Ezekiel bilang, dia akan mengirim buku penuh coretan ini kepada Ascella. Meski kesannya seperti memberi hadiah dengan niat terselubung. Seusai kejadian tadi, aku sedikit kecewa melihat pelindungku tidak mendapatkan upah karena kulihat dia pulang dengan tangan kosong dan malah berbaring di sofa.Aku sampaikan protesku. "Mereka tidak berterima kasih sama sekali? Padahal mereka tidak bisa lari dari kejaran Gigantropy dan justru tidak menghargai usahamu."Ezekiel yang tengah berbaring di sofanya masih asyik dengan gawai. "Sudah, Putri. Gue sudah dapat upah meski dari ceceran.""Hah?""Beberapa tadi kehilangan uang di jalan, 'kan?" balas Ezekiel. "Nah, begitu saja cukup, kok."Aku hendak protes, tapi tidak punya alasan kuat. Sangat janggal jika penduduk kota ini tidak menghargai usaha Ezekiel padahal dia bisa saja mencegah lebih banyak kematian, sedikit saja terlambat bisa fatal. Barangkali di lain waktu ia bisa melindungi semua orang. Aku percaya itu."Lagian gue juga enggak sempet bunuh
"Putri."Terdengar suara di balik kegelapan malam."Putri."Mataku masih terlalu berat, terpaksa kubalas dengan segenap tenaga. "Ya?""Lo tadi yang selimutin gue?"Aku mengiakan, malas mempermasalahkan jika Ezekiel protes."Makasih, ya." Hanya dengan itu, kurasakan selembar kain menutupi badanku. Dia ternyata menyelimutiku juga, barangkali mengembalikan kain tadi lantaran tidak memakai.Lalu, kurasakan dia duduk di sisiku."Gue tadi enggak sengaja tidur," ujarnya.Aku mengiakan, masih mengantuk."Lalu bangun-bangun gue kaget ternyata lo kasih gue selimut," ujarnya. "Lo manis juga, ya."Aku lagi-lagi mengiakan. Sudahlah, lebih baik tidur sebelum dia terlalu memuji."Gue enggak pernah ketemu orang semanis lo."Lihat? Dia sudah mulai memuji dan pasti akan semakin parah."Gue tahunya mereka cuma ikutin aturan ala gue, paham, 'kan? Kalau belum, nanti kukasih tahu.""Tidak perlu," balasku malas.Ezekiel melanjutkan. "Serius, lo dulu pas di Shan sangat manis malah. Sekarang saja rada beda.
"Kalau begitu, kenapa tidak tolak saja?" tanyaku. "Kalau tidak ikhlas begitu.""Gue bukannya enggak ikhlas, Putri," ujar Ezekiel sambil kembali berbaring di sofa. "Tapi, gue terbiasa melihat penyihir kerja sendirian. Kalau berkelompok biasanya bakal kacau.""Memangnya kenapa?" heranku. "Kalian, Guardian, juga berkelompok, bukan?""Kami biasanya kerja sendiri, kok," sanggah Ezekiel. "Kami bakal bergabung kalau kepepet.""Begitu." Aku bersedekap, setengah percaya dan tidak.Biasanya kulihat memang kadang mereka bertarung berkelompok saat bersamaku. Tapi, ucapannya memang ada benarnya. Saat kali pertama mengenal mereka, memang lebih sering bertarung sendiri sementara aku berusaha menghindari bahaya. Sementara bekerja sama hanya terjadi sesekali jika Zibaq berbuat onar. Lantas, kenapa Ezekiel menerima tawaran dari Helia untuk bekerja sama?Ezekiel mengiakan lalu mengubah topik. "Cara bocah itu menatap lo benar-benar meresahkan.""Iya, kah?" Aku bahkan tidak tahu jika Ascella menatapku sel
Tanganku refleks mencengkeram erat pasak, mengarahkannya ke jantung makhluk itu sebelum terjatuh.Bruk!Aku jatuh sambil tetap mempertahankan posisi pasak menghadap dada makhluk tadi.Terdengar bunyi geraman dan jeritan memekakan telinga.Geligi tajam menghias pandangan selagi aku berjuang memastikan benda itu tidak menusukku.Matanya besar, tampak dipenuhi warna hitam tanpa pupil seakan tidak bernyawa tapi dikendalikan oleh sesuatu yang jahat. Badannya kurus tanpa busana, lengkap dengan jemari panjang yang tadi nyaris mematahkan leher.Krak!Aku berhasil menusuk dadanya, meski tidak begitu dalam.Keluar cairan merah gelap membanjiri tangan dan pakaianku. Disertai bau amis yang menyengat.Aku menahan mual dan menarik kembali pasak itu meski makhluk tadi memberontak.Krak!Dengan cepat aku tusuk matanya agar tidak bisa melihatku.Aku bergegas berdiri dan lari meninggalkan pasak itu menancap di salah satu bola matanya. Jika aku mengulur waktu, sudah pasti aku akan dimangsa olehnya.Makh
"Ini rumahmu?" tanyaku dengan pelan setibanya kami di sebuah tempat. Tanganku masih mengenggam tangannya, dan itu terasa dingin.Darren mengiakan. Kuharap dia tidak menyadari betapa dinginnya tanganku. Perburuan monster pertamaku sukses membuatku gugup bahkan setelah selamat sekali pun. Sedikit memalukan memang, pergi sendiri lalu diselamatkan. Rasanya lebih baik aku bersama mereka sedari awal, bukan memencar. Ah, Safir ini, main pergi saja.Darren melanjutkan langkah, sepertinya dia tidak menyadari gelagatku. Atau barangkali berpura-pura tidak menyadari. Duh, malunya.Seperti kebanyakan rumah di sini, rumah Darren terbuat dari batu bata dan sedikit menjorok ke tanah lengkap dengan pagar kawat berduri mengelilingi. Aku tahu betul fungsi utamanya untuk melindungi diri dari terkaman monster sekitar. Menyadari bahwa seluruh penduduk setiap daerah di dunia ini tidak ada amannya. Yang punya rumah saja dihantui, apalagi yang tidak punya sama sekali.Aku juga tidak tahu persis status keuan
Entah kerasukan apa dia, tetapi keesokan harinya Ezekiel bertingkah seperti biasa seakan tidak pernah mengucapkan kalimat tadi.Pada pagi hari, aku berjalan seorang diri lagi melintasi kota Adrus sesuai dengan rencananya. Meski tidak lagi bersama Safir. Barangkali dia tidak ingin wanita itu melemparku tepat di kerumunan monster lagi.Kota Adrus kali ini tampak lebih ramai dipenuhi beberapa pejalan kaki, apalagi tujuanku ke pusat perbelanjaan, bakal semakin banyak orang yang kulihat."Thalia!"Aku dikejutkan dengan panggilan dari anak itu. Ya, memang suara khasnya kadang membuatku risi."Mau ke mana?" tanya Ascella, tentu saja dengan senyuman manis itu."Ke pasar," jawabku. Tidak mau berbasa-basi, aku lalu pamit. "Aku terburu-buru, nih. Dadah!""Thalia!" Ascella justru berdiri di sampingku. "Aku tahu sedikit tentang pasar di sini. Aku temani, ya."Aduhai, ada apa dengannya?Mau tidak mau, aku biarkan Ascella menemaniku melintasi pasar."Thalia.
Darren berdiri di depanku. Tatapan mengarah padanya.Aku menatap mereka satu per satu. Mereka saling kenal, tapi entah kenapa saat bertatapan mereka seakan malas berjumpa lagi.Ezekiel menatap Darren tanpa reaksi, sama persis seperti satunya. Keduanya tampak saling menyamakan diri.Aku lirik makhluk kurus yang kini membeku. Tatapan matanya yang kosong terasa menusuk badanku. Membuat bulu kuduk meremang, apalagi dengan kisah yang pernah disampaikan Nemesis beberapa waktu lalu. Ciri-ciri makhluk ini persis seperti yang dituturkan.***Waktu itu aku melihat bayangan serigala di balik jendelanya. Serigala itu berbulu putih, cukup besar, dan begitu tatapan kami bertemu dia lenyap beserta angin."Apa itu?" tanya Nemesis yang tadinya tampak khusyuk menatap perapian."Cuma serigala," jawabku."Kukira Wendigo.""Apa itu Wendigo?" tanyaku."Wendigo itu pemangsa yang berbahaya. Ia memiliki badan yang kurus dan begitu pucat. Ia senang memangsa makhluk ber
Aku amati pemandangan sungai yang cukup jernih di sebelah kiri. Kami duduk dekat jendela, langsung menampilkan pemandangan sungai. Ditambah dengan beberapa orang yang ikut mengamati entah apa dicari.Kubiarkan Ezekiel sibuk mengobrol dengan beberapa orang yang jaraknya sekitar tiga meja dariku. Pelindungku ini begitu antusias menceritakan sesuatu dilihat dari gerakan tangan dan barangkali dia melotot saking semangatnya bercerita. Para penonton pun tampak tertarik dengan kisahnya. Bahkan kulihat ada yang ternganga.Aku pun memasang telinga daripada bosan menunggu makanan. Sepertinya obrolan mereka tampak menarik."Biasanya kalau menangkap monster berapa kali sekali?" tanya seseorang."Enggak setiap hari, lah," jawab Ezekiel. "Kadang beberapa minggu sekali. Tergantung segawat apa situasi.""Berapa bayar buat nyewa lo?" tanya seseorang lagi.Ah, sepertinya begitu cara orang Arosia bicara. Jadi, tidak lagi aneh kalau Ezekiel bicara seperti itu. Bagaimana dengan a
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.