Beranda / Romansa / HURT / 7. Mimpi-Mimpi Buruk yang Kembali Hadir

Share

7. Mimpi-Mimpi Buruk yang Kembali Hadir

Penulis: Miss Rie
last update Terakhir Diperbarui: 2021-04-19 21:31:12

“Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.

Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.

“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya,  Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.

“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia terbesar Lee Joon yang seharusnya tidak diketahui orang lain.

Dengan perlahan, Ae Ri memberanikan diri melihat ke arah Lee Joon yang kini tak terdengar lagi suara tawanya. Laki-laki itu ternyata tengah menatap tajam ke arah Ae Ri. Wajahnya mengeras. Aura kemarahannya menguar memenuhi ruangan, membuat Ae Ri diserang rasa takut.

“Bagaimana ... kau bisa tahu soal itu?” Joon bertanya dengan suara tertahan seraya meletakkan sumpit di tangannya dengan kasar. Lalu, ia berjalan pelan ke arah Ae Ri layaknya harimau yang sedang mengincar mangsanya.

Alarm tanda bahaya di kepala Ae Ri langsung menyala. Ia segera bangkit dari sofa dan berniat lari ke pintu. Namun, belum sempat kakinya bergerak, Joon sudah lebih dulu mencekal lengannya dan menghempaskannya kembali ke sofa.

“Bagaimana kau bisa tahu soal itu?” Joon mengulangi pertanyaannya. Laki-laki itu merendahkan tubuhnya dan mencondongkan wajahnya ke wajah Ae Ri. Kedua tangannya diletakkan di samping kanan dan kiri kepala Ae Ri. Berada dalam posisi seperti itu membuat jantung Ae Ri berhenti berdetak untuk beberapa saat. Kilasan ingatan masa lalu membanjiri ingatannya saat itu juga.

“So-soal apa?” Ae Ri pura-pura tak mengerti sambil berusaha untuk tidak menatap langsung ke wajah Joon yang berada tepat di depan wajahnya. Tubuhnya mulai menggigil. “Aku tidak mengerti apa maksudmu,” ucapnya sambil mencoba bangkit, tetapi Joon mendorong bahunya hingga terduduk lagi.

“Jangan mencoba mengalihkan pembicaraan! Cepat katakan!” Joon membentak hingga membuat Ae Ri makin mengerut ketakutan.

Tidak. Kamu tidak boleh takut, Cho Ae Ri. Hadapi dia! Hadapi dia! Ae Ri menghirup udara sebanyak-banyaknya, berusaha menguatkan diri.

Joon meraih bagian depan baju Ae Ri dan mencengkeramnya kuat-kuat. “Apa kau tuli, hah? Cepat katakan!” bentaknya lagi.

Baiklah. Apa boleh buat, putus Ae Ri dalam hati. Lalu, ditatapnya Joon tajam. Menantang laki-laki itu. Sorot matanya yang semula ketakutan berubah penuh kebencian.

“Kim Hana ....” Ae Ri menjeda ucapannya, “... kau mencintainya, ‘kan? Tapi, kau tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Selama bertahun-tahun kau hidup dengan memendam perasaan cintamu kepadanya hingga akhirnya dia jadi adik tirimu. Dan kau ....” Bibir Ae Ri menyunggingkan senyum mengejek, “hancur.”

Mata Joon melebar. Ia tampak sangat terkejut. Melihat hal itu senyum Ae Ri semakin terkembang. Ia sangat menikmati ekspresi terkejut laki-laki itu.

“Kau ...,” Joon menjauh dari Ae Ri dengan langkah limbung, “siapa sebenarnya?”

Ae Ri bangkit. “Entahlah. Menurutmu siapa?” katanya sambil merapikan pakaiannya yang kusut. Lalu, ia melenggang ke pintu. Sebelum keluar, Ae Ri menyempatkan diri berbicara lagi pada Joon. “Ah iya, kalau kau mau menuntutku, silakan saja. Aku tidak takut. Aku akan mengungkapkan rahasia terbesarmu itu ke publik sebagai gantinya. Bukankah hal itu yang paling tidak ingin orang lain tahu dari sekian banyak rahasiamu?”

