Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup.
“Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok berat banget ya nerima takdir satu ini,” tiba-tiba Intan menangis usai menyelesaikan kalimatnya. “Eeeehh... jangan nangis di sini donk Ntan, nggak enak dilihatin orang-orang tuh..!” Mira menutup wajah Intan menggunakan ransel yang dibawanya, dari pandangan orang-orang yang tengah menyantap makan siang di kantin utama kampus. “Nih, sudah nangisnya,” tiba-tiba sebuah tangan kekar yang dilengkapi jari-jari tangan yang panjang mengulurkan selembar tisu pada Intan yang masih saja sesenggukan. Intan dan Mira serempak mendongakkan wajahnya keatas. Sosok pria tampan yang tak asing lagi bagi mereka tiba-tiba muncul entah dari mana. “Eh, ada mas Angga. Udah kayak demit aja nih muncul tiba-tiba ngagetin orang. Hehe,” sapa Mira canggung. Intan mendelikkan matanya, melotot pada Mira karena ucapannya. “Ehh... Ups sorry,” Mira menyeringai, menyadari ucapan pada Angga. “Kalo gitu, saya pamit dulu mas, silahkan pinjam dulu Intan sementara, saya ikhlas kok,” kemudian Mira kabur begitu saja meninggalkan Intan dan Angga. Sementara Intan hanya melongo, ia tak percaya dengan kelakuan temannya yang satu itu. “Itu... teman kamu lucu ya Ntan,” Angga memulai obrolan. “Hah?... eh iya. Tapi biasanya nggak gitu sih,” jawab Intan yang masih tak percaya ia ditinggalkan oleh Mira begitu saja. Angga memperhatikan tingkah Intan yang menurutnya menggemaskan itu. “Manisnuya...” ujar Angga sedikit berbisik. “Ya, gimana mas?” tanya Intan menanggapi kalimat Angga yang tak terdengar jelas oleh Intan. “Hmmm... nggak apa-apa. Kamu gemessin ntan,” jawab Angga jujur. “Dih apaan sih mas,” Intan tertunduk mendengar ucapan Angga padanya. Angga yang menyadari Intan tersipu olehnya, hanya tersenyum. Ia merasa akan berhasil meraih hati wanita yang akan jadi istrinya itu. Obrolan canggung Intan dan Angga tak berlangsung lama, namun berhasil membuat Intan sedikit melupakan bebannya tentang perjodohan, mungkin ia sudah mulai merasa nyaman dengan kehadiran Angga. Telepon pintar milik Intan, yang terletak diatas meja tiba-tiba bergetar. Muncul tulisan ‘Eka Memanggil’ pada layar ponselnya. “Bentar ya mas,” pamit Intan mengangkat telepon, sementara Angga hanya mengangguk mengiyakan. “Halo, Ka. Ada apa?” “Lagi dimana kamu?” meskipun Intan memiliki usia dua tahun lebih tua daripada Eka, tapi tak pernah sekalipun Eka memanggil Intan dengan sebutan ‘mbak’. “Kantin biasa,” jawab Intan singkat. “Aku butuh duit dua ratus ribu, pinjem dulu,” titah Eka. “Duit dari mana lagi sih aku Eka? Yang tiga ratus ribu kemarin aja jadi masalah,” Intan memberanikan diri menunjukkan kekesalannya pada adik tirinya itu. “Lah tinggal kamu mintak lagi aja sama Ibukmu. Biasanya juga dikasih, apa mesti aku yang ngomong sama Ibukmu, biar keluargamu itu pada tau diri,” “Ya Allah Ka, mulutmu itu lho,” ujar Intan kesal. “Heh, aku ndak mau tau ya. Tunggu disitu, lima menit lagi aku kesana. Harus ada duitnya,” Eka langsung memutuskan panggilan telepon tanpa memberi Intan kesempatan bicara. Intan langsung membuka dompetnya, ia terdiam melihat isi dompet dengan lembaran seratus ribu dua lembar dan beberapa pecahan dua ribuan. Sementara uang yang ada adalah untuk keperluan revisi proposalnya. Intan memutar otak mencari cara mendapatkan uang untuk keperluan prosal dan Eka. Intan melirik ponselnya, kemudian memutuskan untuk menelepon Mira. “Udah di mana Mir?” tanya Intan begitu Mira mengangkat panggilannya. “Baru aja sampai rumah Ntan, kenapa?” tanya Mira. “Bisa tolongin aku lagi ndak Mir?” tanya Intan ragu-ragu. “Ono opo meneh cah ayu?” “Itu loh Mir, Eka...” belum selesai Intan menjelaskan, Mira memotong kalimatnya. “Ya ampuun... dimintain duit lagi? Duh, Ntan... mau sampai kapan kamu terima aja di pearalat ratu ular itu? Pokoknya kali ini aku nggak mau bantu ahh, kamu mbok yang tegas sama Eka,” “Tapi, Mir... dua hari lagi aku dapat jatah bulanan kok, pasti nanti langsung tak ganti,” ucap Intan memelas. “Bukan itu masalahnya Ntan. Aku ya ntan, kalo itu duit buat kamu pake sendiri, aku kasih Ntan. Ndak perlu ganti. Pokoknya ini aku nggak mau bantu, ndak mau ikut manjain ratu ular itu aku. Minta tolong aja sama calon suamimu,” usai mengucapkan itu Mira mematikan teleponnya. “Ehh Mir ntar dulu! Yaahh...” Intan kecewa mendengar respon dari temannya. “Ada apa?” Angga yang dari tadi memperhatikan Intan bertelepon bertanya. Intan hanya menggeleng. “Nggak apa-apa... cerita