Ae Ri menguap seraya meletakkan pensilnya. Dengan sudut mata, ia melihat jam di layar ponselnya. Pukul 17.30.
Sepulang menemui Eun Jung, Ae Ri langsung berkutat membuat beberapa sketsa yang akan dipresentasikannya dalam rapat hari Senin untuk proyek n***l “Sweet Moment Series” Sirius Publishing. Ide-ide di kepalanya sudah berteriak-teriak minta segera dituangkan ke buku sketsa. Jadi, tanpa berpikir untuk istirahat dulu—bahkan sekadar cuci muka—Ae Ri langsung duduk di meja kerjanya, menggambar.
Ae Ri beranjak ke dapur. Ia mengambil satu cup ramyun dari lemari kabinet. Ketika hendak memasak air panas, terdengar ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang Ae Ri langsung melesat ke meja kerjanya. Begitu melihat nama Eun Jung yang tampil di layar ponselnya, Ae Ri mengurungkan niatnya untuk mengangkat telepon itu.
“Mau apa lagi sih anak ini?” gerutu Ae Ri. Ia membiarkan ponselnya terus berdering beberapa saat. Karena kesal, Ae Ri akhirnya mengangkat telepon itu.
“Ada apa lagi, Kang Eun Jung? Aku sedang sibuk,” kata Ae Ri tanpa basa-basi.
“Ae Ri~ya ....” Suara Eun Jung di seberang sana terdengar sangat lemah, membuat Ae Ri mengernyit keheranan. Hei! Ke mana Kang Eun Jung yang selalu bersuara nyaring dan berapi-api setiap meneleponnya?
“Kang Eun Jung, aku sedang tidak mood bercanda, oke? Jadi, tolong—” Kalimat Ae Ri terpotong begitu mendengar suara isak tangis Eun Jung. “Hei, ada apa? Kenapa kau menangis?”
“Ae Ri ... sakit ... hiks ....” Suara Eun Jung terdengar sayup-sayup. Lalu, detik berikutnya sambungan telepon terputus.
Kali ini Ae Ri menjadi panik. Ia menelepon balik Eun Jung. Lama ia menunggu. Namun yang terdengar hanya bunyi dengungan panjang, kemudian muncul suara operator telepon yang memberi tahu kalau nomor yang ia tuju tidak dapat dihubungi.
Tak menyerah, Ae Ri mencoba sekali lagi. Sayangnya, hasilnya tetap sama. Ketika hendak mencoba menelepon untuk keempat kalinya, tiba-tiba saja ponselnya lebih dulu berdering dan di layarnya menampilkan nama Eun Jung. Dengan sigap Ae Ri segera menggeser tombol hijau di layar ponselnya.
“Ya[1]! Kang Eun Jung! Kau ini kenapa? Jangan membuatku takut! Apa yang sakit, hah? Kau di mana sekarang? Sudah pulang atau masih di kedai? Jangan coba-coba menutup teleponnya sebelum kau menjawabku!” cerocos Ae Ri disertai ancaman. “Aku mohon jangan membuatku khawatir seperti ini. Gara-gara kau menyuruhku menggambar Lee Joon saja sudah membuat kepalaku mau pecah. Jangan memberiku masalah lagi. Ya Tuhan ... aku bisa gila! Kau ini benar-benar—”
“Ehm!” Dehaman keras dari seberang telepon menghentikan kalimat Ae Ri berikutnya. Ae Ri langsung mengernyit heran.
Eh? Kenapa dehaman Eun Jung terdengar seperti laki-laki?
“Maaf, saya memotong kata-kata Anda, Nona. Tapi, perlu saya beri tahu, saya bukan orang yang Anda maksud.” Suara renyah itu merambat dengan sangat cepat ke telinga Ae Ri. Suara laki-laki.
Untuk berapa saat, Ae Ri tertegun. Entah kenapa suara orang ini sangat familierv di telinganya. Namun, Ae Ri buru-buru membuang dugaannya. Di dunia ini banyak orang yang memiliki jenis suara yang sama, ‘kan?
Tunggu! Laki-laki? Lalu, di mana Eun Jung?
“Siapa kau?!” hardik Ae Ri. “Di mana Eun Jung? Kenapa ponselnya ada padamu? Apa yang terjadi padanya? Apa kau menculiknya? Apa kau—”
“Nona, bisakah kau biarkan aku menyelesaikan kata-kataku dulu? Kalau kau terus bercerocos tak jelas, aku tidak bisa mengatakan yang sebenarnya dan kau tidak akan pernah tahu di mana Eun Jung-mu ini berada.” Orang di seberang telepon menyela dengan kesal. Kata-katanya pun tidak seformal sebelumnya. Ae Ri langsung bungkam. “Dengar, aku bukan penculik. Eun Jung, orang yang kau maksud, kutemukan pingsan di taman depan gedung apartemenku. Aku akan membawanya ke klinik di daerah Gangnam. Kalau kau mau datang kemari, aku akan memberitahukan alamat lengkapnya lewat pesan teks.”
Ae Ri menelan ludah. Lalu menjauhkan ponselnya dari telinga dan bergumam sendiri, mengutuki kebodohannya karena sudah menuduh yang tidak-tidak.
“Hei, apa kau masih di sana?” Orang itu bersuara lagi. Nada suaranya sedikit meninggi.
“I-iya.”
“Jadi, kau mau datang ke sini, tidak? Kalau tidak, aku benar-benar akan menculik Eun Jung-mu ini dan menjualnya ke luar negeri.”
“Hajima[2]! Aku akan datang. Aku pasti datang. Tolong, jangan jual dia ke luar negeri!” seru Ae Ri panik.
Suara kekehan terdengar samar di ujung telepon. “Aku hanya bercanda. Baiklah, aku tutup teleponnya sekarang dan akan segera kukirimkan alamat kliniknya. Aku harap, kau secepatnya datang karena aku sangat sibuk.”
“Baik. Terima kasih dan maaf soal—”
Tut ... tut ... tut ...
Sambungan telepon diputus dari seberang. Ae Ri memberengut. Lalu, beberapa menit kemudian, muncul pesan teks dari laki-laki itu—masih menggunakan nomor ponsel Eun Jung—berisi alamat klinik tempat Eun Jung dibawa. Tanpa pikir panjang lagi, Ae Ri berlari keluar rumah, menuruni tangga dengan cepat, dan mengambil skuternya di garasi.
“Ae Ri~ya, kau mau ke mana? Sebentar lagi kan makan malam.” Nenek Cho keluar dari rumahnya ketika Ae Ri menyalakan skuter.
“Aku mau menemui Eun Jung dulu. Penting,” sahut Ae Ri. “Aku pasti akan pulang telat. Jadi, kalian makan saja duluan. Jangan menungguku!” tambahnya. Lalu, tanpa menunggu jawaban dari Nenek Cho, Ae Ri menjalankan skuternya.
Semoga Eun Jung baik-baik saja, doa Ae Ri dalam hati sambil menambah kecepatan skuternya.
++++
“Kenapa lama sekali, sih?” gumam Joon mulai kesal. Ia menyandarkan punggungnya ke kosen jendela sambil menyilangkan kedua tangan di dada. Pandangannya menerawang ke luar jendela beberapa saat, lalu kembali menatap gadis yang tengah terbaring tak sadarkan diri di ranjang ruang rawat klinik milik Jang Mi Joon, kekasih Mi Kyung.
Sudah setengah jam sejak ia menemukannya, tetapi gadis ini belum juga sadar. Mi Joon bilang tidak ada yang perlu dicemaskan. Pencernaan gadis ini terganggu. Mungkin karena terburu-buru makan. Tetapi, tetap saja, melihatnya tak sadarkan diri sampai saat ini membuat Joon sedikit cemas. Terlebih lagi, teman gadis ini belum datang juga.
Krukkk ...!
Joon mendengar bunyi keras dari dalam perutnya. Ah iya, tadi ia belum sempat pergi ke mini market untuk membeli ramyun karena lebih dulu menemukan gadis bernama Eun Jung ini pingsan di taman depan apartemennya.
Krukkk ... Krukkk ...
Perutnya kembali mengeluarkan bunyi. Kini disertai rasa sakit yang melilit. Kepalanya pun mulai terasa pening.
Haruskah ia meninggalkan ruangan ini sebenar untuk mencari makan? Tapi, bagaimana kalau teman gadis ini datang? Joon tidak mau dianggap tak bertanggung jawab karena menelantarkan orang yang sudah ditolongnya.
Aku mohon, cepatlah datang! Joon terus berdoa dalam hati sementara kepalanya semakin berputar-putar seperti sedang naik rolecoster. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Ia harus mencari Mi Joon. Ah, ia lupa. Mi Joon tadi mendapat panggilan mendadak dari rumah sakit.
Kenapa aku tidak menelepon Mi Kyung Noona saja? Dasar bodoh! Joon menepuk keningnya lalu meraba saku jaketnya. Ponselnya tidak ada di sana. Di saku celana juga tidak ada. Shit! Ia kan tidak bawa ponsel. Kemudian, mata Joon menangkap ponsel milik Eun Jung yang tergeletak di meja. Ia segera mengambil ponsel itu. Tetapi ketika hendak mengetik nomor ponsel Mi Kyung, tiba-tiba saja pikirannya blank. Nomor Mi Kyung yang sudah ia hafal di luar kepala beterbangan begitu saja dari memori otaknya.
Arghhh! Sial! Sial! Joon mengumpat dalam hati sambil menjambak-jambak rambutnya. Ia lantas mendudukkan diri di kursi samping ranjang. Ini benar-benar buruk, keluhnya.
“Sepertinya, setelah ini aku yang akan terbaring di ranjang ini menggantikanmu, Eun Jung-ssi,” katanya pelan sambil menatap lekat ke wajah Eun Jung.
“Aku mohon jangan membuatku khawatir seperti ini. Menggambar Lee Joon saja sudah membuat kepalaku mau pecah, jangan memberiku masalah lagi. Ya Tuhan... aku bisa gila! Kau ini benar-benar—”
Kata-kata yang diucapkan teman Eun Jung itu tiba-tiba terngiang lagi di telinga Joon. Senyum tipis terukir di bibirnya. Lee Joon yang gadis itu maksud ... apakah dirinya? Atau Lee Joon yang lain? Kalau yang dimaksud itu dirinya, memang apa masalahnya sampai menggambar dirinya saja membuat gadis itu begitu frustasi? Ah, Joon jadi penasaran seperti apa tampang gadis bernama Ae Ri itu.
“Oppa ... Oppa ....” Eun Jung tiba-tiba mengigau, membuat Joon tersentak dari duduknya.
“Hei! Kau tidak apa-apa? Apa ada yang sakit?” tanya Joon panik seraya mendekatkan diri pada Eun Jung. Ia meneliti wajah gadis itu dengan saksama, takut-takut ada luka yang tak terlihat.
Ketika tangan Lee Joon hendak menyentuh kening Eun Jung, tahu-tahu dari arah belakang ada yang menarik dirinya dengan kasar. Lalu, Joon merasakan hantaman keras di perutnya, membuatnya merasakan nyeri yang begitu hebat dan jatuh berlutut di lantai. Belum sempat menyadari apa yang terjadi, Joon merasakan sekelilingnya berputar cepat, pandangannya menggelap, dan di detik berikutnya kesadarannya hilang.
++++
[1] Hei!
[2]Jangan!
“Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan,
“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya, Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia
“Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa
“Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.
Acara makan malam keluarga yang seharusnya terasa hangat malah terasa sangat kaku. Joon masih bersikap tak acuh. Laki-laki itu bahkan terang-terangan menunjukkan wajah bosan selama makan. Ibu dan ayahnya sampai kehabisan bahan obrolan untuk memancing laki-laki itu bicara lebih banyak dari sekadar mengucapkan ‘ya’, ‘em’, ‘tidak’, dan kata-kata singkat lainnya. Hana juga tidak tinggal diam. Ia berusaha membuka obrolan juga, tapi Joon tetap bersikap sama. Sayang sekali, padahal Hana sudah menantikan momen kumpul bersama ini sejak mereka menjadi satu keluarga. “Cokelat panas?” Hana menyodorkan mug putih bergambar pemandangan kota Paris kepada Joon. Laki-laki itu beranjak dari meja makan lebih dulu. Hana langsung mencarinya begitu selesai mencuci piring. Ia mendapati Joon tengah membaca di perpustakaan mini yang berada di seberang kamar tidur Joon. Hana pun berinisiatif untuk membuatkan minuman favorit laki-laki itu. Joon yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka halaman sebuah majala
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi ....” Ae Ri bergumam sendiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Ae Ri langsung lari ke rooftop untuk menenangkan diri. Rooftop gedung Sirius Publishing dibuat seperti taman yang ada di belakang rumah. Dengan berbagai macam tanaman hijau yang ditanam di dalam pot-pot berbagai ukuran dan bentuk. Dua set bangku panjang terbuat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Di sisi kanan dan kiri ada sebuah gazebo yang biasa digunakan para karyawan Sirius untuk rebahan, meluruskan pinggang mereka. Sama seperti karyawan lain, Ae Ri juga memanfaatkan tempat ini untuk bersantai menikmati udara segar setelah lelah berkutat dengan pekerjaan atau mencari inspirasi untuk gambarnya. “Dia bilang, dia menyukai style gambarmu.” Perkataan ketua timnya itu bergema berkali-kali di kepala Ae Ri. “Ini bukan kebetulan. Dia sengaja melakukannya. Aku yakin.” Ae Ri kembali berbicara sendiri. Urat-urat di wajahnya menegang. “Kau baik-baik saja.”
Desember 2018, Hongdae. SIAL! Cho Ae Ri meletakkan pensilnya dengan gusar seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya lagi dengan perlahan. Perasaan tak nyaman yang melanda Ae Ri sejak semalam masih saja tak mau hilang, bahkan semakin menjadi-jadi hingga membuat dadanya serasa mau meledak. Tatapan Ae Ri kemudian tertuju pada buku sketsa di hadapannya. Sosok perempuan berambut panjang yang tengah berdiri tegak menatap ke laut lepas tergambar di sana. Ae Ri memijat pelipisnya, mendadak pening. Seharusnya, bukan gambar ini yang ia buat, begitu pikirnya. Pandangannya lantas beralih pada naskah novel yang tergeletak di samping sikunya. Naskah itulah penyebab hadirnya perasaan tak nyaman itu. Naskah yang alur ceritanya menyeret Ae Ri ke dalam pusaran ingatan masa lalu dan membuat Ae Ri tanpa sadar menggambar dirinya sendiri untuk ilustrasi naskah tersebut. Ya, sosok perempuan berambut panjang itu adalah dirinya. Cho Ae Ri yan
April 2019. “Cut! Oke, cukup untuk hari ini!” Seruan lantang Sutradara Ahn langsung disambut helaan napas lega oleh Lee Joon. Ia pun segera meninggalkan tempat pengambilan gambar di tepi pantai dan menghampiri Hwang Mi Kyung yang sedang duduk di kursi kayu di bawah payung besar. “Haahhh ....” Joon membuang napas panjang seraya mengempaskan diri di kursi di hadapan Mi Kyung. Kepalanya terkulai di sandaran kursi. Tangan kanannya memijat pelan kening. Tiga hari menjalani syuting di Incheon, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan melakukan adegan-adegan yang menguras tenaga membuatnya merasa sangat lelah. Seluruh tulangnya serasa remuk dan kepalanya pun terasa berat. Untung saja, syuting terakhir hari ini selesai masih pagi, jadi ia bisa cepat pulang ke Seoul dan tidur sepuasnya. “Cokelat panas.” Mi Kyung menyodorkan cangkir kertas berisi cairan warna cokelat pekat ke hadapan Joon. Aroma cokelat yang menguar dari ca
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi ....” Ae Ri bergumam sendiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Ae Ri langsung lari ke rooftop untuk menenangkan diri. Rooftop gedung Sirius Publishing dibuat seperti taman yang ada di belakang rumah. Dengan berbagai macam tanaman hijau yang ditanam di dalam pot-pot berbagai ukuran dan bentuk. Dua set bangku panjang terbuat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Di sisi kanan dan kiri ada sebuah gazebo yang biasa digunakan para karyawan Sirius untuk rebahan, meluruskan pinggang mereka. Sama seperti karyawan lain, Ae Ri juga memanfaatkan tempat ini untuk bersantai menikmati udara segar setelah lelah berkutat dengan pekerjaan atau mencari inspirasi untuk gambarnya. “Dia bilang, dia menyukai style gambarmu.” Perkataan ketua timnya itu bergema berkali-kali di kepala Ae Ri. “Ini bukan kebetulan. Dia sengaja melakukannya. Aku yakin.” Ae Ri kembali berbicara sendiri. Urat-urat di wajahnya menegang. “Kau baik-baik saja.”
Acara makan malam keluarga yang seharusnya terasa hangat malah terasa sangat kaku. Joon masih bersikap tak acuh. Laki-laki itu bahkan terang-terangan menunjukkan wajah bosan selama makan. Ibu dan ayahnya sampai kehabisan bahan obrolan untuk memancing laki-laki itu bicara lebih banyak dari sekadar mengucapkan ‘ya’, ‘em’, ‘tidak’, dan kata-kata singkat lainnya. Hana juga tidak tinggal diam. Ia berusaha membuka obrolan juga, tapi Joon tetap bersikap sama. Sayang sekali, padahal Hana sudah menantikan momen kumpul bersama ini sejak mereka menjadi satu keluarga. “Cokelat panas?” Hana menyodorkan mug putih bergambar pemandangan kota Paris kepada Joon. Laki-laki itu beranjak dari meja makan lebih dulu. Hana langsung mencarinya begitu selesai mencuci piring. Ia mendapati Joon tengah membaca di perpustakaan mini yang berada di seberang kamar tidur Joon. Hana pun berinisiatif untuk membuatkan minuman favorit laki-laki itu. Joon yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka halaman sebuah majala
“Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.
“Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa
“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya, Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia
“Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan,
Ae Ri menguap seraya meletakkan pensilnya. Dengan sudut mata, ia melihat jam di layar ponselnya. Pukul 17.30.Sepulang menemui Eun Jung, Ae Ri langsung berkutat membuat beberapa sketsa yang akan dipresentasikannya dalam rapat hari Senin untuk proyek novel “Sweet Moment Series” Sirius Publishing. Ide-ide di kepalanya sudah berteriak-teriak minta segera dituangkan ke buku sketsa. Jadi, tanpa berpikir untuk istirahat dulu—bahkan sekadar cuci muka—Ae Ri langsung duduk di meja kerjanya, menggambar.Ae Ri beranjak ke dapur. Ia mengambil satu cup ramyun dari lemari kabinet. Ketika hendak memasak air panas, terdengar ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang Ae Ri langsung melesat ke meja kerjanya. Begitu melihat nama Eun Jung yang tampil di layar ponselnya, Ae Ri mengurungkan niatnya untuk mengangkat telepon itu.“Mau apa lagi sih anak ini?” gerutu Ae Ri. Ia membiarkan ponselnya terus berdering beberapa saat. Ka
Seperti janjinya dengan Eun Jung tadi pagi, sepulang kerja Ae Ri langsung meluncur ke King’s Tteokkbukki. Kedai tteokkbukki yang dijalankan oleh paman dan bibi Eun Jung itu terletak di kawasan pusat perbelanjaan Myeongdong, sekitar lima ratus meter dari rumah Ae Ri.Dengan perlahan, Ae Ri mendorong pintu kedai, yang kini digantungi papan kecil bertuliskan “CLOSE”. Ia melihat Eun Jung menghampirinya dengan tergesa-gesa dan langsung menodong gambar pesanannya tanpa basa-basi lagi.“Mana gambarnya?” tanyanya sambil memanjangkan tangannya di depan wajah Ae Ri.Ae Ri tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Eun Jung menuju salah satu kursi dan duduk di sana.“Mana Paman dan Bibi?” tanya Ae Ri seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.“Ada di belakang sedang mengecek bahan-bahan,” jawab Eun Jung ketus sambil mendudukkan dirinya di kursi
Pukul setengah delapan Ae Ri keluar dari rumahnya. Udara dingin langsung menyerbunya, membuat Ae Ri segera memeluk erat tubuhnya yang menggigil. Sebenarnya ini sudah memasuki musim semi, matahari pun bersinar terang, tetapi udara dingin rupanya masih ingin menunjukkan eksistensinya.Sambil menggerutu dan merapatkan coat-nya, Ae Ri menuruni tangga. Di bahunya tersampir tabung panjang berisi gambar pesanan Eun Jung, sementara di punggungnya bertengger ransel berwarna hitam berisi peralatan menggambarnya.Ae Ri tinggal di rumah sewa berukuran minimalis yang merupakan bagian dari bangunan berlantai dua berumur hampir tiga puluh tahun. ‘Rumah Sewa Myeongwol’, sang pemilik bangunan menamainya begitu. Bangunan itu memiliki tiga unit rumah sewa berukuran sama dan satu rumah utama yang ukurannya dua kali lebih besar.Ae Ri sendiri menempati rumah nomor 002 di lantai dua, sementara rumah di sampingnya, nomor 003, kosong