Tubuh Joon menegang. Bola mata laki-laki itu bergerak-gerak gelisah. “Kau ....” Hanya itu yang keluar dari mulutnya.

“Baiklah, aku pergi. Semoga kita tidak bertemu lagi,” ucap Ae Ri seraya membuka pintu dan keluar dari ruang rawat Joon. Meninggalkan laki-laki itu yang masih terlihat sangat syok.

Setelah ada di luar dan menutup pintu rapat-rapat, Ae Ri menyandarkan punggungnya ke dinding. Napasnya memburu seperti habis melakukan lari maraton. Seluruh tubuhnya lemas. Kedua kaki dan tangannya gemetaran.

Apa yang dilakukannya tadi benar-benar nekat. Ia tidak tahu dari mana datangnya kenekatannya itu. Padahal, ia sudah bertekad tidak mau terlibat dan ikut campur dalam urusan pribadi Lee Joon, sekalipun ia membenci laki-laki itu. Ah, ini benar-benar buruk!

Semoga saja kami tidak pernah bertemu lagi, doa Ae Ri seraya melangkahkan kakinya pergi dari klinik itu.

++++

“Kim Hana .... Kau mencintainya, bukan? Tapi, kau tidak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Selama bertahun-tahun kau hidup dengan memendam perasaan cintamu kepadanya hingga akhirnya dia jadi adik tirimu. Dan kau hancur.”

Perkataan Ae Ri tadi terngiang lagi dan lagi di telinga Joon, membuat hati Joon seperti dihantam martil berkali-kali.

“Siapa sebenarnya gadis itu? Kenapa dia bisa tahu sampai sejauh itu?” gumam Joon sambil memijat-mijat pelipisnya. Ia berusaha menggali ingatannya. Mungkin saja, dulu, ia pernah mengenal Ae Ri. Namun, dari sekian banyak ingatan yang menempel di kepalanya, Joon tak menemukan ingatan pernah mengenal atau bertemu dengan Ae Ri sebelumnya.

“Aku harus mencari tahu siapa dia sebenarnya. Harus!” tekad Joon.

++++

Ae Ri terduduk di atas kasurnya dengan wajah bersimbah peluh. Air mata meleleh dari kedua sudut matanya. Dengan tangan gemetaran, ia meraih sesuatu dari bawah bantal. Sebuah foto dalam pigura kayu.

Dipandanginya foto itu dengan tatapan penuh kerinduan lalu memeluknya erat-erat. Ia menangis tersedu-sedu.

“Hyuk-a, Hyuk-a ....” Ae Ri menyebut nama itu berkali-kali di sela tangisnya. “Mianhae, mianhae ....”

++++

Yeoboseyo[1]!” Ae Ri menyapa dengan suara serak. Matanya masih setengah terpejam.

“Ae Ri-ssi, aku sudah ada di kedai yang kau maksud. Kapan kau akan datang? Aku sudah menunggu setengah jam di sini.”

Kedai? Ae Ri berpikir sejenak. Tunggu! Suara ini kan ....

Mata Ae Ri membelalak dan segera dilihatnya nama yang tertera di layar ponselnya. Pak Im?!!

“Ma-maafkan saya, Sajangnim. Sa-saya baru bangun. Saya akan segera ke sana. Tolong tunggu sebentar lagi!” jawab Ae Ri.

Cha Sung Jae tertawa di seberang sana. “Baiklah, aku akan menunggumu sebentar lagi. Tapi, kau harus membayar atas keterlambatanmu ini, oke?”

“Ba-baik.” Ae Ri mengiakan.

Lalu, sambungan telepon diputus oleh Sung Jae. Ae Ri melempar ponselnya ke atas kasur dan melesat keluar dari kamarnya untuk mandi.

Di kedai tteokkbukki, Sung Jae duduk tak jauh dari pintu masuk. Ia memilih tempat duduk dekat jendela. Di mejanya sudah ada cangkir kosong bekas teh krisan yang ia pesan saat baru datang, segelas air putih dingin yang tinggal setengah, dan kue kering. Sambil menopang dagu, ia menatap ke luar jendela. Wajah Ae Ri berkelebatan di benaknya.

