Desember 2018, Hongdae.
SIAL!
Cho Ae Ri meletakkan pensilnya dengan gusar seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya lagi dengan perlahan. Perasaan tak nyaman yang melanda Ae Ri sejak semalam masih saja tak mau hilang, bahkan semakin menjadi-jadi hingga membuat dadanya serasa mau meledak.
Tatapan Ae Ri kemudian tertuju pada buku sketsa di hadapannya. Sosok perempuan berambut panjang yang tengah berdiri tegak menatap ke laut lepas tergambar di sana. Ae Ri memijat pelipisnya, mendadak pening. Seharusnya, bukan gambar ini yang ia buat, begitu pikirnya.
Pandangannya lantas beralih pada naskah novel yang tergeletak di samping sikunya. Naskah itulah penyebab hadirnya perasaan tak nyaman itu. Naskah yang alur ceritanya menyeret Ae Ri ke dalam pusaran ingatan masa lalu dan membuat Ae Ri tanpa sadar menggambar dirinya sendiri untuk ilustrasi naskah tersebut.
Ya, sosok perempuan berambut panjang itu adalah dirinya. Cho Ae Ri yang penuh dengan kesedihan dan keputusasaan.
Dengan tangan gemetar, Ae Ri meraih cangkir berisi kopi hitam yang sejak lima belas menit lalu belum ia sentuh, kemudian meminumnya dengan tergesa-gesa. Begitu rasa pahit dari kopi itu menyentuh lidahnya, rasa tak nyaman di hati Ae Ri perlahan luruh.
“Haahhh ....” Ia mengembuskan napas cukup panjang seraya meletakkan kembali minumannya yang tinggal seperempat ke atas meja, lalu melempar pandangan ke luar jendela kafe.
Hari Minggu ini, seperti biasa, kawasan Hongdae sangat ramai. Anak-anak muda berpakaian tebal hilir-mudik mendominasi sepanjang trotoar di tengah rintik salju. Ae Ri mengamati mereka dengan saksama. Ada percikan kebahagiaan terpancar dari kedua bola mata gadis berusia dua puluh lima tahun itu.
Ia suka seperti ini, duduk sendirian sambil mengamati orang lain dalam diam. Memperhatikan apa yang mereka pakai, memperhatikan cara mereka berjalan, cara mereka tertawa, cara mereka saling tatap satu sama lain, atau mencoba menebak apa yang mereka pikirkan dan rasakan. Hal itu selalu menghadirkan sensasi kebahagiaan tersendiri baginya. Ia merasa lebih hidup meski hanya dengan mengamati orang lain.
“Upacara pernikahan Park Hye Mi dan Kim Man Go yang berlangsung tadi pagi berjalan dengan lancar dan khidmat. Sang pianis terkenal bersama sang suami berencana mengadakan pesta resepsi di Queen Hotel Cheondam-dong nanti malam.
Meski ini pernikahan kedua bagi Park Hye Mi maupun Kim Man Go, mereka tetap ingin menyelenggarakan resepsi pernikahan dengan megah dan meriah dengan tamu undangan sekitar tiga ribu orang. Sayangnya, mereka memutuskan untuk menutup kemeriahan pesta itu dari wartawan.
Lee Joon, putra Park Hye Mi dari mendiang aktor Lee Jin Wo, ketika diwawancarai mengungkapkan betapa ia sangat bahagia dengan pernikahan ibunya ini."
Suara seorang reporter wanita terdengar jelas dari meja di depan Ae Ri. Di sana, dua orang gadis remaja berusia kira-kira sembilan belas tahunan sedang asyik menonton acara infotainment lewat tablet. Penampilan mereka sangat mencolok. Satunya berambut panjang dicat pirang dan satu lagi berambut model bob sedagu dicat merah marun.
“Beruntung sekali, ya, gadis yang menjadi adik tiri Joon Oppa[1]?” komentar gadis berambut pirang.
Gadis berambut merah marun mengangguk setuju, lalu menopang dagu dan mendesah berlebihan. “Seandainya saja itu aku ...,” gumamnya dengan nada kecewa. “Setiap hari aku bisa bertemu dengannya tanpa ada yang menghalangi. Kami makan bersama, bercengkerama, dan aku bisa bermanja-manjaan pada Joon Oppa sepuasnya. Ah ... hidupku akan lebih indah kalau bisa seperti itu.”
Ae Ri mendengkus mendengar percakapan kedua gadis itu. Apa yang mereka ucapkan sama dengan apa yang diucapkan Kang Eun Jung, sahabatnya, kemarin. Dan mendengar ucapan itu untuk kedua kalinya membuat Ae Ri merinding setengah mati.
