"Dahulu, aku tidak punya tujuan hidup. Tapi, sekarang aku tahu."
"Apa?"
Ia tepuk pelan pucuk kepalaku, tanpa menjawab selain senyuman.
Aku teringat momen itu. Dalam hidup, ada kebebasan, ada pula tujuan.
Aku tidak tahu tujuan hidupku. Barangkali, hanya untuk terus bermain dan bahagia bersama Guardian-ku. Menikmati hari sambil bercengkerama. Atau hanya sekadar berlari kecil, saling mengejar lalu pulang dalam keadaan kotor.
Namun, selain ini, aku tidak tahu tujuan hidupku.
Aku memang dilahirkan dengan tujuan.
Meski sekilas tampak sama seperti anak lain, aku diurus dan dijaga.
Namun, tetap saja aku tidak paham.
Demi apa mereka mempertaruhkan nyawa demi melindungiku?
.
Aku kini diurus oleh mereka yang menyebut diri sebagai "Guardian"–wali bagiku dan
<<Bibi ~ Danbia>>Kulirik jendela, hari sudah gerimis dan hujan deras akan melanda.Dalam panti warisan orangtuaku, semua sudah disiapkan ; minuman hangat, beberapa selimut serta perapian, sehingga aku maupun anak-anak tidak akan kedinginan.Ketika kulirik lagi jendela, tidak ada tanda-tanda orang lalu lalang. Biasanya, mereka terlihat berlari panik mencari tempat teduh. Tampaknya, semua sudah di rumah sebelum malam tiba.Aku hanya diam memandang lantai, terlintas dalam pikiranku beragam pertanyaan acak.Seperti ... Ada berapa jumlah orang di dunia ini sekarang? Sepuluh ribu? Seratus ribu? Sejuta? Sepuluh juta? Aku tidak tahu.Panti ini selalu saja sepi kecuali perayaan tertentu. Tapi, di sisi lain aku memikirkan jumlah orang-orang di pasar yang tidak pernah berkurang.Sebelumnya, tempat ini begitu kacau setelah kedatangan dua
Mendengar kisahnya, pikiranku tertuju pada satu orang.Arsene.Ia di sini. Pasti mencariku.Tapi, siapa si Thomson?"Bibi," panggilku. "Apa kalungku bercahaya waktu itu?"Bibi melototi kalungku. "Benda itu bisa bercahaya? Kenapa? Ada apa?"Aku tidak nyaman jadinya. Akhirnya aku ubah topik. "Lupakan. Bibi tahu tempat tinggal Thomson?""Dia tinggal beberapa meter dari sini, sedikit jauh," jawab Bibi. "Aku kemarin berkunjung ke kedainya. Ia pembuat minum yang mahir."Aku lantas berpikir. Untuk apa Thomson mencari Arsene? Hanya ada dua teori yang muncul, tapi aku takut membongkarnya di hadapan Bibi."Levi kenal, ya?"Oh, tidak. Aku ketahuan."Levi?" Bibi menatapku lekat. "Kok bengong?""Um, aku ... Punya Papa." Aku benar-benar takut terlalu banyak me
<Kyara>Sekelilingku dipenuhi api biru.Bukannya lari, aku malah bergeming di lantai bagai mayat.Ugh, tubuhku terasa sakit.Leher habis dicekik. Tubuh diempas ke lantai yang keras. Begitu membuka mata, seakan sudah dilempar ke neraka.Semua sudah berakhir.Para Guardian gugur di tangannya. Entah apa yang ia inginkan dari kami.Di mana Remi?Di mana Mariam?Di mana Guardian-ku yang lain?Seharusnya mereka kabur.Andai ...Andai aku tidak lengah.Andai aku tidak ceroboh.Mereka kalah, di tangan ...Zibaq.Jin itu.Entah ke mana ia pergi. Kubayangkan ia sedang berbahagia di atas derita kami. Menari selagi mereka meregang nyawa. Tertawa melihatku kalah dengan menyedihkan.Zibaq menang. Kami kalah.Remi akan dibunuh.Aku akan mati ditelan api.Kalau ibuku tewas dimangsa, aku akan mati dibakar.Pandanganku memburam ...
<< ??? >> Kegelapan malam menyelimuti, ketika hutan yang biasanya hening kini dipenuhi bunyi langkah kaki dan helaan napas. Tampak dua orang pria terduduk di dekat sebuah batu besar. Salah satu di antara mereka tengah bersandar. Dia diam selama beberapa saat, memulihkan diri. "Istirahatlah," kata seorang pria yang berdiri di sisinya. "Kau sudah berusaha." Diam saja. "Kau masih di sini?" tanyanya. "Aku masih hidup," sahut temannya. Temannya membalas, "anak itu sudah jauh di sana. Perlukah kita kejar?" "Asal kamu tahu di mana, kita kejar besok pun tidak jadi masalah," balasnya. "Aku tahu, akulah yang membiarkannya dibawa." Terdengar temannya menggeram pelan. "Aku tahu apa yang kulakukan. Dia sudah diamankan. Sekarang tugas kita menunggu." "Menunggu," beonya. "Sampai kapan kita menunggu?" "Hingga takdir mengizinkan."
Surat Untuk Raja SuryantaKami dengar kalau Anda sedang dilanda kesusahan sehingga kami memberikan pertolongan. Menginggat Anda pernah berjasa bagi kami.Maka, kami berikan Anda si Kembar Avadeer.Meski masih berusia muda, mereka mampu mengalahkan banyak lawan dalam sekali serang, atau Anda bisa meminta mereka membunuh dalam diam.Kami kenalkan sedikit tentang mereka.Yang paling tua, Hansen Avadeer. Sedikit cerita, dia adalah anak yang pendiam, sehingga cukup mudah diberi perintah. Tapi, Anda juga harus bersabar karena dia juga susah dicari saat menyendiri atau tidur.Berbeda dengan kakaknya, Hansel Avadeer terkenal di lingkungannya dan senang bergaul. Cukup mudah baginya mencari teman baru sehingga cocok dijadikan alat mata-mata. Meski banyak bicara, ia mampu menutup mulut jika ada rahasia dan tak dipungkiri termasuk pembawa kayu bakar jika berkehendak.Kini, keduanya di tengah perjalanan menuju Kerajaan Shan. Kami tid
Semua rahasia akan terungkap.Entah aku siap menerima atau tidak.Seperti kematian, hari itu akan tiba.Dan aku harus terima kenyataannya.***Aku sering bertanya-tanya selama hampir lima tahun menjalani hidup sebagai sosok yang mereka kenal.Aku adalah sang Putri.Remi adalah sang Pangeran.Mereka adalah Guardians, para Pelindung, wali kami.Tugas mereka sama seperti wali, sekaligus pengawal pribadi.Entah untuk apa ayahku memutuskan ini. Yang pasti, mereka tampak tidak keberatan harus melindungi kami.Hari yang dilalui, selama di dunia ini, harus kuakui sangat baik. Laksana mimpi yang tercapai tanpa usaha yang berarti.Aku tahu, keberuntungan saat ini berpihak padaku. Tapi ...Apa jadinya jika keberuntungan ini ibarat pisau bermata dua?Bukan mustahil jika para Guardian melindungiku tidak hanya sekadar patuh dan demi pengabdian buta.Bisa jadi, caraku memanfaatkan mereka yang jadi penyebab semua ini.Ataukah
"Putri!"Seruannya lantas membuatku tersentak hingga nyaris melatah.Tak disangka-sangka, suara pria terdengar dari balik pintu. Hanya suara yang tertangkap di telinga, seakan tidak mau menunjukkan wujudnya."Mendingan?"Suaranya terdengar begitu ceria, barangkali lebih tinggi nadanya dibandingkan Khidir saat dia bersemangat.Aku menundukkan pandangan. Kalung bercahaya. Aman.Aku tentu saja lega. "Iya. Terima kasih sudah menyelamatkanku."Agak canggung, tapi aku usahakan untuk tampak ramah. Dia mungkin pelindungku, tapi tentu aku tidak bisa bersikap santai apalagi kami baru saja bertemu.Tidak ada balasan. Dia sepertinya menunggu perintahku."Um, aku ingin melihatmu!" titahku ragu. Maksudku, aku tidak mungkin membiarkannya berdiri canggung di sana. Kami harus saling tatap.Dia pun muncul.Rambutnya pirang dan disisir lumayan rapi, serta mata biru dan kulit putih seperti orang Ezilis.Dia juga membawa baki berisi minuman hanga
"Astaga, lo beneran lupa kaya kata Khidir," komentar Ezekiel kala dengar aku terkejut."Khidir?" Terdengar aneh kalau dia tahu, tapi mengingat Mariam lantas membuatku pikir ini sedikit masuk akal. "Kalian sudah berapa lama berkomplot?"Ezekiel langsung duduk di sofa. "Berkomplot? Kesannya rada anu."Aku benar-benar bingung. "Maksudku, sejak kapan kalian saling kenal setelah bereinkarnasi? Tahu dari mana? Jangan bilang semua Guardian sudah saling bagi surat secara rahasia."Ezekiel tersenyum, ia menepuk pelan sofa di sampingnya. "Duduk dulu."Aku pun duduk di sisinya.Aku tahu dia menatapku, tapi aku entah kenapa tidak membalas. Barangkali, sudah biasa bagiku malu terhadap lawan jenis. Kemarin Nemesis, sekarang Ezekiel. Ah, kuharap aku tidak berdebar lagi setelah melihat lelaki.Aku tahu kenapa aku gugup. Tidak sengaja aku duduk terlalu dekat dengannya, tepat di bawah tangan kanannya yang seakan merangkul aku."Sudah lama kami bertukar kisah," kat