PLAAAKK...!
Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi. “Iya, Pak, karena dia anakku, tentu saja aku bela. Sakit, Pak, hatiku lihat sampeyan mukuli anakku, Pak,” Rodiah masih terus memeluk Intan, sambil sesekali mengusap air matanya. “Sudah, Nduk, jangan nangis. Ibu percaya kok sama kamu. Kamu bisa cerita sama Ibu, duit yang tiga ratus ribu itu sebenarnya buat apa? Kata Toni, nggak ada tugas dari kampus harus beli buku yang harganya tiga ratus ribu itu. Jadi, kamu pakai buat apa sebenarnya duit itu?” tanya Rodiah pada putrinya. “Sebenarnya Intan...” ucapannya terhenti. Ia memandang gadis yang berdiri di belakang ayahnya, yang sudah melotot ke arahnya sejak ia mulai bersuara. Belum sempat Intan melanjutkan kalimatnya, gadis itu tiba-tiba bersuara. “Halah... Ngaku saja kamu, Ntan...! Pasti buat senang-senang, toh, duitnya? Hidup di kota mau berlagak jadi anak orang kaya? Nyadar kamu...!” “Eka...!” Intan membentak adiknya, karena tidak terima dituduh seperti itu. “Apa kamu..!? Mau ngelak gimana kamu? Perempuan busuk kayak kamu memang Cuma bisa nyusahin keluarga saja,” ucap Eka, gadis 19 tahun yang sudah 10 tahun menyandang status sebagai adik tiri Intan. “Eka...! Hati-hati mulutmu ya. Ibu sudah sabar banget selama ini ngurusin kamu. Sekarang Ibu benar-benar nggak sanggup lagi rasanya,” Rodiah kembali bersuara melihat Eka, anak tirinya itu, dan suaminya, Yanto, yang selalu menyudutkan putrinya. “Apanya yang nggak sanggup, Buk? Emang selama ini Ibu merasa sudah bertanggung jawab sama hidupku gitu? Justru Ibu dan anak-anak Ibu sudah jadi beban buat Bapak, seharusnya kalian berterima kasih...! Bukannya malah nggak tahu diri begini,” ucapan Eka terasa sangat pedih untuk didengar. Tangan Rodiah terlihat bergetar menahan amarah. Ia tak sanggup lagi diperlakukan seenaknya oleh anak tiri dan suaminya itu. “Pokoknya, kamu nggak bisa bantah Bapak, Ntan. Minggu depan, keluarga Pak Marno bakal ke sini buat lamaran,” ujar Yanto, lalu keluar dari rumah. Eka masuk ke kamarnya setelah melempar senyum sinis pada Intan. Tinggal Intan dan ibunya yang masih saling merangkul satu sama lain. Tak ada satu pun dari mereka yang sanggup membantah perintah Yanto. Tiga hari yang lalu... “Buk, Intan butuh uang buat beli buku, tiga ratus ribu!” pinta Intan pada ibunya melalui telepon. “Kok banyak banget, Nduk? Minggu kemarin Ibu sudah transfer lagi buat nambah jatah bulananmu, yang katanya kurang lima ratus ribu. Kok minta lagi, toh, Nduk? Ibu nggak ada duit. Nanti coba Ibu omongin sama Bapakmu,” jawab Rodiah, wanita lima puluh tahun itu, di ujung telepon. “Janganlah, Buk! Nanti Intan diomelin Bapak lagi. Ibu nggak bisa cari utangan dulu? Nanti bulan depan uang jajan Intan dipotong aja yang tiga ratus ribunya, Buk. Gimana?” Intan mencoba mengutarakan pendapatnya, berharap akan diiyakan. “Cobalah nanti Ibu tanya Budemu, tapi ya sebenarnya Ibu juga sudah nggak enak. Utang yang lima ratus ribu dua minggu lalu juga belum dibayar. Tapi weslah... Nanti Ibu coba usahakan.” Ucapan perempuan paruh baya itu sedikit membuat Intan tenang. Meskipun belum pasti, setidaknya ia tahu bahwa ibunya selalu mengusahakan untuk bisa memenuhi semua kebutuhannya. “Iya, Buk. Intan tunggu ya, Buk. Kalau bisa secepatnya ya, Buk! Soalnya Intan butuh duitnya lusa,” jawab Intan lega. “Yo...” jawab sang Ibu kemudian memutuskan panggilan. Intan meletakkan ponselnya di atas kasur kamar kosnya. Ia kembali membolak-balikkan buku tebal yang sedari tadi sebenarnya tak ia baca. Pikirannya masih sibuk mencari alternatif lain jika ia tak berhasil mendapatkan uang senilai