Aku terguling hingga mengempas batang pohon. Meringis sambil mencoba bangkit melawan.
"Remi!" Kudengar suara serak Nemesis berjuang memanggil.
"Kau yang seharusnya mati," bisik sesuatu padaku. "Di Shan, engkau begitu bangga dengan dirimu. Kini, giliranku memberi pelajaran!"
Bruk! Begitu genggamannya terlepas, aku bisa melihat wajah sosok itu.
Sosok yang kami lawan beberapa waktu lalu.
Dorongan Allan membuat sosok itu mendesis, ia siap menyerang lagi.
Aku paham apa yang ia bicarakan, tapi tidak ingat apapun selain fakta kalau aku pangeran dari Shan.
"Itu dia! Itu dia!"
Aku terkesiap. Rombongan itu kembali, kali ini dengan jumlah yang lebih besar. Masing-masing memegang pasak, siap menusuk.
"Kalian memihak siapa?" tanyaku.
Mereka tidak menjawab, malah maju dengan tatapan penuh kebencian, me
Petir membelah angkasa.Vampir itu melayang di udara seakan sedang menari. Sementara sosok pria lain mengejarnya dengan gesit."Remi!"Nemesis berdiri tak jauh dariku. Tubuhnya dipenuhi bercak darah. Ia tertatih-tatih mendekat. Aku menghampiri dan langsung mendekapnya.Terdengar raungan.Aku mendongak.Sosok makhluk raksasa mengaum. Aku tahu itu Tirta. Ia sedang melawan sesuatu di udara, disertai kekuatan badai dan petirnya.Nemesis melepas pelukan. Berlari ke dalam bayangan."Nemy!"Terdengar raungan. Tanah bergetar, aku berjuang menyeimbangkan diri.Saat itulah, cahaya putih menguasai pandangan disertai auman. Suara Tirta sayup-sayup memelan hingga lenyap ditelan badai.Ia tidak terlihat."Kakek!" panggilku.Badai menipis, berganti dengan malam yang dama
"Dahulu, aku tidak punya tujuan hidup. Tapi, sekarang aku tahu." "Apa?" Ia tepuk pelan pucuk kepalaku, tanpa menjawab selain senyuman. Aku teringat momen itu. Dalam hidup, ada kebebasan, ada pula tujuan.Aku tidak tahu tujuan hidupku. Barangkali, hanya untuk terus bermain dan bahagia bersama Guardian-ku. Menikmati hari sambil bercengkerama. Atau hanya sekadar berlari kecil, saling mengejar lalu pulang dalam keadaan kotor.Namun, selain ini, aku tidak tahu tujuan hidupku.Aku memang dilahirkan dengan tujuan.Meski sekilas tampak sama seperti anak lain, aku diurus dan dijaga.Namun, tetap saja aku tidak paham.Demi apa mereka mempertaruhkan nyawa demi melindungiku?.Aku kini diurus oleh mereka yang menyebut diri sebagai "Guardian"–wali bagiku dan
<<Bibi ~ Danbia>>Kulirik jendela, hari sudah gerimis dan hujan deras akan melanda.Dalam panti warisan orangtuaku, semua sudah disiapkan ; minuman hangat, beberapa selimut serta perapian, sehingga aku maupun anak-anak tidak akan kedinginan.Ketika kulirik lagi jendela, tidak ada tanda-tanda orang lalu lalang. Biasanya, mereka terlihat berlari panik mencari tempat teduh. Tampaknya, semua sudah di rumah sebelum malam tiba.Aku hanya diam memandang lantai, terlintas dalam pikiranku beragam pertanyaan acak.Seperti ... Ada berapa jumlah orang di dunia ini sekarang? Sepuluh ribu? Seratus ribu? Sejuta? Sepuluh juta? Aku tidak tahu.Panti ini selalu saja sepi kecuali perayaan tertentu. Tapi, di sisi lain aku memikirkan jumlah orang-orang di pasar yang tidak pernah berkurang.Sebelumnya, tempat ini begitu kacau setelah kedatangan dua
Mendengar kisahnya, pikiranku tertuju pada satu orang.Arsene.Ia di sini. Pasti mencariku.Tapi, siapa si Thomson?"Bibi," panggilku. "Apa kalungku bercahaya waktu itu?"Bibi melototi kalungku. "Benda itu bisa bercahaya? Kenapa? Ada apa?"Aku tidak nyaman jadinya. Akhirnya aku ubah topik. "Lupakan. Bibi tahu tempat tinggal Thomson?""Dia tinggal beberapa meter dari sini, sedikit jauh," jawab Bibi. "Aku kemarin berkunjung ke kedainya. Ia pembuat minum yang mahir."Aku lantas berpikir. Untuk apa Thomson mencari Arsene? Hanya ada dua teori yang muncul, tapi aku takut membongkarnya di hadapan Bibi."Levi kenal, ya?"Oh, tidak. Aku ketahuan."Levi?" Bibi menatapku lekat. "Kok bengong?""Um, aku ... Punya Papa." Aku benar-benar takut terlalu banyak me
<Kyara>Sekelilingku dipenuhi api biru.Bukannya lari, aku malah bergeming di lantai bagai mayat.Ugh, tubuhku terasa sakit.Leher habis dicekik. Tubuh diempas ke lantai yang keras. Begitu membuka mata, seakan sudah dilempar ke neraka.Semua sudah berakhir.Para Guardian gugur di tangannya. Entah apa yang ia inginkan dari kami.Di mana Remi?Di mana Mariam?Di mana Guardian-ku yang lain?Seharusnya mereka kabur.Andai ...Andai aku tidak lengah.Andai aku tidak ceroboh.Mereka kalah, di tangan ...Zibaq.Jin itu.Entah ke mana ia pergi. Kubayangkan ia sedang berbahagia di atas derita kami. Menari selagi mereka meregang nyawa. Tertawa melihatku kalah dengan menyedihkan.Zibaq menang. Kami kalah.Remi akan dibunuh.Aku akan mati ditelan api.Kalau ibuku tewas dimangsa, aku akan mati dibakar.Pandanganku memburam ...
<< ??? >> Kegelapan malam menyelimuti, ketika hutan yang biasanya hening kini dipenuhi bunyi langkah kaki dan helaan napas. Tampak dua orang pria terduduk di dekat sebuah batu besar. Salah satu di antara mereka tengah bersandar. Dia diam selama beberapa saat, memulihkan diri. "Istirahatlah," kata seorang pria yang berdiri di sisinya. "Kau sudah berusaha." Diam saja. "Kau masih di sini?" tanyanya. "Aku masih hidup," sahut temannya. Temannya membalas, "anak itu sudah jauh di sana. Perlukah kita kejar?" "Asal kamu tahu di mana, kita kejar besok pun tidak jadi masalah," balasnya. "Aku tahu, akulah yang membiarkannya dibawa." Terdengar temannya menggeram pelan. "Aku tahu apa yang kulakukan. Dia sudah diamankan. Sekarang tugas kita menunggu." "Menunggu," beonya. "Sampai kapan kita menunggu?" "Hingga takdir mengizinkan."
Surat Untuk Raja SuryantaKami dengar kalau Anda sedang dilanda kesusahan sehingga kami memberikan pertolongan. Menginggat Anda pernah berjasa bagi kami.Maka, kami berikan Anda si Kembar Avadeer.Meski masih berusia muda, mereka mampu mengalahkan banyak lawan dalam sekali serang, atau Anda bisa meminta mereka membunuh dalam diam.Kami kenalkan sedikit tentang mereka.Yang paling tua, Hansen Avadeer. Sedikit cerita, dia adalah anak yang pendiam, sehingga cukup mudah diberi perintah. Tapi, Anda juga harus bersabar karena dia juga susah dicari saat menyendiri atau tidur.Berbeda dengan kakaknya, Hansel Avadeer terkenal di lingkungannya dan senang bergaul. Cukup mudah baginya mencari teman baru sehingga cocok dijadikan alat mata-mata. Meski banyak bicara, ia mampu menutup mulut jika ada rahasia dan tak dipungkiri termasuk pembawa kayu bakar jika berkehendak.Kini, keduanya di tengah perjalanan menuju Kerajaan Shan. Kami tid
Semua rahasia akan terungkap.Entah aku siap menerima atau tidak.Seperti kematian, hari itu akan tiba.Dan aku harus terima kenyataannya.***Aku sering bertanya-tanya selama hampir lima tahun menjalani hidup sebagai sosok yang mereka kenal.Aku adalah sang Putri.Remi adalah sang Pangeran.Mereka adalah Guardians, para Pelindung, wali kami.Tugas mereka sama seperti wali, sekaligus pengawal pribadi.Entah untuk apa ayahku memutuskan ini. Yang pasti, mereka tampak tidak keberatan harus melindungi kami.Hari yang dilalui, selama di dunia ini, harus kuakui sangat baik. Laksana mimpi yang tercapai tanpa usaha yang berarti.Aku tahu, keberuntungan saat ini berpihak padaku. Tapi ...Apa jadinya jika keberuntungan ini ibarat pisau bermata dua?Bukan mustahil jika para Guardian melindungiku tidak hanya sekadar patuh dan demi pengabdian buta.Bisa jadi, caraku memanfaatkan mereka yang jadi penyebab semua ini.Ataukah
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.