âSial! Dia melarikan diri!ââTidak! Dia tak boleh pergi, sebelum mati!âJonathan tidak akan membiarkan Michael kabur kali ini.Dalam waktu singkat setelah pria itu menghilang dalam kepulan asap, Jonathan menggerakkan pasukannya untuk mengepung seluruh area. Tidak ada celah untuk melarikan diri. Michael terjebak di dalam perangkap yang telah disiapkan Jonathan dengan cermat.Jonathan berdiri di tengah-tengah halaman yang kini dipenuhi asap yang perlahan memudar. Mata tajamnya menyapu sekeliling, mencari sosok Michael."Sialan!" gumamnya pelan, lalu mengaktifkan alat komunikasi di telinganya. "Periksa semua sudut. Jangan biarkan dia keluar dari sini hidup-hidup."Dari berbagai sudut, anak buah Jonathan mulai bergerak, menyisir area yang dikelilingi oleh dinding tinggi dan gerbang besi yang kini telah dikunci. Tidak ada jalan keluar.Tapi Jonathan tidak tahu satu halâMichael sudah memperhitungkan ini.Dan dia sudah menyiapkan perangkapnya sendiri.*Di dalam sebuah bangunan kosong di ha
âPenggal kepala Jonathan! Aku akan menunjukkannya pada Daddy, bahwa aku berhasil membunuh salah satu anak dari musuhnya!â teriak Michael pada salah satu anak buahnya.Michael berdiri di atas tanah yang berlumuran darah, dadanya naik turun dengan cepat. Tangannya terkepal, menahan gejolak emosi yang hampir menghancurkan kewarasannya. Dia menatap jet yang semakin menjauh, membawa Sahira pergi dari jangkauannya."Sialan!" Michael menggeram, menendang pecahan kayu di dekat kakinya. Matanya merah, bukan hanya karena rasa sakit fisik tetapi juga amarah yang menyala-nyala di dalam dirinya.Sahira pasti akan membencinya. Dia bisa melihatnya dari sorot mata wanita itu di balik jendela pesawat. Ketakutan, kesedihan, dan âĶ kebencian.Tapi Sahira tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Dia tidak tahu bahwa Jonathan telah menghancurkan kehidupan mereka lebih dulu.Michael mengepalkan rahangnya. Bayi mereka ...Jonathan lah yang telah mengambilnya darinyaâdaripada membiarkan anak itu hidup, pria it
Sore hari. Michael berdiri tegap di depan pemakaman mewah yang bertuliskan 'James Nathaniel', nama yang begitu lekat dalam hidupnya. Tangannya terkepal, rahangnya mengeras, tapi di sudut matanya ada kilatan emosi yang tertahan. Angin bertiup pelan, membuat jas hitamnya sedikit berkibar. Dia menarik napas dalam, menenangkan diri sebelum akhirnya melangkah mendekati makam sang ayah. Di tangannya, sebuah kantong hitam besar berisi sesuatu yang berat. Sesuatu yang berlumuran darah. Darah segar. Michael berhenti tepat di depan makam. Matanya menatap tajam batu nisan yang kokoh, lalu perlahan dia merendahkan tubuhnya, menaruh kantong hitam itu di atas tanah yang masih basah. Dengan satu gerakan tegas, dia membuka kantong itu, menumpahkan isinya. Sebuah kepala manusia. Kepala Jonathan. Mata pria itu masih terbuka, tapi penuh ketakutan. Mulutnya sedikit terbuka seolah masih ingin menjerit, namun tidak ada suara yang keluar. Michael menatap kepala itu dengan ekspresi dingi