Cho Ae Ri. Gadis sederhana itu telah memikat hatinya sejak kali pertama Sung Jae melihatnya dua tahun silam. Sosoknya yang sedang menggambar sendirian di bangku taman begitu memukau.

Awalnya, Sung Jae tak sengaja lewat taman itu setelah pulang dari apartemen temannya yang berada tak jauh dari sana. Lalu, ia melihat seorang gadis tengah duduk sendirian di bangku taman. Sung Jae mengernyit. Heran kenapa ada orang yang mau duduk di sana dalam kondisi cuaca sedingin ini.

Semakin diperhatikan, semakin Sung Jae merasa tertarik. Ia pun menghampiri gadis itu. Saat sudah dekat, Sung Jae baru bisa melihat dengan jelas apa yang sedang dilakukan gadis berjaket merah itu. Sung Jae tidak buru-buru menyapa. Dengan hati-hati ia duduk di samping gadis itu dan memperhatikannya dalam diam.

Kemudian, perasaan asing itu pun menyelusup ke dalam hatinya. Menciptakan kehangatan yang menjalari seluruh tubuhnya, mengalahkan rasa dingin yang dirasakannya tadi.

Karena gadis itu tak menyadari kehadirannya, Sung Jae memutuskan untuk menyapanya. Entah dari mana datangnya, tiba-tiba saja ia punya ide untuk mengajak gadis itu bergabung di penerbitan miliknya.

Sung Jae tersenyum mengingat pertemuan pertama mereka itu. Tak terasa hari demi hari berlalu dari kali pertama mereka bertemu dan perasaannya terhadap Ae Ri semakin besar. Namun, gadis itu belum menyadarinya juga, meski Sung Jae berusaha keras menunjukkannya. Dan juga, selama mengenal Ae Ri, Sung Jae melihat gadis ituseolahmembangun dinding tak kasat mata pada setiap laki-laki yang berusaha mendekatinya. Sung Jae tidak tahu kenapa Ae Ri harus repot-repot melakukan hal itu.

Kendati demikian, Sung Jae tetap tak gentar untuk meluluhkan hati Ae Ri. Setebal apa pun dinding yang dibangun gadis itu, ia akan berusaha meruntuhkannya.

++++

[1]‘Halo!’ Sapaan ketika menerima telepon.

Bab terkait

  • HURT   8. Rahasia Besar Joon

    “Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-24
  • HURT   9. Cinta yang Tak Bisa Diraih

    “Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-24
  • HURT   10. Tangisan Kepedihan di Musim Semi

    Acara makan malam keluarga yang seharusnya terasa hangat malah terasa sangat kaku. Joon masih bersikap tak acuh. Laki-laki itu bahkan terang-terangan menunjukkan wajah bosan selama makan. Ibu dan ayahnya sampai kehabisan bahan obrolan untuk memancing laki-laki itu bicara lebih banyak dari sekadar mengucapkan ‘ya’, ‘em’, ‘tidak’, dan kata-kata singkat lainnya. Hana juga tidak tinggal diam. Ia berusaha membuka obrolan juga, tapi Joon tetap bersikap sama. Sayang sekali, padahal Hana sudah menantikan momen kumpul bersama ini sejak mereka menjadi satu keluarga. “Cokelat panas?” Hana menyodorkan mug putih bergambar pemandangan kota Paris kepada Joon. Laki-laki itu beranjak dari meja makan lebih dulu. Hana langsung mencarinya begitu selesai mencuci piring. Ia mendapati Joon tengah membaca di perpustakaan mini yang berada di seberang kamar tidur Joon. Hana pun berinisiatif untuk membuatkan minuman favorit laki-laki itu. Joon yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka halaman sebuah majala

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-26
  • HURT   11. Keputusan Berat