“Aku senang akhirnya ibuku mau membuka hatinya lagi untuk pria lain. Ibuku itu tipe orang yang susah jatuh cinta. Jujur, awalnya aku sangat khawatir karena ibuku tak kunjung memperkenalkan pria manapun padaku. Bahkan sempat terlintas dipikiranku untuk mendaftarkannya ke dating online. Hahaha....”
Beberapa saat kemudian, suara sang reporter wanita digantikan oleh suara seorang laki-laki yang sangat familier di telinga Ae Ri.
Lee Joon.
Aktor berusia dua puluh enam tahun yang satu setengah tahun ini sedang menjadi sorotan publik berkat aktingnya yang memukau di setiap drama tv dan film layar lebar yang dibintanginya. Aktor yang selalu dielu-elukan Eun Jung dan ratusan ribu gadis di Korea maupun luar negeri, seolah ia adalah superhero yang menyelamatkan dunia dari kehancuran.
Menggelikan! Komentar sarkastis itu selalu dilontarkan Ae Ri dalam hati setiap mendengar orang-orang memuji Lee Joon. Menurutnya, mereka terlalu berlebihan menilai laki-laki itu. Di mata Ae Ri, laki-laki itu tidaklah hebat ataupun istimewa. Ia hanyalah laki-laki biasa yang kebetulan memiliki wajah tampan dan pandai berakting. Bahkan saking pandainya berakting, tidak ada yang tahu bahwa senyum yang tersungging di bibirnya dan tawa cerianya itu palsu.
“Yah, tentu saja aku mengharapkan yang terbaik untuk ibuku. Semoga pernikahannya ini akan selalu membawa kebahagiaan untuknya. Dia berhak bahagia. Dan, aku juga sangat senang bisa memiliki adik seperti Hana. Dia cantik, baik, dan juga pintar. Aku benar-benar beruntung bisa memiliki adik seperti dia. Lagi pula, kami sudah berteman lama, jadi sudah tidak canggung lagi. Aku yakin kami bisa menjadi keluarga yang harmonis.”
Lee Joon kembali menjawab pertanyaan yang diajukan wartawan dan lagi-lagi mengakhirinya dengan tawa riang. Tawa yang justru terdengar sumbang di telinga Ae Ri.
Ae Ri kembali meraih cangkir kopi dan menggenggamnya dengan kedua tangan tanpa berniat meminum isinya. Ia hanya memandangi cairan hitam pekat di dalam cangkir yang tinggal seperempat dengan pandangan kosong.
Lihat! Kali ini pun laki-laki itu sedang berakting. Ia pura-pura bahagia padahal di dalam hatinya sedang menangis darah.
“Hh!” Ae Ri tersenyum kecut. Lekas dibereskannya barang-barang miliknya di atas meja dan tanpa pikir panjang lagi segera pergi dari kafe itu.
++++
Desember 2018, Apgujeong-dong.
Mobil sport warna silver meluncur cepat memasuki basement sebuah gedung apartemen di kawasan elit Apgujeong-dong. Suara deru mesin dan decit bannya menggema memecahkan keheningan tempat itu. Di sudut basement, mobil itu berbelok tajam sebelum akhirnya terparkir rapi bersama mobil-mobil lainnya.
Semenit kemudian, seorang laki-laki muda bertubuh jangkung dan tegap keluar dari mobil itu. Ia membanting pintu mobilnya dan berderap kasar menuju lift di sudut lain basement yang kemudian berhenti di lantai sepuluh, tempat apartemennya berada.
Bruk!!!
Laki-laki itu mengempaskan tubuhnya ke sofa ruang duduk apartemennya. Ia mengembuskan napas panjang dan menatap langit-langit.
Akhirnya ia sendirian. Terlepas dari orang-orang yang dengan senyum ceria mengucapkan selamat atas pernikahan ibunya atau para wartawan yang terus menanyakan pertanyaan seputar keluarga barunya yang justru membuatnya sangat muak. Di sini, di rumahnya, ia tidak perlu lagi berakting menjadi sosok laki-laki yang keren dan memasang wajah bahagia. Dalam kesendiriannya, ia bisa menjadi dirinya sendiri, seorang Lee Joon yang lemah dan rapuh.
Kringgg!!!
Telepon apartemennya tiba-tiba berdering. Joon bergeming. Ia membiarkan telepon itu terus meraung sampai akhirnya suara Hwang Mi Kyung, kakak sepupu sekaligus manajernya, menggantikan deringan itu.
