ENTAHLAH sudah berapa lama Arzan membiarkan tubuhnya di guyur hujan. Hanya saja saat sampai di rumah dalam keadaan basah kuyup dan membuat Susan memekik kaget. Arzan yakin ia masih berada di pintu rumah saat itu terjadi, namun tahu-tahu saat bangun ia sudah berada di rumah sakit lagi. Bukan di ruang inap Rosa melainkan di ruang rawat inapnya sendiri. Ia terkena gejala tifus hingga harus dirawat. Yang lebih mengejutkan Arzan tidak sadarkan diri cukup lama, nyaris menyentuh lima hari jika saja sorenya Arzan tidak sadar. Mungkin karena tenaganya diforsir selama sebulan ini, hujan-panas selalu mengurus acara sekolah. Arzan merasakan kepalanya terasa dihantam gada saat bergerak sedikit saja. Krystal menghela napas berat saat mengusap dahi Arzan. Masih panas. "Bunda udah pulang buat ambil baju kamu kalau kamu penasaran," ujar Krystal. "Ayah lagi kerja ngurusin kasus baru." "Rosa?" Arzan menoleh. "Rosa udah bangun?" Krystal menggeleng, "Belum, Zan. Sabar, ya. Doa yang banyak supaya
DERASNYA hujan membasahi setiap sudut kota, hawa dingin beriringan dengan petrikor yang menusuk rongga hidung. Sesak di jalanan pun dibuat lengang dalam sekejap, tak ada orang yang mau basah kuyup; mungkin hanya sebagian orang. Sejauh yang dapat diingat dalam memori sebab semua yang terjadi terlalu cepat. Arzan tak lagi bisa merasakan kakinya menapak setelah Rosa masuk ruang operasi. Tangannya tremor parah, penuh darah kering dan pening menghantam kepala. Si pemuda terus mendoktrin diri bahwa Rosa akan baik-baik saja. Nona Mawarnya sangat kuat jadi ia yakin Rosa akan melewatinya dengan baik. Namun semakin banyak ia berkata demikian, semakin deras air matanya yang keluar. Jantungnya berdetak melewati batas normal dengan sesak merenggup pernapasan. Tubuh Arzan ditarik paksa untuk berdiri dan maniknya bersitatap dengan Jessica. Ah! Kapan gadis itu sampai? Arzan tidak sadar. Jessica mencengkeram kuat kerahnya. Seolah mencari kepingan lain dalam manik lawan bicara guna mengetahui k
DUA minggu berlalu. Kondisi Rosa makin memburuk. Arzan tidak tahu harus bagaimana mendefinisikannya namun ia rasa setiap melangkah menuju kamar si gadis. Lututnya melemas melihat banyak alat penopang kehidupan yang terpasang di tubub Rosa. Arzan seharusnya bersyukur saat gadis itu masih bisa bertahan, tetapi ia malah berpikir jika Rosa ingin pergi. Napasnya memberat. Tepat seminggu Rosa masih berdiam diri di ranjangnya, Arzan sudah dibolehkan untuk pulang. Menjalani aktifitasnya seperti biasa, bahkan Arzan tidak merasakan apapun saat Pak Harry memujinya terus-terusan atas kinerja mereka pada OS. Setiap hari yang Arzan lakukan hanya pulang sekolah dengan cepat agar menghabiskan sisa hari di sisi ranjang Rosa. Tangannya terjulur untuk menyelipkan anak rambut Rosa ke belakang telinga si gadis. Agar wajahnya tidak tertutupi lagi selain dengan alat pernapasan. “Kayaknya di sana enak ya, Sa? Sampai lo nggak mau bangun gini,” ujar Arzan sendu. Diusapnya punggung tangan Rosa yan
KAMAR inap Rosa ramai meski di isi hening, memperhatikan setiap gerak-gerik dokter yang kembali mengecek kondisi tubuh si gadis. Setelah Rosa sadar, Jessica seperti orang kerasukan menelepon semua orang, memberitahukan kabar gembira ini. Chelsie dan Jenna datang dengan napas terengah-engah dan mata membulat sempurna. Di susul Raffa, Revin dan Alvin kemudian. Lion pun juga datang setelahnya dengan masih mengenakan seragam basket. Jelas sekali kabur dari sesi latihan. Dokter tersebut berbalik dan membuat mereka menahan napas sejenak. Dokter tersebut tersenyum, “Pasien hanya butuh istirahat total untuk pemulihan. Jadi saya harap,” dokter tersebut menggantungkan kalimat dan tersenyum kecil. “Kalian tidak boleh terlalu memaksakan sesuatu hal pada pasien. Kalau begitu saya permisi dulu.” Mereka serentak menghela napas lega. Tepat setelah pintu tertutup mereka semua langsung mengerubungi setiap sisi ranjang Rosa. Seolah mereka adalah lalat yang baru saja melihat kue lava yang lezat. J
DI karenakan luka jahitan di perut maupun di kepala Rosa sudah mengering. Gadis tersebut diizinkan berjalan-jalan keluar kamar asal tetap pada pengawasan dan larangan yang seharusnya. Gadis chipmunk tersebut tentu senang akhirnya bisa keluar dari kamar super sumpek karena Jessica dengan kurang ajar membawa semua makanan yang di pantangkan untuknya. Rosa berdecih, mengumpat, melempar Jessica dengan vas bunga. Tetapi Jessica tetaplah Jessica. Kelakuannya tetap diulangi lagi ke esokannya. Hari inipun sama. Jessica dengan segenap hati dan baik sekali membawa pasta udang ke dalam kamarnya. Rosa mengumpat, berteriak histeris dan Jessica ngakak di tempat. Sahabat tidak ada akhlak. Rosa meremat kuat lengan Arzan sehingga pemuda tersebut meringis. “Kalau gue bisa, gue sleding kepalanya, Zan! Ih! Nyebelin banget, asli. Kuyang geblek, gue doain poninya hilang! Mampus!” gerutu Rosa, kesal pangkat seratus. “Cuih! Najis! Ishhh! Zaaaaan, mau pasta juga,” rengeknya. Arzan menghela napas berat
PUKUL delapan pagi, tepat, saat Rosa melirik jam dindingnya. Ia merenggangkan tubuhnya pelan dan bangkit dari tidurnya. Masa bodoh dengan keterlambatannya yang memang bukan untuk pertama kalinya. Toh, membolos pelajaran matematika saat pagi memang menyenangkan.Kalau dijabarkan, seharian penuh tidak akan cukup. Percayalah, betapa Rosa membenci matematika. Setelah mengabari ketiga ibu tirinyaㅡsebut saja Jessica, Jenna dan Chelsieㅡdengan pesan singkat, Rosa segera membersihkan diri. Berendam sejenak, ditemani musik klasik yang mengalun indah. Lima belas menit telah berlalu dan Rosa keluar dengan bathrobes seputih gading. Sembari bersiul pelan Rosa pun mengambil seragamnya. Mengenakan dan berdandan sejenak, memoles bibir dengan lipgloss lalu mengaplikasikan bedak tipis di wajah. Di rasa sempurna, Rosa menjentikkan jarinya dan tersenyum genit menatap pantulan dirinya. "Cantik dari lahir mah beda, dandan dikit udah kek princess," ujarnya berbangga diri. Sekali lagi mengecek penampilanny
MENDONGAK pelan dan memicingkan matanya menatap matahari seraya menyeka bulir keringat di pelipis. Rosa dengan malas menyeret sapu ijuk setinggi bahunya dan duduk di pinggir lapangan. Dalam hati mengutuk Arzan mati-matian karena menempatkannya dalam hukuman ini yang panas teriknya bukan main. Rosa berdecak, “Gue kerjain, mampus tuh bocah!”Sebuah kerikil kecil dilempar mengenai keningnya, membuat Rosa mengaduh dan menatap tajam pelakunya. “Apasih, anjing?!”“Harusnya lo ngebujuk si Arzan bukannya nyari pekara. Dasar tolol!” hina Jessica sebal. “Kenapa gue? Kenapa?! Hubungannya apa?!” teriaknya kesal. Jessica menatap jengah pada sahabatnya itu. “Because he loves you.”Rosa sudah terlampau kenyang dicekoki kalimat itu. Sudah muak mendengarnya, Rosa menyentil kening Jessica keras. “Bodo amat! Who's care?”“Walaupun lo nggak suka, seenggaknya dia bisa lo manfaatin.” Jessica berujar santai. “Opsi yang bagus?” Jessica tergelak mendengarnya. “Stop acting like you don't care.”“Gue emang
"LO bilang apa?!" Jenna melotot mendengar pengakuan Jessica sebentar ini. Seolah tak percaya dan mendadak tuli untuk sesaat, Jenna menambahkan tanpa menyembunyikan keterkejutannya. "Rosa nyium Arzan? Dunia mau kiamat?!"Selaku objek pada topik yang tengah diperbincangkan, Rosa memutar bola matanya malas. Sepersekon nyaris lupa bahwa mulut Jessica sudah berduet dengan ember bila mereka tengah berkumpul. Sebenarnya juga salahnya sendiri, belum menjelaskan pada sahabatnya itu. Mau bagaimana lagi, Jessica dan mulutnya itu tak berhenti bergerak untuk mengungkapkan keterkejutannya. Dan, jangan lupakan volume suara yang sepertinya membuat speaker sekolah merasa tersaingi. Tangannya mencomot keripik kentang dan menjejalnya ke dalam mulut. Sementara matanya bergulir malas menatap satu persatu sahabatnya. Ia mendadak seperti pelaku kejahatan yang para detektifnya berdebat tentang hal 'masuk akal' dan 'tidak masuk akal'. "Dikira gue boong kali," balas Jessica lalu mendelik. "Di depan mata gue,