tiga ratus ribu itu dari ibunya. Akhirnya, tangan yang dihiasi jari-jari panjang nan lentik, dibalut kulit putih bersih itu, kembali meraih ponsel yang terletak di samping ia bersandar. Sambil mengubah posisi duduk yang awalnya bersandar pada dinding di sebelah ranjang tidur, kini ia bersila. Matanya menatap fokus pada layar biru ponselnya, kedua jempolnya sangat piawai bermain di atasnya. [“Mir, aku sebenarnya nggak enak mau ngomongin ini sama kamu. Tapi aku terpaksa, cuma kamu yang kepikiran sama aku.”] Selesai mengetik pesannya, Intan menekan tombol kirim melalui aplikasi hijau pada ponsel pintarnya. Tampak pesan sudah dilabeli centang dua, namun masih berwarna hitam—pertanda pesan tersebut belum dibaca oleh Mira, satu-satunya sahabat yang ia miliki setelah tiga tahun berada di rantau untuk menyelesaikan studi strata satu di universitas negeri yang terletak di ibu kota provinsi, jauh dari kampung halamannya. Melihat pesannya belum dibaca, Intan melanjutkan mengetik: [“Hmmm... Sebenarnya aku mau minta tolong sama kamu, Mir. Sebenarnya nggak enak banget aku ngomong gini sama kamu. Tapi benar-benar cuma kamu, Mir, yang kepikiran sama aku.”] Begitu Intan menekan tombol kirim, tanda centang dua seketika berubah warna menjadi biru. Tampak tulisan "sedang mengetik..." tampil di bawah foto profil Mira. [“Mau ngomong apa sih kamu, Ntan? Basa-basi banget kayaknya? Kayak lagi ngomong sama gubernur aja kamu.”] Mira menambahkan emoji bingung di akhir kalimat yang ia ketik. [“Hehehe... Nggak gitu, Mir. Emang agak nggak enak sebenarnya. Aku mau minjam duitmu dulu tiga ratus ribu, Mir. Kalau nanti ibuku jadi ngasih aku duit lusa, langsung tak ganti duitmu. Tapi, kalau ibuk nggak jadi bisa ngasih, terpaksa Rabu depan aku baru bisa ganti duitmu. Soalnya, jatah bulananku minggu depan baru dikirim.”] jelas Intan pada Mira. [“Eee halah, Ntan, tak kira apaan. Kayak mau nyuruh aku gadai tanah bapakku aja kamu ngomongnya muter-muter gitu.”] Kali ini Mira menambahkan lima emoji tertawa ngakak pada akhir pesannya. [“Ya, sudah. Besok aku kasih duitnya di kampus.”] [“Makasih banyak, Mir.”] Intan membubuhi emoji senyum pada akhir ketikannya. Sementara Mira hanya membalas dengan rentetan emoji jempol berwarna kuning yang tak dihitung oleh Intan saking banyaknya. Intan benar-benar merasa lega setelah meminta pertolongan seperti itu pada sahabatnya. Memang selalu hanya Mira, di tempat nan jauh dari keluarga tercinta ini, yang selalu ada untuknya. Meskipun ini bukan kali pertama Mira meminjamkan uang pada Intan, tetap saja, Intan masih merasa tak enak pada sahabat karibnya itu. Beruntung mempunyai sahabat yang baik hati dan begitu peduli padanya. Mira, gadis cantik yang terlahir dari keluarga berada, dan dibekali hati yang kaya. Tentu saja Intan sangat bahagia memiliki sahabat seperti dia. --- Langkah kaki wanita paruh baya bernama Rodiah itu tampak tergesa-gesa. Jilbab panjang yang menutupi separuh gamisnya itupun melambai mengikuti irama langkah kakinya. Langkahnya terhenti ketika di persimpangan ia ditegur oleh suara yang sangat dikenalnya. “Eh, Diah! Mau ke mana? Kok buru-buru gitu?” Suara itu berasal dari kakak perempuannya bernama Rita. “Oh, Mbak. Baru pulang dari sawah?” sahut Rodiah. “Lha iyo. Mau ke mana?” Rita kembali bertanya. “Mau ke rumah, Mbak. Takut dilihat Mas Yanto. Nanti malah banyak tanya, malas aku jawabnya.” Ujar Rodiah menjelaskan situasinya. “Oooh... Ya, sudah. Yok, buru...!” Seolah sudah mengerti, Rita mempercepat langkahnya menuju rumah yang kemudian diikuti oleh Rodiah, adiknya. Sesampainya di rumah Rita, Rodiah