Home / Romansa / HATI YANG TERJUAL / BAB 2 (Lamaran)

Share

BAB 2 (Lamaran)

Author: Luna De'Mooi
last update Last Updated: 2025-01-22 13:42:51

Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya.

“Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan.

“Eh, gimana?” tanya Intan bingung.

“Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu.

“Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya.

Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun.

TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cukup menjulang, jika diperkirakan mungkin ia memiliki tinggi sekitar 184 cm. Karena Intan yang hanya memiliki tinggi badan 158 cm itu harus mendongakkan kepalanya saat melihat wajah pemuda yang tiba-tiba menjadi pusat perhatian itu.

Pemuda tinggi berwajah tampan, yang dihiasi hidung mancung dan berbibir tipis itu, melemparkan senyum hangatnya pada Intan, seolah mereka saling mengenal. Melihat hal tersebut, Mira mencubit pinggang Intan sambil tersenyum dan mengedipkan matanya pada sahabatnya itu.

“Apaan sih, Mir?” bisik Intan, melepaskan tangan Mira dari pinggangnya.

“Ehem... ehem...” Mira berdehem menanggapi sahabatnya yang tersipu.

Setelah keluar dari perpustakaan, kedua dara itu mengayunkan langkah menuju gedung Prodi PG-PAUD yang terletak sekitar 300 meter dari perpustakaan universitas.

“Ciyeee... disenyumin dong sama cem-cemannya. Ehem, ehem, ehem...” ujar Mira menggoda Intan.

“Apaan sih, Mir? Gak mood aku tuh,” seketika Intan mengerucutkan bibirnya yang memang tak tersenyum sejak tadi.

“Eh... Respon macam apa itu? Gak biasanya deh, biasanya langsung sumringah kalau ketemu Kak Rian, mah,” ujar Mira heran.

“Nanti deh, Mir. Selesai nemuin Pak Hanafi kita langsung ke kosku aja,” jawab Intan.

“Ada apa sih, Ntan? Kok kayaknya misterius banget?” tanya Mira semakin bingung.

“Nanti, Mir. Kamu selesaikan dulu saja urusanmu sama Pak Hanafi,” ujar Intan menegaskan.

Sesampainya di depan gedung Prodi PG-PAUD, Mira langsung menuju kantor milik Pak Hanafi yang juga menjabat sebagai sekretaris jurusan. Sementara Intan duduk di kursi yang berjejer di koridor untuk menunggu.

Baru saja Intan mendudukkan tubuhnya di atas kursi, dengan wajah ditekuk, Mira tiba-tiba muncul lagi di hadapannya.

“Loh, nggak jadi, Mir?” tanya Intan bingung.

“Huaaaa... Ngeselin deh! Padahal belum juga setengah jam yang lalu janjian ketemu di kantor, pas aku udah sampai kantor, malah nggak ada orangnya,” Mira kemudian duduk di samping Intan.

“Udah kamu coba hubungi, Pak Hanafi-nya?” Intan kembali bertanya.

Mira mengangguk. “Katanya lagi di luar kota. Tiga hari lalu juga janjian mau bimbingan, eh begitu ditemui, orangnya malah mendadak lagi di luar kota. Aku capek deh ngejar-ngejar dosen satu itu,” ujar Mira memelas.

“Ya ampun... Kasihannya di-PHP-in bapak-bapak, hihihi...” Intan tertawa kecil melihat reaksi temannya.

“Dih, jahatnya!” ujar Mira, memanyunkan bibir mungilnya.

“Hehehe, nggak deh. Bercanda kok. Yok lah kita ke kos,” Intan merangkul tangan Mira.

Kos Intan terletak sekitar dua kilometer dari kampus, sehingga tak butuh waktu lama untuk sampai, karena kedua gadis itu menaiki sepeda motor matic milik Mira untuk menuju ke sana.

Sesampainya di kos, Mira langsung merebahkan dirinya di atas kasur berukuran lajang atau single bed milik Intan.

“Kok tiap sampai kosmu aku ngantuk ya, Ntan?” ujar Mira sambil menguap.

Intan mendekat, kemudian duduk di samping karibnya yang tengah berbaring itu.

“Mir, aku dipaksa nikah sama Bapak,” ujar Intan tiba-tiba.

Mira langsung bangun dari posisinya dan menatap Intan dengan penuh keterkejutan. “Ehh... gimana-gimana? Maksudnya, dipaksa nikah? Seriusan, Ntan?”

Intan mengangguk pelan. “Bapak marah besar gara-gara duit tiga ratus ribu kemarin. Katanya aku udah nipu keluarga. Jadi dia... dia bilang aku harus menikah sama orang yang dia pilih.”

“Orang yang dia pilih? Siapa? Kamu tahu orangnya?” tanya Mira dengan nada penasaran bercampur emosi.

“Angga...” jawab Intan lirih sambil memandang lantai kamar kosnya.

Mira membelalakkan mata. “Kak Angga? Maksud kamu... yang suka ngejemput kamu waktu kerja part time dulu?”

“Iya,” balas Intan singkat.

“Ya ampun, Ntan. Kamu mau?” Mira semakin tak percaya.

“Mau gimana lagi, Mir? Aku nggak punya pilihan. Kalau aku nggak nurut, Bapak... Bapak bisa ngamuk lagi. Aku capek dipukul terus,” suara Intan bergetar, dan matanya mulai berkaca-kaca.

Mira terdiam. Ia tahu betul seperti apa ayah tiri Intan memperlakukannya selama ini. Ia pernah beberapa kali melihat lebam di lengan sahabatnya itu. Mira menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri agar bisa berpikir jernih.

“Tapi... Kak Angga tahu soal ini? Dia setuju?” tanya Mira hati-hati.

Intan mengangguk. “Kak Angga bilang dia mau nikah sama aku. Katanya... dia pengin nolong aku dari Bapak. Tapi aku nggak ngerti, Mir. Kenapa dia mau?”

“Hmm... mungkin Kak Angga punya alasan lain. Tapi, Ntan, kamu nggak bisa gitu aja menyerah. Kamu harus pastikan ini memang yang terbaik buat kamu,” ujar Mira dengan nada serius.

“Apa lagi yang bisa aku lakuin, Mir?” Intan menunduk, menyembunyikan air mata yang mulai mengalir di pipinya. “Aku nggak punya kuasa buat nolak. Bapak nggak bakal dengerin aku.”

Mira mendekat dan memeluk sahabatnya erat. “Aku di sini buat kamu, Ntan. Jangan pernah lupa itu. Kalau kamu butuh apa pun, bilang ke aku, ya?”

Intan mengangguk pelan dalam pelukan Mira.

---

Seminggu kemudian, kabar pernikahan Intan tersebar di lingkaran teman-temannya. Intan mencoba menjalani hari-hari terakhir sebelum hari pernikahan dengan tenang, tapi jauh di lubuk hatinya, ia merasa seperti burung yang terjebak dalam sangkar.

Di tengah keramaian persiapan acara, Angga beberapa kali mencoba mengobrol dengan Intan. Namun, setiap kali mereka bicara, Intan merasa ada sesuatu yang janggal dari cara Angga memandangnya—seperti ada rahasia yang ia sembunyikan.

Pada malam sebelum pernikahan, Intan memutuskan untuk bertanya langsung pada Angga. Mereka bertemu di halaman belakang rumah, jauh dari keramaian keluarga.

“Kak Angga, aku mau nanya,” Intan membuka pembicaraan dengan suara pelan.

Angga menoleh, wajahnya tampak serius. “Apa, Ntan?”

“Kenapa Kakak setuju nikah sama aku? Aku tahu Kakak nggak cinta sama aku,” ujar Intan langsung, tanpa basa-basi.

Angga terdiam. Butuh waktu beberapa detik sebelum ia akhirnya menjawab, “Karena aku ingin melindungi kamu, Ntan. Aku nggak bisa lihat kamu terus-terusan disiksa sama Bapakmu.”

