“Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.
Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.
“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.
Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan, siapa dia yang dibicarakan kedua orang itu?
Joon berusaha mengingat apa yang terjadi. Terakhir kali yang diingatnya adalah ia sedang berada di ruang rawat klinik, menunggui Eun Jung, gadis yang ia temukan pingsan di taman depan gedung apartemennya. Saat itu, tiba-tiba Eun Jung mengingau. Ia berniat menyentuh keningnya untuk memastikan panas tidaknya badan gadis itu. Namun, tiba-tiba saja semuanya menjadi gelap dan ia tidak ingat apa pun lagi.
Tak berapa lama, terdengar suara pintu ditutup dan diikuti oleh suara langkah kaki yang semakin mendekat ke arahnya. Lalu, suara berikutnya yang Joon dengar adalah bunyi derit kursi dari arah samping bersamaan dengan terciumnya aroma khas bayi.
“Haahhh ....” Orang yang duduk di samping Joon mengeluarkan desahan panjang. “Kenapa semuanya jadi begini? Kenapa pula dari sekian banyak orang di Seoul ini malah orang ini yang aku tinju? Ya Tuhan ... sampai kapan kesialanku ini akan berlanjut?!”
Mendengar gerutuan orang itu Joon tersenyum dalam hati. Ia kenal suara ini. Suara gadis di telepon, Ae Ri.
“Lee Joon-ssi, bisakah kau siuman sekarang? Aku tidak punya banyak waktu untuk menungguimu di sini.” Ae Ri mengomel lagi. “Lagi pula, semakin lama aku bersamamu, aku malah semakin ingin meninjumu. Aku tidak mau lepas kendali.”
Hei, dia mengenalku? Tunggu, tunggu! Apa maksud perkataannya itu? Memangnya apa yang sudah aku perbuat padanya hingga dia mau meninjuku lagi? Aku rasa, aku tidak pernah mengenalnya. Mendengar suaranya pun baru kali ini, gumam Joon dalam hati.
Hening. Gadis bernama Ae Ri itu tidak bicara lagi, sedangkan Joon sibuk berpikir dan mengingat-ingat. Mungkin saja ia mengenal gadis ini dan pernah melakukan kesalahan padanya. Kalau memang seperti itu, ia harus meminta maaf. Namun, yang terpenting sekarang adalah ia harus bangun dulu.
Oke, Lee Joon, ayo bangun! Bangun! Satu ... dua ... tiga ....
++++
Ae Ri mengentak-entakkan sebelah kakinya ke lantai. Gugup, kesal, benci, tegang, dan cemas berkumpul jadi satu di hatinya. Ia menatap sekali lagi laki-laki yang tengah terbaring di ranjang tepat di hadapannya. Mata Ae Ri mengerjap-ngerjap untuk kesekian kalinya, masih belum percaya kalau laki-laki ini adalah Lee Joon.
Benar. Tak salah lagi, orang ini Lee Joon si aktor itu. Lee Joon yang dibencinya selama bertahun-tahun. Namun, bagaimana bisa ada kebetulan semacam ini? Rasanya baru tadi pagi ia memandangi sketsa wajah laki-laki ini dengan penuh kebencian. Dan sekarang, ia malah dihadapkan dengan sosok aslinya.
Apakah ini lelucon? Apakah seseorang sedang mempermainkannya? Menjebaknya?
Embusan napas keras keluar dari lubang hidung Ae Ri. Oke, ia memang membenci Lee Joon. Namun, melihatnya terbaring tak berdaya seperti ini—dan itu pun karena ulahnya—membuat Ae Ri merasa tak tega. Lagi pula, mau tak mau, ia harus bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukannya.
Sungguh, saat itu pikirannya sedang kacau. Ketika melihat wajah Lee Joon begitu dekat dengan wajah Eun Jung, Ae Ri kalap dan langsung meninju perut laki-laki itu. Namun, ia benar-benar tidak menduga kalau satu pukulan dari tangan kurusnya bisa membuat orang langsung pingsan seperti ini.
Tatapan Ae Ri semakin lekat ke wajah Lee Joon. Wajah itu, bibir itu, hidung itu, masih sama seperti dulu. Tak ada yang berubah. Ia masih terlihat tampan dan menarik.
Ae Ri tertegun, kaget dengan pemikirannya sendiri. Tidak! Ia tidak boleh seperti ini! Ia tidak boleh menjadi lemah. Lee Joon adalah luka dan ia harus segera menjauhinya.