pamit untuk membersihkan diri terlebih dahulu sembari meletakkan perkakas yang ia bawa dari sawah. “Sek yo, Mbak. Mandi dulu.” Rodiah hanya mengangguk, kemudian ia duduk di atas sofa yang sudah terlihat tua di ruang tamu milik kakak perempuannya itu. Meski dihiasi perabot yang sudah berumur, tetap saja rumah milik kakaknya ini jauh lebih baik dibanding rumah yang ia miliki. Tak lama menunggu, Rita akhirnya datang setelah ia terlihat lebih rapi meski hanya menggunakan daster. “Ada apa? Butuh duit po?” ucap Rita menebak. “He-eh, Mbak. Intan butuh duit beli buku katanya,” jawab Rodiah tanpa basa-basi. “Piro? Suamimu nggak tau lagi tah?” Rita kembali bertanya. Rodiah menggeleng, kemudian mengacungkan tiga jari tangannya memberi isyarat. “Tiga ratus ribu? Kok banyak tenan toh, Diah? Perasaan belum lama abis ngirim duit.” Meski Rita meluncurkan banyak pertanyaan, tetap saja tangannya mengulurkan sejumlah uang yang dibutuhkan adiknya, Rodiah. “Namanya juga anak kuliahan, Mbak. Pasti banyak keperluannya,” ujar Rodiah meraih sejumlah uang itu dari tangan kakaknya. “Tapi kok, Toni nggak ono minta tambahan duit yo? Padahal Intan dan Toni kan sekelas...” ucap Rita bingung. “Lah, kan anakmu nyambi kerja malam, Mbak. Mungkin ada duit dia buat nutupin dulu kebutuhan kuliahnya,” kata Rodiah menerka. “Oooh, mungkin juga,” Rita mengiyakan. “Ya wes, Mbak. Makasih banyak ya. Aku pulang dulu, mau nyuruh Andri transfer duit ke Intan,” Rodiah keluar setelah menerima sejumlah uang yang dipinjam dari kakaknya. Sesampainya di rumah... “Ndri, tolongin Ibuk bentar,” ucap Rodiah memasuki kamar putranya. “Ya, Buk. Butuh apa?” Andri meletakkan ponselnya. Rodiah mendekat, ia mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan lima puluh ribu pada Andri. “Ini, tolong transfer...” Belum selesai sang Ibu berbicara, Andri langsung memotongnya. “Mbak mintak duit lagi, Buk?” tanya Andri tiba-tiba. Rodiah membekap mulut anaknya itu, kemudian menepuk bahunya. “Ssssttt...!” Rodiah menempelkan jari telunjuk kanan di mulutnya. “Jangan keras-keras, nanti Bapak dengar.” Andri mengangguk dan mengambil uang tersebut setelah mendengar beberapa penjelasan dari ibunya. Ia kemudian berjalan keluar. Ketika ia mengenakan sandal yang terletak di depan pintu, tiba-tiba ia dihentikan oleh suara yang datang dari kamar ibu dan ayah tirinya. “Mau ke mana kamu?” Yanto menyeka tirai pintu kamarnya dan berjalan mendekati Andri. “Duit apa itu?” tanya Yanto menunjuk uang yang berada di genggaman Andri. “Oooh... anu, Pak. Itu si Mbak Intan, ehh...” Andri menghentikan kalimatnya, tak percaya ia baru saja keceplosan menyebutkan nama kakaknya. Yanto langsung merebut uang tersebut dari tangan Andri. “Coba kamu jelaskan! Buat apa lagi Mbakmu itu mintak duit? Dia pikir keluarga ini pabrik duit apa, seenak jidatnya aja duit-duit terus,” perintah Yanto pada anak bungsu dari pernikahan Rodiah dengan almarhum suaminya. “Kata Ibuk, Mbak mau beli buku buat kuliahnya, Pak,” jawab Andri. “Coba kamu telepon itu si Toni, anak budemu,” kata Yanto kembali memerintah. “Tapi, Pak...” ucap Andri bingung. “BURUAN...!” “Ng...ng...nggeh, Pak,” Andri buru-buru mengeluarkan ponselnya dari kantong celana. Setelah telepon tersambung, tak lama akhirnya telepon itu terhubung. “Halo... Ada apa, Ndri?” sebuah suara keluar dari ponsel. Sebelum Andri sempat menjawab, Yanto merebut ponsel itu begitu saja. “Ton, ini Paklek. Piye kuliahmu, lancar?” tanya Yanto basa-basi. “Alhamdulillah, lancar, Lek,” jawab Toni. “Ini, Ton. Kok Intan banyak banget yo pengeluarane. Ini juga minta duit lagi tiga ratus