Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan.
“Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas ranjang tempat tidur milik Intan. “Main nyelonong aja, kalo ada orang yang lebih tua ngajak ngomong, mbok ya direspon dulu... durhaka ih kamu. Serius tak aduin Bapak lho kamu Ndri. Ndak sekolah pa? Jam segini kok bisa sampai disini,” tanya Intan curiga. “Cerewet banget sih mbak kayak orang tua aja. Aku sampai sini juga udah ijin Bapaklah, malah dia yang suruh. Aku sebenarnya yo males,” jawab Andri tak bersemangat. “Hah, ngapain Bapak nyuruh kamu ke sini?” tanya Intan bingung. “Nganterin Mas Angga,” jawab Andri malas. “Hah...?” Intan kaget. “Iyaaa... Calon bojomu arep ketemu, katanya mau ngajak mbak kepiting gaun pengantin,” kali ini Andri merebahkan tubuhnya di kasur Intan. “Kepiting... kepiting... Fitting..! Anak sekolah belajar yang bener,” Intan melempar sebagian cucian yang sudah kering ke wajah Andri. Andri refleks menangkap pakaian yang dilempar Intan padanya. “Aaaahh males banget ah, ngapain juga aku mesti ikut cobak urusan kalian. Yang mesti fitting kalian berdua toh, trus ngapain juga aku diajak. Jadi ngebatalin mabar bareng gebetanku kan...” keluh Andri. “Ini anak ya... Awas kamu kalo banyakan nge-game dari belajarnya, mbak sita Hpmu,” ancam Intan. “Dah mbak buruan dandan, masak anak kuliahan dasteran. Kelamaan anak orang dijemur di halaman kos-an nunggu,” jelas Andri. Mendengar ucapan Andri, Intan langsung membuka lemari. Tapi, tak ada pakaian yang layak menurutnya untuk dipakai keluar menemui Angga, meskipun tampak beberapa stel pakaian menggantung dalam lemarinya. Akhirnya, Intan menyambar salah satu gamis biru bercorak polkadot dari tumpukan jemuran yang baru diangkatnya. Gamis itu merupakan andalan Intan, karena tanpa disetrikapun pakaiannya yang satu itu tetap saja terlihat rapi. Oleh karenanya Intan menamai gamisnya dengan sebutan ‘Anti kusut anti badai’. “Cantik banget Ntan, manglingi kamu pake baju itu,” puji Angga saat Intan dan Andri menemuinya di halaman kosnya. “Ah.. eh, makasih,” ujar Intan tersipu. --- “Kita mau kemana Mas?” tanya Intan memecah keheningan di dalam Mobil Andri. “Ke butik langganan Bunda, kita pesan pakaian akad dan resepsi di sana,” ujar Angga datar. “Oooh...” Intan kemudian kembali terdiam setelah berusaha memecah keheningan yang terasa canggung ini. Tak ada obrolan, maupun suara musik atau radio. Hanya suara game yang tengah di mainkan Andri yang duduk di belakang terdengar samar-samar. Angga terlihat berbeda saat menyetir, dengan Angga yang menemuinya di kampus beberapa hari lalu. Angga terlihat hanya fokus pada jalanan saja, entah dia memang membutuhkan konsentrasi yang tinggi sehingga tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Intan tiba-tiba bergidik ngeri teringat ucapan Mira tentang ‘jual beli organ’. “Hiihh... ngeri,” ucap Intan tanpa sadar. Angga yang mendengar ucapan Intan “Apanya yang ngeri Ntan?” “Eh... bukan apa-apa kok Mas,” jawab Intan kaget. Angga hanya tersenyum, kemudian ia kembali fokus pada jalanan tanpa ada inisiatif untuk mengajak Intan ngobrol atau hanya sekedar menyetel radio di mobilnya. --- “Wow... kayaknya kamu nggak Cuma jodoh sama Angga aja deh, tapi juga sama baju buatan saya. Padahal angga Cuma mengira-ngira ukuran gaun buat kamu, tapi bisa pas banget ih sama kamu Ntan,” wanita paruh baya yang dandanannya menor dan mencolok itu terlihat heboh mengomentari karyanya saat digunakan Intan. Angga tak henti menatap bidadari yang berdiri di depannya, tubuh ramping Intan nan semampai di balut dengan kebaya panjang berwarna putih, melekat indah di tubuhnya. Kebaya yang ketat pada bagian atas itu memperlihatkan lekuk tubuh Intan. Sungguh terlihat sempurna meskipun wajahnya belum dihiasi make-up. “Ok Mi, kita ambil yang ini,” ujar Angga pada wanita perancang busana yang biasa ia panggil dengan sebutan Mami. Selesai mengganti kembali pakainnya ke semula, Intan keluar dari ruang ganti. Namun, ia tak melihat keberadaan Angga. Hanya ada Andri yang masih duduk di sofa yang tadinya juga ada Angga di sana. “Loh, Mas Angga mana Ndri?” tanya Intan pada Andri yang masih sibuk dengan ponselnya. “Keluar mbak, ada perlu katanya. Aku di suruh milih setelan kemeja sama jas buat acara pesta mbak nanti. Padahal aku rencana mau make batik aja” kata Andri tak setuju dengan usulan calon iparnya itu. “Udah turutin aja, lagian pestanya juga bakal diadakan di tempatnya Mas Angga. Yuk, biar mbak temenin milih,” ajak Intan. Akhirnya dua bersaudara itu asyik memilih-milih kemeja dan jas dalam butik mewah ini, tak pernah terbayang oleh keduanya jika mereka akan menggunakan pakaian yang dirancang oleh seorang desainer. Beberapa kali Andri keluar masuk ruang ganti untuk mencoba menyesuaikan kemeja dan jas pilihan kakaknya, hingga akhirnya kegiatan itu terhenti saat Intan mendengar ponselnya berbunyi. “Eh bentar Ndri, kamu pilih-pilih sendiri aja deh, mbak angkat telepon dulu,” kemudian Intan keluar dari butik meninggalkan Andri dan beberapa pengunjung lain yang sedang memilih pakaian. “Dari tadi kek aku pilih sendirinya, udah selesai dari tadi deh,” celetuk Andri saat kakaknya pergi. Saat dirasa sudah jauh dari suara bising, Intan mengangkat telepon dari Mira. “Halo Mir, ada apa?” tanya Intan. “Lagi dimana Ntan? Nggak baca pesan di grup kelas ya?” Mira balik bertanya. “Belum Mir, notifikasi grup aku silent soalnya. Jadi, nggak tau kalau ada pesan masuk,” jelas Intan. “Oooalah anak satu ini... buruan ke kampus, Buk Erda ngadain UTS dadakan sekarang. Sepuluh menit lagi mulai. Kalo mau selamat buruan ke kampus, pake itu gamis andalan anti badaimu, ndak usah bedakan,” desak Mira. “Loh bukannya pagi besok ya kita UTS sama buk Erda Mir?” tanya Intan panik. “Harusnya sih gitu... Kayak ndak tau aja kamu kebiasaan dosen satu itu. Dah buruan, masih keburu kamu kok kalo berangkat dari kos sekarang,” Mira menyarankan. “Aduh gusti... masalahnya aku lagi ndak di kos ini,” Intan mulai panik dan berlari ke arah jalan raya, ia menyetop beberapa taksi yang lalu lalang dijalanan. “Loh dimana emang?” tanya Mira penasaran. “Nanti deh Mir aku cerita, aku OTW dulu,” Intan memutuskan panggilan teleponnya dan bergegas masuk ke dalam taksi yang berhasil ia berhentikan. Saat baru saja supir taksi itu menginjak pedal gas, tiba-tiba saja ia mengerem dengan kuat. “Ada apa pak?” tanya Intan kaget. “Orang pacaran berantem kayaknya dek,” jawab supir taksi itu menjelaskan keadaan di depannya. Kendaraan yang berlalu-lalang banyak yang menghentikan laju kendaraannya, karena aksi tarik-menarik dari sepasang muda mudi di tengah jalan raya. Suara klakson dari pengendara mobil dan motor terdengar bersahutan menegur mereka. Hingga akhirnya, tampak sang pemuda menarik tangan si gadis ke pinggir jalan raya. Saat sampai di seberang jalan, tampak mereka berpelukan sangat erat. Intan terperanjat saat mengenali wajah sang pria adalah calon suaminya. Hatinya terasa membeku, nafasnya tiba-tiba terasa sesak. Ada beban yang kuat menekan dadanya. Situasi macam apa yang sedang dilihatnya? Siapa wanita berpakaian seksi itu yang seenaknya melingkarkan tangannya dipinggang calon imamnya. Sepanjang perjalanan menuju kampus, ia tak bisa berhenti mengingat kejadian yang membuat hatinya sakit. Entah mengapa Intan merasa marah melihat Angga dipeluk seperti itu oleh wanita lain, padahal ia sendiri merasa terpaksa menikah dengannya. “Jadi aku ini apa? Kalau dia sudah punya wanita, kenapa dia harus meminangku sebagai istrinya?” pikiran Intan bergejolak, membuat nafasnya terasa semakin berat. --- Intan berlari begitu taksi yang ditumpanginya berhenti tepat di depan gedung tempat ia belajar. Nafas yang tadinya sudah terasa berat, terasa sulit digunakan saat berlari. “Kok ngos-ngosan parah gini Ntan, kamu abis lari berapa kilometer?” mira menyodorkan botol air mineral miliknya pada Intan. “Nih, minum dulu..!” Intan meneguk air tersebut, dan berusaha mengatur nafasnya. “Loh, kok belum mulai ujiannya? Apa udah selesai?” tanya Intan panik. “Belum mulai Ntan. Nggak tau deh nih, tadi katanya sepuluh menit lagi. Ini udah lebih setengah jam belum datang juga. Pokoknya kalo sampe nggak jadi, tak sumpahin itu dosen,” ujar Mira kesal. “Hush... ndak baik ahh,” ucap Intan mengingatkan. Tak lama berselang, sang dosen yang ditunggu akhirnya datang juga. Intan yang tadinya berpikir akan dihabisi oleh dosen killer ini karena terlamabat, akhirnya bisa bernafas lega. “Haaah... selamaat,” Intan tersenyum saat ia gagal menjadi makan siang dosen yang diberi julukan killer oleh mahasiswanya. Setelah empat puluh lima menit berlalu, akhirnya sesi UTS pun selesai. Beberapa mahasisa keluar dari kelas, sementara Intan dan Mira masih duduk di kursi masing-masing. Intan mengeluarkan ponsel dari dalam tasnya, terdapat dua belas panggilan tak terjawab dan tujuh pesan pada aplikasi hijau. Terdapat sembilan panggilan tak terjawab dari Andri dan tiga dari Angga. Seketika Intan kaget teringat adiknya yang ia tinggalkan begitu saja. “Eh ya Allah Andri,” ucap Intan usai merasa bersalah meninggalkan adiknya. Intan kemudian membuka ketujuh pesan yang semuanya dari Andri. [Mbak lagi dimana?] [Kok lama banget, angkat telepon doang mbak? Mana Mas Angga juga belum balik dari tadi.] [Mbak buruan balik ke sini lagi, aku udah kayak orang bego di sini sendirian.] [Mbaaaaaakkkk...... 😭😭😭😭] [Mbaaakk... jahatnya 😓] [P] [Pppppppppppppppppppppppppppppp] Meskipun merasa berslah, Intan tersenyum membaca pesan bertubi yang dikirim Andri padanya. [Maaf deh adek mbak yang paling gaaanteeeng sedunia. Mbak lupa kalo udah ninggalin adek semata wayang mbak di tempat asing itu tadi. Mbak tadi dapat telepon ada UTS mendadak, karena panik mbak langsung buru-buru pergi deh. Maafin mbak ya sayang, minggu besok mbak pulang mbak traktir baso deh.] Intan membalas pesan Andri. Sementara Andri hanya membelas dengan rentetan react angry. [😤😤😠😠] “Dari mana kamu tadi kalau bukan dari kos Ntan,” tanya Mira saat Intan mngetik pesan untuk Andry. “Ooooh... tadi tiba-tiba mas Angga jemput ke kos ngajak fitting gaun buat akad dan resepsi,” jawab Intan masih terus melihat layar ponselnya. “Ciyeee... Makin serius aja nih si doi sama kamu Ntan, jadi udah pasti nih bakal jadi pengantin,” goda Mira. “Duuhh... nggak tau deh mir,” jawab Intan malas. “Loh kok gitu? Udah sampe proses fitting gaun pengantin loh. Lagian bukannya kamu juga nggak bisa nolak dijodohin. Kenapa jadi tiba-tiba ragu gitu?” tanya Mira. “Kamu pernah bilang kalau cowok sekece Mas Angga nggak mungkin nggak punya cewek kan Mir?” ujar Intan. “Teruuusss...?” tanya Mira tak mengerti. “Aku udah lihat tadi,” jawab Intang singkat. “Apanya?” tanya Intan penasaran. “Ya, pacarnya Mas Angga. Nggak lihat mukanya sih, tapi bodinya oke banget, kulitnya bening banget gila, seksi banget juga pakaiannya,” tiba-tiba Intan merasa minder saat mengingat detail perempuan yang memeluk Angga. “Tau dari mana kalau itu pacarnya Mas Angga?” Mira kembali bertanya. “Aku lihat sendiri tadi mereka pelukan di pinggir jalan, erat banget meluknya. Apa emang penjelasannya laki-laki dan perempuan berpelukan erat kayak gitu di tempat umum kalo bukan pasangan kekasih,” semburat kecewa mulai tampak dari wajah Intan, entah