Beberpaa bulan kemudian ....Michael mengerjapkan mata, mengusir kantuk yang masih tersisa saat ia melangkah keluar dari kamar mandi. Setengah tahun telah berlalu sejak Sahira menghilang, dan selama itu pula ia terus mencari. Namun, semua orang yang ia suruh hanya bisa menggeleng, memberikan jawaban yang samaâtidak ada jejak, tidak ada kabar.Takdir seolah berkata bahwa Sahira benar-benar telah tiada.Michael menggeram frustrasi. Ia menarik dasinya dengan kasar, lalu meraih jas yang tergantung di sandaran kursi. Hari ini ia bangun lebih siang dari biasanya, sesuatu yang jarang terjadi. Kepalanya masih terasa berat, tapi ia tak bisa terus begini.Setelah berpakaian rapi, dia segera keluar di antar oleh David.âSelamat pagi, Bos. Hari ini cuaca sangat cerah.ââIya, aku tau.âSepanjang perjalanan, Michael hanya diam. Menikm4ti udara pagi yang terasa membosankan.Beberapa menit berlalu, akhirnya dia sampai di kantor. Michael segera turun dan berjalan masuk ke gedung. Saat berpapasan den
Michael bersandar di kursinya, memijat pelipis dengan jari-jarinya. Sejak tadi pikirannya terusik oleh percakapan dengan Monica, terutama soal Olivia. Gadis polos dan lugu? Dia tidak yakin apakah hal itu menarik atau justru membosankan.Namun, keinginannya untuk membuktikan seberapa polosnya sekretaris barunya membuatnya menguji gadis itu.âOlivia,â panggilnya, suaranya berat dan dalam.Gadis itu, yang baru saja masuk ke ruangan dengan membawa beberapa dokumen, tersentak dan segera menegakkan tubuh. âYa, Tuan?âMichael meliriknya dengan tatapan malas. âBuatkan aku kopi.âOlivia terlihat sedikit terkejut, tetapi kemudian mengangguk cepat. âB-baik, Tuan. Kopi hitam, kan?âMichael menyipitkan mata, meneliti Olivia dengan ekspresi yang sulit ditebak. Gadis ini baru sehari bekerja, tetapi sudah tahu kebiasaannya.âHm,â gumamnya, mengiyakan.Olivia segera melangkah ke pantry kecil di sudut ruangan, sementara Michael kembali menatap laptopnya. Jemarinya mengetuk-ngetuk meja, pikirannya masih
Keesokan harinya.Suasana kantor Michael dipenuhi kesibukan luar biasa. Para pegawai bergegas di sepanjang lorong, bersiap untuk rapat besar yang akan segera dimulai. Suara derap sepatu terdengar di lantai marmer, suara bisikan dan diskusi serius mengisi udara.Namun, di antara semua itu, satu orang masih belum terlihatâOlivia.Michael duduk di ruang rapat dengan ekspresi dingin. Jam tangannya menunjukkan pukul 08.59. Satu menit sebelum rapat dimulai, tetapi sekretaris barunya belum juga muncul dengan dokumen yang seharusnya sudah ada di meja.Lucas, yang duduk di sebelahnya, menatap Michael sekilas sebelum berbisik pelan, âSekretaris barumu tidak bisa diandalkan.âMichael tidak menjawab. Rahangnya mengatup erat, ekspresinya semakin dingin. Satu menit lagi, dan Olivia tidak juga muncul? Gadis itu akan menyesal.Tepat saat jarum jam bergerak ke angka sembilan, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari luar.Brak!Pintu ruang rapat terbuka dengan kasar, dan Olivia muncul dalam keadaan b
Setelah insiden di ruangannya tadi, Michael berusaha mengalihkan pikirannya. Ia tahu satu halâdia harus mengendalikan dirinya.Maka, di tengah kesibukannya, ia mengambil keputusan spontan."Olivia," panggilnya.Gadis itu menoleh, masih sibuk mengetik laporan di meja sampingnya. âYa, Tuan?â"Kita makan siang di luar."Mata Olivia membesar sedikit. "Eh? S-saya?"Michael menatapnya tajam, seolah berkata, apa aku harus mengatakannya dua kali?Olivia langsung menunduk. "Baik, Tuan."Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh sopir Michael. Olivia duduk di sampingnya dengan gelisah, tangannya bertaut di pangkuannya. Ini pertama kalinya dia diajak makan siang secara pribadi oleh bosnya.Saat tiba di restoran mewah, pelayan langsung menyambut mereka dan mengantarkan ke meja khusus yang lebih privat. Olivia melirik sekeliling, merasa canggung.Michael mengamati ekspresi sekretaris barunya itu dengan mata tajam. "Kau terlihat tegang."Olivia buru-buru meng
