"Raja Rihan Suryanta adalah raja pertama dan terakhir Shan. Ia penduduk pertama negeri itu bersama ibu kalian, Anala Suryanta." Khidir bertutur pada keesokan hari.
Tirta duduk di antara kami, menyimak obrolan mereka. Ia sama sepertiku, tidak tahu apa yang terjadi selain ingin menolong teman yang bermasalah.
Nemesis dibaringkan di sebuah kamar tertutup dari sinar matahari dan entah kenapa tidak ada yang bersedia menjaganya. Aku pun berniat menjenguk, tapi diusir oleh hampir semua orang.
Kami duduk berkumpul di ruang tengah, hanya Count Wynter yang bersedia ikut. Aku heran kenapa yang lain lebih memilih berbohong demi menghindar. Namun, kuhargai keputusan mereka meski banyak pertanyaan melayang. Keluarga ini sungguh aneh bagiku.
Kulirik Count yang duduk di sisi kiri Idris. Keduanya tampak bagai purnama dan langit malam. Satu berambut putih, mata merah dan tampak menyimak dengan serius ucapan Tirta. Satunya berambut hitam dengan mata yang sama, terliha
Aku bangun terlalu dini. Langit malam masih menyelimuti tanah Ezilis Utara. Kuputuskan untuk berjalan keliling rumah. Berusaha untuk tidak membangunkan siapa pun.Rencananya, aku mau menjenguk. Tapi, aku harus makan dulu.Di tengah ruang makan, aku menemukan beberapa untuk mengisi perut. Sayangnya, tidak ada manisan.Kalungku memancarkan cahaya biru."Remi?"Itu ..."Papa!"Aku mendekat sambil memeluknya. Tubuhnya kini terasa hangat."Sudah makan?" tanyanya sambil mengelus rambutku.Aku mengiakan. "Kalau Papa?""Sudah."Meski mengaku sudah, aku masih saja merasa lapar. Kuraih beberapa makanan yang ditata di meja. Ada semangkuk buah pencuci mulut yang bisa kunikmati.Arsene duduk di depan, hanya mengamati makanan tanpa menyentuh.Tanpa sadar, kugumamkan lagu yang biasa kunyanyikan sejak kecil. Dengan itu, hatiku semakin senang.Kutatap sekeliling."Eh?!" Aku dikejutkan akan
Aku berhasil berpegangan tangan dengan Gill. Seisi rumah bergetar bagai debu beterbangan. Aku menutup mata selagi ditarik ke atas."Nah, 'kan." Kudengar suara si kembar kompak menyahut. Aneh, mereka bicara dengan tenang meski rumah sendiri sedang porak poranda.Gill menarik kami bertiga keluar, aku menarik napas lega selagi menginjakkan kaki kembali ke bidang datar. Baru saja selamat, sudah disambut pemandangan baru.Seluruh ruangan di rumah seakan tengah bermain. Ada yang maju mundur, ada pula yang menabrakkan diri ke dinding bagai susunan mainan."Awas!"BRAK!Arsene mendorong kami sebelum sebuah kayu menimpa."Apa-apaan?"Aku terkejut mendengar suara Nemesis yang tiba-tiba muncul entah dari mana.PRANG!Beberapa piring beterbangan mengisi ruangan, pecahannya tersebar ke segala arah. Bersamaan dengan "tarian ruangan" tadi.Gill menunjuk ke samping. Terdapat ruangan yang diam sedari tadi. Namun
Gelap sekali.Sekujur tubuh terasa sakit. Beruntung tidak ada luka serius. Perlahan kukerjapkan mata. Ya, tetap saja gelap. Membuat napasku sedikit sesak, teringat bagaimana kegelapan telah menghantuiku sejak kecil ... Seingatku. Apa benar aku takut kegelapan?Sekeliling hanya hitam. Kecuali ...Kalungku bercahaya. Redup sehingga melihat bulu mata saja sulit.Tapi, aku tidak sendiri.Kurasakan sebuah tangan melingkari tubuhku. Tunggu, siapa yang memeluk?Aku melirik ke samping. Siapa itu?"Pangeran ... " Ia berucap lirih.Ah, Gill.Ia menggerang pelan. Tanpa perlu melihat, aku sudah tahu betapa gawat kondisinya. Kucoba untuk tetap tenang meski kegelapan penguasai penglihatan.Aku berdiri lalu berjalan beberapa langkah, mencari sesuatu yang bisa dilihat."Ini di mana?" Aku berdiri, meraba sekitar.Ia tidak menjawab.Tanpa kusadari, kami pingsan selama entah-berapa-lama dan jelas ketinggal
Berkat pantulan cahaya keemasan dari tumpukan harta tadi, aku bisa melihat dengan jelas siapa yang menyerangku.Sebuah sisik hijau membelit. Begitu besar dan kuat, bisa meremukku dalam sekali genggam. Aku berjuang meloloskan diri meski tercekik."Calvacanti!" tegur Count.Belitan itu melonggar. Gill langsung menyambut tubuhku.Gill menatap tajam sosok yang membelitku. "Beraninya!"Kulitnya sawo matang, dari pinggang sampai kaki berupa ekor ular berwarna hijau mengkilat. Ia hanya memakai sejumlah gelang dan kalung emas. Sosok itu tidak menyahut, malah menatap Count Wynter. Mata keemasan menatap sang majikan dengan penuh pengabdian."Maaf, kukira ia mata-mata yang hendak mencelakaimu," ujarnya.Count mengiakan. "Tidak masalah.""Dia hanya anak-anak!" potong Gill.Sosok itu menatapnya sinis. "Tuyul juga anak-anak, mereka sering mencoba mencuri harta tuanku!""Calvacanti!" panggil Count. "Terima kasih sudah menj
"Itu jelas tempat keluarga vampir yang pernah kami basmi dulu," kata Gill. "Aku dan Arsy pernah ke sana. Beruntung kami selamat meski nyaris tewas.""Kuharap ada Nemesis di sana alih-alih mereka," ujar Kyara."Kalau aku jadi kalian," kata Gill. "Aku tidak akan masuk."Aku sejujurnya setuju, tapi di sisi lain juga penasaran mengapa ada rumah di rubanah nan gelap seperti ini.Dari balik jendela rumah, kami dapat melihat isinya. Tidak sesuai dugaan, meski dari luar tampak seram, dalamnya begitu bersih hingga layak huni."Ayo, kita cari jalan lain!" seru Gill. "Orang waras mana yang mau masuk?"Kami berdua patuh dan mencoba menjauhi rumah tadi. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika kami malah masuk."Apa itu?" Gill menunjuk ke samping kanan.Begitu menoleh, sekelebat bayangan menjauh. Membuatku kian ragu untuk melangkah."
Sekelebat bayangan menahannya. Kyara berhasil melompat kembali ke tepi.Wanita itu terkesiap. Dia mundur beberapa langkah.Bruk!"Aduh!"Aku tendang kakinya dari belakang hingga jatuh. Tidak disangka aku masih cukup kuat.Bayangan tadi menjelma menjadi sosok pucat yang selama ini ditunggu."Nemy!" Aku lega melihatnya datang di saat yang tepat. Aku mendekat hendak memeluknya, tapi Nemesis justru menahanku."Ini bukan saat yang tepat," jelasnya."Pangeran! Putri!"Kulihat Gill berlari ke arah kami. Vampir tadi terkulai di belakang, tidak bergerak selama beberapa saat."Berpencar!" seru Nemesis.Aku jelas bingung. "Tap–"Dum!Nemesis menarikku. Melesat bagai cahaya sebelum kudengar dentuman keras entah dari mana. Ia lindungi kepalaku d
Kurasakan belaiannya.Hangat. Penuh kasih.Kubuka mata.Aku duduk di sisinya, memandang sebuah lahan."Kamu suka lahannya, Darren?"Aku tidak kenal suara itu apalagi mengingat siapa gerangan yang bicara saat ini. Aneh, aku malah mengiakan ucapannya.Suaranya seperti wanita, meski agak serak, membuatku meragukan kesehatannya. Dia duduk tepat di sisiku dengan senyuman lembut."Ibu dulu sering bermain di sini bersama teman," ujarnya. "Sekarang kalian bermain di sini hampir setiap hari.""Siapa teman yang Ibu maksud?" tanyaku pada wanita yang baru kujumpai ini.Dia tersenyum. Beliau tunjuk sekumpulan anak yang ada di gedung bertuliskan 'Panti Asuhan.'"Tunggu, apa?!" kagetku. "Mama–"Beliau berkata. "Ah, malam ini, Ibu tidak pulang. Mungkin minggu depan kita bisa berte
Ah, Hayya baru saja bicara dengan Idris.Mereka muncul begitu Hayya lepas genggaman.Idris hampiri ia yang tidak lagi bergerak.Azya tetap mematung dengan ngeri, memandang jasad musuh kami."Maaf terlambat," ujar Idris. "Mereka berhasil kabur dari Zibaq.""Hampir saja!" Nemesis melompat turun dari pohon sambil memastikan aku berpegang erat di sisinya.Aku diturunkan lalu menatap ketiganya. "Kalian terjebak?""Bisa dibilang begitu." Hayya menatap sekeliling, malah mengagumi keindahan purnama. "Ho ..."Idris mengikuti arah pandangnya. "Indah, ya."Azya ikut menatap purnama.Ketiganya diam memandangi rembulan sementara aku dan Nemesis tidak tahu harus berbuat apa."Hei!" tegur Nemesis. "Kalian tahu cara keluar dari sini?"Idris menghela napas. Ia tatap pedangnya yang bersimbah darah. "Kurasa tidak."Kudengar Nemesis mengatupkan rahang. "Di mana ini?""Duduk dulu." Idris tunjuk sebuah batu.