<“Lee Joon, kenapa kau pergi begitu saja tanpa memberitahuku dan juga mematikan ponselmu, hah?! Kau tahu, aku mengkhawatirkanmu sampai rasanya mau mati. Sekarang, kau ada di apartemen, ‘kan? Aku akan ke sana. Ingat, jangan melakukan hal konyol!”>
Tut ... tut ... tut ...!
Suara itu berhenti. Seketika ruangan apartemen kembali hening. Lee Joon mengembuskan napas panjang untuk kesekian kalinya dan tersenyum kecut. Melakukan hal konyol? Bunuh diri, maksudnya? Kalau saja ia bisa melakukan hal itu sejak awal, mungkin hatinya tak akan sesakit saat ini. Sayangnya, ia terlalu pengecut untuk bunuh diri dan dengan percaya diri lebih memilih untuk menahan rasa sakit, yang pada akhirnya justru akan membunuhnya secara perlahan.
Lee Joon bangkit dari posisi tidurnya dan berjalan ke pantri. Diambilnya sekaleng bir dari lemari es, membuka penutupnya dengan sekali tarik, dan menenggak isinya dengan terburu-buru. Membuat cairan kekuningan lolos dari mulutnya dan menetes ke kemeja putih yang ia kenakan.
“Joon, aku tahu ini sangat berat bagimu. Tapi, bukankah ini keputusan yang kau ambil? Jadi, menyesal sekarang tak ada gunanya. Semuanya sudah terlambat. Kau harus melupakannya dan mengubur dalam-dalam rasa cintamu itu.”
Perkataan Hwang Mi Kyung tadi pagi, sebelum pergi ke upacara pernikahan ibunya, kembali terngiang di telinga Joon.
PRAK!
Joon meletakkan kaleng bir-nya ke meja pantri dengan kasar dan mencengkeram benda itu kuat-kuat. Otot-otot wajahnya mengeras. Sorot matanya memancarkan amarah, kecewa, dan rasa sakit.
Melupakan dan mengubur dalam-dalam rasa cintanya? Apakah hal itu bisa dilakukan dengan mudah, seperti kita membalikkan telapak tangan?
Tidak. Itu tidak mudah. Joon sangat tahu itu.
KLONTANG!!!
Bunyi itu menggema ke seluruh ruangan ketika Joon melemparkan kaleng bir-nya ke lantai. Cairan dari dalam kaleng itu memercik ke mana-mana. Joon kembali mengeluarkan satu kaleng bir dari lemari es, meminum isinya dengan kalap, lalu melemparkannya lagi ke lantai. Ia terus melakukan hal itu hingga kaleng kelima dan kemudian tubuhnya merosot ke lantai, terduduk di sana dengan punggung bersandar ke pintu lemari es. Pandangannya kosong.
“Joon~a[1]! Joon~a!” Itu suara Hwang Mi Kyung. Joon mendengarnya, tetapi ia tidak memedulikan panggilan wanita itu.
“Joon, kau di mana?” Hwang Mi Kyung kembali memanggil disertai bunyi pintu-pintu dibuka dan ditutup kembali dengan kencang.
“Oh, astaga!” Hwang Mi Kyung memekik begitu melihat betapa kacau keadaan adik sepupunya. Wajah wanita berusia tiga puluh tiga tahun itu menegang.
Lee Joon mengangkat kepalanya dan menyunggingkan senyum tipis.
“Kau menemukanku, Noona[2]. Chukhahamnida[3]!” ucapnya dengan suara serak, lalu menutup mata dan tumbang ke lantai.