saja sama mas, kita kan calon...” belum selesai bicara, Eka yang sudah tiba langsung menyela pembicaraan dua sejoli itu. “Mana?” tanya Eka mengulurkan telapak tangannya di depan wajah Intan. Menyadari kehadiran Eka, Intan buru-buru membuka dompetnya. Sebenarnya dia merasa tak enak pada Angga, karena melihat secara langsung masalah keluarganya. “Nih, udah dulu ya Ka... Aku juga lagi banyak kebutuhan soalnya,” jelas Intan. “Iih terserah aku dong,” ujar Eka tak terima, kemudian ia menyambar dua uang lembaran seratus ribu itu dari tangan Intan. “Eh siapa nih?” Eka melempar pandangannya pada pemuda rupawan yang duduk di depan Intan, ia melancarkan senyum nakalnya menggoda Angga. Angga menanggapi Eka dengan senyum datar, tanpa bersuara. “Bukan cowokmu toh Ntan?” Eka melirik pada Intan yang tampak cemberut tak suka dengan tingkah Eka. “Pasti bukan toh? Selera cowok ganteng ini ndak mungkin kamu lah Ntan... Kalo gitu kita boleh kenalan dong?” Eka mengulurkan tangannya pada Angga hendak bersalaman. Namun Angga tak menjabat tangan Eka, ia menjawab Eka dengan dingin “Saya Angga, saya bukan pacar Intan.” Eka tersenyum bangga mendengar jawaban pemuda tampan itu. “Tapi saya calon suami Intan. Jadi tolong, berhenti memeras calon istri saya,” ucap Angga dingin. Pipi Intan merona mendengar jawaban Angga, entah mengapa ia senang mendengar Angga mengucapkan hal itu pada Eka. Sementara mulut Eka menganga mendengar ucapan Angga. “Eh, bukannya Bapak udah jodohin kamu sama anak pak Marno ya Ntan?” tanya Eka tak percaya. “Iya benar, saya orangnya anak Pak Marno,” ujar Angga menegaskan. Eka tampak sangat kesal, kemudian ia meninggalkan Angga dan Intan dengan tergesa-gesa. Setelah meninggalkan Angga dan Intan di kantin, Eka langsung buru-buru menyetir motor bebeknya menuju kos. Sesampainya di kos, ia melempar tasnya dengan kasar, kemudian mengeluarkan ponselnya hendak melakukan panggilan telepon. “Apa-apaan sih Pak, kok malah Intan yang dijodohin sama mas Angga. Kalo yang model begitu Eka juga mau lah pak, kok ndak Bapak jodohin Eka dulu aja mas Angganya, kenapa malah langsung kasih ke Intan sih?” suara Eka terdengar begitu kesal saat ayahnya Yanto mengangkat panggilan suara darinya. “Loh ada apa sih nduk? Baru nelepon kok tiba-tiba langsung ngomel...” “Bapak sih malah lebih ngutamain Intan dari pada anak sendiri. Jelas-jelas keluarga Pak Marno itu kaya, bibit unggul kayak mas Angga malah bapak kasih Intan, bukannya ke anak sendiri...” omel Eka pada Ayahnya. “Loh, itu juga bukan maunya Bapak nduk. Bapak mah kalo bisa kamu aja yang jadi menantu Pak Marno,” ujar Yanto menjelaskan. “Loh terus?” tanya Eka. “Itu emang kemauannya si Angga, Pak Marno juga Cuma nurutin permintaan anak semata wayangnya,” jelas Yanto. “Eh kok bisa? Kan mas Angga selama ini tinggal di luar kota, kok bisa tiba-tiba minta dijodohin sama Intan,” tanya Eka bingung. “Ya embuh... Bapak ya ndak tau. Pokoknya kamu jangan ganggu masalah perjodohan Angga sama Intan. Bapak ndak enak sama Pak Marno. Utang Bapak jutaan itu numpuk sama beliau, jadi jangan bikin masalah ya kamu,” tegas Yanto pada putri semata wayangnya. “Sudah ah, kamu kalo nelpon Bapak selalu ngerewelin hal ndak penting. Wes, Bapak lagi ngarit rumput buat makan kambing,” ujar Yanto mematikan telepon. --- “Ciyeee... yang kemarin ngedate sama calon suami. Cerah banget kayaknya hari ini,” goda Mira pada Intan, usai dosen meninggalkan kelas. “Apaan sih Mir,” ujar Intan acuh. “Jadi, gimana kemarin? Si calon suami ada perlu apa sampai nyamperin ke kampus segala?” tanya Mira penasaran. “Katanya sih, mau nyemangatin aku ujian... makanya datang ke kampus. Tapi, ndak berani mau masuk ke dalam gedung ujian. Katanya, karena bukan mahasiswa sini,” jelas Intan. “Aaah... sweet banget calon bojomu Ntan. Kalo kamu keberatan dijodohin sama dia, kasih aku aja deh Ntan,” Mira mengedip-ngedipkan matanya. ntan menatap Mira tak percaya. “Aku lapor Dewo nih,” ancam Intan menyebutkan nama pacar Mira. “Dih, tukang ngadu. Tapi ntan, kalian kan dijodohkan ya... tapi kok kayaknya mas Angga ndak keberatan ya Ntan? Malah seneng gitu kayaknya dijodohin sama kamu. Jangan-jangan kalian diam-diam pacaran ya?” ujar Mira sembarang menerka. “Ngawur ih, dibilangin aku nggak pernah ketemu mas Angga kok sebelumnya,” balas Intan. “Yaaa... Aku masih penasaran aja, kok bisa Bapakmu tiba-tiba ada ide ngejodohin kamu sama mas Angga. Mana kelihatannya mas Angga fine-fine aja. Jangan-jangan kamu dijual sama Bapak tirimu itu