mengapa ia merasa dipermainkan oleh Angga. “Kamu tanya jelas-jelas dulu lah Ntan, sama Mas Angganya. Takutnya ada salah paham. Lagian kalo emang beneran Mas Angga udah punya cewek, kamu jadi bisa make itu buat alasan ngebatalin perjodohan kalian kan?” ujar Mira. “Iya sih Mir, tapi...” entah keraguan apa yang tengah dirasakan Intan saat ini. “Loh ngapain ragu-ragu, lagian kamu juga terpaksa kok kan ngejalanin perjodohan ini? Apa jangan-jangan kamu mulai suka sama Mas Angga?” selidik Mira. “Nggak usah ngaco ah Mir, ya aku marah aja. Kok orang yang udah punya pacar kayak gitu mau-maunya disuruh nikah sama aku. Kan aku jadi ngerasa dipermainkan gitu. Kalo udah punya perempuan lain, ngapain kan sok ngebaikin aku, sok peduli dan perhatian sama aku. Kenapa di nggak nikah sama pacarnya aja coba? Kenapa harus sama aku, perempuan yang belum dikenal sama dia sebelumnya?” kedua Bola Mata Intan tampak memerah, sepertinya ia menahan tangis. Mira yang sudah bersahabat lama dengan Intan sangat memahami kondisi Intan, Mira juga menyadari kalau Intan sebenarnya juga sudah mulai menyukai Angga. Hanya saja, ia tak mau mengakuinya. “Itu pertanyaan kamu yang nggak bisa aku jawab Ntan, kamu coba atur waktu buat nemuin Mas Angga, selesaikan masalah kalian,” ujar Mira memberi saran. “Nggak tau ahh Mir, aku juga nggak berani terlihat banyak nuntut. Lagian hubungan kami juga nggak jelas statusnya, emang udah hampir nikah. Tapi bukan karena kami sebelumnya pasangan yang akhirnya memutuskan untuk menikah juga kan. Aku juga ndak ngerti posisiku buat Mas Angga sebenarnya aku ini siapanya?” Akhirnya bulir bening yang ditahan sekuat mungkin oleh Intan, jatuh juga dari pelupuk matanya. “Sabar Ntan... Kamu tenang dulu ya, nanti pasti ada jalan keluarnya,” Mira mengusap-usap punggung Intan untuk menenangkannya.Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya.“Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok.“Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng.“Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu.“Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto.Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar t
PLAAAKK...! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi.
Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya. “Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan. “Eh, gimana?” tanya Intan bingung. “Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu. “Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya. Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun. TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cuk
Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup. “Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok
Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya.“Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok.“Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng.“Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu.“Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto.Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar t
Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan. “Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas
Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup. “Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok
Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya. “Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan. “Eh, gimana?” tanya Intan bingung. “Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu. “Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya. Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun. TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cuk
PLAAAKK...! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi.