Olivia duduk dengan punggung lurus, jari-jarinya sibuk mengetik di laptop. Wajahnya biasa saja, tidak terlalu menarik, tapi tubuhnya … itulah yang membuat Michael sulit mengabaikannya. Dada besarnya tampak menonjol di balik kemeja putih yang sedikit ketat, membuat siapapun yang melihat pasti sadar akan proporsi tubuhnya.Michael bersandar di kursinya, mengamati dengan tatapan kosong. Dia tidak benar-benar tertarik pada Olivia, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang kosong—lubang yang sejak enam bulan lalu tak bisa diisi oleh siapapun.Sahira ...Wanita itu telah menghilang tanpa jejak. Seolah dunia menelannya bulat-bulat, meninggalkannya dengan sejuta tanda tanya yang membuatnya frustrasi.Dan saat ini, dalam keadaan pikirannya yang berantakan, dia butuh pelampiasan. Sesuatu yang bisa membuatnya merasa memegang kendali."Olivia."Gadis itu berhenti mengetik dan menoleh. “Ya, Tuan?”Michael menatapnya tajam. “Duduk di pangkuanku.”Olivia mengerjap, jelas terkejut. “Apa?”“Jangan buatku me
“Aku harus membuatnya bertekuk lutut,” gumamnya.Michael melangkah mendekat, senyumannya penuh percaya diri, seperti seseorang yang yakin bisa menaklukkan lawannya. Alexa tetap duduk dengan tenang, jemarinya menggenggam gelas wine, menyesapnya perlahan tanpa sedikit pun melihat ke arah pria yang kini berdiri di hadapannya.“Boleh aku duduk, Nona?” suara Michael terdengar santai, namun ada nada perintah di baliknya.Alexa akhirnya mengangkat pandangan, matanya tajam menelisik pria di depannya sebelum mengangkat bahu acuh. “Silakan. Tapi aku tidak menjamin Anda akan menyukai percakapan denganku.”Michael terkekeh kecil, lalu duduk di sampingnya, memastikan jarak mereka cukup dekat. “Saya selalu menikmati percakapan, terutama dengan wanita menarik sepertimu.”Alexa hanya mengangkat alis. “Oh? Dan aku menarik menurut Anda?”Michael menyeringai. “Lebih dari itu. Anda memikat. Sangat ... menggoda.”Alih-alih tersipu atau memberi respons genit seperti kebanyakan wanita, Alexa justru meletakk
Begitu dia tiba di podium, Michael membiarkan beberapa detik berlalu dalam keheningan. Dia ingin memastikan semua mata tertuju padanya.Kemudian, dia mulai berbicara."Terima kasih atas sambutan ini," ujarnya dengan suara tenang. "Malam ini, saya mendengar banyak sekali opini tentang bagaimana dunia bisnis telah berubah. Tentang bagaimana mereka yang lama bertahan harus mulai mengkhawatirkan posisi mereka."Beberapa orang terkekeh kecil. Michael menoleh sedikit ke arah Alexa sebelum melanjutkan."Namun, saya selalu percaya bahwa bisnis bukan sekadar tentang siapa yang bisa membaca perubahan, tetapi tentang siapa yang bisa bertahan dalam setiap badai."Nada suaranya sedikit menekan, penuh sindiran."Beberapa orang mungkin berpikir bahwa inovasi lebih penting daripada pengalaman. Tetapi saya yakin bahwa hanya mereka yang memiliki keseimbangan antara strategi, pengalaman, dan keberanian yang bisa tetap bertahan di puncak."Sorakan kecil terdengar dari beberapa pebisnis senior yang jelas
Pagi hari.Di dalam kantor yang megah dengan pemandangan kota yang masih diselimuti kabut tipis, Michael duduk di kursi kebesarannya. Olivia berdiri di sampingnya, memberikan laporan dengan suara lembut. Senyum menggoda di wajah wanita itu, sementara Michael menatapnya dengan mata tajam.Tanpa banyak bicara, Michael menarik Olivia ke arahnya. Dia tidak ingin berpikir tentang perusahaannya atau persaingan bisnis untuk beberapa saat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman panas, sementara Olivia mengikuti alurnya.Tangan Michael bergerak nakal meremas dengan gemas svsvnya yang tobrut dan menggoda.“Ahhh, Tuan ...”“Ssttt, nikmati saja.”Michael terus meremasnya, meskipun telapak tangannya tidak cukup untuk menggapai dua gunung tersebut.“Ughh ... remas terus ....”Olivia memejamkan mata, merasakan nikmat. Bibirnya terus meracau.Namun, momen itu seketika buyar. Tiba-tiba ...BRAK!Pintu kantor terbuka dengan kasar. Lucas masuk tanpa permisi, wajahnya tampak tegang. Olivia tersentak dan buru-
Olivia berdiri di depan mesin kopi, menunggu tetesan espresso jatuh ke dalam cangkir porselen. Tangannya yang ramping menggenggam gagang gelas dengan anggun, sementara aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan. Pagi ini Michael lebih dingin dari biasanya, tetapi itu tidak menghentikannya untuk tetap berada di sisinya. Olivia tahu Michael adalah pria yang sulit ditaklukkan, tapi bukan berarti dia tidak punya kesempatan.Dia tersenyum kecil, membayangkan bagaimana nanti dia akan membawakan kopi ini ke Michael, menghabiskan beberapa menit berdua dengannya, mungkin berbagi percakapan ringan yang bisa mempererat hubungan mereka.Namun, lamunannya buyar saat dia mendengar suara langkah kaki mendekat.Tap! Tap! Langkah yang berat dan santai, seakan pemiliknya tidak terburu-buru.Sebelum Olivia sempat menoleh, tiba-tiba ...PLAK!Sebuah tepukan mendarat di pantat bohai-nya, membuatnya langsung berjingkat dengan mata melebar. Jantungnya berdegup kencang, antara kaget dan marah. Dengan gerakan ce
Setelah Olivia keluar dari ruangannya, Michael menghela napas panjang. Dia meletakkan dokumen di tangannya, lalu bersandar di kursinya dengan mata sedikit terpejam. Pikirannya bukan pada pekerjaan, bukan pada Olivia, tetapi pada seseorang yang sudah lama membuatnya gelisah.Dia mengambil ponselnya dan menekan kontak seseorang. Hanya butuh beberapa detik sebelum panggilannya tersambung."David," suara Michael terdengar tenang tetapi tegas."Ya, Tuan?" suara di seberang menjawab dengan hormat."Apa kabar Sergio?"David terdiam sejenak sebelum menjawab, “Dia sudah pulih, Tuan. Lukanya hampir sembuh, dan dia sudah sadar sejak tadi malam. Saya mengawasinya seperti yang Anda perintahkan.”Michael mengangguk kecil, meskipun David tidak bisa melihatnya. “Bagus. Aku akan datang setelah pulang dari kantor. Aku ingin bicara dengannya.”"Baik, Tuan," jawab David patuh.Michael menghela napas, lalu berpikir sejenak, “Em, bisa kau berikan telepon ini padanya.”"Baik, Tuan. Tunggu sebentar."Terdeng
Dan akhirnya Olivia melemas di pelukan Lucas.Tangannya terangkat, mencengkeram bahu Lucas, membiarkan dirinya larut dalam ciuman yang memabukkan. Bibir mereka bergerak semakin intens, semakin dalam, hingga napas mereka saling menyatu.“Eumhh pak ...”Lucas meraih pinggangnya, mengangkatnya sedikit dan mendudukkannya di atas meja kerja. Olivia menghela napas saat dia merasakan tangan Lucas yang mulai menelusuri tubuhnya, membakar setiap inci kulit yang disentuhnya."Aku tidak seharusnya melakukan ini ... ahh!" Olivia berbisik di antara desahannya.Lucas tersenyum, matanya mengunci miliknya. "Tapi kau menginginkannya. Pasti kau sudah becek, kan, sayang?"Olivia tidak menyangkal. Rasanya memang nikmat saat Lucas memainkan kedua gunung kembar miliknya. Lucas menunduk, mencium lehernya, menghisap kulitnya dengan lembut hingga meninggalkan jejak kemerahan. Tangan Olivia masuk ke dalam rambutnya, menariknya lebih dekat, merasakan sensasi yang semakin menguasai pikirannya.Lucas kembali men
Pagi hari.Michael menatap layar laptopnya dengan ekspresi tajam. Angka-angka dalam laporan keuangan bulan ini menunjukkan sedikit penurunan, tetapi bukan sesuatu yang terlalu mengkhawatirkan. Namun, yang membuatnya frustrasi adalah beberapa keputusan penting dalam perusahaan tiba-tiba tertahan.Biasanya, dia bisa langsung menyetujui atau menolak suatu kebijakan tanpa hambatan. Namun, beberapa hari terakhir, semua harus melewati persetujuan "investor utama."Investor utama? Sejak kapan ada pemegang saham yang berani mengambil keputusan tanpa persetujuannya?Michael menutup laptop dengan kasar. Pikirannya berputar. Siapa bajingan yang berani mengacaukan sistemnya?Belum sempat dia berpikir lebih jauh, ponselnya bergetar. David menelepon. “Bos, rapat direksi dimulai dalam sepuluh menit lagi. Kau harus datang sekarang.”Michael mendengus, lalu bangkit dari kursinya. Dia butuh jawaban. Dan satu-satunya cara untuk mendapatkannya adalah dengan menghadiri rapat itu.***Michael masuk ke dal
Langit malam memayungi kota dengan kelam yang pekat. Awan gelap menggantung, seolah turut merasakan badai yang sedang berkecamuk di dada Michael. Hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan aspal yang licin dan gelap. Namun tak satu pun dari semua itu mampu meredam amarah dan keputusasaan yang mendidih dalam diri pria itu. Dengan napas memburu, Michael memasuki mobil sport hitamnya. Tangannya gemetar saat memutar kunci, tapi begitu mesin meraung, ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil itu melesat di jalanan, memekikkan suara beringas yang seolah mencerminkan isi kepalanya yang penuh amarah. "Bodoh ... Bodoh ...!" desisnya pada dirinya sendiri. Matanya memerah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena sesak yang menghantam dadanya seperti palu godam. Ucapan Sahira terus terngiang di kepalanya. "Aku menolak lamaranmu ..." Kalimat itu terputar berulang kali, menusuk hatinya seperti belati tumpul. Telepon genggamnya bergetar, berdering tak henti-henti. Nama Lucas
Langit gelap tanpa bintang. Udara malam cukup dingin, namun suasana di sekitar apartemen eksklusif itu tetap tenang. Tidak banyak yang tahu kalau Alexa J, investor terkemuka, tinggal di sana.Semuanya serba rahasia. Termasuk keberadaan seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di halaman depan gedung itu … hanya mengenakan jubah mandi hotel, dengan dada terbuka, dan rambut acak-acakan karena angin malam.Tangannya memegang seikat bunga mawar merah. Satu sisi jubahnya melorot, tapi dia tidak peduli.Michael Nathaniel.Dengan mata penuh tekad dan sedikit lingkar hitam karena kurang tidur, ia mendongak ke arah jendela lantai tiga dan mulai berteriak.“Sahira!”Hening. Hanya suara angin dan deru AC luar ruangan.Michael coba lagi. Kali ini lebih keras. “SAHIRA ALEXANDER! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!”Beberapa lampu tetangga menyala. Tirai bergeser. Seekor kucing melompat dari balkon ke balkon. Tapi tidak ada Sahira.Sampai akhirnya …Jendela di lantai tiga terbuka perlahan. Sosok berambut
Keesokan hari.Lorong menuju ruang kerja CEO ALX Group sunyi, hanya diisi suara sepatu hak tinggi Sahira yang menghentak lantai marmer. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang tak pernah dia duga.Michael berdiri di depan pintu ruangannya. Bersama seorang pria dari divisi IT. Di tangan Michael, terlihat amplop cokelat yang baru saja diterima si staf—dengan jelas: uang suap.Sahira tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah cepat, mengambil dokumen dari map yang digenggamnya, lalu ... BRUK!Melemparkannya tepat ke wajah Michael.“Apa-apaan ini?!” Suaranya menggema. Semua staf yang lewat menoleh, hening, menahan napas.Michael menatapnya kaget. “Sahira—”“Kau pikir aku ini apa? Masih pelacur di matamu?!” Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan luka.Michael mengangkat tangan. “Itu bukan—dengarkan aku dulu—”“Tidak ada yang perlu didengarkan!” bentak Sahira. “Kau menyuap stafku untuk mengakses ruanganku. Kau melanggar privasi dan integritas
Michael tidak membuang waktu. Begitu Sahira memberikan batas sepuluh menit, dia langsung bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa pun, dia melangkah ke sisi meja tempat Sahira duduk, lalu berlutut satu lutut di lantai marmer mengilap restoran itu. Beberapa tamu langsung menoleh.“Yang pertama,” bisiknya sambil menatap mata Sahira dari bawah, “aku akan menyingkirkan semua ego dan harga diriku. Aku bukan CEO malam ini. Aku cuma pria yang jatuh cinta. Dan tidak tahu bagaimana caranya berhenti.”Sahira menyipitkan mata, pura-pura tidak terganggu, tetapi tangan yang memegang gelasnya sedikit gemetar.Uh ...Michael mengambil tangan Sahira perlahan, membaliknya, lalu mengecup punggung tangan itu sejenak.Cup!“Yang kedua … aku bersedia menanggung rasa malu, ejekan, bahkan ditertawakan publik, asal kau melihatku sekali lagi dengan mata yang sama seperti dulu.”“Aku ... tidak bisa.”“Kamu pasti bisa sayang.”Tiba-tiba, suasana restoran menjadi hening. Seseorang entah dari mana mengambil pons
Baru saja Sahira mengembuskan napas lega, mencoba menenangkan degup jantungnya yang belum stabil setelah kejadian barusan, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja.Getarannya memantul di permukaan kayu, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di tengah kesunyian ruangan.Dengan enggan, Sahira meraih ponsel itu, berharap hanya pesan biasa dari tim marketing atau pengingat rapat sore ini. Tapi begitu layarnya menyala, matanya langsung menyipit, rahangnya mengeras.[Michael: Mau makan malam denganku?]Sahira mendengus kesal. “Kurang ajar!” gumamnya sembari melempar ponsel itu kembali ke meja. Perangkat itu memantul ringan lalu mendarat di atas tumpukan kertas, nyaris jatuh ke lantai.Michael benar-benar mencari gara-gara. Seolah kejadian tadi belum cukup mengacaukan pikirannya, kini pria itu mencoba bermain manis dengan nada genit lewat pesan singkat?Dasar pria licik. Menyusup lewat pintu depan, dan sekarang mencoba masuk lewat sisi hati?Sahira berdiri, memijit pelipis dengan tangan kan
Beberapa hari setelah insiden malam kemarin, pagi ini kabar buruk menghantam meja rapat Michael tanpa ampun. Selembar surat elektronik berjudul, [Termination of Partnership Agreement] muncul di inbox-nya, lengkap dengan kop resmi ALX Group. Napasnya tercekat saat ia membaca baris demi barisnya: "With regret, ALX Group hereby terminates all existing contracts and agreements with Horison steel, effective immediately.…" (Dengan penyesalan, ALX Group dengan ini mengakhiri semua kontrak dan perjanjian yang ada dengan Horison Steel, efektif segera.)Michael meneguk kopi hangat yang baru saja disajikan Olivia. Cangkir itu bergetar di tangannya—seolah meniru getaran hebat dalam dadanya. Uhuk!Ia tersedak, menyemburkan beberapa tetes kopi ke meja. Olivia, yang kebetulan berdiri di sampingnya dengan nampan serbet, terkejut.“Maaf, Tuan .…” bisiknya gugup, matanya menatap Michael yang kini wajahnya memerah oleh amarah dan rasa cemas.Michael menepuk meja—suara dentuman menggelegar. “Tidak,” gu
Beberapa jam kemudian.Langit mulai menggelap. Gedung tempat konferensi dijaga ketat, dilingkari garis polisi, dan masih dipenuhi suara sirene serta petugas yang lalu lalang. Beberapa tamu VIP dievakuasi ke hotel-hotel aman, media masih menyebarkan berita soal ledakan misterius, dan publik mulai berspekulasi—apakah ini serangan teror, atau percobaan pembunuhan politik-bisnis.Michael duduk di ruang tunggu yang dibuat darurat di dalam mobil lapis baja. Luka di pelipisnya telah diperban, tapi luka di hatinya, rasa cemas, amarah, dan rasa frustrasi—jauh lebih dalam.Lucas kembali dengan ponsel di tangan, wajahnya tegang. “Bos … kita baru saja dapat kabar.”Michael menoleh cepat. “Apa? Sahira?”Lucas mengangguk. “Iya. Dia … dia sudah pergi. Setengah jam yang lalu. Pakai pesawat pribadinya.”Michael diam sejenak. Matanya menyipit, napasnya tertahan.“Apa?”“Dia pergi, Bos,” ulang Lucas. “Tanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan.”Michael mendengus keras, matanya memerah oleh emosi. “Bre
Michael menatap para hadirin, senyumnya tipis namun karismatik, cukup untuk membius siapa pun yang melihat. Suara sorak-sorai menyambutnya, pujian dari pengusaha lintas negara, bahkan beberapa investor dari luar negeri yang duduk di barisan depan tampak antusias dengan kehadirannya.“Terima kasih atas sambutannya,” ucap Michael, suaranya dalam dan tegas. “Merupakan kehormatan bagi saya bisa berdiri di sini … bersama kalian semua, orang-orang yang berani mengambil risiko, orang-orang yang mengubah ketidakmungkinan menjadi peluang, dan orang-orang yang memegang masa depan industri di tangan mereka.”Suara tepuk tangan kembali terdengar, membahana dan membuat suasana pertemuan menjadi lebih hangat. Tapi tak satu pun dari semua itu menyentuh Sahira.Dia hanya diam di kursinya, wajahnya tenang tapi hatinya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulut Michael terasa seperti belati yang menyingkap luka lama—luka yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Dan pria itu ... pria yang berdiri dengan
Angin malam menerpa wajah Michael yang pucat, membuat rambutnya sedikit berantakan. Ia berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke laut, satu tangan menyandarkan tubuhnya pada pagar besi, sementara tangan lainnya memegang gelas kristal berisi bourbon yang nyaris kosong. Di hadapannya, ombak bergulung pelan diterpa cahaya bulan, seolah ikut menyaksikan kegundahan hati seorang pria yang selama ini dikenal tak terkalahkan di dunia bisnis.Matanya kosong menatap lautan yang luas. Setiap tegukan alkohol membakar tenggorokannya, tapi rasa itu tak sebanding dengan perih di dadanya.Wajah Sahira atau Alexa terus terbayang dalam pikirannya. Tangisannya. Tatapan bencinya. Kata-kata penolakannya yang dingin saat dia mencoba menyentuhnya tadi sore.Michael menenggak sisa minumannya dan menaruh gelas itu di atas meja kecil di samping kursi rotan.Tak!Pintu balkon terbuka perlahan. Suara langkah kaki berat menggema dari belakangnya. David muncul, membawa selembar map dan ekspresi serius seperti