumpang di rumah mereka. Semua Tsabi lalui dengan tidak mudah. Karena wanita itu sering berulah dengan sengaja. Beruntung Shaka yang pengertian memperlakukan Tsabi dengan penuh perhatian. "Sayang, kamu pucet sakit?" tanya Shaka memperhatikan istrinya yang sepertinya kurang enak badan. "Agak pusing Mas, perlu minum obat kayaknya." Beruntung ini hari libur, jadi Tsabi tidak harus berangkat mengajar. "Ya sudah tiduran saja, mumpung libur juga. Tidak usah mengerjakan apa pun. Zayba hari ini full sama abi.""Makasih Mas," jawab
"Nggak bisa Mas, aku kan kemarin sudah izin. Kamu sarapan dulu ya, terus minum obat. Nanti biar Zayba sama Mbok Tini. Kemarin juga seharian sama Mbok Tini."Shaka yang tengah rebahan meraih pinggang istrinya agar duduk makin dekat. Pria itu memposisikan kepalanya tepat di pangkuan istrinya dengan manja. "Obatnya kamu," katanya sembari menenggelamkan wajahnya ke perut Tsabi. Tangan kanannya memeluk erat. Seolah tidak mengizinkan wanita itu untuk beranjak dari sisinya."Aku bikinin sarapan ya, terus minum obat.""Pingin sarapan kamu, yank, aku tidak semangat," kata pria itu mode rewel. Bisa begini juga ternyata cowok yang super dominan itum"Dih ... aku belum bersih lah. Tapi udah mau sembuh kok. Kamu kenapa jadi manja gini sih Mas. Nanti aku kabari kalau udah selesai.""Kangen, namanya juga kangen ya gini. Kamu cuek banget dari kemarin."Repot kalau suaminya mode rewel. Sakit sedikit manjanya ngalahin bayi. Tsabi tidak leluasa bergerak sama sekali. Tiba-tiba Zayba juga merengek. Tsab
"Kamu ngapain sih Mas ngikutin mulu, tidur sana!" omel Tsabi melihat suaminya mengekor dirinya. "Ya itu Zayba rewel, mana tahu kamu butuh bantuan.""Nggak, aku pikir kamu malah nggak ingat pulang," jawabnya ketus. Efek lelah dan juga tubuhnya sedikit tidak enak badan, membuat Tsabi sewot sendiri. "Kok ngomongnya gitu, aku pasti pulang lah. Ya walaupun akhirnya malam. Maaf, tadi ikut ngaji dulu.""Ya nggak pa-pa kan, aku juga nggak pernah ngelarang juga. Kamu mau ngapain aja terserah kamu. Lagian ada Khalif kok yang bisa bantuin ke mana-mana.""Memangnya tadi ke mana? Kamu nggak telpon kan?""Seharusnya kamu ingat memberi kabar. Bukannya nungguin aku hubungi kamu. Memangnya aku sempat apa telpan telpon terus Zayba sakit begini.""Zayba masih sakit?" Tsabi tidak menjawab, melainkan menatapnya dengan merotasi matanya jengah. Bukankah pria itu tahu tadi pagi juga Tsabi sudah mengeluh kalau bayinya sakit. Apa seorang pria tidak sepeka itu. Perempuan itu kembali masuk ke kamar seraya me