Tsabi terdiam dalam pijakan, terperangah mendapati sosok pria yang hampir satu semester ini tak bersua. Begitupun dengan pria itu, terdiam dengan wajah kaget. Tangannya masih mengambang menyodorkan ponselnya. "Terima kasih, ayo Tsa!" ujar Gus Khalif mengambil ponsel dari tangan Shaka. Meninggalkan seulas senyum dan gumaman terima kasih, lalu menuntun kakaknya yang masih menjeli di tempatnya. Rasanya bibir itu hendak menyapa. Namun, kelu seketika mendapati orang yang masih berseliweran di otaknya diam saja. Benarkah itu Shaka? Suaminya yang selama ini berpisah dengannya. Kenapa dia diam saja. Dan kenapa dia tidak menyapa Tsabi? Perempuan itu melangkah bingung mengikuti langkah Khalif yang menuntun tangannya. "Bang, melamun di si sini. Ayo!" tegur seseorang menepuk pundaknya. Seketika Shaka tersentak dari rasa kejutnya yang baru saja menyapa. Tsabi? Benarkah itu Tsabi istrinya? Terus siapakah pria itu? Apakah dia suami baru Tsabi, dan— apakah sekarang Tsabi sedang hamil? Mungkinkah
"Tsabi?" panggil pria itu tak menyangka akan bertemu kembali di bengkel. Lebih-lebih, Tsabi yang mendatanginya. "Iya Mas, ini aku," ujar Tsabi berusaha tenang. Ada perasaan tak nyaman, campur aduk dan kesal. Kenapa pria ini terlihat datar saja. Apakah benar kalau Shaka sudah melupakan dirinya. Entahlah, bukan itu yang Tsabi pikirkan. Selebihnya dia ingin jujur dengan kehamilannya, karena belum sempat berkabar sejak menghilangnya Shaka. Pria itu tersenyum bingung. Malu lebih tepatnya bertemu dengan Tsabi dalam kondisinya saat ini. "Duduk Tsa, bagaimana kabarmu? Selamat ya dengan kehidupan barumu?" ucap Shaka sadar posisi. Terdengar menyentil hati Tsabi. Kehidupan baru? Apa maksudnya? Apakah pria itu tengah menyindir? "Alhamdulillah baik, ada yang ingin aku katakan padamu, Mas," ucap perempuan itu menata hatinya. Shaka pun mengajak Tsabi masuk ke ruang tamu. Rumah mungil yang terhubung dengan bengkel. Tidak lebih lebar dari ruang kamarnya dulu. Namun, di sini lah Shaka mendapat ke
Shaka benar-benar menyambangi rumah Ustadz Aka malam ini. Walaupun Gus Khalif sudah memperingatkan, sepertinya dia tidak peduli sebelum meluruskan masalah dirinya. Pria itu duduk bersahaja di ruang tamu sembari menunggu Abi yang masih sibuk mengisi kegiatan di aula. Cukup lama Shaka menunggu, duduk seorang diri dengan wajah gelisah. Memperbanyak sabar karena ini adalah awal dari penjelasan hidupnya. "Bi, temui menantumu, dia sudah lama menunggu. Memangnya Abi mau memberikan waktu berapa lama lagi," kata Ummi Shali merasa kasihan juga. Sudah dari satu jam yang lalu Abi kembali ke rumah utama, tetapi tidak kunjung keluar menemui Shaka. Merasa ngeprank kalau sudah begini. "Baru Dua jam, kita saja yang menunggu berbulan-bulan sabar. Ya harus ada ikhtiar dan perjuangan. Kalau sabar abi temui, kalau tidak sabar ya sudah tutup cerita sekalian," jawab Ustadz Aka sepertinya tengah menguji kesabaran menantunya. Kedengarannya agak kesal memang, tetapi begitulah sikapnya. Tegas sekali tebas.
Shaka pulang dengan perasaan lebih tenang. Walaupun belum bisa membawa serta Tsabi, tetapi pria itu mempunyai harapan besar soal calon anak mereka yang tidak bisa dipungkiri akan mendekatkan dirinya dengan Tsabi. Betapa pria itu bahagia luar biasa tahu kalau Tsabi ternyata hamil anaknya. Pria itu rasanya semangat sekali menjemput hari esok. Tidak sabar ingin mengunjungi lagi kediaman Abi Aka sampai pria itu memberikan izin untuk dirinya bersama lagi. Shaka susah menemukan kantuknya, dia terngiang-ngiang wajah istrinya sepanjang malam. Jujur, Shaka sangat merindukannya. Harus banyak sabar, semua butuh perjuangan. Apalagi terlihat Gus Khalif sangat tidak menyukainya. Mungkin, bukannya tidak suka tetapi lebih kepada kecewa, seperti Abi Aka sekarang. "Apakah kamu mempunyai perasaan yang sama, Tsabi? Kamu mengingatku juga di saja. Adakah perasaan cinta untukku," batin Shaka gelisah. Mengenang sepanjang perjalanan rumah tangga mereka yang diwarnai dengan luka, Shaka hanya bisa menyesaliny
Ummi Shali beranjak ke kamar putrinya. Wanita paruh baya itu mengetuk sembari menyerukan namanya. Namun, tak ada sahutan sama sekali. Hingga akhirnya Ummi Shali membuka pintu kamarnya. "Tsabi!" panggil Ummi Shali tak menemukan putrinya di kamar. Ke mana Tsabi? Kamar juga masih nampak rapih tak berpenghuni. "Ummi, ada apa?" tanya putri sulungnya tetiba masuk. Perempuan itu dari arah luar. Wajahnya terlihat berbeda, seperti tengah menahan sesuatum"Kamu dari mana?" tanya Ummi Shali mendapati putrinya dari arah luar. "Belakang Ummi," jawab Tsabi dengan wajah merah padam. Satu tangannya memegang perutnya. "Perutmu sakit?" tanya Ummi Shali melihat putrinya seperti menahan rasa tidak nyaman. Tsabi mengangguk kecil, dari tadi merasakan agak sedikit sakit. "Gimana rasanya? Jangan-jangan kontraksi," ujar perempuan itu mendadak cemas. "Agak nyeri Ummi, tapi sebentar, terus kaya ilang gitu. Sebentar terasa lagi.""Oke sayang, kita ke rumah sakit saja. Sepertinya kamu kontraksi.""Bukannya
"Tsabi! Dokter tolong istri saya tidak merespon," pekik Shaka cemas. "Bapak tenang ya Pak," ujar Dokter mengarahkan. Pria itu dibimbing untuk keluar karena ruangan menjadi tidak kondusif. Sementara Tsabi mendapatkan penanganan lanjutan. Sementara putri kecil mereka langsung ditangani Dokter Anak. Suasana di luar menjadi tidak tenang saat tahu Tsabi tidak baik-baik saja. Bahkan Shaka dan keluarga menunggu berjam-jam hasil pemeriksaan dengan rasa cemas. "Mas, kenapa dokternya lama sekali?" tanya Ummi Shali dengan raut khawatir. "Kita do'akan saja Ummi, semoga tidak terjadi hal yang tidak diinginkan dengan Tsabi dan cucu kita," ucap Ustadz Aka menenangkan istrinya. Mereka menunggu dengan harap-harap cemas. "Dengan keluarga Ibu Tsabi?" seru Dokter menginterupsi. "Iya, Dok? Bagaimana keadaan istri dan anak saya?" tanya Shaka menemui Dokter yang menangani Tsabi tadi. "Ibu Tsabi masih di ruang observasi, dalam pantauan medis. kalau bayi Anda di ruang NICU. Kondisinya masih sangat rent
"Jangan dilihatin terus Mas," tegur Tsabi malu-malu canggung. Shaka tersenyum, lalu mengusap puncak kepalanya dengan lembut. Ada perasaan yang membuncah saat bisa sedekat ini. Damai sekali rasanya bisa ngumpul lagi seperti ini. Walau si kecil belum bisa membersamai di tengah-tengah mereka. Setelah sekian prahara yang terjadi dan sempat membuat putus asa. "Tidur kalau nggak pingin dilihatin, sayangnya aku masih betah," ucap Shaka merasakan ketenangan setelah sekian bulan terpisah oleh jarak dan waktu. Rindu itu sedikit terobati. Walau masih membumbung tinggi. "Nggak ngantuk, pingin peluk si kecil, kasihan sekali ya anak kita," kata Tsabi sendu. Dia tidak bisa tidur sama sekali. Shaka malah yang khawatir kalau sudah begini. "Sabar, dia cantik seperti ibunya. Lembut, tapi agak sedikit cerewet, hihihi." Shaka nyengir. "Mujinya jujur banget, ya kan aku cerewet buat kebaikan kamu juga," jawab Tsabi manyun. "Tahu ... aku kangen banget dicerewetin lagi. Rindu semua yang ada pada diri kam
Tsabi terjaga setelah melewati tidur malamnya yang begitu lelap. Dia tersenyum saat menemukan tangan kanannya dalam genggaman suaminya. Pantas saja terasa hangat sekali. Perasaannya begitu tenang, seperti ada yang menjaganya. Satu tangan Tsabi yang terbelenggu selang infus membelai kepala Shaka. Hingga membuat pria yang tengah lelap itu terusik. Spontan mengangkat kepalanya. "Kamu sudah bangun? Jam berapa ini?" tanya Shaka lalu meluruskan punggungnya. Bangkit meraih ponsel yang ada di nakas. "Belum subuh ya," taya pria itu setelah menilik penunjuk waktu baru jam setengah empat. "Belum kayaknya, kenapa tidur di sini? Tubuhku bisa sakit kalau duduk begitu," kata Tsabi mendapati suaminya tak beranjak sama sekali dari semalam. "Biar lebih dekat," jawab Shaka dengan polosnya. Tsabi bangkit dari pembaringan, ia merasa bagian tubuh atasnya begitu berat. Sepertinya ASI yang diproduksi sudah mulai banyak. Ia merasa penuh di sana. "Ini kenapa gini ya," tanya perempuan itu merasakan tak