Keesokan harinya.Suasana kantor Michael dipenuhi kesibukan luar biasa. Para pegawai bergegas di sepanjang lorong, bersiap untuk rapat besar yang akan segera dimulai. Suara derap sepatu terdengar di lantai marmer, suara bisikan dan diskusi serius mengisi udara.Namun, di antara semua itu, satu orang masih belum terlihat—Olivia.Michael duduk di ruang rapat dengan ekspresi dingin. Jam tangannya menunjukkan pukul 08.59. Satu menit sebelum rapat dimulai, tetapi sekretaris barunya belum juga muncul dengan dokumen yang seharusnya sudah ada di meja.Lucas, yang duduk di sebelahnya, menatap Michael sekilas sebelum berbisik pelan, “Sekretaris barumu tidak bisa diandalkan.”Michael tidak menjawab. Rahangnya mengatup erat, ekspresinya semakin dingin. Satu menit lagi, dan Olivia tidak juga muncul? Gadis itu akan menyesal.Tepat saat jarum jam bergerak ke angka sembilan, suara langkah tergesa-gesa terdengar dari luar.Brak!Pintu ruang rapat terbuka dengan kasar, dan Olivia muncul dalam keadaan b
Setelah insiden di ruangannya tadi, Michael berusaha mengalihkan pikirannya. Ia tahu satu hal—dia harus mengendalikan dirinya.Maka, di tengah kesibukannya, ia mengambil keputusan spontan."Olivia," panggilnya.Gadis itu menoleh, masih sibuk mengetik laporan di meja sampingnya. “Ya, Tuan?”"Kita makan siang di luar."Mata Olivia membesar sedikit. "Eh? S-saya?"Michael menatapnya tajam, seolah berkata, apa aku harus mengatakannya dua kali?Olivia langsung menunduk. "Baik, Tuan."Beberapa menit kemudian, mereka sudah berada di dalam mobil yang dikemudikan oleh sopir Michael. Olivia duduk di sampingnya dengan gelisah, tangannya bertaut di pangkuannya. Ini pertama kalinya dia diajak makan siang secara pribadi oleh bosnya.Saat tiba di restoran mewah, pelayan langsung menyambut mereka dan mengantarkan ke meja khusus yang lebih privat. Olivia melirik sekeliling, merasa canggung.Michael mengamati ekspresi sekretaris barunya itu dengan mata tajam. "Kau terlihat tegang."Olivia buru-buru meng
Pagi hari ....Michael melangkah masuk ke kantornya dengan langkah malas. Matanya sedikit merah karena kurang tidur. Semalaman dia terus memikirkan Alexa J.—sosok misterius yang tiba-tiba muncul dan mengancam posisinya di dunia bisnis.Begitu memasuki ruangannya, Olivia sudah menunggunya dengan senyum manis dan secangkir kopi hangat di tangannya. Gadis itu tampak segar seperti biasanya, mengenakan blus ketat yang menonjolkan bagian atas dari tubuhnya."Selamat pagi, Tuan. Ini kopi untuk Anda," ucapnya, suaranya lembut dan sedikit bernada menggoda.Michael hanya mengangguk singkat, menerima cangkir kopi dari tangannya dan langsung duduk di kursi kebesarannya. Dia menyesap kopi itu perlahan, membiarkan kehangatannya sedikit mengusir rasa kantuk yang masih menyelimuti pikirannya.Namun, kepalanya tetap terasa berat. Terlalu banyak pikiran.Sialan! Kenapa aku sampai begini hanya karena seorang wanita misterius?Michael menghela napas panjang, lalu menutup matanya, mencoba mengurangi ket
Olivia duduk dengan punggung lurus, jari-jarinya sibuk mengetik di laptop. Wajahnya biasa saja, tidak terlalu menarik, tapi tubuhnya … itulah yang membuat Michael sulit mengabaikannya. Dada besarnya tampak menonjol di balik kemeja putih yang sedikit ketat, membuat siapapun yang melihat pasti sadar akan proporsi tubuhnya.Michael bersandar di kursinya, mengamati dengan tatapan kosong. Dia tidak benar-benar tertarik pada Olivia, tapi ada sesuatu dalam dirinya yang kosong—lubang yang sejak enam bulan lalu tak bisa diisi oleh siapapun.Sahira ...Wanita itu telah menghilang tanpa jejak. Seolah dunia menelannya bulat-bulat, meninggalkannya dengan sejuta tanda tanya yang membuatnya frustrasi.Dan saat ini, dalam keadaan pikirannya yang berantakan, dia butuh pelampiasan. Sesuatu yang bisa membuatnya merasa memegang kendali."Olivia."Gadis itu berhenti mengetik dan menoleh. “Ya, Tuan?”Michael menatapnya tajam. “Duduk di pangkuanku.”Olivia mengerjap, jelas terkejut. “Apa?”“Jangan buatku me
“Aku harus membuatnya bertekuk lutut,” gumamnya.Michael melangkah mendekat, senyumannya penuh percaya diri, seperti seseorang yang yakin bisa menaklukkan lawannya. Alexa tetap duduk dengan tenang, jemarinya menggenggam gelas wine, menyesapnya perlahan tanpa sedikit pun melihat ke arah pria yang kini berdiri di hadapannya.“Boleh aku duduk, Nona?” suara Michael terdengar santai, namun ada nada perintah di baliknya.Alexa akhirnya mengangkat pandangan, matanya tajam menelisik pria di depannya sebelum mengangkat bahu acuh. “Silakan. Tapi aku tidak menjamin Anda akan menyukai percakapan denganku.”Michael terkekeh kecil, lalu duduk di sampingnya, memastikan jarak mereka cukup dekat. “Saya selalu menikmati percakapan, terutama dengan wanita menarik sepertimu.”Alexa hanya mengangkat alis. “Oh? Dan aku menarik menurut Anda?”Michael menyeringai. “Lebih dari itu. Anda memikat. Sangat ... menggoda.”Alih-alih tersipu atau memberi respons genit seperti kebanyakan wanita, Alexa justru meletakk
Begitu dia tiba di podium, Michael membiarkan beberapa detik berlalu dalam keheningan. Dia ingin memastikan semua mata tertuju padanya.Kemudian, dia mulai berbicara."Terima kasih atas sambutan ini," ujarnya dengan suara tenang. "Malam ini, saya mendengar banyak sekali opini tentang bagaimana dunia bisnis telah berubah. Tentang bagaimana mereka yang lama bertahan harus mulai mengkhawatirkan posisi mereka."Beberapa orang terkekeh kecil. Michael menoleh sedikit ke arah Alexa sebelum melanjutkan."Namun, saya selalu percaya bahwa bisnis bukan sekadar tentang siapa yang bisa membaca perubahan, tetapi tentang siapa yang bisa bertahan dalam setiap badai."Nada suaranya sedikit menekan, penuh sindiran."Beberapa orang mungkin berpikir bahwa inovasi lebih penting daripada pengalaman. Tetapi saya yakin bahwa hanya mereka yang memiliki keseimbangan antara strategi, pengalaman, dan keberanian yang bisa tetap bertahan di puncak."Sorakan kecil terdengar dari beberapa pebisnis senior yang jelas
Pagi hari.Di dalam kantor yang megah dengan pemandangan kota yang masih diselimuti kabut tipis, Michael duduk di kursi kebesarannya. Olivia berdiri di sampingnya, memberikan laporan dengan suara lembut. Senyum menggoda di wajah wanita itu, sementara Michael menatapnya dengan mata tajam.Tanpa banyak bicara, Michael menarik Olivia ke arahnya. Dia tidak ingin berpikir tentang perusahaannya atau persaingan bisnis untuk beberapa saat. Bibir mereka bertemu dalam ciuman panas, sementara Olivia mengikuti alurnya.Tangan Michael bergerak nakal meremas dengan gemas svsvnya yang tobrut dan menggoda.“Ahhh, Tuan ...”“Ssttt, nikmati saja.”Michael terus meremasnya, meskipun telapak tangannya tidak cukup untuk menggapai dua gunung tersebut.“Ughh ... remas terus ....”Olivia memejamkan mata, merasakan nikmat. Bibirnya terus meracau.Namun, momen itu seketika buyar. Tiba-tiba ...BRAK!Pintu kantor terbuka dengan kasar. Lucas masuk tanpa permisi, wajahnya tampak tegang. Olivia tersentak dan buru-