    “Tidak. Ini tidak boleh terjadi ....” Ae Ri bergumam sendiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Ae Ri langsung lari ke rooftop untuk menenangkan diri. Rooftop gedung Sirius Publishing dibuat seperti taman yang ada di belakang rumah. Dengan berbagai macam tanaman hijau yang ditanam di dalam pot-pot berbagai ukuran dan bentuk. Dua set bangku panjang terbuat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Di sisi kanan dan kiri ada sebuah gazebo yang biasa digunakan para karyawan Sirius untuk rebahan, meluruskan pinggang mereka. Sama seperti karyawan lain, Ae Ri juga memanfaatkan tempat ini untuk bersantai menikmati udara segar setelah lelah berkutat dengan pekerjaan atau mencari inspirasi untuk gambarnya. “Dia bilang, dia menyukai style gambarmu.” Perkataan ketua timnya itu bergema berkali-kali di kepala Ae Ri. “Ini bukan kebetulan. Dia sengaja melakukannya. Aku yakin.” Ae Ri kembali berbicara sendiri. Urat-urat di wajahnya menegang. “Kau baik-baik saja.”

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-27
  • HURT   1. Perempuan dan Laki-Laki yang Memeluk Luka

    Desember 2018, Hongdae. SIAL! Cho Ae Ri meletakkan pensilnya dengan gusar seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Ia menghirup udara sebanyak-banyaknya dan mengeluarkannya lagi dengan perlahan. Perasaan tak nyaman yang melanda Ae Ri sejak semalam masih saja tak mau hilang, bahkan semakin menjadi-jadi hingga membuat dadanya serasa mau meledak. Tatapan Ae Ri kemudian tertuju pada buku sketsa di hadapannya. Sosok perempuan berambut panjang yang tengah berdiri tegak menatap ke laut lepas tergambar di sana. Ae Ri memijat pelipisnya, mendadak pening. Seharusnya, bukan gambar ini yang ia buat, begitu pikirnya. Pandangannya lantas beralih pada naskah novel yang tergeletak di samping sikunya. Naskah itulah penyebab hadirnya perasaan tak nyaman itu. Naskah yang alur ceritanya menyeret Ae Ri ke dalam pusaran ingatan masa lalu dan membuat Ae Ri tanpa sadar menggambar dirinya sendiri untuk ilustrasi naskah tersebut. Ya, sosok perempuan berambut panjang itu adalah dirinya. Cho Ae Ri yan

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-07
  • HURT   2. Tidak Mudah Melupakanmu

    April 2019. “Cut! Oke, cukup untuk hari ini!” Seruan lantang Sutradara Ahn langsung disambut helaan napas lega oleh Lee Joon. Ia pun segera meninggalkan tempat pengambilan gambar di tepi pantai dan menghampiri Hwang Mi Kyung yang sedang duduk di kursi kayu di bawah payung besar. “Haahhh ....” Joon membuang napas panjang seraya mengempaskan diri di kursi di hadapan Mi Kyung. Kepalanya terkulai di sandaran kursi. Tangan kanannya memijat pelan kening. Tiga hari menjalani syuting di Incheon, berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan melakukan adegan-adegan yang menguras tenaga membuatnya merasa sangat lelah. Seluruh tulangnya serasa remuk dan kepalanya pun terasa berat. Untung saja, syuting terakhir hari ini selesai masih pagi, jadi ia bisa cepat pulang ke Seoul dan tidur sepuasnya. “Cokelat panas.” Mi Kyung menyodorkan cangkir kertas berisi cairan warna cokelat pekat ke hadapan Joon. Aroma cokelat yang menguar dari ca

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-08
  • HURT   3. Cha Sung Jae

    Pukul setengah delapan Ae Ri keluar dari rumahnya. Udara dingin langsung menyerbunya, membuat Ae Ri segera memeluk erat tubuhnya yang menggigil. Sebenarnya ini sudah memasuki musim semi, matahari pun bersinar terang, tetapi udara dingin rupanya masih ingin menunjukkan eksistensinya.Sambil menggerutu dan merapatkan coat-nya, Ae Ri menuruni tangga. Di bahunya tersampir tabung panjang berisi gambar pesanan Eun Jung, sementara di punggungnya bertengger ransel berwarna hitam berisi peralatan menggambarnya.Ae Ri tinggal di rumah sewa berukuran minimalis yang merupakan bagian dari bangunan berlantai dua berumur hampir tiga puluh tahun. ‘Rumah Sewa Myeongwol’, sang pemilik bangunan menamainya begitu. Bangunan itu memiliki tiga unit rumah sewa berukuran sama dan satu rumah utama yang ukurannya dua kali lebih besar.Ae Ri sendiri menempati rumah nomor 002 di lantai dua, sementara rumah di sampingnya, nomor 003, kosong

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-09
  • HURT   4. Yang Masih Terpatri di Hati

    Seperti janjinya dengan Eun Jung tadi pagi, sepulang kerja Ae Ri langsung meluncur ke King’s Tteokkbukki. Kedai tteokkbukki yang dijalankan oleh paman dan bibi Eun Jung itu terletak di kawasan pusat perbelanjaan Myeongdong, sekitar lima ratus meter dari rumah Ae Ri.Dengan perlahan, Ae Ri mendorong pintu kedai, yang kini digantungi papan kecil bertuliskan “CLOSE”. Ia melihat Eun Jung menghampirinya dengan tergesa-gesa dan langsung menodong gambar pesanannya tanpa basa-basi lagi.“Mana gambarnya?” tanyanya sambil memanjangkan tangannya di depan wajah Ae Ri.Ae Ri tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Eun Jung menuju salah satu kursi dan duduk di sana.“Mana Paman dan Bibi?” tanya Ae Ri seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.“Ada di belakang sedang mengecek bahan-bahan,” jawab Eun Jung ketus sambil mendudukkan dirinya di kursi

    Terakhir Diperbarui : 2021-04-10

Bab terbaru

  • HURT   11. Keputusan Berat

    “Tidak. Ini tidak boleh terjadi ....” Ae Ri bergumam sendiri sambil mondar-mandir gelisah. Setelah mendapat kabar mengejutkan itu, Ae Ri langsung lari ke rooftop untuk menenangkan diri. Rooftop gedung Sirius Publishing dibuat seperti taman yang ada di belakang rumah. Dengan berbagai macam tanaman hijau yang ditanam di dalam pot-pot berbagai ukuran dan bentuk. Dua set bangku panjang terbuat dari kayu diletakkan di tengah-tengah. Di sisi kanan dan kiri ada sebuah gazebo yang biasa digunakan para karyawan Sirius untuk rebahan, meluruskan pinggang mereka. Sama seperti karyawan lain, Ae Ri juga memanfaatkan tempat ini untuk bersantai menikmati udara segar setelah lelah berkutat dengan pekerjaan atau mencari inspirasi untuk gambarnya. “Dia bilang, dia menyukai style gambarmu.” Perkataan ketua timnya itu bergema berkali-kali di kepala Ae Ri. “Ini bukan kebetulan. Dia sengaja melakukannya. Aku yakin.” Ae Ri kembali berbicara sendiri. Urat-urat di wajahnya menegang. “Kau baik-baik saja.”

  • HURT   10. Tangisan Kepedihan di Musim Semi

    Acara makan malam keluarga yang seharusnya terasa hangat malah terasa sangat kaku. Joon masih bersikap tak acuh. Laki-laki itu bahkan terang-terangan menunjukkan wajah bosan selama makan. Ibu dan ayahnya sampai kehabisan bahan obrolan untuk memancing laki-laki itu bicara lebih banyak dari sekadar mengucapkan ‘ya’, ‘em’, ‘tidak’, dan kata-kata singkat lainnya. Hana juga tidak tinggal diam. Ia berusaha membuka obrolan juga, tapi Joon tetap bersikap sama. Sayang sekali, padahal Hana sudah menantikan momen kumpul bersama ini sejak mereka menjadi satu keluarga. “Cokelat panas?” Hana menyodorkan mug putih bergambar pemandangan kota Paris kepada Joon. Laki-laki itu beranjak dari meja makan lebih dulu. Hana langsung mencarinya begitu selesai mencuci piring. Ia mendapati Joon tengah membaca di perpustakaan mini yang berada di seberang kamar tidur Joon. Hana pun berinisiatif untuk membuatkan minuman favorit laki-laki itu. Joon yang sedang duduk di sofa sambil membuka-buka halaman sebuah majala

  • HURT   9. Cinta yang Tak Bisa Diraih

    “Orang suruhanku sudah menemukan informasi lengkap tentang gadis itu.” Mi Kyung menelepon tepat tengah hari. Joon yang tidur sejak pulang dari klinik, berusaha sekuat tenaga bangun dan mencerna perkataan manajernya itu. “Nama lengkapnya Cho Ae Ri. Dia yatim piatu dan tinggal bersama kakek-neneknya sejak orang tuanya meninggal. Dia tinggal di Myeongdong. Lebih lengkapnya, kau buka saja berkas yang aku kirim lewat e-mail. Oya, jangan lupa ada pertemuan di kafe biasa!”Setelah mengatakan semua itu tanpa jeda, Mi Kyung langsung memutuskan sambungan telepon, bahkan Joon belum sepenuhnya mencerna apa yang dikatakan perempuan itu. Yang Joon ingat hanya ‘berkas’ dan ‘e-mail’ sebelum akhirnya tumbang dan kembali tenggelam ke dunia mimpi.++++Teettt ... Teettt ... Teettt ... Teettt ....Bel pintu apartemen Joon terus berbunyi.

  • HURT   8. Rahasia Besar Joon

    “Kau ini benar-benar ....” Mi Kyung gemas. Kedua tangannya sudah hendak meremas pipi Joon, tetapi Shin Woo segera menahannya. Dengan isyarat mata, kekasihnya itu menyuruhnya untuk tenang. Mi Kyung menurut. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu mendudukkan diri di sofa.Pagi-pagi sekali ia mendapat telepon dari Shin Woo kalau Joon berada di kliniknya sejak kemarin sore, setelah seharian Mi Kyung kelimpungan mencari keberadaan laki-laki itu. Ia benar-benar marah hingga rasanya ingin mencakari wajah sepupunya itu—yang kini malah terlihat santai-santai saja.“Aku kan sudah menyuruhmu untuk menghubungiku kalau kau membutuhkan sesuatu. Tapi kenapa—” Mi Kyung tidak meneruskan kata-katanya. Ia mengusap wajahnya kasar. Terlihat sangat frustrasi.“Tidak ada siapa-siapa, kok, saat aku menolong gadis itu. Jadi, tidak akan ada berita macam-macam,” kata Joon santai. Ia duduk bersila di atas ranjangnya sa

  • HURT   7. Mimpi-Mimpi Buruk yang Kembali Hadir

    “Apakah aku sebegitu kerennya saat makan sampai-sampai kau terus memelototiku, Nona Ae Ri?” celetuk Joon dengan mulut penuh dengan makanan. Laki-laki itu duduk tegak di ranjang dengan santai, seolah tak pernah pingsan. Jarum infus di tangannya bahkan sudah dilepas.Mendengar perkataan Joon, Ae Ri yang sedang duduk di sofa panjang terperanjat dan segera memalingkan wajahnya.“Aku memelototimu bukan karena kau keren. Itu karena daging sapi asap yang kau makan hampir menguras isi dompetku,” sahut Ae Ri keki. Joon terkekeh. Itu cuma alasan, tentunya. Yang sebenarnya, Ae Ri kembali teringat masa lalu hingga tanpa sadar terus memperhatikan Lee Joon.“Lagi pula, di mataku kau sama sekali tidak keren. Mengatakan cinta pada orang yang disukai saja tidak berani, bagian mananya yang disebut keren? Dasar penge—” Ae Ri segera menghentikan ucapannya, sadar kalau ia sudah terlalu banyak bicara dan membongkar rahasia

  • HURT   6. Laki-Laki dari Masa Lalu

    “Apa dia baik-baik saja, Dokter?” Suara seorang gadis terdengar samar di telinga Joon.Siapa itu? Hana? Atau ... Eomma? bisik Joon dalam hati. Ia berusaha membuka mata untuk melihat siapa pemilik suara itu, tetapi kelopak matanya terasa sangat berat.“Pukulan Anda mengenai lambungnya. Dan kebetulan lambungnya sedang kosong karena belum terisi makanan. Itu membuatnya langsung pingsan begitu terkena pukulan. Yang perlu dikhawatirkan adalah apakah lambungnya terluka atau tidak karena pukulan Anda itu. Kami belum bisa memastikannya sekarang karena kami perlu melakukan pemeriksaan secara menyeluruh. Tapi, untuk sekarang, kita tunggu sampai dia siuman dulu.” Kali ini yang terdengar adalah suara laki-laki. Suara Jang Shin Woo.Oh, rupanya dia sudah kembali, batin Joon. Lalu, ia menyadari sesuatu. Apa yang terjadi pada dirinya? Kenapa seluruh tubuhnya tak bisa digerakkan dan matanya sulit sekali untuk dibuka? Dan,

  • HURT   5. Menjemput Luka

    Ae Ri menguap seraya meletakkan pensilnya. Dengan sudut mata, ia melihat jam di layar ponselnya. Pukul 17.30.Sepulang menemui Eun Jung, Ae Ri langsung berkutat membuat beberapa sketsa yang akan dipresentasikannya dalam rapat hari Senin untuk proyek novel “Sweet Moment Series” Sirius Publishing. Ide-ide di kepalanya sudah berteriak-teriak minta segera dituangkan ke buku sketsa. Jadi, tanpa berpikir untuk istirahat dulu—bahkan sekadar cuci muka—Ae Ri langsung duduk di meja kerjanya, menggambar.Ae Ri beranjak ke dapur. Ia mengambil satu cup ramyun dari lemari kabinet. Ketika hendak memasak air panas, terdengar ponselnya berdering. Tanpa pikir panjang Ae Ri langsung melesat ke meja kerjanya. Begitu melihat nama Eun Jung yang tampil di layar ponselnya, Ae Ri mengurungkan niatnya untuk mengangkat telepon itu.“Mau apa lagi sih anak ini?” gerutu Ae Ri. Ia membiarkan ponselnya terus berdering beberapa saat. Ka

  • HURT   4. Yang Masih Terpatri di Hati

    Seperti janjinya dengan Eun Jung tadi pagi, sepulang kerja Ae Ri langsung meluncur ke King’s Tteokkbukki. Kedai tteokkbukki yang dijalankan oleh paman dan bibi Eun Jung itu terletak di kawasan pusat perbelanjaan Myeongdong, sekitar lima ratus meter dari rumah Ae Ri.Dengan perlahan, Ae Ri mendorong pintu kedai, yang kini digantungi papan kecil bertuliskan “CLOSE”. Ia melihat Eun Jung menghampirinya dengan tergesa-gesa dan langsung menodong gambar pesanannya tanpa basa-basi lagi.“Mana gambarnya?” tanyanya sambil memanjangkan tangannya di depan wajah Ae Ri.Ae Ri tak mengacuhkannya. Ia berjalan melewati Eun Jung menuju salah satu kursi dan duduk di sana.“Mana Paman dan Bibi?” tanya Ae Ri seraya meletakkan barang bawaannya di atas meja.“Ada di belakang sedang mengecek bahan-bahan,” jawab Eun Jung ketus sambil mendudukkan dirinya di kursi

  • HURT   3. Cha Sung Jae

    Pukul setengah delapan Ae Ri keluar dari rumahnya. Udara dingin langsung menyerbunya, membuat Ae Ri segera memeluk erat tubuhnya yang menggigil. Sebenarnya ini sudah memasuki musim semi, matahari pun bersinar terang, tetapi udara dingin rupanya masih ingin menunjukkan eksistensinya.Sambil menggerutu dan merapatkan coat-nya, Ae Ri menuruni tangga. Di bahunya tersampir tabung panjang berisi gambar pesanan Eun Jung, sementara di punggungnya bertengger ransel berwarna hitam berisi peralatan menggambarnya.Ae Ri tinggal di rumah sewa berukuran minimalis yang merupakan bagian dari bangunan berlantai dua berumur hampir tiga puluh tahun. ‘Rumah Sewa Myeongwol’, sang pemilik bangunan menamainya begitu. Bangunan itu memiliki tiga unit rumah sewa berukuran sama dan satu rumah utama yang ukurannya dua kali lebih besar.Ae Ri sendiri menempati rumah nomor 002 di lantai dua, sementara rumah di sampingnya, nomor 003, kosong

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status