sama keluarga mas Angga, karena kelilit utang,” terka Mira. Intan, menggetok kepala mira dengan pulpen yang dipegangnya “Makin ngelantur ih... kebanyakan nonton sinetron azab nih, makanya mikirnya kejauhan. “Eh dijual ya? Kemarin pas lihat si Eka minta duit, mas Angga setelah itu ngeluarin amplop loh, Mir. Mana amplopnya tebel. Jelas aku tolak lah ya, dalam rangka apa kan aku nerima duit dari mas Angga,” lanjut Intan. “Tuh kan, makin mencurigakan aja. Emang keluarga mas Angga terkenal kaya di kampungmu, mereka punya usaha apa sih Ntan?” selidik Mira. “Katanya sih, ada usaha yang dikelola sama mas Angga di kota. Tapi ya mbuh, aku juga ndak tau usaha apa,” balas Intan. “Jangan-jangan keluarga mas Angga dagang organ manusia Ntan, trus kamu di beli dari Bapakmu. Makanya mas Angga langsung baik dan care sama kamu. Padahal kalian kan nggak saling kenal. Harusnya cowok sekece mas Angga udah punya cewek kan Ntan. Kayak kamu aja sekarang, ndak mudah toh kamu nerima tiba-tiba dijodohin sama orang ndak dikenal meskipun calonnya super nggganteng kayak gitu. Pasti ada apa-apanya makanya mas Angga, oke-oke aja dijodohin sama kamu, ya kan?” ujar Mira curiga. “Kampret ih..” kali ini buku tebal yang ada di atas meja yang dilayangkan Intan ke atas kepala Mira. “Auuh... Sakit, kali Ntan. Jahat nih...” ucap Mira mewek. “Lagian kamu, baru aja aku berusaha nerima dengan ikhlas mendadak dijodohin. Malah ditakut-takutin gitu, kan kampret namanya” ujar Intan kesal. “Nggak nakut-nakutin Ntan... Ini namanya waspada, kita juga perlu tahu kan alasan kamu dijodohin. Ok anggap dari pihak Bapakmu, buru-buru pengen ngawinin kamu biar lepas dari beban, karena kamu dianggap ngabis-ngabisin duit. Lah, terus kalo dari pihak mas Angga, apa dong alasan pengen ngangkat kamu jadi mantu. Pas acara lamaran juga ndak ada dijelasin alasan kenapa kamu yang dipilih sebagai calon istri anak mereka. Emangnya, kamu akrab sama keluarga mas Angga?” tanya Intan menyelidik. “Ndaak...” Intan menggeleng. “Nah wajar dong Ntan, kalo aku curiga. Pasti ada apa-apanya kan kenapa tiba-tiba kamu di pilih jadi calon mantu. Wong Ibukmu juga ndak tau kan masalah jodoh-jadohan ini, kalo dari keluargamu kan ini murni ide Bapakmu” jelas Mira. “Duuhh... Ndak tahu deh Mir. Mumet ah kepalaku, nambah-nambahin masalah aja kamu. Udah ahh, temenin aku ke perpustakaan yuk, selesaikan masalah nyata di depan mata dulu. Kalo sampai ini revisi proposal ndak sesuai ekspektasi Pak Guntur habislah aku,” kenang Intan perihal galaknya dosen penguji saat ia ujian proposal penelitan skripsi.Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan. “Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas
Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya.“Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok.“Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng.“Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu.“Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto.Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar t
PLAAAKK...! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi.
Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya. “Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan. “Eh, gimana?” tanya Intan bingung. “Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu. “Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya. Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun. TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cuk
Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya.“Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok.“Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng.“Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu.“Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto.Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar t
Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan. “Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas
Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup. “Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok
Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya. “Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan. “Eh, gimana?” tanya Intan bingung. “Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu. “Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya. Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun. TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cuk
PLAAAKK...! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi.