HARI ini pun Rosa masih sibuk dengan segala bentuk persiapan untuk open stage. Acara yang awalnya hanya untuk unjuk bakat kini sudah menjadi acara wajib yang formal dan harus diikuti seluruh murid Bina Bangsa. Diadakan sekali setahun dan selalu menyita waktu para muridnya. Namun tak ayal juga menjadi hiburan sendiri karena banyak jam kosong di beberapa kelas. Jika gurunya rajin, maka tugas diberikan atau sebaliknya. Di ruang padus Bu Bella menilai dengan seksama penampilan tim 1, 2 dan 3. Dikarenakan anggota klub padus tahun ini banyak, mereka di bagi menjadi 3 tim. Tahun dulu hanya 2 tim. Bu Bella selaku guru seni di bidang tarik suara fokus dengan buku penilaian, sesekali melirik murid-muridnya yang bernyanyi di hadapan. Tangan Bu Bella terangkat sebagai tanda mereka sudah cukup untuk bernyanyi. Wanita tersebut menghela napas pendek, “Ibu harap kalian perhatikan di bagian pernapasan. Kalau mau nyuri-nyri oksigen boleh, tapi jangan sampai keliatan. Kalian memang masih SMA tapi kita
DI lorong lantai pertama yang lurus menuju kantin sekolah, Jessica dan Jenna berjalan beriringan. Gadis berponi tersebut seperti biasa berjalan angkuh dengan mata menatap tajam siapa saja yang lewat; bawaan naluri sejak lahir, sulit dihilangkan. Sementara itu Jenna sibuk mengepang rambut panjangnya sendiri lalu mengikatnya dengan ikat rambut berpita berwarna hitam. Diketuknya pelan bahu Jessica seraya menunjukkan kepangan rambutnya. “Gimana?” Jessica menatap sejenak kemudian mengangguk, “Cantik, Na. Temen gue nggak ada yang burik, ya.” Jenna terkekeh mendengarnya, pun membiarkan Jessica merangkul pundaknya. Kebanyakan dari orang-orang yang berpapasan dengan mereka lebih memilih menepi terlebih dahulu daripada bersinggungan dengan sangat betina macam Jessica. Well, Jenna mengerti. Kegilaan Jessica memang sudah santer diperbincangkan. “Btw Esie kemana?” tanya Jessica seraya mengeluarkan tangkai permen dari mulutnya dan membuangnya ke tong sampah. Buanglah sampah pada tempatnya, te
MALAM minggu. Malam di mana Rosa akan menghadiri acara makan malam bersama keluarganya. Senyuman si gadis tak kunjung luntur seharian ini, masih terus mengembang. Tidak peduli meskipun otot-otot wajahnya mulai pegal, Rosa tetap menarik lebar kedua sudut bibirnya. Si gadis sudah siap dengan gaun hitam panjang yang memiliki belahan kaki. Rambutnya digerai lurus melewati bahunya yang terekspos. Rosa juga mengenakan anting berbentuk kupu-kupu di telinganya. Malam ini Rosa tampil cantik dan elegan dalam satu waktu yang sama. Gadis chipmunk tersebut menatap pantulan dirinya di cermin full body. Senyumnya terbit lagi seraya menata rambut lurusnya. “Feel better?” ceteluk Jessica seraya bersandar pada daun pintu. “Or feel happy?” “Keduanyalah, Jessica!” seru Rosa antusias, dengan tubuh ditopang sepatu hak tinggi hitam pula, si gadis berjalan mendekat ke arah Jessica. “Gimana? Udah cukup atau gue harus pakai kalung?” Jessica memandang sahabatnya tersebut dari ujung kepala hingga kaki de
UDARA malam yang agaknya memang selalu menusuk kulit sudah mulai menyusup ke dalam pakaian. Menusuk-nusuk kulit sehingga menyebabkan getaran kecil dalam diri. Jalan raya semakin ramai dengan kendaraan, tentunya disebabkan hari ini adalah malam minggu. Waktu atau hari yang ditunggu-tunggu sebagian besar orang untuk memadu kasih. Namun keluarnya Arzan semalam ini bukan untuk merehatkan diri. Waktu sudah menunjukkan pukul sepuluh malam lewat dan ia tiba-tiba mendapat telepon dari Rosa. Nona mawarnya kembali bersedih. Maka dari itu Arzan langsung menyambar jaket dan kunci mobil sang kakak lalu pergi tanpa izin. Arzan akan urus bagian itu nanti, sekarang Rosa dulu. Cowok tersebut takut jika Rosa melakukan hal-hal aneh jika dibiarkan lebih lama sendiri lagi. Arzan agaknya bingung, ada apalagi? Bukankah seharusnya Rosa sedang berbahagia dengan keluarganya? Dalam perjalanan menuju tempat sesuai GPS ponsel gadis itu, Arzan memasuki jalan yang cukup lengang. Benar-benar sepi sehingga Arz