Ae Ri lantas bangkit dari duduknya dengan hati-hati, mencoba tidak menimbulkan suara. Ia bertekad untuk pergi dari tempat itu. Toh, ia sudah tidak punya urusan lagi di sana. Eun Jung sudah dibawa oleh pamannya beberapa saat lalu. Soal masalahnya dengan Lee Joon, biarkan saja. Lagi pula, Lee Joon tidak tahu wajah dan alamatnya. Jadi, laki-laki itu tidak bisa menuntutnya.
“Mau lari setelah membuat orang cidera, hm?” Suara itu terdengar dari arah ranjang ketika Ae Ri hendak menyentuh kenop pintu. Tubuh Ae Ri berputar cepat. Matanya melotot begitu melihat sosok Lee Joon yang sudah sadar dan terduduk di ranjang.
Glek! Ae Ri menelan ludah.
“Ka-kau ... siuman?” tanyanya tergagap.
“Ya. Kenapa? Kau berharap aku tidur lebih lama lagi agar bisa kabur begitu saja?” kata Lee Joon sarkastis.
“A-aku tidak berniat kabur. Aku mau ke ... ke toilet. Ya, ke toilet,” elak Ae Ri. Kegugupan terpancar jelas di wajahnya.
“Oh ... benarkah?” Joon menyilangkan tangan di dada. Matanya menatap galak pada Ae Ri, membuat Ae Ri merasa tak nyaman.
“A-aku akan memanggil dokter. Kau harus diperiksa lebih lanjut lagi untuk memastikan tidak ada yang salah dengan lambungmu,” ujar Ae Ri. Ia kembali memutar tubuhnya, hendak membuka pintu, tetapi Joon kembali mencegahnya.
“Tidak perlu. Aku baik-baik saja. Aku hanya ingin pulang dan makan sesuatu,” kata laki-laki itu. “Aku benar-benar lapar hingga rasanya seperti mau mati.”
“Kau yakin?” Ae Ri menatap Joon lekat, memastikan kalau ucapan laki-laki itu bukan candaan.
“Ya.” Joon mengangguk mantap.
“Kalau begitu, cepat hubungi orang terdekatmu untuk membawamu pulang. Aku tidak punya banyak waktu lagi. Ada banyak hal yang harus aku kerjakan,” kata Ae Ri sambil mendekat ke ranjang.
“Aku tidak bawa ponsel,” sahut Joon enteng.
Ae Ri mengeluarkan ponsel dari saku jaket dan menyodorkannya pada Joon. “Pakai ponselku.”
“Aku tidak ingat nomor-nomor orang terdekatku. Lagi pula, kenapa tidak kau saja yang mengantarku pulang? Kau sudah membuatku begini. Jadi, kau harus bertanggung jawab sampai akhir.” Joon menatap lekat ke wajah Ae Ri, menantangnya.
Ae Ri membuang napas berat. Memang benar ia harus bertanggung jawab. Namun, kalau harus mengantar Lee Joon ke rumahnya dan berdekatan dengan laki-laki ini lebih lama lagi .... Tidak! Ia tidak bisa!
“Nan motae[1].”
Joon memiringkan kepalanya. “Wae[2]?”
“Karena ... karena aku tidak mau terlibat skandal denganmu.”
++++
“Jadi, kau tahu siapa aku?” tanya Joon sambil menyunggingkan senyum misterius.
“Tentu saja tahu. Fotomu ada di mana-mana. Nyaris setiap hari kau selalu muncul di acara infotainment di televisi,” jawab Ae Ri dengan nada ketus. “Dan, kalau kau berpikir aku ini fans-mu, kau salah. Aku ini anti-fansmu, oke?”
“Oh, baguslah kalau begitu,” kata Joon santai sambil membenarkan posisi duduknya.
“Bagus apanya?!” seru Ae Ri, semakin terlihat kesal.
“Ya ... bagus karena kau anti-fansku. Aku aman. Fans-ku justru lebih membahayakan dibandingkan anti-fansku.”
Ae Ri mendesis. Tangannya teracung ke udara, hendak memukul, tapi kemudian ia menurunkannya kembali.
“Oke, kembali ke permasalahan kita,” kata Joon kemudian. “Aku tetap menuntut pertanggungjawabanmu. Kau harus tetap mengantarku pulang dan kau tak bisa menolaknya. Soal skandal atau apa pun itu, aku bisa mengatur agar tidak ada yang melihat kita.” Joon bersikukuh, membuat raut wajah Ae Ri mengeras.
“Dengar, Lee Joon-ssi ....” Ae Ri menggeram. Kedua tangannya mengepal kuat-kuat. “Kau pikir, karena kau seorang artis terkenal, kau bisa memerintah orang lain seenaknya? Kau pikir, aku akan senang menuruti perintahmu, hah? Mungkin orang lain begitu—terutama para fans konyolmu itu—tetapi aku tidak!” Suara Ae Ri naik beberapa oktaf.
“Tunggu, tunggu! Kenapa kau marah-marah? Yang seharusnya marah itu aku. Kau yang telah meninjuku hingga aku nyaris sekarat. Aku ini korbanmu dan kau harus bertanggung jawab atas perbuatanmu.” Emosi Joon terpancing. “Kau cukup mengantarku pulang. Itu tidak susah, ‘kan? Atau ... kau mau aku laporkan ke polisi?”
Wajah Ae Ri memucat. Gadis itu kemudian terdiam.
“Aku bisa dengan mudah menjebloskanmu ke penjara, lho,” kata Joon dengan nada bangga.
“Baik, aku akan mengantarmu pulang,” putus Ae Ri beberapa menit kemudian. Nada suaranya terdengar tidak ikhlas.
Senyum Joon langsung terkembang. “Gamsahamnida[3]. Tapi, sebelum itu, belikan aku makanan. Aku sangat lapar.” Ia menepuk-nepuk perutnya.
“Hah?!” Ae Ri melotot.
“Kenapa terkejut begitu? Aku kan menyuruhmu membelikan makanan, bukan menyuruhmu buka baju.” Joon nyaris menyemburkan tawa melihat ekspresi wajah Ae Ri. Ia sudah tidak kuat lagi berpura-pura bersikap tenang seperti ini. Gadis mungil ini benar-benar membuat Joon ingin tertawa, mencubit pipinya yang menggembung karena menahan marah, dan mengacak-acak rambut sebahunya yang tergerai tanpa aksesoris apa pun.
Sebenarnya Joon bisa saja meminta Mi Joon untuk mengantarnya pulang. Ia juga tidak memberi tahu Ae Ri kalau ia mengenal dokter klinik ini. Ia ingin mengerjai Ae Ri. Siapa suruh gadis ini membuatnya pingsan dan mengoceh tak jelas tentang dirinya?
“Oke. Aku akan membelikanmu makanan,” kata Ae Ri kemudian. “Kau mau makan apa?”
“Daging sapi asap.”
Joon melihat Ae Ri menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya lagi dengan sekali embusan. “Baik. Aku akan membelikannya,” katanya dengan nada ketus, lalu berjalan ke pintu dengan langkah lebar-lebar.
++++
[1]Aku tidak bisa.
[2]Kenapa?
[3]Terima kasih (formal)
“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya, Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia
“Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa
“Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.
Acara makan malam keluarga yang seharusnya terasa hangat malah terasa sangat kaku. Joon masih bersikap tak acuh. Laki-laki itu bahkan terang-terangan menunjukkan wajah bosan selama makan. Ibu dan ayahnya sampai kehabisan bahan obrolan untuk memancing laki-laki itu bicara lebih banyak dari sekadar mengucapkan ‘ya’, ‘em’, ‘tidak’, dan kata-kata singkat lainnya. Hana juga tidak tinggal diam. Ia berusaha membuka obrolan juga, tapi Joon tetap bersikap sama. Sayang sekali, padahal Hana sudah menantikan momen kumpul bersama ini sejak mereka menjadi satu keluarga. “Cokelat panas?” Hana menyodorkan mug putih bergambar pemandangan kota Paris kepada Joon. Laki-laki itu beranjak dari meja makan lebih dulu. Hana langsung mencarinya begitu selesai mencuci piring. Ia mendapati Joon tengah membaca di perpustakaan mini yang berada di seberang kamar tidur Joon. Hana pun berinisiatif untuk membuatkan minuman favorit laki-laki itu. Joon yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka halaman sebuah majala
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi ....” Ae Ri bergumam sendiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Ae Ri langsung lari ke rooftop untuk menenangkan diri. Rooftop gedung Sirius Publishing dibuat seperti taman yang ada di belakang rumah. Dengan berbagai macam tanaman hijau yang ditanam di dalam pot-pot berbagai ukuran dan bentuk. Dua set bangku panjang terbuat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Di sisi kanan dan kiri ada sebuah gazebo yang biasa digunakan para karyawan Sirius untuk rebahan, meluruskan pinggang mereka. Sama seperti karyawan lain, Ae Ri juga memanfaatkan tempat ini untuk bersantai menikmati udara segar setelah lelah berkutat dengan pekerjaan atau mencari inspirasi untuk gambarnya. “Dia bilang, dia menyukai style gambarmu.” Perkataan ketua timnya itu bergema berkali-kali di kepala Ae Ri. “Ini bukan kebetulan. Dia sengaja melakukannya. Aku yakin.” Ae Ri kembali berbicara sendiri. Urat-urat di wajahnya menegang. “Kau baik-baik saja.”
Desember 2018, Hongdae. SIAL! Cho Ae Ri meletakkan pensilnya dengan gusar seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya lagi dengan perlahan. Perasaan tak nyaman yang melanda Ae Ri sejak semalam masih saja tak mau hilang, bahkan semakin menjadi-jadi hingga membuat dadanya serasa mau meledak. Tatapan Ae Ri kemudian tertuju pada buku sketsa di hadapannya. Sosok perempuan berambut panjang yang tengah berdiri tegak menatap ke laut lepas tergambar di sana. Ae Ri memijat pelipisnya, mendadak pening. Seharusnya, bukan gambar ini yang ia buat, begitu pikirnya. Pandangannya lantas beralih pada naskah novel yang tergeletak di samping sikunya. Naskah itulah penyebab hadirnya perasaan tak nyaman itu. Naskah yang alur ceritanya menyeret Ae Ri ke dalam pusaran ingatan masa lalu dan membuat Ae Ri tanpa sadar menggambar dirinya sendiri untuk ilustrasi naskah tersebut. Ya, sosok perempuan berambut panjang itu adalah dirinya. Cho Ae Ri yan
April 2019. “Cut! Oke, cukup untuk hari ini!” Seruan lantang Sutradara Ahn langsung disambut helaan napas lega oleh Lee Joon. Ia pun segera meninggalkan tempat pengambilan gambar di tepi pantai dan menghampiri Hwang Mi Kyung yang sedang duduk di kursi kayu di bawah payung besar. “Haahhh ....” Joon membuang napas panjang seraya mengempaskan diri di kursi di hadapan Mi Kyung. Kepalanya terkulai di sandaran kursi. Tangan kanannya memijat pelan kening. Tiga hari menjalani syuting di Incheon, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan melakukan adegan-adegan yang menguras tenaga membuatnya merasa sangat lelah. Seluruh tulangnya serasa remuk dan kepalanya pun terasa berat. Untung saja, syuting terakhir hari ini selesai masih pagi, jadi ia bisa cepat pulang ke Seoul dan tidur sepuasnya. “Cokelat panas.” Mi Kyung menyodorkan cangkir kertas berisi cairan warna cokelat pekat ke hadapan Joon. Aroma cokelat yang menguar dari ca
Pukul setengah delapan Ae Ri keluar dari rumahnya. Udara dingin langsung menyerbunya, membuat Ae Ri segera memeluk erat tubuhnya yang menggigil. Sebenarnya ini sudah memasuki musim semi, matahari pun bersinar terang, tetapi udara dingin rupanya masih ingin menunjukkan eksistensinya.Sambil menggerutu dan merapatkan coat-nya, Ae Ri menuruni tangga. Di bahunya tersampir tabung panjang berisi gambar pesanan Eun Jung, sementara di punggungnya bertengger ransel berwarna hitam berisi peralatan menggambarnya.Ae Ri tinggal di rumah sewa berukuran minimalis yang merupakan bagian dari bangunan berlantai dua berumur hampir tiga puluh tahun. ‘Rumah Sewa Myeongwol’, sang pemilik bangunan menamainya begitu. Bangunan itu memiliki tiga unit rumah sewa berukuran sama dan satu rumah utama yang ukurannya dua kali lebih besar.Ae Ri sendiri menempati rumah nomor 002 di lantai dua, sementara rumah di sampingnya, nomor 003, kosong
“Tidak. Ini tidak boleh terjadi ....” Ae Ri bergumam sendiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Ae Ri langsung lari ke rooftop untuk menenangkan diri. Rooftop gedung Sirius Publishing dibuat seperti taman yang ada di belakang rumah. Dengan berbagai macam tanaman hijau yang ditanam di dalam pot-pot berbagai ukuran dan bentuk. Dua set bangku panjang terbuat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Di sisi kanan dan kiri ada sebuah gazebo yang biasa digunakan para karyawan Sirius untuk rebahan, meluruskan pinggang mereka. Sama seperti karyawan lain, Ae Ri juga memanfaatkan tempat ini untuk bersantai menikmati udara segar setelah lelah berkutat dengan pekerjaan atau mencari inspirasi untuk gambarnya. “Dia bilang, dia menyukai style gambarmu.” Perkataan ketua timnya itu bergema berkali-kali di kepala Ae Ri. “Ini bukan kebetulan. Dia sengaja melakukannya. Aku yakin.” Ae Ri kembali berbicara sendiri. Urat-urat di wajahnya menegang. “Kau baik-baik saja.”
