Kini aku sedikit paham gambaran apa yang bakal terjadi berikutnya.
Misi pertama barangkali penyelamatan atas diriku. Kemudian melindungi dari Zibaq. Tak heran kenapa aku seolah dikurung di sini.Misi kedua mungkin penyelamatan rakyat Aibarab yang kini entah di mana disembunyikan. Yang pasti, mereka bisa jadi dijadikan umpan bagi Zibaq.Sekarang, tugasku tidak lain hanya menunggu. Di tempat tersembunyi ini. Bersama gadis rubah."Apa boleh keliling kota sebentar?" tanyaku yang sudah bosan."Mungkin." Itu saja jawaban Safir.Dulu, biasanya kami ada jadwal keliling kota bersama bahkan makan di malam sebelum hari libur agar besok bisa tidur lebih lama. Tapi, situasi sekarang sepertinya tidak memadai. Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi di luar sampai-sampai Ezekiel mendadak sibuk seperti ini."Ini hari apa?" tanyaku.Safir pun menyebut hari."Berarti besok libur," komentarku. "Harusnya kita bisa bersantai sampai tengah malam.""Ya," balas Safir yang kini"Hah?" Hanya itu tanggapanku."Gue curi pas masih di Shan dulu, ingat?" balas Ezekiel, terdengar tidak berdosa. "Saat itu kepepet banget. Gue butuh itu buat bantu kita selamat. Yah, meski ujungnya meledak, tapi bisa mencegah, sedikit."Aku tentu saja tidak tahu apa yang dia bicarakan. Maksudku, kejadian sebelum tragedi Shan saja belum jelas. Dan dia bertingkah seakan aku tahu semua ini."Jadi, ini senjata perang?" tebakku."Enggak salah, sih," jawabnya. "Yang pasti, mereka enggak cari gue lagi meski sudah nyolong. Kayaknya ini benda paling hina di sana."Jika benda ajaib ini disebut hina di sana, lalu apa kabar dengan negeri kelahiranku? Atau dunia ini?"Kejadian mana yang kaumaksud?" tanyaku. Merujuk pada Shan sebelum runtuh.Ezekiel memakan sebungkus permen lagi. Mengunyah dan mengecap. Sesekali terdengar bunyi retakan dari permen yang hancur akibat gigitannya. Begitu saja terus selama beberapa menit. Seakan menghindar, bahkan aku hampir lupa apa y
"Gigantropy, ya?" Ezekiel mengulangi ucapan River. "Hm, gue sudah tahu.""Benarkah?" River mengangkat sebelah alis. "Akhir-akhir ini, baru saja terjadi kebakaran besar disebabkan Gigantropy Api dan kulihat kamu tidak bertindak sama sekali."Jangan-jangan di hari pertama aku di sini. Zibaq sepertinya tahu, makanya aku langsung dilempar tepat ketika Gigantropy Api tadi mengamuk dan ia jelas ingin membakarku jika kadalnya gagal. Saat itulah kadalnya datang dan memangsa Gill demi melindungiku.Untungnya, Ezekiel lekas menyelamatkanku. Meski ... Aku sendiri tidak tahu nasib Gill sesungguhnya."Dia melindungiku," ujarku membela Ezekiel. "Pasti kelelahan setelahnya, wajar kalau tidak bisa melawan makhluk itu."Maksudku, Ezekiel sudah pasti kelelahan seusai penyelamatan dan tidak mungkin langsung bisa melawan Gigantropy yang menurutku pasti berwujud besar sama seperti kekuatannya. Dia harus istirahat.Kuamati River, tampak murung seakan tidak setuju. Sepertinya jawab
Aku berbaring di kasurku beberapa jam setelahnya, tanpa disambut oleh Safir yang juga tidak jelas kabarnya. Aku memakai piama sederhana berwarna putih yang sudah disediakan. Tidak heran karena sudah pasti telah ada sejak Ezekiel mendengar kabar tentangku. Aku tahu ketika iseng membuka lemari dan menemukan beberapa pakaian yang cocok. Mungkin saja ini pakaian untuk saudarinya atau dia yang begitu siap menyambutku. Kutanyakan nanti ketika ia pulang untuk memastikan.Seusai berganti, aku langsung berbaring. Aku tidak mencemaskan keamanan lantaran kamarku sendiri sudah tersedia kunci sementara uangnya ada di sisiku. Belum pernah aku merasa sesantai ini. Barangkali bawaan aura dari Ezekiel, meski dia jelas sudah membuat seseorang marah padanya waktu itu. Tapi, aku sudah melihat kepribadian itu pada Mariam. Jadi, hal ini sudah lumrah terjadi meski kadang aku ingin menegur sesekali. Sesekali yang bahkan hampir tidak sama sekali.Aku dengar bunyi pintu terbuka.Aku lan
Kota Adrus, seperti yang kujelaskan sebelumnya, tidak beda jauh dibandingkan Ezilis. Beberapa warga yang kulihat lebih tampak seperti manusia ketimbang yang di Aibarab. Sebagian besar berkulit pucat dan kebanyakan lebih rendah dari rata-rata orang Aibarab. Meski demikian, aku yakin kekuatan sihir mereka tidak kalah dari masyarakat yang biasa kulihat. Sambil menggenggam tas kecilku, aku menyusuri jalanan seorang diri. Baru kali ini aku benar-benar sendirian tanpa dikawal. Memang ini merupakan pengalaman langka, tapi aku kurang nyaman apalagi jika berada di tempat asing. Dari segi penampilan, aku memang seperti kebanyakan orang. Tapi, masih lemah di sihir. Meski sudah hidup berdampingan dengan makhluk sihir pun aku masih tidak bisa. Kecuali ilmu perdukunan yang takut diterapkan karena kebanyakan berurusan dengan jin atau iblis yang pada dasarnya musuh kami. Kecuali Zahra tentunya.Para warga di sini, untungnya, tidak menatapku terlalu lama melainkan sekilas. Mereka antar
"Menghilang?" Ezekiel membeo. "Ya, terakhir kudengar, mereka mencarimu," kata Ascella. "Kamu ada klien lain?"Aneh, padahal malam kemarin tampak baik-baik saja. Pelindungku mungkin sedang berburu Gigantropy, tapi tidak pernah membahas kliennya lagi. Apa aku harus bicara? Tidak, aku tidak ingin keceplosan. Barangkali bisa dijawab oleh pelindungku lain waktu."Terakhir kabarnya sedang bikin kontrak," ujar Ezekiel. "Malam itu, dia memberi uang muka lalu pergi." "Dia pergi ke mana?" tanya Ascella. "Itu privasinya," balas Ezekiel. "Kalau mau mencarinya, mending lapor ke polisi saja." "Aku tahu dia menemuimu karena tahu sesuatu," kata Ascella. "Dia tahu tentangmu." "Semua orang di kota ini tahu siapa," balas Ezekiel. "Gue populer, lho." "Bukan begitu!" sanggah Ascella. "Dia tahu identitasmu." "Ya, gue Pemburu Sihir."Saat itulah, aku terkejut melihatnya langsung mengubah gaya bicara seperti sedia kala. Ascella tampaknya tidak merisaukan
"Lari! Gigantropy!"Api biru telah membakar taman. Sebagian telah berlari menyelamatkan diri. Sementara sebagiannya lagi justru terdiam menyaksikan apa gerangan yang terjadi. Untungnya belum terlihat ada yang terbakar.Tidak ada raungan seperti yang kubayangkan, justru hanya dentuman bunyi akibat langkah kaki raksasa disertai jeritan korbannya yang ketakutan.Aku hanya bisa terpaku. Entah kenapa kaki tidak ingin bergerak kala bahaya berdiri tepat di depanku. Padahal sebelumnya aku biasa memacu langkah saat bahaya mengintai dan kini malah justru terpaku bagai patung.Saat itulah, semburan api biru menyebar ke segala arah hingga menciptakan neraka kecil di tengah kota. Terlihat indah namun mematikan di saat yang sama.Aneh, kenapa terasa tidak asing?Aku jadi ingat yang menyambutku pertama kali di Arosia. Bukan, itu api merah. Tapi, kenapa aku seakan kenal dengan ini?Count punya api hitam, sama dengan Akram. Tapi ini berbeda. Bisa jadi ini api berasal
«Liliane» Dad bersandar di sisi jendela, matanya hampir tertutup serta pandangan kosong menunjukkan betapa lesanya beliau. Kami baru saja memesan kereta untuk berkunjung, rumah target sebentar lagi muncul. Seusai mendapatkan rumah sementara, kami lalu makan di restaurant, Dad langsung mengajakku bertemu dengan seseorang. "Dad, dari mana dapat rumah secepat itu?" ujarku yang bersandar di sisinya. "Kita baru sampai di sini." Ia tersenyum bangga dan menepuk kepalaku dengan gemas. "Hebat, 'kan, ayahmu ini?" Aku hanya mengiakan. Kalau ada sihir, sudah pasti kami dapat rumah baru seperti bivak alam sederhana. Namun, kini Dad hanya mengandalkan ilmu dan uang seadanya. "Lumayan, bisa buat besok," ujarnya merujuk pada uang saku kami. "Besok, aku akan melamar kerja ke wanita itu." "Kenalanmu?" tebakku. "Tidak juga," jawabnya. "Memang, aku dulu pernah mengenalnya saat masih bujangan. Tapi ... Yah, begitu." Aku paham, ia sengaja merahasiakannya. Takut jika sopir mendengar. Aku memandang
Ezekiel bilang, dia akan mengirim buku penuh coretan ini kepada Ascella. Meski kesannya seperti memberi hadiah dengan niat terselubung. Seusai kejadian tadi, aku sedikit kecewa melihat pelindungku tidak mendapatkan upah karena kulihat dia pulang dengan tangan kosong dan malah berbaring di sofa.Aku sampaikan protesku. "Mereka tidak berterima kasih sama sekali? Padahal mereka tidak bisa lari dari kejaran Gigantropy dan justru tidak menghargai usahamu."Ezekiel yang tengah berbaring di sofanya masih asyik dengan gawai. "Sudah, Putri. Gue sudah dapat upah meski dari ceceran.""Hah?""Beberapa tadi kehilangan uang di jalan, 'kan?" balas Ezekiel. "Nah, begitu saja cukup, kok."Aku hendak protes, tapi tidak punya alasan kuat. Sangat janggal jika penduduk kota ini tidak menghargai usaha Ezekiel padahal dia bisa saja mencegah lebih banyak kematian, sedikit saja terlambat bisa fatal. Barangkali di lain waktu ia bisa melindungi semua orang. Aku percaya itu."Lagian gue juga enggak sempet bunuh