Sekelebat bayangan menahannya. Kyara berhasil melompat kembali ke tepi.
Wanita itu terkesiap. Dia mundur beberapa langkah.
Bruk!
"Aduh!"
Aku tendang kakinya dari belakang hingga jatuh. Tidak disangka aku masih cukup kuat.
Bayangan tadi menjelma menjadi sosok pucat yang selama ini ditunggu.
"Nemy!" Aku lega melihatnya datang di saat yang tepat. Aku mendekat hendak memeluknya, tapi Nemesis justru menahanku.
"Ini bukan saat yang tepat," jelasnya.
"Pangeran! Putri!"
Kulihat Gill berlari ke arah kami. Vampir tadi terkulai di belakang, tidak bergerak selama beberapa saat.
"Berpencar!" seru Nemesis.
Aku jelas bingung. "Tap–"
Dum!
Nemesis menarikku. Melesat bagai cahaya sebelum kudengar dentuman keras entah dari mana. Ia lindungi kepalaku d
Kurasakan belaiannya.Hangat. Penuh kasih.Kubuka mata.Aku duduk di sisinya, memandang sebuah lahan."Kamu suka lahannya, Darren?"Aku tidak kenal suara itu apalagi mengingat siapa gerangan yang bicara saat ini. Aneh, aku malah mengiakan ucapannya.Suaranya seperti wanita, meski agak serak, membuatku meragukan kesehatannya. Dia duduk tepat di sisiku dengan senyuman lembut."Ibu dulu sering bermain di sini bersama teman," ujarnya. "Sekarang kalian bermain di sini hampir setiap hari.""Siapa teman yang Ibu maksud?" tanyaku pada wanita yang baru kujumpai ini.Dia tersenyum. Beliau tunjuk sekumpulan anak yang ada di gedung bertuliskan 'Panti Asuhan.'"Tunggu, apa?!" kagetku. "Mama–"Beliau berkata. "Ah, malam ini, Ibu tidak pulang. Mungkin minggu depan kita bisa berte
Ah, Hayya baru saja bicara dengan Idris.Mereka muncul begitu Hayya lepas genggaman.Idris hampiri ia yang tidak lagi bergerak.Azya tetap mematung dengan ngeri, memandang jasad musuh kami."Maaf terlambat," ujar Idris. "Mereka berhasil kabur dari Zibaq.""Hampir saja!" Nemesis melompat turun dari pohon sambil memastikan aku berpegang erat di sisinya.Aku diturunkan lalu menatap ketiganya. "Kalian terjebak?""Bisa dibilang begitu." Hayya menatap sekeliling, malah mengagumi keindahan purnama. "Ho ..."Idris mengikuti arah pandangnya. "Indah, ya."Azya ikut menatap purnama.Ketiganya diam memandangi rembulan sementara aku dan Nemesis tidak tahu harus berbuat apa."Hei!" tegur Nemesis. "Kalian tahu cara keluar dari sini?"Idris menghela napas. Ia tatap pedangnya yang bersimbah darah. "Kurasa tidak."Kudengar Nemesis mengatupkan rahang. "Di mana ini?""Duduk dulu." Idris tunjuk sebuah batu.
Nemesis menggendongku menjauh.Ia berlari menghindari beragam barang yang dilempar secara liar.Aku tidak tahu pasti apa itu.Bunyinya menggema memekakan telinga.Aku sempat melihat beberapa sosok di balik bayangan hutan, dengan marah melempari kami dengan batu hingga panah. Aku yang tidak tahu menahu hanya diam, berusaha mencerna apa yang terjadi."Ada apa?" tanyaku. "Di mana yang lain?""Mereka tadi datang," ujar Nemesis. "Begitu sampai di sini, ia tahu."Siapa?Aku menunduk memandangi mereka dengan heran. Tatapan mereka penuh kebencian dan rasa jijik.Aku tentu saja heran, selama ini tidak ada yang bermasalah dengan sihir seperti mereka. Jika benar para Guardian selama ini hendak menyusul kami ke desa ini, lalu di mana mereka? Kenapa dengan sosok-sosok ini?Nemesis berhenti.
Nemesis membiarkan tubuhnya menjadi bantal pelindung. Kami mengempas ke tanah.Bruk!Begitu mengerjapkan mata, yang kulihat hanya tatapan penuh kebencian dari mereka. Aku tahu apa yang harus kuucapkan, meski dilanda keraguan."Aku manusia!" seruku. "Aku bukan ancaman!"Mereka diam saja.Aku jelas berkata jujur. Jika dibebaskan, aku harap mereka melakukan hal yang sama untuk Guardian-ku."Kalau benar kamu manusia, minggir!" ucap seseorang."Tidak, lepaskan mereka!" balasku. "Mereka pelindungku."Nemesis perlahan mendekat. Jelas membuat mereka mundur selangkah, meski tangan mereka siap dengan senjata kecil."Sama saja," decak seseorang.Nemesis menarikku menjauh.Syaaat! Aku hampir saja ditusuk oleh benda kecil yang dipegang mereka. Ternyata jauh lebih panjang bagai jarum.
Aku terpaksa menunggu di dalam kubah bunga ini selama beberapa jam sejak mentari terbenam. Begitu malam menyelimuti, aku hanya bisa menatap sekeliling dengan pandangan kosong sambil menunggu.Nemesis berjanji akan pulang membawa makanan. Kuharap ia tahu jika aku tidak suka yang mentah. Tapi, fakta kalau ia pernah merawat Kyara sebelumnya, membuatku yakin ia tahu betul apa yang sesuai. Sambil mendoakan keselamatan Nemesis, aku menunggu di bawah "sarang" ini dalam keheningan.Bagaimana cara ia berburu? Ketika pamit, ia tidak terlihat membawa apapun. Hanya berpaling lalu lenyap dari pandangan. Bayangan tentang malam ketika vampir nyaris memangsaku tergiang, kupeluk erat jubah Arsene kala itu.Bagaimana kabar Arsene sekarang? Apa ia tidak keberatan kalau jubahnya hilang ?Aku hela napas. Kuharap ia tahu.Kresek!Suara itu nyaris membuatku melatah.
"Memang keparat!" Terdengar suara wanita yang asing. "Meski sudah runtuh, tetap saja mengacau.""Mereka hanya ilusi." Dibalas kalimat tadi oleh seorang pria."Maksudmu?""Bukannya Thomas sudah cerita?" sahut sang pria. "Ilusi adalah mereka yang tidak bisa bereinkarnasi, tapi tetap memiliki wujud baru di kehidupan setelahnya, meski dengan tubuh terlalu rapuh.""Tapi, ada beberapa yang bangkit lagi," sahut si wanita. "Thomas pernah diserang oleh tiga ilusi yang sama.""Kamu lupa kalau mereka masih bisa mengendalikan kekuatan?" sahut si pria. "Kekuatan bukan dari raga, melainkan jiwa. Bisa jadi lawan kita tadi menjelma jadi abu terlebih dahulu atau bisa membelah diri.""Untung kita berhasil kabur," sahut si wanita. "Sekarang aku ingin tahu kabar Thomas di sana. Kudengar dia sudah bertemu dengan sosok yang dicari.""Bukannya anak ini?" sahut si pria. "Aku tahu
Bahkan hingga larut malam kutunggu, ia belum juga bangun. Aku sudah mengumpulkan beberapa buah beri yang kuhabiskan selama menunggu. Sambil duduk menyaksikan langit malam nan sunyi, aku membayangkan kehidupan bersama para Guardians penuh kedamaian. Kami duduk di serambi rumah sambil menikmati makanan ringan bersama, tertawa tanpa beban. Hawa dingin menusuk kulit, kugenggam erat jubah Arsene sambil menunggu. Aku tersentak. Nemesis duduk santai di sebelah kiriku tanpa ekspresi. Sejak kapan ia bangun? "Nemy?" Aku menatapnya. "Kemarin, aku mendapat informasi dari pasangan itu tentang negeri ini," tutur Nemesis. "Namanya Ezilis Selatan, bagian dari negeri asalku." Entah kenapa, aku jadi teringat Shan. "Ayahku termasuk penyihir hebat?" tanyaku. "Jika iya, apa ia tewas saat ledakan Shan?" Sayangnya, Nemesis tidak bisa me
Aku terguling hingga mengempas batang pohon. Meringis sambil mencoba bangkit melawan."Remi!" Kudengar suara serak Nemesis berjuang memanggil."Kau yang seharusnya mati," bisik sesuatu padaku. "Di Shan, engkau begitu bangga dengan dirimu. Kini, giliranku memberi pelajaran!"Bruk! Begitu genggamannya terlepas, aku bisa melihat wajah sosok itu.Sosok yang kami lawan beberapa waktu lalu.Dorongan Allan membuat sosok itu mendesis, ia siap menyerang lagi.Aku paham apa yang ia bicarakan, tapi tidak ingat apapun selain fakta kalau aku pangeran dari Shan."Itu dia! Itu dia!"Aku terkesiap. Rombongan itu kembali, kali ini dengan jumlah yang lebih besar. Masing-masing memegang pasak, siap menusuk."Kalian memihak siapa?" tanyaku.Mereka tidak menjawab, malah maju dengan tatapan penuh kebencian, me