Surat Untuk Raja Suryanta
Kami dengar kalau Anda sedang dilanda kesusahan sehingga kami memberikan pertolongan. Menginggat Anda pernah berjasa bagi kami.Maka, kami berikan Anda si Kembar Avadeer.Meski masih berusia muda, mereka mampu mengalahkan banyak lawan dalam sekali serang, atau Anda bisa meminta mereka membunuh dalam diam.Kami kenalkan sedikit tentang mereka.Yang paling tua, Hansen Avadeer. Sedikit cerita, dia adalah anak yang pendiam, sehingga cukup mudah diberi perintah. Tapi, Anda juga harus bersabar karena dia juga susah dicari saat menyendiri atau tidur.Berbeda dengan kakaknya, Hansel Avadeer terkenal di lingkungannya dan senang bergaul. Cukup mudah baginya mencari teman baru sehingga cocok dijadikan alat mata-mata. Meski banyak bicara, ia mampu menutup mulut jika ada rahasia dan tak dipungkiri termasuk pembawa kayu bakar jika berkehendak.Kini, keduanya di tengah perjalanan menuju Kerajaan Shan. Kami tidSemua rahasia akan terungkap.Entah aku siap menerima atau tidak.Seperti kematian, hari itu akan tiba.Dan aku harus terima kenyataannya.***Aku sering bertanya-tanya selama hampir lima tahun menjalani hidup sebagai sosok yang mereka kenal.Aku adalah sang Putri.Remi adalah sang Pangeran.Mereka adalah Guardians, para Pelindung, wali kami.Tugas mereka sama seperti wali, sekaligus pengawal pribadi.Entah untuk apa ayahku memutuskan ini. Yang pasti, mereka tampak tidak keberatan harus melindungi kami.Hari yang dilalui, selama di dunia ini, harus kuakui sangat baik. Laksana mimpi yang tercapai tanpa usaha yang berarti.Aku tahu, keberuntungan saat ini berpihak padaku. Tapi ...Apa jadinya jika keberuntungan ini ibarat pisau bermata dua?Bukan mustahil jika para Guardian melindungiku tidak hanya sekadar patuh dan demi pengabdian buta.Bisa jadi, caraku memanfaatkan mereka yang jadi penyebab semua ini.Ataukah
"Putri!"Seruannya lantas membuatku tersentak hingga nyaris melatah.Tak disangka-sangka, suara pria terdengar dari balik pintu. Hanya suara yang tertangkap di telinga, seakan tidak mau menunjukkan wujudnya."Mendingan?"Suaranya terdengar begitu ceria, barangkali lebih tinggi nadanya dibandingkan Khidir saat dia bersemangat.Aku menundukkan pandangan. Kalung bercahaya. Aman.Aku tentu saja lega. "Iya. Terima kasih sudah menyelamatkanku."Agak canggung, tapi aku usahakan untuk tampak ramah. Dia mungkin pelindungku, tapi tentu aku tidak bisa bersikap santai apalagi kami baru saja bertemu.Tidak ada balasan. Dia sepertinya menunggu perintahku."Um, aku ingin melihatmu!" titahku ragu. Maksudku, aku tidak mungkin membiarkannya berdiri canggung di sana. Kami harus saling tatap.Dia pun muncul.Rambutnya pirang dan disisir lumayan rapi, serta mata biru dan kulit putih seperti orang Ezilis.Dia juga membawa baki berisi minuman hanga
"Astaga, lo beneran lupa kaya kata Khidir," komentar Ezekiel kala dengar aku terkejut."Khidir?" Terdengar aneh kalau dia tahu, tapi mengingat Mariam lantas membuatku pikir ini sedikit masuk akal. "Kalian sudah berapa lama berkomplot?"Ezekiel langsung duduk di sofa. "Berkomplot? Kesannya rada anu."Aku benar-benar bingung. "Maksudku, sejak kapan kalian saling kenal setelah bereinkarnasi? Tahu dari mana? Jangan bilang semua Guardian sudah saling bagi surat secara rahasia."Ezekiel tersenyum, ia menepuk pelan sofa di sampingnya. "Duduk dulu."Aku pun duduk di sisinya.Aku tahu dia menatapku, tapi aku entah kenapa tidak membalas. Barangkali, sudah biasa bagiku malu terhadap lawan jenis. Kemarin Nemesis, sekarang Ezekiel. Ah, kuharap aku tidak berdebar lagi setelah melihat lelaki.Aku tahu kenapa aku gugup. Tidak sengaja aku duduk terlalu dekat dengannya, tepat di bawah tangan kanannya yang seakan merangkul aku."Sudah lama kami bertukar kisah," kat
Kini aku sedikit paham gambaran apa yang bakal terjadi berikutnya.Misi pertama barangkali penyelamatan atas diriku. Kemudian melindungi dari Zibaq. Tak heran kenapa aku seolah dikurung di sini.Misi kedua mungkin penyelamatan rakyat Aibarab yang kini entah di mana disembunyikan. Yang pasti, mereka bisa jadi dijadikan umpan bagi Zibaq.Sekarang, tugasku tidak lain hanya menunggu. Di tempat tersembunyi ini. Bersama gadis rubah."Apa boleh keliling kota sebentar?" tanyaku yang sudah bosan. "Mungkin." Itu saja jawaban Safir.Dulu, biasanya kami ada jadwal keliling kota bersama bahkan makan di malam sebelum hari libur agar besok bisa tidur lebih lama. Tapi, situasi sekarang sepertinya tidak memadai. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi di luar sampai-sampai Ezekiel mendadak sibuk seperti ini."Ini hari apa?" tanyaku.Safir pun menyebut hari."Berarti besok libur," komentarku. "Harusnya kita bisa bersantai sampai tengah malam.""Ya," balas Safir yang kini
"Hah?" Hanya itu tanggapanku."Gue curi pas masih di Shan dulu, ingat?" balas Ezekiel, terdengar tidak berdosa. "Saat itu kepepet banget. Gue butuh itu buat bantu kita selamat. Yah, meski ujungnya meledak, tapi bisa mencegah, sedikit."Aku tentu saja tidak tahu apa yang dia bicarakan. Maksudku, kejadian sebelum tragedi Shan saja belum jelas. Dan dia bertingkah seakan aku tahu semua ini."Jadi, ini senjata perang?" tebakku."Enggak salah, sih," jawabnya. "Yang pasti, mereka enggak cari gue lagi meski sudah nyolong. Kayaknya ini benda paling hina di sana."Jika benda ajaib ini disebut hina di sana, lalu apa kabar dengan negeri kelahiranku? Atau dunia ini?"Kejadian mana yang kaumaksud?" tanyaku. Merujuk pada Shan sebelum runtuh.Ezekiel memakan sebungkus permen lagi. Mengunyah dan mengecap. Sesekali terdengar bunyi retakan dari permen yang hancur akibat gigitannya. Begitu saja terus selama beberapa menit. Seakan menghindar, bahkan aku hampir lupa apa y
"Gigantropy, ya?" Ezekiel mengulangi ucapan River. "Hm, gue sudah tahu.""Benarkah?" River mengangkat sebelah alis. "Akhir-akhir ini, baru saja terjadi kebakaran besar disebabkan Gigantropy Api dan kulihat kamu tidak bertindak sama sekali."Jangan-jangan di hari pertama aku di sini. Zibaq sepertinya tahu, makanya aku langsung dilempar tepat ketika Gigantropy Api tadi mengamuk dan ia jelas ingin membakarku jika kadalnya gagal. Saat itulah kadalnya datang dan memangsa Gill demi melindungiku.Untungnya, Ezekiel lekas menyelamatkanku. Meski ... Aku sendiri tidak tahu nasib Gill sesungguhnya."Dia melindungiku," ujarku membela Ezekiel. "Pasti kelelahan setelahnya, wajar kalau tidak bisa melawan makhluk itu."Maksudku, Ezekiel sudah pasti kelelahan seusai penyelamatan dan tidak mungkin langsung bisa melawan Gigantropy yang menurutku pasti berwujud besar sama seperti kekuatannya. Dia harus istirahat.Kuamati River, tampak murung seakan tidak setuju. Sepertinya jawab
Aku berbaring di kasurku beberapa jam setelahnya, tanpa disambut oleh Safir yang juga tidak jelas kabarnya. Aku memakai piama sederhana berwarna putih yang sudah disediakan. Tidak heran karena sudah pasti telah ada sejak Ezekiel mendengar kabar tentangku. Aku tahu ketika iseng membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian yang cocok. Mungkin saja ini pakaian untuk saudarinya atau dia yang begitu siap menyambutku. Kutanyakan nanti ketika ia pulang untuk memastikan.Seusai berganti, aku langsung berbaring. Aku tidak mencemaskan keamanan lantaran kamarku sendiri sudah tersedia kunci sementara uangnya ada di sisiku. Belum pernah aku merasa sesantai ini. Barangkali bawaan aura dari Ezekiel, meski dia jelas sudah membuat seseorang marah padanya waktu itu. Tapi, aku sudah melihat kepribadian itu pada Mariam. Jadi, hal ini sudah lumrah terjadi meski kadang aku ingin menegur sesekali. Sesekali yang bahkan hampir tidak sama sekali.Aku dengar bunyi pintu terbuka.Aku lan
Kota Adrus, seperti yang kujelaskan sebelumnya, tidak beda jauh dibandingkan Ezilis. Beberapa warga yang kulihat lebih tampak seperti manusia ketimbang yang di Aibarab. Sebagian besar berkulit pucat dan kebanyakan lebih rendah dari rata-rata orang Aibarab. Meski demikian, aku yakin kekuatan sihir mereka tidak kalah dari masyarakat yang biasa kulihat. Sambil menggenggam tas kecilku, aku menyusuri jalanan seorang diri. Baru kali ini aku benar-benar sendirian tanpa dikawal. Memang ini merupakan pengalaman langka, tapi aku kurang nyaman apalagi jika berada di tempat asing. Dari segi penampilan, aku memang seperti kebanyakan orang. Tapi, masih lemah di sihir. Meski sudah hidup berdampingan dengan makhluk sihir pun aku masih tidak bisa. Kecuali ilmu perdukunan yang takut diterapkan karena kebanyakan berurusan dengan jin atau iblis yang pada dasarnya musuh kami. Kecuali Zahra tentunya.Para warga di sini, untungnya, tidak menatapku terlalu lama melainkan sekilas. Mereka antar
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.