Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.
“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya. “Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok. “Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng. “Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu. “Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto. Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar tanpa menyalaminya. “Nah, lihat itu kelakuan anakmu, ndak ada sopan-sopannya. Dasar anak kurang ajar, ” hardik Yanto. Rodiah meninggalkan Yanto dengan omelannya, ia berjalan mengekori Intan ke dalam kamar. “Sudah Nduk, ndak usah dengerin omongan Bapak. Ibuk seneng kok kamu pulang, ya udah ikut Ibuk ke dapur yuk, kita selesaikan masak sama-sama, ” Ajak Rodiah pada putrinya. “Masak apa Buk? ” tanya Intan saat mengikuti langkah Ibunya ke dapur. “Biasa, Sayur asem sama kering tempe, ” jawab Rodiah menunjuk masakan yang sudah terlihat mendidih di atas kompor. Ibu dan anak itu sibuk menyelesaikan kegiatan masak-memasak mereka, sambil sesekali tertawa kecil saat bercengkerama. ............. “Andri mana? Jam segini masih belum pulang sekolah? ” tanya Yanto pada istri yang sedang menghidangkan makan siang. “Tadi sudah pulang Pak, tapi langsung ke rumah temannya. Mau ngerjakan tugas kelompok, katanya, ” Rodiah meletakkan nasi dan lauk di atas tikar ruang tamu yang juga digunakan sebagai ruang makan. Rumah keluarga Yanto dan Rodiah sangat sederhana, hanya terdapat satu ruangan dengan posisi sedikit memanjang yang digunakan untuk menyambut tamu, makan bersama, dan menonton televisi. Terdapat satu dapur sempit sekaligus kamar mandi serta tiga kamar, untuk jumlah keluarga sebanyak lima orang. Satu kamar digunakan oleh Yanto dan Istrinya, Intan dan Eka di tempatkan dalam satu kamar yang sama, sedangkan Andri mendapatkan kamar untuk dirinya sendiri. “Awasi itu anakmu baik-baik, ngakunya belajar jangan-jangan malah ngeluyur ke warnet, ” kata Yanto curiga. “Sudahlah Pak, membeda-bedakan anak-anak. Sudah puluhan tahun kita berkeluarga, tapi sampeyan masih bilang ‘anakku dan anakmu terus’. Kita udah jadi keluarga Pak, semuanya anak-anak kita, ” bela Rodiah. “Cihh... ” Yanto berdecak kesal, tak bisa menerima ucapan istrinya. Setelah semua makanan terhidang, Intan dan kedua orang tuanya kemudian menikmati makan siang mereka. “Pak, Intan mau nanya? ” Intan duduk di samping Yanto, yang tengah sibuk menghisap rokoknya. Terlihat asap mengepul keluar dari mulutnya. “Apa? ” jawab Yanto ketus. “Masalah Intan, yang dijodohkan dengan Mas Angga. Kalau boleh tahu, kenapa ingin menikahkan Intan, dengan anak dari keluarga terpandang di kampung ini, seperti halnya keluarga Pak Marno, Pak? ” Intan mencoba memecahkan alasan ia akan dijadikan menantu oleh keluarga yang status sosialnya di atas keluarga Intan. “Ya, ndak ada alasan. Pak Marno, yang meminta sama Bapak, untuk menjadikan kamu itu sebagai istrinya si Angga, ” jelas Yanto. “Lalu, kenapa Bapak setuju? Kalau bisa, Intan minta tolong, agar perjodohan ini dibatalkan saja Pak. Rasanya, Intan tidak siap untuk menikah dengan Mas Angga, ” ucap Intan lirih. Seketika emosi Yanto tersulut, ia spontan mendorong kepala Intan hingga membentur dinding di sebelahnya. “Ndak usah ngawur kamu...! Jangan sembarangan kalau ngomong. Ndak mungkin dibatalkan setelah lamaran, kita nerima uang hantaran segitu banyak dari keluarga Pak Marno, ” Yanto mengucapkan hal yang baru saja diketahui Intan saat itu. “Uang hantaran..?? Uang apa Pak?, Jadi apa yang Intan pikirkan itu benar, kalau sebenarnya Intan ini di jual kepada keluarganya Pak Marno? ” Intan mulai berontak meraung sejadinya. PLAAAKK... Sebuah tamparan kembali singgah di pipi Intan, entah tamparan yang ke berapa kali yang pernah ia dapatkan dari Ayah tirinya itu. “Bapak...! Cukup Pak...!” Rodiah berlutut merangkul putrinya yang tertunduk setelah mendapat tamparan keras dari Yanto. Isak tangis Ibu dan anak itu pun pecah memenuhi ruangan rumah yang sempit itu. Tiba-tiba Intan berdiri ia memekikkan suaranya sekeras mungkin, dadanya benar-benar terasa sesak. “SUDAAAAHH PAAK...! Intan juga punya hak yang sama dengan Eka Pak. Kenapa Cuma anak yang mendapat darah dari Bapak saja yang diperlakukan manusiawi dalam rumah ini, Pak? Intan berusaha tahu diri Pak, Intan juga tahu keadaan keuangan keluarga kita, makanya Intan cari uang sendiri selama dua tahun untuk biaya masuk kuliah. Intan juga punya mimpi yang ingin dicapai Pak. ” Seisi ruangan menggema oleh raungan Intan dan Ibunya. Yanto benar-benar terpancing emosi melihat Intan yang berani menentangnya, saat Yanto berdiri hendak menghantamkan pukulan ke wajah Intan, Rodiah dengan cepat merangkul pinggang suaminya dari belakang. “Jangan Pak... Jangan pukuli anakku lagi Pak, tolong Pak, ” sambil terisak Rodiah terus menahan suaminya sekuat tenaga. “Anak kurang ajar kamu Ntan, binat*ng kamu...! Dasar anak ndak tahu di untung...!” maki Yanto. “Susah payah aku besarin anak yang bukan darahku, sekarang setelah besar, melawan kamu HAH!? Sudah habis banyak tenagaku, buat membesarkan dan menyekolahkan kamu dan adikmu itu, apa salahnya kalau sekarang kamu punya kesempatan untuk berterima kasih. Menikahi Angga ndak bakal bikin kamu mati, ” nafas Yanto terengah-engah menahan amarah. Intan masih terisak, namun ia sudah mulai melemah... Akhirnya ia duduk kembali dan terus merunduk, “Intan takut Pak, Intan takut menikah sama orang yang ndak Intan kenal Pak. Intan ndak mau kalau nanti kuliah Intan keganggu, susah payah Intan berusaha ngejar mimpi Intan Pak, ” ucap Intan, suaranya mulai terdengar sengau. “Apanya yang susah payah hah? Tiap bulan kamu dikirimin duit terus, malah bentar-bentar mintak duit lagi. Apanya yang susah menurutmu? ” “Anakmu itu Pak, ANAKMU...!! Eka yang selalu ngabisin uang bulanan Intan Pak. Asal Bapak tahu, Intan ngebabu di kantin kampus tiap sore sampai malam buat memenuhi kebutuhan Intan pak. Anakmu Pak yang ndak tahu diri, ” suara Intan kembali meninggi meluapkan emosi yang selama ini ia pendam. Yanto akhirnya kalap mendengar ucapan Intan, ia mendorong istrinya hingga terpental ke lantai. Yanto menendang Intan hingga tersungkur, kemudian membabi-buta memukulinya. Bahkan, istrinya yang berusaha menyelamatkan Intan dari amukan Yanto juga mendapatkan pukulan bertubi-tubi di wajahnya. “Sudaaaahh... Pak! Ibuk mohon Pak, Ibuk janji apapun yang terjadi Intan pasti menikah dengan Angga, ” bujuk Rodiah merangkul kaki suaminya. Mendengar rintihan istrinya yang bersimpuh dan merangkul kakinya, Yanto akhirnya berhenti dan keluar meninggalkan rumah. “Ya Allah, maafin Ibuk nduk... Maafin Ibuk sayang, ” berurai air mata rodiah memeluk erat tubuh Intan yang gemetar usai menerima pukulan hampir di sekujur tubuhnya. “Maafin Ibuk, gara-gara Ibuk kamu harus hidup seperti ini. ” ▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️▪️ Sudah dua hari intan bolos kuliah tanpa kabar, Mira yang tak bisa menghubunginya pun merasa sangat khawatir, akhirnya Mira memutuskan untuk mengunjungi Intan ke kampung halamannya. Perjalanan dari kota ke kampung halaman intan memakan waktu lima jam menggunakan transportasi umum berupa Bus. Sepanjang perjalanan Mira terus mencoba menghubungi Intan, namun hasilnya masih sama. Nomor Intan tak bisa dihubungi, begitu juga dengan akun media sosial milik Intan, tak ada tampak aktivitas apa-apa. Terakhir kali Intan online adalah tiga hari Yang lalu, saat ia pulang pada akhir pekan. “Ini anak kok nggak bisa dihubungi, sih? Jangan-jangan dijual beneran sama Bapak Tirinya ke keluarga si Angga, mana nomor teleponnya aku nggak punya, ” gumam Mira saat menatap layar ponselnya. Setelah menempuh perjalanan yang cukup panjang, akhirnya Mira sampai ke kampung halaman Intan. Mira mengucapkan salam, dan mengetuk pintu beberapa kali. “Assalamualaikum... Ntan, ini Mira, ” tak terdengar jawaban dari dalam rumah. Mira megulangi mengucapkan salam dan mengetuk pintu beberapa kali, hingga akhirnya seseorang dengan wajah dibalut handuk membukakan pintu. “Waalaikumsalam, ” sebuah suara menjawab salam Mira sambil membuka pintu perlahan. Mira tampak terkejut dengan sosok yang menutupi hampir seluruh wajahnya, namun tetap saja Mira sangat akrab dengan pemilik suara nan lembut tersebut. “Intan? Intan kan ya? ” tanya Mira ragu-ragu. “Langsung ke kamarku saja yuk, Mir, ” tangan Mira langsung ditarik menuju kamar Intan. “Kok ditutupi gitu mukanya Ntan? ” tanya Mira berusaha menggapai handuk yang membalut wajah Intan. Namun Intan refleks menepis tangan Mira yang hendak menyentuhnya. “Eh, sorry Ntan. Nggak ada maksud, ” Mira terkejut dengan reaksi intan. “Nggak apa-apa Mir, ” Intan akhirnya melepas perlahan handuk yang menutupi wajahnya tersebut. “Astagfirullah, Ya Allah Ntan. Ini, wajah kamu kenapa? ” Mira mendekat dan mengulurkan tangannya menyentuh wajah Intan yang dipenuhi lebam. “Aduuhh... ” Intan meringis. “Maaf Ntan, sakit ya? ” Mira sangat terkejut melihat kondisi Intan. “Hmm... Sakit sedikit Mir, ” jawab Intan getir. “Siapa yang melakukan ini sama kamu, Ntan? ” tanya Mira prihatin. “Biasalah Mir, Bapak, ” jawab Intan singkat. “Ndak bisa dibiarin terus, kalo kayak gini Ntan, ” Mira merogoh ponsel yang ia simpan dalam ransel yang dibawanya. “Mau ngapain, Mir? ” tanya Intan panik. “Nelpon Papa, biar pengacara Papaku yang urus Ntan. Udah waktunya Bapak tirimu itu berurusan sama hukum, Ntan. ” Belum sempat panggilan itu tersambung, Intan meraih paksa ponsel yang masih menempel ditelinga Mira. Meski Mira sudah berusaha menghindar, namun Intan berhasil merebut dan memutuskan panggilan yang dilakukan Mira ke nomor Ayahnya. “Nggak usah ikut campur urusan keluarga orang lain, Mir...!” ucap Intan ketus. Mira yang mendengar Intan mengucapkan hal itu merasa sangat tersinggung, akhirnya ia berdiri dan mengepak tas dan mengambil kembali ponselnya dari tangan Intan. “Ooooh jadi aku ini orang lain ya, Ntan? Iya Ntan, harusnya aku sadar diri dari awal. Ndak ada gunanya juga ternyata aku ke sini. ” Mira sangat tersinggung dengan ucapan sahabatnya, padahal Mira sangat khawatir pada Intan. Saat Mira hendak keluar dari kamar sahabatnya itu, tiba-tiba Intan menghentikan Mira. “Tunggu, Mir. Maaf, bukan itu maksudku, ” kali ini suara Intan terdengar melemah dan ia pun mulai menangis. Melihat sahabatnya seperti itu, Mira segera kembali duduk di samping Intan dan merangkulnya. “Jangan nangis, Ntan. Iya, aku tau maksud kamu bukan itu. Sudah, jangan nangis. Aku bakal nemenin kamu melewati semua ini kok. Tegar ya Ntan, ” hibur Mira. “Makasih banyak Mir, ” ucap Intan masih sambil menangis. “Ih ya Allah, lihat tuh ingusnya meler karena nangis, ” tunjuk Mira pada wajah Intan yang sudah basah oleh air matanya. “Apaan sih, Mir. ” Intan tersenyum kecil mendengar candaan temannya, sambil menyeka air mata dan air hidung tentunya. “Nah, gitu dong. Kalau senyum kan cantik, ” hibur Mira. “Ngapain sih, kamu pakai repot-repot ke sini segala, Mir? ” tanya Intan saat merasa hatinya mulai tenang. “Aku tuh khawatir tauuukk... Jahat banget, nomor handphone pakai dimatiin segala. Ndak ada online sosmed juga. Aku pikir kamu dijual beneran sama keluarga Angga, ” ujar Mira. Mendengar hal itu pun, sontak membuat Intan tertawa, “Hahaha... Duh ndak kebayang deh aku kalo sampai beneran dijual. ” “Amit... Amit, Ntan. Ngomong-ngomong, kamu masih belum tanya Ke Mas Angga, siapa perempuan itu? ” Intan menggeleng. “Bukan urusanku ahh Mir, yang jelas bulan depan kita nikah, ” ucap Intan mulai santai. “Loh, udah fix nih nikah? Kemarin galau banget kayaknya, ” tanya Mira. “Ya... Mau gimana lagi, Mir? Aku nolak juga hasilnya kayak gini, ” tunjuk Intan pada wajahnya yang membiru. “Ndak bisa egois aku Mir, kalo aku nolak bukan aku saja korbannya. Kasihan Ibuk juga jadi pelampiasan Bapak, ” terang Intan. “Ibuk, dipukul juga? ” tanya Mira yang hanya dibalas anggukan oleh Intan. “Kok, kamu ndak mau sih Ntan, biar tak polisiin aja itu Bapak tirimu, kan dia malah jadi tuman, ” bisik Mira khawatir akan ada yang mendengar. “Aku juga, kalo bisa sih pengen lepas dari Bapak, Mir. Tapi, Ibuk ndak gitu kayaknya. Entah karena sayang banget sama Bapak atau gimana, yo aku ndak ngerti. Harusnya kalau Ibuk pengen lepas dari Bapak, sudah dari dulu pasti. Ini sejak aku kecil, tiap kali aku atau Andri dipukuli Bapak, malah Ibuk yang nangis-nangis Minta maaf, ” jelas Intan. “Ndak pernah kamu tanya kenapa Ibuk ndak mau pisah saja sama Bapak? Padahal suaminya suka nyakitin anaknya loh, ” tanya Mira lagi. “Yo ndak mungkin ah Ntan aku tanya ‘Buk, Ibuk kok masih mau-maunya sama laki-laki yang kerjanya mukuli anak-anak Ibuk terus? ’ aku mesti nanya gitu maksudmu? ” kata Intan yang dibalas anggukan oleh Mira. “Ya ndak mungkin lah, ada-ada aja kamu. Yang ada ntar Ibuk malah makin tertekan kalo dia mikir anak-anaknya tertekan sama pernikahan barunya. Kalo Ibukku ternyata ndak sanggup pisah sama Bapak, trus anak-anaknya juga nekan dia buat pisah. Ndak tega aku Mir, kasian Ibuk, ” Intan berkata sambil mengenang wajah Ibunya yang terlihat sangat kesepian sejak ditinggal almarhum suaminya. “Meskipun kami hidup kayak gini, aku masih tetap bersyukur Mir atas kehadiran Bapak. Sejak almarhum Bapak meninggal, Ibuk ndak ada ceria-cerianya. Tiap pulang dari sawah langsung mengurung diri, nangis. Dan itu bertahun-tahun, setelah kenal Bapak Ibuk balik lagi kebahagiaannya. Itu jadi alasan aku sama Andri buat ndak ngeluhin pernikahan Ibuk sama Bapak, ” lanjut Intan. “Aaaaahh... Kalian sweet banget sih, jadi anak. Aku aja deh jadi Ibuk kalian, ” ujar Mira menghibur Intan. “Hahaha... Ngelantur. Kamu memang paling the best, kalo urusan mencairkan suasana hati Mir, ” ucap Intan. “Iya dong, Mira gitu... ” ujarnya seraya mengibaskan ujung jilbab segi empat yang dikenakannya. Akhirnya, tawa kedua dara tersebut pecah. Sehingga, sakit yang dirasakan Intan terlupakan sejenak.PLAAAKK...! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi.
Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya. “Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan. “Eh, gimana?” tanya Intan bingung. “Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu. “Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya. Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun. TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cuk
Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup. “Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok
Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan. “Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas
Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya.“Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok.“Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng.“Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu.“Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto.Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar t
Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan. “Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas
Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup. “Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok
Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya. “Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan. “Eh, gimana?” tanya Intan bingung. “Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu. “Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya. Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun. TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cuk
PLAAAKK...! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi.