Seperti janjinya dengan Eun Jung tadi pagi, sepulang kerja Ae Ri langsung meluncur ke King’s Tteokkbukki. Kedai tteokkbukki yang dijalankan oleh paman dan bibi Eun Jung itu terletak di kawasan pusat perbelanjaan Myeongdong, sekitar lima ratus meter dari rumah Ae Ri.
Dengan perlahan, Ae Ri mendorong pintu kedai, yang kini digantungi papan kecil bertuliskan “CLOSE”. Ia melihat Eun Jung menghampirinya dengan tergesa-gesa dan langsung menodong gambar pesanannya tanpa basa-basi lagi.
“Mana gambarnya?” tanyanya sambil memanjangkan tangannya di depan wajah Ae Ri.
Ae Ri tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Eun Jung menuju salah satu kursi dan duduk di sana.
“Mana Paman dan Bibi?” tanya Ae Ri seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.
“Ada di belakang sedang mengecek bahan-bahan,” jawab Eun Jung ketus sambil mendudukkan dirinya di kursi di hadapan Ae Ri dengan kasar. “Jadi, mana gambar Joon Oppa-ku?” todongnya.
Ae Ri mengedikkan dagu dengan malas ke arah tabung gambarnya yang diletakkan di atas meja. Eun Jung langsung menyambar benda itu dan dengan tergesa-gesa membukanya.
“Jjangiya[1]!” serunya dengan mata berbinar. “Joon Oppa pasti sangat senang menerimanya.” Eun Jung memeluk gambar itu. Sudut-sudut matanya berair. Ck, drama queen! “Gomawo[2], Ae Ri~ya!” Senyumnya begitu lebar, berbeda dengan saat Ae Ri baru masuk tadi.
“Em,” sahut Ae Ri dengan nada enggan. “Tapi, sekali lagi aku tegaskan, lain kali aku tak akan membuatkannya lagi. Meski kau merengek-rengek sampai menangis darah atau mogok makan selama sebulan.”
“Iya, iya. Ini untuk yang pertama dan terakhir kali. Kau tenang saja,” kata Eun Jung santai. Matanya kembali menatap lekat pada gambar Lee Joon yang dipegangnya. Ae Ri buru-buru membuang muka. Binar kebahagiaan di mata Eun Jung membuatnya muak.
“Ah iya, kau mau minum apa? Sudah makan?” tanya Eun Jung kemudian seraya menggulung gambar Lee Joon dan memasukkannya kembali ke dalam tabung.
“Teh bunga krisan saja,” jawab Ae Ri. “Aku tidak akan lama-lama. Aku harus menyiapkan beberapa ilustrasi untuk presentasi hari Senin.”
“Ck, kau ini. Besok itu hari Minggu. Hari libur. Kenapa masih memikirkan kerjaan, sih? Kau ini benar-benar tidak asyik!” Eun Jung menggerutu sambil bangkit dari kursinya, lalu berjalan ke pantri tak jauh dari tempat Ae Ri duduk. Ae Ri tidak menanggapinya dan pura-pura mengecek ponsel.
Tak lama, Eun Jung pun kembali lagi dengan secangkir teh bunga krisan dan sepiring kue kering. Setelah meletakkan bawaannya ke atas meja, ia duduk kembali dan mengeluarkan ponsel. Selama beberapa menit, Eun Jung tampak serius menatap layar ponselnya. Sambil menikmati teh dan cemilan, Ae Ri memperhatikan gerak-gerik temannya itu.
“Remaja zaman sekarang memang sudah gila! Apa dia tidak berpikir kalau perbuatannya justru bisa membawa masalah bagi fans lainnya? Ah, aku jadi ingin mendatanginya dan memarahinya habis-habisan. Sebagai fans aku benar-benar malu!” Eun Jung tiba-tiba mengomel panjang lebar. Ae Ri pura-pura tak mendengar ocehan gadis itu dan berusaha menikmati tehnya.
“Awas saja! Aku harus mencari tahu identitas anak itu. Joon Oppa terlalu baik. Seharusnya anak itu dilaporkan saja ke polisi dan biarkan dia menginap di kantor polisi barang sehari agar tahu rasa,” omel Eun Jung lagi.
“Ya[3]! Kang Eun Jung!” teriak Ae Ri sambil meletakkan cangkir yang dipegangnya ke meja dengan kasar. “Hentikan omelan tak jelasmu itu! Mendengarnya membuat telingaku sakit.”
Eun Jung cemberut. “Siapa yang mengomel tak jelas, huh?” Ae Ri mendengkus tak percaya. Anak ini sepertinya mulai gila! “Aku baru saja membaca berita kalau tadi malam ada seorang gadis SMA menyusup ke Golden Apartement dan hendak membobol password pintu apartemen Joon Oppa. Masih belum tahu bagaimana caranya dia bisa dengan mudah masuk ke sana. Dicurigai dia bekerja sama dengan orang dalam. Benar-benar gila!” Gigi Eun Jung bergemeletuk. Kedua tangannya terkepal kuat-kuat. “Dan, pihak Joon Oppa malah melepaskannya begitu saja. Menyebalkan, bukan? Anak seperti itu harus diberi pelajaran agar jera!”
“Oh.” Hanya itu yang keluar dari mulut Ae Ri. Ia meletakkan cangkir yang isinya tinggal seperempat, lalu mencomot sekeping kue kering di piring.
“Cuma ... ‘oh’?” Eun Jung melotot.
Ae Ri mengangkat bahu tak acuh. “Memangnya aku harus bilang apa? Itu risiko Lee Joon sebagai seorang artis yang dipuja banyak orang, ‘kan?” balasnya sambil mengunyah.
“Yah ... setidaknya kau merasa simpati.”
“Ingat, aku ini antifansnya. Jadi, itu bukan urusanku,” tukas Ae Ri sambil mengangkat cangkirnya kembali dan meminum isinya sampai tandas. “Tapi, aku punya nasihat untukmu.” Ae Ri melanjutkan setelah meletakkan kembali cangkir di tangannya ke meja.
Eun Jung langsung memasang tampang malas. Tampak tak tertarik dengan apa yang akan dikatakan Ae Ri. Namun, ia tetap bertanya, “Nasihat apa?”
Ae Ri membenarkan posisi duduknya, menatap Eun Jung dengan tampang serius, lalu berkata, “Sebaiknya kau berhenti melakukan kegiatan menguntitmu. Aku rasa, setelah ada kejadian ini pengamanan di sekitar gedung itu akan semakin diperketat. Kau tidak mau, kan, berakhir di dalam penjara?”
“Tidak mau!” seru Eun Jung, agak histeris. “Aku tidak akan pernah berhenti. Melihat Joon Oppa dari dekat sudah menjadi bagian dari kehidupanku sehari-hari. Lagi pula, yang aku lakukan tidak merugikan siapa pun. Aku hanya pura-pura duduk di taman depan Golden Apartement, menunggu Joon Oppa keluar untuk jogging di taman dan kalau ada kesempatan aku mengambil fotonya diam-diam. Aku sama sekali tidak mengganggu kegiatannya. Aku juga tidak menyebarkan fotonya di media sosial. Itu menjadi koleksi pribadiku saja.” Ia bersikeras membela diri.
Ae Ri melongo mendengar perkataan Eun Jung. Ia tidak percaya Eun Jung akan senekat itu. Sampai sekarang, Ae Ri bahkan tak tahu bagaimana perempuan itu bisa tahu tempat tinggal Lee Joon.
“Terserah kau saja. Aku sudah memperingatkanmu. Jadi kalau terjadi apa-apa, aku tidak mau tahu!” kata Ae Ri dengan nada setengah mengancam. “Lagi pula, kau itu sudah dua puluh tujuh tahun. Demi Tuhan! Kau sudah tidak pantas melakukan hal-hal konyol seperti itu.”
“Baik. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan pernah meminta bantuanmu,” tegas Eun Jung penuh percaya diri. “Lagi pula, memang tidak akan ada yang terjadi. Aku yakin karena aku melakukan semua itu dengan penuh perhitungan.”
“Hahahaha.” Ae Ri tertawa kencang, membuat Eun Jung langsung memberengut sebal. Ya Tuhan! Temannya ini otaknya sudah konslet, rupanya. “Oke. Kita lihat saja nanti.” Ia lantas mencangklong ranselnya. “Jangan lupa tabungnya besok harus sudah kaukembalikan. Aku tunggu! Dan, tolong sampaikan salamku pada paman dan bibi.” Lalu, Ae Ri berjalan ke pintu tanpa memedulikan tampang jengkel Eun Jung.
“Dasar Cho Ae Ri menyebalkan!” teriak Eun Jung.
Ae Ri berbalik sebentar dan melambai singkat sambil tersenyum mengejek pada Eun Jung. Eun Jung membalasnya dengan mengacungkan kepalan tangan. Ae Ri tergelak lalu melanjutkan langkahnya menuju skuter kuning miliknya. Tak lama, ia menjalankan kendaraan kesayangannya itu meninggalkan King’s Tteokkbuki menuju rumahnya.
++++
Musim panas, 2015
“Joon~a, ayo ke sini!” Suara nyaring tetapi lembut itu merambat dengan cepat ke telinga Joon dan menyadarkannya dari lamunan panjang tentang mendiang sang ayah. Ia terdiam beberapa saat, mencoba mengumpulkan serpihan-serpihan kesadarannya yang masih berserakan di mana-mana, dan mengalihkan tatapannya kepada orang yang memanggilnya.
Di sana, di tepi pantai—hanya berjarak dua meter dari tempatnya duduk, berdiri seorang gadis berbalut dress putih selutut bercorak bunga mawar merah tengah melambaikan sebelah tangannya ke arah Joon. Rambutnya yang ikal panjang sewarna madu berkibar pelan diterpa angin laut. Senyuman lebar yang selalu membuat Joon merindu tercetak di bibirnya. Di belakang gadis itu, matahari perlahan terbenam.
Menakjubkan. Indah. Kata-kata itu mungkin tak cukup untuk melukiskan apa yang tengah disaksikan Joon. Ia meraba-raba ponsel di saku celananya dan ketika menariknya keluar, ia mendesah kecewa. Ia lupa kalau sejak satu jam yang lalu ponselnya mati karena kehabisan baterai. Sayang sekali, padahal ia ingin sekali mengabadikan pemandangan indah itu.
“Joon~a! Sini, sini!” Gadis itu kembali memanggil. Joon tersenyum simpul, lalu bangkit berdiri dan berjalan menghampiri gadis itu. “Kau sedang apa sih dari tadi? Berkali-kali aku memanggilmu, tetapi kau tidak menyahut-nyahut,” cerocos gadis itu sambil memberengut kesal.
Joon nyengir lebar. “Mianhae[4]. Aku tadi melamun,” akunya sambil menggaruk tengkuknya salah tingkah.
Gadis itu berdecak sambil menggeleng-gelengkan kepala, tetapi tidak mengatakan apa pun. Pandangannya kemudian beralih ke Matahari yang masih bergerak menenggelamkan diri ke batas cakrawala. Semburat jingganya membias di air laut juga di matanya.
“Indahnyaaa!!” seru gadis itu riang.
“Ya, memang indah,” timpal Joon. Kau juga indah, tambahnya dalam hati. Lalu, ditatapnya lekat-lekat wajah gadis itu dan tentu saja si gadis tak menyadarinya sama sekali.
Sudah enam tahun .... Joon berbisik pada dirinya sendiri.
Ya, sudah enam tahun diam-diam ia mencintai gadis ini dan masih saja belum berani mengungkapkan perasaannya.
Pengecut? Yah ... mungkin bisa dibilang begitu.
Sebenarnya, sudah berpuluh-puluh kali ia berniat untuk mengungkapkan perasaannya. Namun, ia selalu takut. Bukan takut ditolak, tetapi takut gadis itu malah akan membencinya dan tidak mau berteman lagi dengannya. Joon tidak ingin hubungan pertemanan mereka yang sudah lama terjalin hancur berantakan. Itu akan jauh lebih menyakitkan daripada ditolak cinta.
“Kapan-kapan ... kita ke sini lagi, ya?” Gadis itu menoleh, membuat Joon buru-buru mengalihkan pandangannya ke arah laut. “Tapi yang aku ingin lihat Matahari terbit.”
Joon mengangguk dan berkata dengan mantap, “Tentu.”
++++
Joon terbangun dalam keadaan linglung. Bola matanya bergerak-gerak gelisah memindai sekeliling ruangan. Begitu menyadari tempatnya terbaring adalah kamarnya sendiri, ia mendesah lega dan menggerakkan tubuhnya untuk duduk. Kepala Joon berputar ke arah jam dinding. Pukul lima sore. Berarti ia sudah tidur selama delapan jam dan kini perutnya berteriak-teriak meminta diisi.
Perlahan-lahan, Joon turun dari ranjangnya. Ia sempat melirik ponselnya yang mati di atas meja kecil di samping ranjang. Ada niatan untuk menyalakan benda itu. Namun segera disingkirkan niatnya itu. Jika benda itu menyala, Mi Kyung, ibunya, atau Hana pasti akan terus menerornya. Ia sedang tidak mood berurusan dengan ketiga orang itu.
Krukkk!!!
Perutnya berbunyi lagi, membuat Joon bergegas keluar dari kamar menuju dapur. Ia membuka lemari es, tetapi di dalamnya tak ada apa pun kecuali air mineral, sebatang cokelat, dan bir. Joon mendesah berat lalu beralih pada lemari kabinet yang tertempel di dinding. Dibukanya pintu lemari itu satu per satu, mencari ramyun instan, tetapi tak ada makanan di sana. Yang ada hanya gelas, piring, dan toples-toples kecil berisi cokelat bubuk dan gula.
“Sial!” Joon merutuk sambil mengelus perutnya yang semakin ramai. Lalu, ia teringat kembali pada sebatang cokelat di lemari es. Diambilnya cokelat itu dan segera dimakannya dengan lahap. Cokelat itu tidak cukup untuk membuatnya kenyang, memang. Akan tetapi, setidaknya bisa membuatnya bertahan hingga lima belas menit ke depan. Ia akan keluar untuk membeli ramyun di mini market tak jauh dari gedung apartemennya. Inginnya sih memesan makanan dari restoran. Namun, ia juga harus membeli obat sakit kepala. Ternyata obatnya sudah habis, jadi sekalian saja. Lagi pula jaraknya tidak begitu jauh.
Setelah berpikir demikian, Joon segera kembali ke kamarnya. Ia memakai jaket katun berwarna merah bergaris tepi putih dan topi yang juga berwarna putih. Wajahnya ia tutupi masker. Puas dengan penampilannya, Joon pun keluar dari apartemen.
++++
[1]Keren!
[2]Terima kasih (informal)
[3]Hei!
[4]Maaf (informal)
Ae Ri menguap seraya meletakkan pensilnya. Dengan sudut mata, ia melihat jam di layar ponselnya. Pukul 17.30.Sepulang menemui Eun Jung, Ae Ri langsung berkutat membuat beberapa sketsa yang akan dipresentasikannya dalam rapat hari Senin untuk proyek novel “Sweet Moment Series” Sirius Publishing. Ide-ide di kepalanya sudah berteriak-teriak minta segera dituangkan ke buku sketsa. Jadi, tanpa berpikir untuk istirahat dulu—bahkan sekadar cuci muka—Ae Ri langsung duduk di meja kerjanya, menggambar.Ae Ri beranjak ke dapur. Ia mengambil satu cup ramyun dari lemari kabinet. Ketika hendak memasak air panas, terdengar ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang Ae Ri langsung melesat ke meja kerjanya. Begitu melihat nama Eun Jung yang tampil di layar ponselnya, Ae Ri mengurungkan niatnya untuk mengangkat telepon itu.“Mau apa lagi sih anak ini?” gerutu Ae Ri. Ia membiarkan ponselnya terus berdering beberapa saat. Ka
“Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan,
“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya, Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia
“Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa
“Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.
Acara makan malam keluarga yang seharusnya terasa hangat malah terasa sangat kaku. Joon masih bersikap tak acuh. Laki-laki itu bahkan terang-terangan menunjukkan wajah bosan selama makan. Ibu dan ayahnya sampai kehabisan bahan obrolan untuk memancing laki-laki itu bicara lebih banyak dari sekadar mengucapkan ‘ya’, ‘em’, ‘tidak’, dan kata-kata singkat lainnya. Hana juga tidak tinggal diam. Ia berusaha membuka obrolan juga, tapi Joon tetap bersikap sama. Sayang sekali, padahal Hana sudah menantikan momen kumpul bersama ini sejak mereka menjadi satu keluarga. “Cokelat panas?” Hana menyodorkan mug putih bergambar pemandangan kota Paris kepada Joon. Laki-laki itu beranjak dari meja makan lebih dulu. Hana langsung mencarinya begitu selesai mencuci piring. Ia mendapati Joon tengah membaca di perpustakaan mini yang berada di seberang kamar tidur Joon. Hana pun berinisiatif untuk membuatkan minuman favorit laki-laki itu. Joon yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka halaman sebuah majala
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi ....” Ae Ri bergumam sendiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Ae Ri langsung lari ke rooftop untuk menenangkan diri. Rooftop gedung Sirius Publishing dibuat seperti taman yang ada di belakang rumah. Dengan berbagai macam tanaman hijau yang ditanam di dalam pot-pot berbagai ukuran dan bentuk. Dua set bangku panjang terbuat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Di sisi kanan dan kiri ada sebuah gazebo yang biasa digunakan para karyawan Sirius untuk rebahan, meluruskan pinggang mereka. Sama seperti karyawan lain, Ae Ri juga memanfaatkan tempat ini untuk bersantai menikmati udara segar setelah lelah berkutat dengan pekerjaan atau mencari inspirasi untuk gambarnya. “Dia bilang, dia menyukai style gambarmu.” Perkataan ketua timnya itu bergema berkali-kali di kepala Ae Ri. “Ini bukan kebetulan. Dia sengaja melakukannya. Aku yakin.” Ae Ri kembali berbicara sendiri. Urat-urat di wajahnya menegang. “Kau baik-baik saja.”
Desember 2018, Hongdae. SIAL! Cho Ae Ri meletakkan pensilnya dengan gusar seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya lagi dengan perlahan. Perasaan tak nyaman yang melanda Ae Ri sejak semalam masih saja tak mau hilang, bahkan semakin menjadi-jadi hingga membuat dadanya serasa mau meledak. Tatapan Ae Ri kemudian tertuju pada buku sketsa di hadapannya. Sosok perempuan berambut panjang yang tengah berdiri tegak menatap ke laut lepas tergambar di sana. Ae Ri memijat pelipisnya, mendadak pening. Seharusnya, bukan gambar ini yang ia buat, begitu pikirnya. Pandangannya lantas beralih pada naskah novel yang tergeletak di samping sikunya. Naskah itulah penyebab hadirnya perasaan tak nyaman itu. Naskah yang alur ceritanya menyeret Ae Ri ke dalam pusaran ingatan masa lalu dan membuat Ae Ri tanpa sadar menggambar dirinya sendiri untuk ilustrasi naskah tersebut. Ya, sosok perempuan berambut panjang itu adalah dirinya. Cho Ae Ri yan
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi ....” Ae Ri bergumam sendiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Ae Ri langsung lari ke rooftop untuk menenangkan diri. Rooftop gedung Sirius Publishing dibuat seperti taman yang ada di belakang rumah. Dengan berbagai macam tanaman hijau yang ditanam di dalam pot-pot berbagai ukuran dan bentuk. Dua set bangku panjang terbuat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Di sisi kanan dan kiri ada sebuah gazebo yang biasa digunakan para karyawan Sirius untuk rebahan, meluruskan pinggang mereka. Sama seperti karyawan lain, Ae Ri juga memanfaatkan tempat ini untuk bersantai menikmati udara segar setelah lelah berkutat dengan pekerjaan atau mencari inspirasi untuk gambarnya. “Dia bilang, dia menyukai style gambarmu.” Perkataan ketua timnya itu bergema berkali-kali di kepala Ae Ri. “Ini bukan kebetulan. Dia sengaja melakukannya. Aku yakin.” Ae Ri kembali berbicara sendiri. Urat-urat di wajahnya menegang. “Kau baik-baik saja.”
Acara makan malam keluarga yang seharusnya terasa hangat malah terasa sangat kaku. Joon masih bersikap tak acuh. Laki-laki itu bahkan terang-terangan menunjukkan wajah bosan selama makan. Ibu dan ayahnya sampai kehabisan bahan obrolan untuk memancing laki-laki itu bicara lebih banyak dari sekadar mengucapkan ‘ya’, ‘em’, ‘tidak’, dan kata-kata singkat lainnya. Hana juga tidak tinggal diam. Ia berusaha membuka obrolan juga, tapi Joon tetap bersikap sama. Sayang sekali, padahal Hana sudah menantikan momen kumpul bersama ini sejak mereka menjadi satu keluarga. “Cokelat panas?” Hana menyodorkan mug putih bergambar pemandangan kota Paris kepada Joon. Laki-laki itu beranjak dari meja makan lebih dulu. Hana langsung mencarinya begitu selesai mencuci piring. Ia mendapati Joon tengah membaca di perpustakaan mini yang berada di seberang kamar tidur Joon. Hana pun berinisiatif untuk membuatkan minuman favorit laki-laki itu. Joon yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka halaman sebuah majala
“Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.
“Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa
“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya, Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia
“Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan,
Ae Ri menguap seraya meletakkan pensilnya. Dengan sudut mata, ia melihat jam di layar ponselnya. Pukul 17.30.Sepulang menemui Eun Jung, Ae Ri langsung berkutat membuat beberapa sketsa yang akan dipresentasikannya dalam rapat hari Senin untuk proyek novel “Sweet Moment Series” Sirius Publishing. Ide-ide di kepalanya sudah berteriak-teriak minta segera dituangkan ke buku sketsa. Jadi, tanpa berpikir untuk istirahat dulu—bahkan sekadar cuci muka—Ae Ri langsung duduk di meja kerjanya, menggambar.Ae Ri beranjak ke dapur. Ia mengambil satu cup ramyun dari lemari kabinet. Ketika hendak memasak air panas, terdengar ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang Ae Ri langsung melesat ke meja kerjanya. Begitu melihat nama Eun Jung yang tampil di layar ponselnya, Ae Ri mengurungkan niatnya untuk mengangkat telepon itu.“Mau apa lagi sih anak ini?” gerutu Ae Ri. Ia membiarkan ponselnya terus berdering beberapa saat. Ka
Seperti janjinya dengan Eun Jung tadi pagi, sepulang kerja Ae Ri langsung meluncur ke King’s Tteokkbukki. Kedai tteokkbukki yang dijalankan oleh paman dan bibi Eun Jung itu terletak di kawasan pusat perbelanjaan Myeongdong, sekitar lima ratus meter dari rumah Ae Ri.Dengan perlahan, Ae Ri mendorong pintu kedai, yang kini digantungi papan kecil bertuliskan “CLOSE”. Ia melihat Eun Jung menghampirinya dengan tergesa-gesa dan langsung menodong gambar pesanannya tanpa basa-basi lagi.“Mana gambarnya?” tanyanya sambil memanjangkan tangannya di depan wajah Ae Ri.Ae Ri tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Eun Jung menuju salah satu kursi dan duduk di sana.“Mana Paman dan Bibi?” tanya Ae Ri seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.“Ada di belakang sedang mengecek bahan-bahan,” jawab Eun Jung ketus sambil mendudukkan dirinya di kursi
Pukul setengah delapan Ae Ri keluar dari rumahnya. Udara dingin langsung menyerbunya, membuat Ae Ri segera memeluk erat tubuhnya yang menggigil. Sebenarnya ini sudah memasuki musim semi, matahari pun bersinar terang, tetapi udara dingin rupanya masih ingin menunjukkan eksistensinya.Sambil menggerutu dan merapatkan coat-nya, Ae Ri menuruni tangga. Di bahunya tersampir tabung panjang berisi gambar pesanan Eun Jung, sementara di punggungnya bertengger ransel berwarna hitam berisi peralatan menggambarnya.Ae Ri tinggal di rumah sewa berukuran minimalis yang merupakan bagian dari bangunan berlantai dua berumur hampir tiga puluh tahun. ‘Rumah Sewa Myeongwol’, sang pemilik bangunan menamainya begitu. Bangunan itu memiliki tiga unit rumah sewa berukuran sama dan satu rumah utama yang ukurannya dua kali lebih besar.Ae Ri sendiri menempati rumah nomor 002 di lantai dua, sementara rumah di sampingnya, nomor 003, kosong