Pagi hari ....Michael melangkah masuk ke kantornya dengan langkah malas. Matanya sedikit merah karena kurang tidur. Semalaman dia terus memikirkan Alexa J.âsosok misterius yang tiba-tiba muncul dan mengancam posisinya di dunia bisnis.Begitu memasuki ruangannya, Olivia sudah menunggunya dengan senyum manis dan secangkir kopi hangat di tangannya. Gadis itu tampak segar seperti biasanya, mengenakan blus ketat yang menonjolkan bagian atas dari tubuhnya."Selamat pagi, Tuan. Ini kopi untuk Anda," ucapnya, suaranya lembut dan sedikit bernada menggoda.Michael hanya mengangguk singkat, menerima cangkir kopi dari tangannya dan langsung duduk di kursi kebesarannya. Dia menyesap kopi itu perlahan, membiarkan kehangatannya sedikit mengusir rasa kantuk yang masih menyelimuti pikirannya.Namun, kepalanya tetap terasa berat. Terlalu banyak pikiran.Sialan! Kenapa aku sampai begini hanya karena seorang wanita misterius?Michael menghela napas panjang, lalu menutup matanya, mencoba mengurangi ket
Langit malam memayungi kota dengan kelam yang pekat. Awan gelap menggantung, seolah turut merasakan badai yang sedang berkecamuk di dada Michael. Hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan aspal yang licin dan gelap. Namun tak satu pun dari semua itu mampu meredam amarah dan keputusasaan yang mendidih dalam diri pria itu. Dengan napas memburu, Michael memasuki mobil sport hitamnya. Tangannya gemetar saat memutar kunci, tapi begitu mesin meraung, ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil itu melesat di jalanan, memekikkan suara beringas yang seolah mencerminkan isi kepalanya yang penuh amarah. "Bodoh ... Bodoh ...!" desisnya pada dirinya sendiri. Matanya memerah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena sesak yang menghantam dadanya seperti palu godam. Ucapan Sahira terus terngiang di kepalanya. "Aku menolak lamaranmu ..." Kalimat itu terputar berulang kali, menusuk hatinya seperti belati tumpul. Telepon genggamnya bergetar, berdering tak henti-henti. Nama Lucas
Langit gelap tanpa bintang. Udara malam cukup dingin, namun suasana di sekitar apartemen eksklusif itu tetap tenang. Tidak banyak yang tahu kalau Alexa J, investor terkemuka, tinggal di sana.Semuanya serba rahasia. Termasuk keberadaan seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di halaman depan gedung itu âĶ hanya mengenakan jubah mandi hotel, dengan dada terbuka, dan rambut acak-acakan karena angin malam.Tangannya memegang seikat bunga mawar merah. Satu sisi jubahnya melorot, tapi dia tidak peduli.Michael Nathaniel.Dengan mata penuh tekad dan sedikit lingkar hitam karena kurang tidur, ia mendongak ke arah jendela lantai tiga dan mulai berteriak.âSahira!âHening. Hanya suara angin dan deru AC luar ruangan.Michael coba lagi. Kali ini lebih keras. âSAHIRA ALEXANDER! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!âBeberapa lampu tetangga menyala. Tirai bergeser. Seekor kucing melompat dari balkon ke balkon. Tapi tidak ada Sahira.Sampai akhirnya âĶJendela di lantai tiga terbuka perlahan. Sosok berambut
Keesokan hari.Lorong menuju ruang kerja CEO ALX Group sunyi, hanya diisi suara sepatu hak tinggi Sahira yang menghentak lantai marmer. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang tak pernah dia duga.Michael berdiri di depan pintu ruangannya. Bersama seorang pria dari divisi IT. Di tangan Michael, terlihat amplop cokelat yang baru saja diterima si stafâdengan jelas: uang suap.Sahira tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah cepat, mengambil dokumen dari map yang digenggamnya, lalu ... BRUK!Melemparkannya tepat ke wajah Michael.âApa-apaan ini?!â Suaranya menggema. Semua staf yang lewat menoleh, hening, menahan napas.Michael menatapnya kaget. âSahiraâââKau pikir aku ini apa? Masih pelacur di matamu?!â Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan luka.Michael mengangkat tangan. âItu bukanâdengarkan aku duluâââTidak ada yang perlu didengarkan!â bentak Sahira. âKau menyuap stafku untuk mengakses ruanganku. Kau melanggar privasi dan integritas
Michael tidak membuang waktu. Begitu Sahira memberikan batas sepuluh menit, dia langsung bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa pun, dia melangkah ke sisi meja tempat Sahira duduk, lalu berlutut satu lutut di lantai marmer mengilap restoran itu. Beberapa tamu langsung menoleh.âYang pertama,â bisiknya sambil menatap mata Sahira dari bawah, âaku akan menyingkirkan semua ego dan harga diriku. Aku bukan CEO malam ini. Aku cuma pria yang jatuh cinta. Dan tidak tahu bagaimana caranya berhenti.âSahira menyipitkan mata, pura-pura tidak terganggu, tetapi tangan yang memegang gelasnya sedikit gemetar.Uh ...Michael mengambil tangan Sahira perlahan, membaliknya, lalu mengecup punggung tangan itu sejenak.Cup!âYang kedua âĶ aku bersedia menanggung rasa malu, ejekan, bahkan ditertawakan publik, asal kau melihatku sekali lagi dengan mata yang sama seperti dulu.ââAku ... tidak bisa.ââKamu pasti bisa sayang.âTiba-tiba, suasana restoran menjadi hening. Seseorang entah dari mana mengambil pons
Baru saja Sahira mengembuskan napas lega, mencoba menenangkan degup jantungnya yang belum stabil setelah kejadian barusan, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja.Getarannya memantul di permukaan kayu, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di tengah kesunyian ruangan.Dengan enggan, Sahira meraih ponsel itu, berharap hanya pesan biasa dari tim marketing atau pengingat rapat sore ini. Tapi begitu layarnya menyala, matanya langsung menyipit, rahangnya mengeras.[Michael: Mau makan malam denganku?]Sahira mendengus kesal. âKurang ajar!â gumamnya sembari melempar ponsel itu kembali ke meja. Perangkat itu memantul ringan lalu mendarat di atas tumpukan kertas, nyaris jatuh ke lantai.Michael benar-benar mencari gara-gara. Seolah kejadian tadi belum cukup mengacaukan pikirannya, kini pria itu mencoba bermain manis dengan nada genit lewat pesan singkat?Dasar pria licik. Menyusup lewat pintu depan, dan sekarang mencoba masuk lewat sisi hati?Sahira berdiri, memijit pelipis dengan tangan kan
Beberapa hari setelah insiden malam kemarin, pagi ini kabar buruk menghantam meja rapat Michael tanpa ampun. Selembar surat elektronik berjudul, [Termination of Partnership Agreement] muncul di inbox-nya, lengkap dengan kop resmi ALX Group. Napasnya tercekat saat ia membaca baris demi barisnya: "With regret, ALX Group hereby terminates all existing contracts and agreements with Horison steel, effective immediately.âĶ" (Dengan penyesalan, ALX Group dengan ini mengakhiri semua kontrak dan perjanjian yang ada dengan Horison Steel, efektif segera.)Michael meneguk kopi hangat yang baru saja disajikan Olivia. Cangkir itu bergetar di tangannyaâseolah meniru getaran hebat dalam dadanya. Uhuk!Ia tersedak, menyemburkan beberapa tetes kopi ke meja. Olivia, yang kebetulan berdiri di sampingnya dengan nampan serbet, terkejut.âMaaf, Tuan .âĶâ bisiknya gugup, matanya menatap Michael yang kini wajahnya memerah oleh amarah dan rasa cemas.Michael menepuk mejaâsuara dentuman menggelegar. âTidak,â gu
Beberapa jam kemudian.Langit mulai menggelap. Gedung tempat konferensi dijaga ketat, dilingkari garis polisi, dan masih dipenuhi suara sirene serta petugas yang lalu lalang. Beberapa tamu VIP dievakuasi ke hotel-hotel aman, media masih menyebarkan berita soal ledakan misterius, dan publik mulai berspekulasiâapakah ini serangan teror, atau percobaan pembunuhan politik-bisnis.Michael duduk di ruang tunggu yang dibuat darurat di dalam mobil lapis baja. Luka di pelipisnya telah diperban, tapi luka di hatinya, rasa cemas, amarah, dan rasa frustrasiâjauh lebih dalam.Lucas kembali dengan ponsel di tangan, wajahnya tegang. âBos âĶ kita baru saja dapat kabar.âMichael menoleh cepat. âApa? Sahira?âLucas mengangguk. âIya. Dia âĶ dia sudah pergi. Setengah jam yang lalu. Pakai pesawat pribadinya.âMichael diam sejenak. Matanya menyipit, napasnya tertahan.âApa?ââDia pergi, Bos,â ulang Lucas. âTanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan.âMichael mendengus keras, matanya memerah oleh emosi. âBre
Michael menatap para hadirin, senyumnya tipis namun karismatik, cukup untuk membius siapa pun yang melihat. Suara sorak-sorai menyambutnya, pujian dari pengusaha lintas negara, bahkan beberapa investor dari luar negeri yang duduk di barisan depan tampak antusias dengan kehadirannya.âTerima kasih atas sambutannya,â ucap Michael, suaranya dalam dan tegas. âMerupakan kehormatan bagi saya bisa berdiri di sini âĶ bersama kalian semua, orang-orang yang berani mengambil risiko, orang-orang yang mengubah ketidakmungkinan menjadi peluang, dan orang-orang yang memegang masa depan industri di tangan mereka.âSuara tepuk tangan kembali terdengar, membahana dan membuat suasana pertemuan menjadi lebih hangat. Tapi tak satu pun dari semua itu menyentuh Sahira.Dia hanya diam di kursinya, wajahnya tenang tapi hatinya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulut Michael terasa seperti belati yang menyingkap luka lamaâluka yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Dan pria itu ... pria yang berdiri dengan
Angin malam menerpa wajah Michael yang pucat, membuat rambutnya sedikit berantakan. Ia berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke laut, satu tangan menyandarkan tubuhnya pada pagar besi, sementara tangan lainnya memegang gelas kristal berisi bourbon yang nyaris kosong. Di hadapannya, ombak bergulung pelan diterpa cahaya bulan, seolah ikut menyaksikan kegundahan hati seorang pria yang selama ini dikenal tak terkalahkan di dunia bisnis.Matanya kosong menatap lautan yang luas. Setiap tegukan alkohol membakar tenggorokannya, tapi rasa itu tak sebanding dengan perih di dadanya.Wajah Sahira atau Alexa terus terbayang dalam pikirannya. Tangisannya. Tatapan bencinya. Kata-kata penolakannya yang dingin saat dia mencoba menyentuhnya tadi sore.Michael menenggak sisa minumannya dan menaruh gelas itu di atas meja kecil di samping kursi rotan.Tak!Pintu balkon terbuka perlahan. Suara langkah kaki berat menggema dari belakangnya. David muncul, membawa selembar map dan ekspresi serius seperti