SEUMUR-UMUR mengenal Arzan dan selalu memusuhi laki-laki berlesung pipi tersebut untuk waktu yang lama. Rosa belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di rumah Arzan. Jelas saja. Mana pernah terpikirkan oleh Rosa kalau mereka akan sedekat ini, mengingat ia membenci cowok itu bukan main sebelum insiden di rumah sakit. Apalagi memikirkan akan singgah di kediaman Arzan. Tidak pernah sekalipun ia berpikir demikian. Saat mobil Arzan berhenti di depan sebuah rumah, jantung Rosa berdegup kencang. Walaupun Rosa terkadang sering kabur ke rumah ketiga sahabatnya dengan jam singgah sesuka hati, alias boleh tengah malam pun. Rosa tetap saja masih memiliki sopan santun untuk bertamu ke rumah orang. Apalagi sekarang pukul sebelas kurang sedikit. Tentunya bukan waktu yang tepat bagi tuan rumah untuk menerima tamu. Memang Arzan sendiri yang mengajaknya namun nanti apa kata orang tua Arzan, jika anaknya membawa pulang seorang gadis yang penampilannya kacau begini? Untung saja Rosa tidak menggunaka
SEUMUR-UMUR mengenal Arzan dan selalu memusuhi laki-laki berlesung pipi tersebut untuk waktu yang lama. Rosa belum pernah sekalipun menginjakkan kakinya di rumah Arzan. Jelas saja. Mana pernah terpikirkan oleh Rosa kalau mereka akan sedekat ini, mengingat ia membenci cowok itu bukan main sebelum insiden di rumah sakit. Apalagi memikirkan akan singgah di kediaman Arzan. Tidak pernah sekalipun ia berpikir demikian. Saat mobil Arzan berhenti di depan sebuah rumah, jantung Rosa berdegup kencang. Walaupun Rosa terkadang sering kabur ke rumah ketiga sahabatnya dengan jam singgah sesuka hati, alias boleh tengah malam pun. Rosa tetap saja masih memiliki sopan santun untuk bertamu ke rumah orang. Apalagi sekarang pukul sebelas kurang sedikit. Tentunya bukan waktu yang tepat bagi tuan rumah untuk menerima tamu. Memang Arzan sendiri yang mengajaknya namun nanti apa kata orang tua Arzan, jika anaknya membawa pulang seorang gadis yang penampilannya kacau begini? Untung saja Rosa tidak menggunaka
ROSA menuruni anak tangga dengan gerakan lambat, manik matanya menerawang ke seisi rumah. Rumah Arzan di dominasi oleh warna putih dan memiliki lampu gantung berukuran besar di ruang tamu. Di dinding-dinding putih tulang mereka pun dihiasi bingkai-bingkau foto keluarga. Bahkan di atas meja di sisi dinding pun terdapat foto-foto juga. Potret Arzan dan Krystal saat masih kanak-kanak. Arzan berfoto dengan sepedanya, berenang bersama David bahkan foto dengan kacamata hitam bersama sang kakak. Diam-diam si gadis tersenyum getir, Rosa belum pernah foto keluarga. Kenyataannya, di rumahnya hanya ada foto Lion dan orang tua mereka. Setiap foto keluarga Rosa tidak pernah di ajak, pun ia tak pernah meminta. Percuma juga rasanya. Ia juga tak repot-repot berkecil hati tatkala pigura foto keluarga di pampang di ruang tamu tanpa hadirnya Rosa di sana. Sekali lagi, Rosa tak perlu berkecil hati. Karena keesokannya Jessica mengajak mereka foto bersama di studi. Yang hasil fotonya di cetak lebih bes
SEJAUH yang Rosa ingat dengan tindakannya di meja makan, gadis tersebut akhirnya melepaskan pelukan dengan cepat, berdiri sembari menutupi wajah dan beranjak pergi seraya menggumamkan permintaan maaf berkali-kali. Rosa sudah tersadar jika sikapnya melewati batas karena perasaan emosional menguasi diri. Hanya sesaat. Namun jujur ia merasa lega meski masih dirongrong rasa sesak di dada. Itu sudah lebih dari cukup untuk ia terima dari Susan. Rosa tidak ingin membuat kegaduhan di rumah Arzan, terlebih-lebih melibatkan orang yang seharusnya tidak terlibat. Si gadis amat menyadari bahwa ia sudah banyak menyulitkan orang lain. Dan Rosa ingin berhenti menjadi benalu bagi orang lain. Gadis tersebut sudah pernah berkata pada diri sendiri serta mengusahakan hati, agar berhenti bersikap seperti wanita-wanita dengan kantong kesabaran berlebih di televisi. Tetapi ternyata lebih sulit dipraktikkan dengan banyak alasan tak tentu. “Jadi egois itu susah banget kalau dasarnya orang udah baik.” Rosa