Olivia berdiri di depan mesin kopi, menunggu tetesan espresso jatuh ke dalam cangkir porselen. Tangannya yang ramping menggenggam gagang gelas dengan anggun, sementara aroma kopi yang kuat memenuhi ruangan. Pagi ini Michael lebih dingin dari biasanya, tetapi itu tidak menghentikannya untuk tetap berada di sisinya. Olivia tahu Michael adalah pria yang sulit ditaklukkan, tapi bukan berarti dia tidak punya kesempatan.Dia tersenyum kecil, membayangkan bagaimana nanti dia akan membawakan kopi ini ke Michael, menghabiskan beberapa menit berdua dengannya, mungkin berbagi percakapan ringan yang bisa mempererat hubungan mereka.Namun, lamunannya buyar saat dia mendengar suara langkah kaki mendekat.Tap! Tap! Langkah yang berat dan santai, seakan pemiliknya tidak terburu-buru.Sebelum Olivia sempat menoleh, tiba-tiba ...PLAK!Sebuah tepukan mendarat di pantat bohai-nya, membuatnya langsung berjingkat dengan mata melebar. Jantungnya berdegup kencang, antara kaget dan marah. Dengan gerakan ce
Langit malam memayungi kota dengan kelam yang pekat. Awan gelap menggantung, seolah turut merasakan badai yang sedang berkecamuk di dada Michael. Hujan turun rintik-rintik, membasahi jalanan aspal yang licin dan gelap. Namun tak satu pun dari semua itu mampu meredam amarah dan keputusasaan yang mendidih dalam diri pria itu. Dengan napas memburu, Michael memasuki mobil sport hitamnya. Tangannya gemetar saat memutar kunci, tapi begitu mesin meraung, ia langsung menginjak pedal gas sekuat tenaga. Mobil itu melesat di jalanan, memekikkan suara beringas yang seolah mencerminkan isi kepalanya yang penuh amarah. "Bodoh ... Bodoh ...!" desisnya pada dirinya sendiri. Matanya memerah, bukan hanya karena kelelahan, tapi karena sesak yang menghantam dadanya seperti palu godam. Ucapan Sahira terus terngiang di kepalanya. "Aku menolak lamaranmu ..." Kalimat itu terputar berulang kali, menusuk hatinya seperti belati tumpul. Telepon genggamnya bergetar, berdering tak henti-henti. Nama Lucas
Langit gelap tanpa bintang. Udara malam cukup dingin, namun suasana di sekitar apartemen eksklusif itu tetap tenang. Tidak banyak yang tahu kalau Alexa J, investor terkemuka, tinggal di sana.Semuanya serba rahasia. Termasuk keberadaan seorang pria tak dikenal yang kini berdiri di halaman depan gedung itu … hanya mengenakan jubah mandi hotel, dengan dada terbuka, dan rambut acak-acakan karena angin malam.Tangannya memegang seikat bunga mawar merah. Satu sisi jubahnya melorot, tapi dia tidak peduli.Michael Nathaniel.Dengan mata penuh tekad dan sedikit lingkar hitam karena kurang tidur, ia mendongak ke arah jendela lantai tiga dan mulai berteriak.“Sahira!”Hening. Hanya suara angin dan deru AC luar ruangan.Michael coba lagi. Kali ini lebih keras. “SAHIRA ALEXANDER! AKU TAHU KAU ADA DI DALAM!”Beberapa lampu tetangga menyala. Tirai bergeser. Seekor kucing melompat dari balkon ke balkon. Tapi tidak ada Sahira.Sampai akhirnya …Jendela di lantai tiga terbuka perlahan. Sosok berambut
Keesokan hari.Lorong menuju ruang kerja CEO ALX Group sunyi, hanya diisi suara sepatu hak tinggi Sahira yang menghentak lantai marmer. Wajahnya dingin. Pandangannya tajam. Tapi langkahnya terhenti begitu melihat sesuatu yang tak pernah dia duga.Michael berdiri di depan pintu ruangannya. Bersama seorang pria dari divisi IT. Di tangan Michael, terlihat amplop cokelat yang baru saja diterima si staf—dengan jelas: uang suap.Sahira tak berkata apa-apa. Ia hanya melangkah cepat, mengambil dokumen dari map yang digenggamnya, lalu ... BRUK!Melemparkannya tepat ke wajah Michael.“Apa-apaan ini?!” Suaranya menggema. Semua staf yang lewat menoleh, hening, menahan napas.Michael menatapnya kaget. “Sahira—”“Kau pikir aku ini apa? Masih pelacur di matamu?!” Suaranya bergetar, penuh kemarahan dan luka.Michael mengangkat tangan. “Itu bukan—dengarkan aku dulu—”“Tidak ada yang perlu didengarkan!” bentak Sahira. “Kau menyuap stafku untuk mengakses ruanganku. Kau melanggar privasi dan integritas
Michael tidak membuang waktu. Begitu Sahira memberikan batas sepuluh menit, dia langsung bangkit dari kursinya. Tanpa berkata apa pun, dia melangkah ke sisi meja tempat Sahira duduk, lalu berlutut satu lutut di lantai marmer mengilap restoran itu. Beberapa tamu langsung menoleh.“Yang pertama,” bisiknya sambil menatap mata Sahira dari bawah, “aku akan menyingkirkan semua ego dan harga diriku. Aku bukan CEO malam ini. Aku cuma pria yang jatuh cinta. Dan tidak tahu bagaimana caranya berhenti.”Sahira menyipitkan mata, pura-pura tidak terganggu, tetapi tangan yang memegang gelasnya sedikit gemetar.Uh ...Michael mengambil tangan Sahira perlahan, membaliknya, lalu mengecup punggung tangan itu sejenak.Cup!“Yang kedua … aku bersedia menanggung rasa malu, ejekan, bahkan ditertawakan publik, asal kau melihatku sekali lagi dengan mata yang sama seperti dulu.”“Aku ... tidak bisa.”“Kamu pasti bisa sayang.”Tiba-tiba, suasana restoran menjadi hening. Seseorang entah dari mana mengambil pons
Baru saja Sahira mengembuskan napas lega, mencoba menenangkan degup jantungnya yang belum stabil setelah kejadian barusan, ponselnya tiba-tiba bergetar di atas meja.Getarannya memantul di permukaan kayu, menimbulkan bunyi yang cukup nyaring di tengah kesunyian ruangan.Dengan enggan, Sahira meraih ponsel itu, berharap hanya pesan biasa dari tim marketing atau pengingat rapat sore ini. Tapi begitu layarnya menyala, matanya langsung menyipit, rahangnya mengeras.[Michael: Mau makan malam denganku?]Sahira mendengus kesal. “Kurang ajar!” gumamnya sembari melempar ponsel itu kembali ke meja. Perangkat itu memantul ringan lalu mendarat di atas tumpukan kertas, nyaris jatuh ke lantai.Michael benar-benar mencari gara-gara. Seolah kejadian tadi belum cukup mengacaukan pikirannya, kini pria itu mencoba bermain manis dengan nada genit lewat pesan singkat?Dasar pria licik. Menyusup lewat pintu depan, dan sekarang mencoba masuk lewat sisi hati?Sahira berdiri, memijit pelipis dengan tangan kan
Beberapa hari setelah insiden malam kemarin, pagi ini kabar buruk menghantam meja rapat Michael tanpa ampun. Selembar surat elektronik berjudul, [Termination of Partnership Agreement] muncul di inbox-nya, lengkap dengan kop resmi ALX Group. Napasnya tercekat saat ia membaca baris demi barisnya: "With regret, ALX Group hereby terminates all existing contracts and agreements with Horison steel, effective immediately.…" (Dengan penyesalan, ALX Group dengan ini mengakhiri semua kontrak dan perjanjian yang ada dengan Horison Steel, efektif segera.)Michael meneguk kopi hangat yang baru saja disajikan Olivia. Cangkir itu bergetar di tangannya—seolah meniru getaran hebat dalam dadanya. Uhuk!Ia tersedak, menyemburkan beberapa tetes kopi ke meja. Olivia, yang kebetulan berdiri di sampingnya dengan nampan serbet, terkejut.“Maaf, Tuan .…” bisiknya gugup, matanya menatap Michael yang kini wajahnya memerah oleh amarah dan rasa cemas.Michael menepuk meja—suara dentuman menggelegar. “Tidak,” gu
Beberapa jam kemudian.Langit mulai menggelap. Gedung tempat konferensi dijaga ketat, dilingkari garis polisi, dan masih dipenuhi suara sirene serta petugas yang lalu lalang. Beberapa tamu VIP dievakuasi ke hotel-hotel aman, media masih menyebarkan berita soal ledakan misterius, dan publik mulai berspekulasi—apakah ini serangan teror, atau percobaan pembunuhan politik-bisnis.Michael duduk di ruang tunggu yang dibuat darurat di dalam mobil lapis baja. Luka di pelipisnya telah diperban, tapi luka di hatinya, rasa cemas, amarah, dan rasa frustrasi—jauh lebih dalam.Lucas kembali dengan ponsel di tangan, wajahnya tegang. “Bos … kita baru saja dapat kabar.”Michael menoleh cepat. “Apa? Sahira?”Lucas mengangguk. “Iya. Dia … dia sudah pergi. Setengah jam yang lalu. Pakai pesawat pribadinya.”Michael diam sejenak. Matanya menyipit, napasnya tertahan.“Apa?”“Dia pergi, Bos,” ulang Lucas. “Tanpa pesan. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan.”Michael mendengus keras, matanya memerah oleh emosi. “Bre
Michael menatap para hadirin, senyumnya tipis namun karismatik, cukup untuk membius siapa pun yang melihat. Suara sorak-sorai menyambutnya, pujian dari pengusaha lintas negara, bahkan beberapa investor dari luar negeri yang duduk di barisan depan tampak antusias dengan kehadirannya.“Terima kasih atas sambutannya,” ucap Michael, suaranya dalam dan tegas. “Merupakan kehormatan bagi saya bisa berdiri di sini … bersama kalian semua, orang-orang yang berani mengambil risiko, orang-orang yang mengubah ketidakmungkinan menjadi peluang, dan orang-orang yang memegang masa depan industri di tangan mereka.”Suara tepuk tangan kembali terdengar, membahana dan membuat suasana pertemuan menjadi lebih hangat. Tapi tak satu pun dari semua itu menyentuh Sahira.Dia hanya diam di kursinya, wajahnya tenang tapi hatinya bergetar. Setiap kata yang keluar dari mulut Michael terasa seperti belati yang menyingkap luka lama—luka yang bahkan belum sepenuhnya sembuh. Dan pria itu ... pria yang berdiri dengan
Angin malam menerpa wajah Michael yang pucat, membuat rambutnya sedikit berantakan. Ia berdiri di balkon kamarnya yang menghadap ke laut, satu tangan menyandarkan tubuhnya pada pagar besi, sementara tangan lainnya memegang gelas kristal berisi bourbon yang nyaris kosong. Di hadapannya, ombak bergulung pelan diterpa cahaya bulan, seolah ikut menyaksikan kegundahan hati seorang pria yang selama ini dikenal tak terkalahkan di dunia bisnis.Matanya kosong menatap lautan yang luas. Setiap tegukan alkohol membakar tenggorokannya, tapi rasa itu tak sebanding dengan perih di dadanya.Wajah Sahira atau Alexa terus terbayang dalam pikirannya. Tangisannya. Tatapan bencinya. Kata-kata penolakannya yang dingin saat dia mencoba menyentuhnya tadi sore.Michael menenggak sisa minumannya dan menaruh gelas itu di atas meja kecil di samping kursi rotan.Tak!Pintu balkon terbuka perlahan. Suara langkah kaki berat menggema dari belakangnya. David muncul, membawa selembar map dan ekspresi serius seperti