ribu, katanya buat beli buku, tugas dari kampus. Bener?” tanya Yanto tanpa basa-basi. “Eh, nggak tau ya, Lek,” jawab Toni bingung. “Kok iso ndak tau? Kamu kan sekelas sama Intan,” desak Yanto. “Iya sih, Lek. Kayaknya ndak ada deh tugas dari kampus mesti beli buku seharga tiga ratus ribu,” ujar Toni mengingat-ingat. “Tapi ndak ngerti juga kalo Intan beli buku buat bahan ngerjakan makalahnya. Tapi biasanya kalo gitu sih ditanggung kelompok, nggak mungkin Intan sendiri sih, Lek, yang nanggung biaya bukunya. Duh, ndak tau deh saya, Lek. Coba tanya Intan saja langsung,” jelas Toni. Mendengar jawaban dari Toni, Yanto langsung mematikan telepon. Tiba-tiba emosinya terasa memuncak. “DIAHH.....!! Sini kamu...!!” Terlihat sang istri bergegas dari dapur menghampiri suaminya. “Hari Minggu ini suruh Intan pulang. Anak kurang ajar itu berani-beraninya nipu keluarga,” ujar Yanto emosi. “Kenapa memang, Mas?” tanya Rodiah bingung. “Kamu juga ndak tau diri! Diberi uang belanja bukannya berhemat, malah dikasih terus buat anak kurang ajar itu. Kalian pikir aku ini mesin pencetak duit, memangnya? Make duit seenaknya sendiri,” ujar Yanto marah. Rodiah melirik anak laki-lakinya. Tampak Andri menundukkan kepalanya pertanda menyesal. “Nipu apa sih, Mas? Lagian duit yang tak kasih sama Intan, aku pinjam sama Mbak Rita kok,” jawab Rodiah membela diri. “Lalu, kamu pikir siapa nanti yang banting tulang bayar utangmu itu, hah? Pokoknya hari Minggu ini suruh Intan pulang. Anak kurang ajar itu harus dikasih pelajaran!” perintah Yanto. Rodiah hanya diam, tak bisa membantah satu pun kalimat dan perintah dari suaminya.Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya. “Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan. “Eh, gimana?” tanya Intan bingung. “Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu. “Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya. Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun. TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cuk
Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup. “Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok
Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan. “Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas
Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya.“Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok.“Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng.“Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu.“Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto.Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar t
Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya.“Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok.“Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng.“Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu.“Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto.Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar t
Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan. “Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas
Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup. “Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok
Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya. “Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan. “Eh, gimana?” tanya Intan bingung. “Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu. “Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya. Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun. TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cuk
PLAAAKK...! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi.