SELESAI membasuh wajah seadanya di kamar mandi Rosa lantas keluar, si gadis tidak bisa mandi sebab tak membawa baju ganti. Pun tak enak bila meminjam baju Krystal apalagi sampai mengganggu kakak perempuan Arzan. Saat Rosa keluar ia tidak menemukan Arzan di posisinya dengan raut wajah keruh, pigura foto Arzan dan Lily pun sudah lenyap dari pandangan. Tidak berada di tempat di mana Rosa meletakkannya tadi. Rosa menghela napas gusar dan menyelipkan anak rambut ke belakang daun telinga. Seketika perasaan bersalah tercetak jelas di wajah Rosa. Ia menggigit bibirnya sekilas tatkala mengingat ekspresi pemuda berlesung pipi tersebut. Apa ia terlalu menodong Arzan tadi? Rosa juga tak mengerti mengapa ia bersikap demikian. Hanya saja si gadis melakukannya spontan dan, hanya ingin Arzan memperjelas semua sikapnya. Jika masih menganggap Rosa adalah Lily hanya karena mereka mirip, entah wajah ataupun karakternya, Rosa memilih untuk mundur. Rosa mengeratkan ikatan rambutnya dan keluar dari ka
"LO nggak nanya, Sica?" Begitu mereka memasuki apartemen pertanyaan tersebut terlontar dari bibir Rosa. Ia memandang takut-takut pada Jessica yang berbalik memandangnya. Gadis itu menghela napas berat sembari menyugar rambutnya. Semenjak Jessica meminta waktu berbicara empat mata dengan David di detik selanjutnya keduanya pergi dari ruang makan. Rosa tak bisa menangkap maksud dari tatapan Jessica namun ia jelas mengerti. Bahwa ada sesuatu yang tak baik tengah diperbincangkan keduanya. Jessica tipikal orang yang tidak berbasa-basi, kepada siapapun ia berbicara. Sahabatnya itu memilih langsung ke inti dan menyelesaikannya dalam waktu singkat. Setelah perbincangan super rahasia tersebut Jessica bersikap seperti biasa. Masih bertengkar dengan Alvin saat sarapan, berbicara padanya seperti biasa. Dan Rosa takut dengan sikap tenang Jessica sekarang. Gadis berponi tersebut terkadang bersikap tenang dalam satu keadaan dan mendobrak habis tanpa diduga-duga.
MIKA menggiringnya menuju tempat yang lebih sepi di jalan menuju gedung kantor. Rosa hanya mengekori saja dengan jarang tiga langkah di belakang pemuda tersebut. Si gadis menimbang-nimbang, Mika akan mengatakan apa padanya? Ujaran kekesalan karena ia pergi begitu saja? Lagi pula kenapa harus sekarang? Dan yang paling aneh lagi Mika sudah mengantongi izin dari sekolah kalau Mika tidak akan berpartisipasi banyak di acara OS. Bahkan tidak ikut ambil bagian. Begitu mereka sampai di tempat yang aman serta cukup sepi untuk saling memaki. Mika berbalik menatap Rosa dan si gadis tidak mengerti arti dari tatapan Mika. Sendu? Kenapa sendu? Mika mengambil napas sejenak, “Gue mau bilang minta maaf, Rosa.” “Huh?! Buat apa?” “Karena acara makan malam itu, apalagi,” balasnya, nadanya masih stagnan dan tenang; benar-benar di luar ekspektasi. Rosa mengerutkan keningnya, sepenuhnya tidak mengerti dengan maksud Mika. Mika t
“IYA! Bagus!” Rosa bertepuk tangan dengan meriah saat tim terakhir padus menyelesaikan nyanyian mereka. Gadis itu langsung bangkit dari tempatnya menuju anggota-anggota padus lain. Berpelukan bersama saking senangnya latihan mereka berjalan lancarㅡmeski kekurangan Mika, bagian ini masih terasa. Seluruh anggota paduan suara saling bertos ria, setelah mengisi tenaga dengan makan gratis mereka semangat latihan. “Yaudah. Turun, anak teater mau latihan,” ujar Rosa. Mereka mengangguk dan si gadis mulai menghitung setiap anggota yang menuruni panggung. Lengkap atau tidaknya. “Bagi yang menjabat sebagai ketua klub, harap kumpul di ruang auditorium. Segera!” seru seorang laki-laki dengan lambang OSIS yang melingkar di lengan kirinya. Rosa lantas cepat-cepat menghampiri Cheryl yang berada di pintu utama, “Cher, lo aja yang ke auditorium, ya?” Cheryl mengerutkan keningnya, “Lho, kenapa?” “Gue lagi male
BARANGKALI pembicaraan mereka kemarin tidak membawa hasil yang baik, malah semakin membuatnya membeku untuk waktu yang tak dapat di tentukan hingga kapan. Rosa sendiri tidak bisa terus-menerus menjatuhkan diri dalam kubangan kesedihan. Mungkin memang jalan hidupnya di atur demikian, ia juga sudah lelah memberontak. Rosa menyibukkan diri untuk persiapan penampilan solonya. Hari ini adalah hari pertama open stage, biasanya diadakan tiga hari paling lama. Bina Bangsa yang biasanya sudah penuh dengan murid-murid kini bertambah sesak dengan tamu-tamu yang datang. Rosa agaknya semakin gugup, ia takut membuat kesalahan. Namun ketiga sahabatnya sangat membantu sekali. Jessica sibuk memijat pundaknya, Chelsie mendandaninya sementara Jenna mengarahkan kipas portable pada Rosa. Rosa sudah seperti solois sungguhan dengan satu manager, satu asisten dan satu MUA. “Gimana? Enak?” tanya Jessica seraya menatap sahabatnya di cermin. Rosa mengangguk sera
ARZAN yakin betul sudah berlari kesana-kemari guna menemukan Nona Mawarnya. Namun si pemuda berlesung pipi tersebut tidak menemukan eksistensi Rosa di mana pun. Ia berdecak sebal sembari mengacak rambut belakangnya kasar. Arzan meluruhkan bahunya lesu dengan wajah kuyu. Rosa menghilang dari dari pandangan mata, Arzan kesulitan untuk kembali menggapai gadis tersebut. Seluruh sudut-sudut sekolah yang agaknya akan Rosa kunjungi, sendirian atau bersama ketiga sahabatnya pun sudah Arzan datangi. Namun tak kunjung menemukan gadis tersebut. Kemana kira-kira Rosa melarikan diri untuk menenangkan diri? “Tunggu Kak Rosa aja, Kak. Mungkin bentar lagi datang.” Arzan memutar tubuhnya secepat kilat tatkala nama Rosa disebut-sebut. Pemuda tersebut lantas menghampiri Cheryl dan seorang gadis di dekat pintu aula. “Cher, lo liat Rosa?” tembaknya langsung begitu menepuk pundak Cheryl. “Katanya dia pulang bentar buat ngambil
DERASNYA hujan membasahi setiap sudut kota, hawa dingin beriringan dengan petrikor yang menusuk rongga hidung. Sesak di jalanan pun dibuat lengang dalam sekejap, tak ada orang yang mau basah kuyup; mungkin hanya sebagian orang. Sejauh yang dapat diingat dalam memori sebab semua yang terjadi terlalu cepat. Arzan tak lagi bisa merasakan kakinya menapak setelah Rosa masuk ruang operasi. Tangannya tremor parah, penuh darah kering dan pening menghantam kepala. Si pemuda terus mendoktrin diri bahwa Rosa akan baik-baik saja. Nona Mawarnya sangat kuat jadi ia yakin Rosa akan melewatinya dengan baik. Namun semakin banyak ia berkata demikian, semakin deras air matanya yang keluar. Jantungnya berdetak melewati batas normal dengan sesak merenggup pernapasan. Tubuh Arzan ditarik paksa untuk berdiri dan maniknya bersitatap dengan Jessica. Ah! Kapan gadis itu sampai? Arzan tidak sadar. Jessica mencengkeram kuat kerahnya. Seolah mencari kepingan lain dalam manik lawan bicara guna mengetahui k
ENTAHLAH sudah berapa lama Arzan membiarkan tubuhnya di guyur hujan. Hanya saja saat sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup dan membuat Susan memekik kaget. Arzan yakin ia masih berada di pintu rumah saat itu terjadi, namun tahu-tahu saat bangun ia sudah berada di rumah sakit lagi. Bukan di ruang inap Rosa melainkan di ruang rawat inapnya sendiri. Ia terkena gejala tifus hingga harus dirawat. Yang lebih mengejutkan Arzan tidak sadarkan diri cukup lama, nyaris menyentuh lima hari jika saja sorenya Arzan tidak sadar. Mungkin karena tenaganya diforsir selama sebulan ini, hujan-panas selalu mengurus acara sekolah. Arzan merasakan kepalanya terasa dihantam gada saat bergerak sedikit saja. Krystal menghela napas berat saat mengusap dahi Arzan. Masih panas. "Bunda udah pulang buat ambil baju kamu kalau kamu penasaran," ujar Krystal. "Ayah lagi kerja ngurusin kasus baru." "Rosa?" Arzan menoleh. "Rosa udah bangun?" Krystal menggeleng, "Belum, Zan. Sabar, ya. Doa yang banyak supaya