Bahkan hingga larut malam kutunggu, ia belum juga bangun. Aku sudah mengumpulkan beberapa buah beri yang kuhabiskan selama menunggu.
Sambil duduk menyaksikan langit malam nan sunyi, aku membayangkan kehidupan bersama para Guardians penuh kedamaian. Kami duduk di serambi rumah sambil menikmati makanan ringan bersama, tertawa tanpa beban.
Hawa dingin menusuk kulit, kugenggam erat jubah Arsene sambil menunggu.
Aku tersentak.
Nemesis duduk santai di sebelah kiriku tanpa ekspresi. Sejak kapan ia bangun?
"Nemy?" Aku menatapnya.
"Kemarin, aku mendapat informasi dari pasangan itu tentang negeri ini," tutur Nemesis. "Namanya Ezilis Selatan, bagian dari negeri asalku."
Entah kenapa, aku jadi teringat Shan.
"Ayahku termasuk penyihir hebat?" tanyaku. "Jika iya, apa ia tewas saat ledakan Shan?"
Sayangnya, Nemesis tidak bisa me
Aku terguling hingga mengempas batang pohon. Meringis sambil mencoba bangkit melawan."Remi!" Kudengar suara serak Nemesis berjuang memanggil."Kau yang seharusnya mati," bisik sesuatu padaku. "Di Shan, engkau begitu bangga dengan dirimu. Kini, giliranku memberi pelajaran!"Bruk! Begitu genggamannya terlepas, aku bisa melihat wajah sosok itu.Sosok yang kami lawan beberapa waktu lalu.Dorongan Allan membuat sosok itu mendesis, ia siap menyerang lagi.Aku paham apa yang ia bicarakan, tapi tidak ingat apapun selain fakta kalau aku pangeran dari Shan."Itu dia! Itu dia!"Aku terkesiap. Rombongan itu kembali, kali ini dengan jumlah yang lebih besar. Masing-masing memegang pasak, siap menusuk."Kalian memihak siapa?" tanyaku.Mereka tidak menjawab, malah maju dengan tatapan penuh kebencian, me
Petir membelah angkasa.Vampir itu melayang di udara seakan sedang menari. Sementara sosok pria lain mengejarnya dengan gesit."Remi!"Nemesis berdiri tak jauh dariku. Tubuhnya dipenuhi bercak darah. Ia tertatih-tatih mendekat. Aku menghampiri dan langsung mendekapnya.Terdengar raungan.Aku mendongak.Sosok makhluk raksasa mengaum. Aku tahu itu Tirta. Ia sedang melawan sesuatu di udara, disertai kekuatan badai dan petirnya.Nemesis melepas pelukan. Berlari ke dalam bayangan."Nemy!"Terdengar raungan. Tanah bergetar, aku berjuang menyeimbangkan diri.Saat itulah, cahaya putih menguasai pandangan disertai auman. Suara Tirta sayup-sayup memelan hingga lenyap ditelan badai.Ia tidak terlihat."Kakek!" panggilku.Badai menipis, berganti dengan malam yang dama
"Dahulu, aku tidak punya tujuan hidup. Tapi, sekarang aku tahu." "Apa?" Ia tepuk pelan pucuk kepalaku, tanpa menjawab selain senyuman. Aku teringat momen itu. Dalam hidup, ada kebebasan, ada pula tujuan.Aku tidak tahu tujuan hidupku. Barangkali, hanya untuk terus bermain dan bahagia bersama Guardian-ku. Menikmati hari sambil bercengkerama. Atau hanya sekadar berlari kecil, saling mengejar lalu pulang dalam keadaan kotor.Namun, selain ini, aku tidak tahu tujuan hidupku.Aku memang dilahirkan dengan tujuan.Meski sekilas tampak sama seperti anak lain, aku diurus dan dijaga.Namun, tetap saja aku tidak paham.Demi apa mereka mempertaruhkan nyawa demi melindungiku?.Aku kini diurus oleh mereka yang menyebut diri sebagai "Guardian"–wali bagiku dan
<<Bibi ~ Danbia>>Kulirik jendela, hari sudah gerimis dan hujan deras akan melanda.Dalam panti warisan orangtuaku, semua sudah disiapkan ; minuman hangat, beberapa selimut serta perapian, sehingga aku maupun anak-anak tidak akan kedinginan.Ketika kulirik lagi jendela, tidak ada tanda-tanda orang lalu lalang. Biasanya, mereka terlihat berlari panik mencari tempat teduh. Tampaknya, semua sudah di rumah sebelum malam tiba.Aku hanya diam memandang lantai, terlintas dalam pikiranku beragam pertanyaan acak.Seperti ... Ada berapa jumlah orang di dunia ini sekarang? Sepuluh ribu? Seratus ribu? Sejuta? Sepuluh juta? Aku tidak tahu.Panti ini selalu saja sepi kecuali perayaan tertentu. Tapi, di sisi lain aku memikirkan jumlah orang-orang di pasar yang tidak pernah berkurang.Sebelumnya, tempat ini begitu kacau setelah kedatangan dua
Mendengar kisahnya, pikiranku tertuju pada satu orang.Arsene.Ia di sini. Pasti mencariku.Tapi, siapa si Thomson?"Bibi," panggilku. "Apa kalungku bercahaya waktu itu?"Bibi melototi kalungku. "Benda itu bisa bercahaya? Kenapa? Ada apa?"Aku tidak nyaman jadinya. Akhirnya aku ubah topik. "Lupakan. Bibi tahu tempat tinggal Thomson?""Dia tinggal beberapa meter dari sini, sedikit jauh," jawab Bibi. "Aku kemarin berkunjung ke kedainya. Ia pembuat minum yang mahir."Aku lantas berpikir. Untuk apa Thomson mencari Arsene? Hanya ada dua teori yang muncul, tapi aku takut membongkarnya di hadapan Bibi."Levi kenal, ya?"Oh, tidak. Aku ketahuan."Levi?" Bibi menatapku lekat. "Kok bengong?""Um, aku ... Punya Papa." Aku benar-benar takut terlalu banyak me
<Kyara>Sekelilingku dipenuhi api biru.Bukannya lari, aku malah bergeming di lantai bagai mayat.Ugh, tubuhku terasa sakit.Leher habis dicekik. Tubuh diempas ke lantai yang keras. Begitu membuka mata, seakan sudah dilempar ke neraka.Semua sudah berakhir.Para Guardian gugur di tangannya. Entah apa yang ia inginkan dari kami.Di mana Remi?Di mana Mariam?Di mana Guardian-ku yang lain?Seharusnya mereka kabur.Andai ...Andai aku tidak lengah.Andai aku tidak ceroboh.Mereka kalah, di tangan ...Zibaq.Jin itu.Entah ke mana ia pergi. Kubayangkan ia sedang berbahagia di atas derita kami. Menari selagi mereka meregang nyawa. Tertawa melihatku kalah dengan menyedihkan.Zibaq menang. Kami kalah.Remi akan dibunuh.Aku akan mati ditelan api.Kalau ibuku tewas dimangsa, aku akan mati dibakar.Pandanganku memburam ...
<< ??? >> Kegelapan malam menyelimuti, ketika hutan yang biasanya hening kini dipenuhi bunyi langkah kaki dan helaan napas. Tampak dua orang pria terduduk di dekat sebuah batu besar. Salah satu di antara mereka tengah bersandar. Dia diam selama beberapa saat, memulihkan diri. "Istirahatlah," kata seorang pria yang berdiri di sisinya. "Kau sudah berusaha." Diam saja. "Kau masih di sini?" tanyanya. "Aku masih hidup," sahut temannya. Temannya membalas, "anak itu sudah jauh di sana. Perlukah kita kejar?" "Asal kamu tahu di mana, kita kejar besok pun tidak jadi masalah," balasnya. "Aku tahu, akulah yang membiarkannya dibawa." Terdengar temannya menggeram pelan. "Aku tahu apa yang kulakukan. Dia sudah diamankan. Sekarang tugas kita menunggu." "Menunggu," beonya. "Sampai kapan kita menunggu?" "Hingga takdir mengizinkan."
Surat Untuk Raja SuryantaKami dengar kalau Anda sedang dilanda kesusahan sehingga kami memberikan pertolongan. Menginggat Anda pernah berjasa bagi kami.Maka, kami berikan Anda si Kembar Avadeer.Meski masih berusia muda, mereka mampu mengalahkan banyak lawan dalam sekali serang, atau Anda bisa meminta mereka membunuh dalam diam.Kami kenalkan sedikit tentang mereka.Yang paling tua, Hansen Avadeer. Sedikit cerita, dia adalah anak yang pendiam, sehingga cukup mudah diberi perintah. Tapi, Anda juga harus bersabar karena dia juga susah dicari saat menyendiri atau tidur.Berbeda dengan kakaknya, Hansel Avadeer terkenal di lingkungannya dan senang bergaul. Cukup mudah baginya mencari teman baru sehingga cocok dijadikan alat mata-mata. Meski banyak bicara, ia mampu menutup mulut jika ada rahasia dan tak dipungkiri termasuk pembawa kayu bakar jika berkehendak.Kini, keduanya di tengah perjalanan menuju Kerajaan Shan. Kami tid