“Tapi... apa itu cukup? Menikah itu nggak segampang itu, Kak,” ucap Intan, air matanya mulai menggenang lagi.

Angga menunduk, terlihat bimbang. “Aku tahu, Ntan. Tapi aku juga nggak mau kamu ngerasa sendirian. Kalau ada aku, paling nggak kamu punya seseorang yang bisa kamu andalkan.”

Intan mengangguk, meskipun hatinya masih penuh dengan keraguan.

Related chapters

  • HATI YANG TERJUAL   BAB 3 (Apakah Dia Jodohku?)

    Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup. “Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok

    Last Updated : 2025-01-22
  • HATI YANG TERJUAL   BAB 4 (Siapa Aku Untuknya?)

    Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan. “Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas

    Last Updated : 2025-01-22
  • HATI YANG TERJUAL   BAB 5 (Sahabat Sejati)

    Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya.“Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok.“Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng.“Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu.“Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto.Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar t

    Last Updated : 2025-02-19
  • HATI YANG TERJUAL   BAB 1 (Titah Ayah Tiri)

    PLAAAKK...! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi.

    Last Updated : 2025-01-22

Latest chapter

  • HATI YANG TERJUAL   BAB 5 (Sahabat Sejati)

    Sesuai janjinya pada Andri beberapa hari lalu, Intan memutuskan kembali ke kampung halamannya pada akhir pekan.“Assalamualaikum... ” Intan mengucapkan salam ketika ia sudah sampai di depan pintu rumahnya.“Loh, ngapain pulang lagi kamu? Minggu kemarin pas acara lamaran kan sudah pulang... Ngapain mudik lagi. Ngabis-ngabisin duit ongkos saja kamu, ” ujar Yanto yang duduk di ruang tamu, sambil menggulung tembakau, hendak merokok.“Apa sih, Pak? Anak ngasih salam bukannya dijawab, malah dioemelin, ” sang Ibu keluar dari dapur, dengan tangan yang masih memegang sendok goreng.“Waalaikumsalam, Nduuk... ” Rodiah, berjalan menyambut kedatangan putrinya, ke depan pintu.“Siapa, yang ngomel, Buk? Emang, anakmu ini ndak tahu diri, tahu kondisi ekonomi orang tua, lagi susah. Harusnya ngerti keadaan! Baru minggu kemarin pulang, sekarang malah pulang lagi. Harusnya, duit ongkos yang dia pake bisa ditabung, ” omel Yanto.Intan tak menjawab satu pun ucapan Ayah tirinya, ia langsung masuk ke kamar t

  • HATI YANG TERJUAL   BAB 4 (Siapa Aku Untuknya?)

    Ini adalah hari dimana intan mendapatkan transferan uang bulanan dari kampung. Tetapi kali ini nominalnya berkurang tiga ratus ribu. Benar saja, ternyata Yanto memotong jatah bulanan Intan. “Cukup ndak ya buat sebulan, mana lagi banyak pengeluaran. Tabungan juga diludesin si Eka,” keluh Intan sambil duduk di lantai menatap onggokan pakaian yang minta disetrika. “Kalian tiduran aja dulu di situ, proposalku lebih butuh perhatianku sekarang daripada kalian,” Intan berbicara pada jemuran yang baru saja diangkatnya. Baru saja Intanhendak mengerjakan revisi proposal. Terdengar suara ketukan dari luar pintu kamar kosnya. “Sebentar...” Intan beranjak untuk membukakan pintu. Intan terkejut melihat sosok pemuda yang sangat dikenalnya berdiri di depan pintu kamarnya. “Loh ndak sekolah kamu? Ngeluyur ke kota seragaman gini... Tak aduin Bapak kamu,” ancam Intan pada Andri adik laki-lakinya. Tanpa menjawab kakaknya terlebih dahulu, Andri masuk begitu saja kemudian duduk di atas

  • HATI YANG TERJUAL   BAB 3 (Apakah Dia Jodohku?)

    Sidang proposal penelitian skripsi, menjadi ujian berat bagi Intan. Di hadapannya, Pak Guntur, dosen penguji berdarah Medan, terus menekan dengan pertanyaan yang membuatnya semakin gugup. “Saudari Intan Mutiara, namamu cantik, tapi presentasimu jauh dari kata menarik,” sindir Pak Guntur. Intan menunduk, malu sekaligus takut. “Maaf, Pak. Saya akan memperbaikinya.” “Tolong, fokuskan penelitianmu hanya pada strategi A. Tidak perlu menjabarkan strategi B sampai Z. Paham?” suara tegasnya menggema di ruangan. “Paham, Pak,” jawab Intan pelan. Setelah sidang selesai, Intan keluar ruangan dengan wajah lesu. --- “Ihh ya Allah Gusti... Kok galak banget ya Pak Guntur, kalo jadi dosen penguji? Semoga nanti pas ujian aku dapatnya penguji yang baik-baik,” kata Mira berharap. “Amiin... semoga ya, Mir,” balas Intan meng-aminkan. “Lagian, kamu, kok nge-blank banget, Ntan? Padahal belajar semaleman kayaknya, buat ujian hari ini,” tanya Mira bingung. “Nggak bisa fokus Mir, ya Allah kok

  • HATI YANG TERJUAL   BAB 2 (Lamaran)

    Suasana hening perpustakaan membuat lamunan Intan semakin dalam. Ia terus menatap halaman yang sama dari buku yang terletak di atas meja di hadapannya. Sekitar sepuluh menit, ia terus memandangi halaman tersebut tanpa membacanya. “Udah selesai belum, Ntan? Temenin aku ke Prodi yuk!” bisik Mira, mengagetkan lamunan panjang Intan. “Eh, gimana?” tanya Intan bingung. “Dih, bengong aja nih. Temenin aku nemuin Pak Hanafi yuk! Aku mau revisi judul proposal skripsi nih,” rengek Mira pada sahabat karibnya itu. “Oooh, masih belum ACC ya? Ya udah, yuk.” Intan beranjak sambil mengepak beberapa buku dan mengembalikannya ke atas rak di belakang tempat duduknya. Kedua gadis cantik itu berjalan memasuki lift, diikuti beberapa orang yang juga hendak turun dari lantai lima, perpustakaan universitas tempat mereka menuntut ilmu. Setelah menekan angka 1, lift kemudian bergerak turun. TING... Saat angka di dalam lift menunjukkan angka 3, pintu lift terbuka. Tampak pemuda dengan tinggi badan cuk

  • HATI YANG TERJUAL   BAB 1 (Titah Ayah Tiri)

    PLAAAKK...! Sebuah tamparan mendarat di pipi mulus seorang gadis bernama Intan Mutiara. “Berhenti saja kamu kuliah...! Lebih baik kamu terima lamaran Angga, anak Pak Marno,” titah Yanto, pria enam puluh tahun dengan kumis tebal, kepada gadis yang duduk di depannya. “Tapi Pak, Intan sudah semester enam. Sebentar lagi juga selesai. Intan mau selesaikan studi dulu, Pak. Tolong, Pak...! Intan belum mau menikah,” suara gadis cantik berkulit putih itu bergetar. Matanya yang bulat menahan air mata yang mulai menyeruak ingin keluar. “Masih berani membantah, kamu...? Sudah berani menipu orang tua, masih mau kuliah katamu?” Yanto kembali mengangkat tangannya, hendak menampar gadis yang sudah mulai menangis itu. “CUKUP, PAK...!” seorang wanita paruh baya memekikkan suaranya. Ya, wanita itu adalah Rodiah, istri dari Yanto. Ia bergegas memeluk putrinya yang sudah menangis tersedu-sedu. “Bela terus anakmu...! Biar makin besar kepala dia,” ujar Yanto, masih dengan nada tinggi.

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status