++++
Catatan: [1] Oppa: Kakak laki-laki (diucapkan oleh perempuan yang lebih muda) [2]‘~ya’ atau ‘~a’: partikel panggilan untuk orang sebaya atau lebih muda [2] Noona: Kakak perempuan (diucapkan oleh laki-laki yang lebih muda) [3] Chukhahamnida: Selamat! (formal)
April 2019. “Cut! Oke, cukup untuk hari ini!” Seruan lantang Sutradara Ahn langsung disambut helaan napas lega oleh Lee Joon. Ia pun segera meninggalkan tempat pengambilan gambar di tepi pantai dan menghampiri Hwang Mi Kyung yang sedang duduk di kursi kayu di bawah payung besar. “Haahhh ....” Joon membuang napas panjang seraya mengempaskan diri di kursi di hadapan Mi Kyung. Kepalanya terkulai di sandaran kursi. Tangan kanannya memijat pelan kening. Tiga hari menjalani syuting di Incheon, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan melakukan adegan-adegan yang menguras tenaga membuatnya merasa sangat lelah. Seluruh tulangnya serasa remuk dan kepalanya pun terasa berat. Untung saja, syuting terakhir hari ini selesai masih pagi, jadi ia bisa cepat pulang ke Seoul dan tidur sepuasnya. “Cokelat panas.” Mi Kyung menyodorkan cangkir kertas berisi cairan warna cokelat pekat ke hadapan Joon. Aroma cokelat yang menguar dari ca
Pukul setengah delapan Ae Ri keluar dari rumahnya. Udara dingin langsung menyerbunya, membuat Ae Ri segera memeluk erat tubuhnya yang menggigil. Sebenarnya ini sudah memasuki musim semi, matahari pun bersinar terang, tetapi udara dingin rupanya masih ingin menunjukkan eksistensinya.Sambil menggerutu dan merapatkan coat-nya, Ae Ri menuruni tangga. Di bahunya tersampir tabung panjang berisi gambar pesanan Eun Jung, sementara di punggungnya bertengger ransel berwarna hitam berisi peralatan menggambarnya.Ae Ri tinggal di rumah sewa berukuran minimalis yang merupakan bagian dari bangunan berlantai dua berumur hampir tiga puluh tahun. ‘Rumah Sewa Myeongwol’, sang pemilik bangunan menamainya begitu. Bangunan itu memiliki tiga unit rumah sewa berukuran sama dan satu rumah utama yang ukurannya dua kali lebih besar.Ae Ri sendiri menempati rumah nomor 002 di lantai dua, sementara rumah di sampingnya, nomor 003, kosong
Seperti janjinya dengan Eun Jung tadi pagi, sepulang kerja Ae Ri langsung meluncur ke King’s Tteokkbukki. Kedai tteokkbukki yang dijalankan oleh paman dan bibi Eun Jung itu terletak di kawasan pusat perbelanjaan Myeongdong, sekitar lima ratus meter dari rumah Ae Ri.Dengan perlahan, Ae Ri mendorong pintu kedai, yang kini digantungi papan kecil bertuliskan “CLOSE”. Ia melihat Eun Jung menghampirinya dengan tergesa-gesa dan langsung menodong gambar pesanannya tanpa basa-basi lagi.“Mana gambarnya?” tanyanya sambil memanjangkan tangannya di depan wajah Ae Ri.Ae Ri tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Eun Jung menuju salah satu kursi dan duduk di sana.“Mana Paman dan Bibi?” tanya Ae Ri seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.“Ada di belakang sedang mengecek bahan-bahan,” jawab Eun Jung ketus sambil mendudukkan dirinya di kursi
Ae Ri menguap seraya meletakkan pensilnya. Dengan sudut mata, ia melihat jam di layar ponselnya. Pukul 17.30.Sepulang menemui Eun Jung, Ae Ri langsung berkutat membuat beberapa sketsa yang akan dipresentasikannya dalam rapat hari Senin untuk proyek novel “Sweet Moment Series” Sirius Publishing. Ide-ide di kepalanya sudah berteriak-teriak minta segera dituangkan ke buku sketsa. Jadi, tanpa berpikir untuk istirahat dulu—bahkan sekadar cuci muka—Ae Ri langsung duduk di meja kerjanya, menggambar.Ae Ri beranjak ke dapur. Ia mengambil satu cup ramyun dari lemari kabinet. Ketika hendak memasak air panas, terdengar ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang Ae Ri langsung melesat ke meja kerjanya. Begitu melihat nama Eun Jung yang tampil di layar ponselnya, Ae Ri mengurungkan niatnya untuk mengangkat telepon itu.“Mau apa lagi sih anak ini?” gerutu Ae Ri. Ia membiarkan ponselnya terus berdering beberapa saat. Ka
“Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan,
“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya, Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia
“Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa
“Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi ....” Ae Ri bergumam sendiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Ae Ri langsung lari ke rooftop untuk menenangkan diri. Rooftop gedung Sirius Publishing dibuat seperti taman yang ada di belakang rumah. Dengan berbagai macam tanaman hijau yang ditanam di dalam pot-pot berbagai ukuran dan bentuk. Dua set bangku panjang terbuat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Di sisi kanan dan kiri ada sebuah gazebo yang biasa digunakan para karyawan Sirius untuk rebahan, meluruskan pinggang mereka. Sama seperti karyawan lain, Ae Ri juga memanfaatkan tempat ini untuk bersantai menikmati udara segar setelah lelah berkutat dengan pekerjaan atau mencari inspirasi untuk gambarnya. “Dia bilang, dia menyukai style gambarmu.” Perkataan ketua timnya itu bergema berkali-kali di kepala Ae Ri. “Ini bukan kebetulan. Dia sengaja melakukannya. Aku yakin.” Ae Ri kembali berbicara sendiri. Urat-urat di wajahnya menegang. “Kau baik-baik saja.”
Acara makan malam keluarga yang seharusnya terasa hangat malah terasa sangat kaku. Joon masih bersikap tak acuh. Laki-laki itu bahkan terang-terangan menunjukkan wajah bosan selama makan. Ibu dan ayahnya sampai kehabisan bahan obrolan untuk memancing laki-laki itu bicara lebih banyak dari sekadar mengucapkan ‘ya’, ‘em’, ‘tidak’, dan kata-kata singkat lainnya. Hana juga tidak tinggal diam. Ia berusaha membuka obrolan juga, tapi Joon tetap bersikap sama. Sayang sekali, padahal Hana sudah menantikan momen kumpul bersama ini sejak mereka menjadi satu keluarga. “Cokelat panas?” Hana menyodorkan mug putih bergambar pemandangan kota Paris kepada Joon. Laki-laki itu beranjak dari meja makan lebih dulu. Hana langsung mencarinya begitu selesai mencuci piring. Ia mendapati Joon tengah membaca di perpustakaan mini yang berada di seberang kamar tidur Joon. Hana pun berinisiatif untuk membuatkan minuman favorit laki-laki itu. Joon yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka halaman sebuah majala
“Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.
“Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa
“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya, Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia
“Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan,
Ae Ri menguap seraya meletakkan pensilnya. Dengan sudut mata, ia melihat jam di layar ponselnya. Pukul 17.30.Sepulang menemui Eun Jung, Ae Ri langsung berkutat membuat beberapa sketsa yang akan dipresentasikannya dalam rapat hari Senin untuk proyek novel “Sweet Moment Series” Sirius Publishing. Ide-ide di kepalanya sudah berteriak-teriak minta segera dituangkan ke buku sketsa. Jadi, tanpa berpikir untuk istirahat dulu—bahkan sekadar cuci muka—Ae Ri langsung duduk di meja kerjanya, menggambar.Ae Ri beranjak ke dapur. Ia mengambil satu cup ramyun dari lemari kabinet. Ketika hendak memasak air panas, terdengar ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang Ae Ri langsung melesat ke meja kerjanya. Begitu melihat nama Eun Jung yang tampil di layar ponselnya, Ae Ri mengurungkan niatnya untuk mengangkat telepon itu.“Mau apa lagi sih anak ini?” gerutu Ae Ri. Ia membiarkan ponselnya terus berdering beberapa saat. Ka
Seperti janjinya dengan Eun Jung tadi pagi, sepulang kerja Ae Ri langsung meluncur ke King’s Tteokkbukki. Kedai tteokkbukki yang dijalankan oleh paman dan bibi Eun Jung itu terletak di kawasan pusat perbelanjaan Myeongdong, sekitar lima ratus meter dari rumah Ae Ri.Dengan perlahan, Ae Ri mendorong pintu kedai, yang kini digantungi papan kecil bertuliskan “CLOSE”. Ia melihat Eun Jung menghampirinya dengan tergesa-gesa dan langsung menodong gambar pesanannya tanpa basa-basi lagi.“Mana gambarnya?” tanyanya sambil memanjangkan tangannya di depan wajah Ae Ri.Ae Ri tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Eun Jung menuju salah satu kursi dan duduk di sana.“Mana Paman dan Bibi?” tanya Ae Ri seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.“Ada di belakang sedang mengecek bahan-bahan,” jawab Eun Jung ketus sambil mendudukkan dirinya di kursi
Pukul setengah delapan Ae Ri keluar dari rumahnya. Udara dingin langsung menyerbunya, membuat Ae Ri segera memeluk erat tubuhnya yang menggigil. Sebenarnya ini sudah memasuki musim semi, matahari pun bersinar terang, tetapi udara dingin rupanya masih ingin menunjukkan eksistensinya.Sambil menggerutu dan merapatkan coat-nya, Ae Ri menuruni tangga. Di bahunya tersampir tabung panjang berisi gambar pesanan Eun Jung, sementara di punggungnya bertengger ransel berwarna hitam berisi peralatan menggambarnya.Ae Ri tinggal di rumah sewa berukuran minimalis yang merupakan bagian dari bangunan berlantai dua berumur hampir tiga puluh tahun. ‘Rumah Sewa Myeongwol’, sang pemilik bangunan menamainya begitu. Bangunan itu memiliki tiga unit rumah sewa berukuran sama dan satu rumah utama yang ukurannya dua kali lebih besar.Ae Ri sendiri menempati rumah nomor 002 di lantai dua, sementara rumah di sampingnya, nomor 003, kosong