Acara makan malam keluarga yang seharusnya terasa hangat malah terasa sangat kaku. Joon masih bersikap tak acuh. Laki-laki itu bahkan terang-terangan menunjukkan wajah bosan selama makan. Ibu dan ayahnya sampai kehabisan bahan obrolan untuk memancing laki-laki itu bicara lebih banyak dari sekadar mengucapkan ‘ya’, ‘em’, ‘tidak’, dan kata-kata singkat lainnya. Hana juga tidak tinggal diam. Ia berusaha membuka obrolan juga, tapi Joon tetap bersikap sama. Sayang sekali, padahal Hana sudah menantikan momen kumpul bersama ini sejak mereka menjadi satu keluarga. “Cokelat panas?” Hana menyodorkan mug putih bergambar pemandangan kota Paris kepada Joon. Laki-laki itu beranjak dari meja makan lebih dulu. Hana langsung mencarinya begitu selesai mencuci piring. Ia mendapati Joon tengah membaca di perpustakaan mini yang berada di seberang kamar tidur Joon. Hana pun berinisiatif untuk membuatkan minuman favorit laki-laki itu. Joon yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka halaman sebuah majala
“Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.
“Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa
“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya, Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia
“Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan,
Ae Ri menguap seraya meletakkan pensilnya. Dengan sudut mata, ia melihat jam di layar ponselnya. Pukul 17.30.Sepulang menemui Eun Jung, Ae Ri langsung berkutat membuat beberapa sketsa yang akan dipresentasikannya dalam rapat hari Senin untuk proyek novel “Sweet Moment Series” Sirius Publishing. Ide-ide di kepalanya sudah berteriak-teriak minta segera dituangkan ke buku sketsa. Jadi, tanpa berpikir untuk istirahat dulu—bahkan sekadar cuci muka—Ae Ri langsung duduk di meja kerjanya, menggambar.Ae Ri beranjak ke dapur. Ia mengambil satu cup ramyun dari lemari kabinet. Ketika hendak memasak air panas, terdengar ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang Ae Ri langsung melesat ke meja kerjanya. Begitu melihat nama Eun Jung yang tampil di layar ponselnya, Ae Ri mengurungkan niatnya untuk mengangkat telepon itu.“Mau apa lagi sih anak ini?” gerutu Ae Ri. Ia membiarkan ponselnya terus berdering beberapa saat. Ka
Seperti janjinya dengan Eun Jung tadi pagi, sepulang kerja Ae Ri langsung meluncur ke King’s Tteokkbukki. Kedai tteokkbukki yang dijalankan oleh paman dan bibi Eun Jung itu terletak di kawasan pusat perbelanjaan Myeongdong, sekitar lima ratus meter dari rumah Ae Ri.Dengan perlahan, Ae Ri mendorong pintu kedai, yang kini digantungi papan kecil bertuliskan “CLOSE”. Ia melihat Eun Jung menghampirinya dengan tergesa-gesa dan langsung menodong gambar pesanannya tanpa basa-basi lagi.“Mana gambarnya?” tanyanya sambil memanjangkan tangannya di depan wajah Ae Ri.Ae Ri tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Eun Jung menuju salah satu kursi dan duduk di sana.“Mana Paman dan Bibi?” tanya Ae Ri seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.“Ada di belakang sedang mengecek bahan-bahan,” jawab Eun Jung ketus sambil mendudukkan dirinya di kursi
Pukul setengah delapan Ae Ri keluar dari rumahnya. Udara dingin langsung menyerbunya, membuat Ae Ri segera memeluk erat tubuhnya yang menggigil. Sebenarnya ini sudah memasuki musim semi, matahari pun bersinar terang, tetapi udara dingin rupanya masih ingin menunjukkan eksistensinya.Sambil menggerutu dan merapatkan coat-nya, Ae Ri menuruni tangga. Di bahunya tersampir tabung panjang berisi gambar pesanan Eun Jung, sementara di punggungnya bertengger ransel berwarna hitam berisi peralatan menggambarnya.Ae Ri tinggal di rumah sewa berukuran minimalis yang merupakan bagian dari bangunan berlantai dua berumur hampir tiga puluh tahun. ‘Rumah Sewa Myeongwol’, sang pemilik bangunan menamainya begitu. Bangunan itu memiliki tiga unit rumah sewa berukuran sama dan satu rumah utama yang ukurannya dua kali lebih besar.Ae Ri sendiri menempati rumah nomor 002 di lantai dua, sementara rumah di sampingnya, nomor 003, kosong