"Kalau begitu, kenapa tidak tolak saja?" tanyaku. "Kalau tidak ikhlas begitu.""Gue bukannya enggak ikhlas, Putri," ujar Ezekiel sambil kembali berbaring di sofa. "Tapi, gue terbiasa melihat penyihir kerja sendirian. Kalau berkelompok biasanya bakal kacau.""Memangnya kenapa?" heranku. "Kalian, Guardian, juga berkelompok, bukan?""Kami biasanya kerja sendiri, kok," sanggah Ezekiel. "Kami bakal bergabung kalau kepepet.""Begitu." Aku bersedekap, setengah percaya dan tidak.Biasanya kulihat memang kadang mereka bertarung berkelompok saat bersamaku. Tapi, ucapannya memang ada benarnya. Saat kali pertama mengenal mereka, memang lebih sering bertarung sendiri sementara aku berusaha menghindari bahaya. Sementara bekerja sama hanya terjadi sesekali jika Zibaq berbuat onar. Lantas, kenapa Ezekiel menerima tawaran dari Helia untuk bekerja sama?Ezekiel mengiakan lalu mengubah topik. "Cara bocah itu menatap lo benar-benar meresahkan.""Iya, kah?" Aku bahkan tidak tahu jika Ascella menatapku sel
Tanganku refleks mencengkeram erat pasak, mengarahkannya ke jantung makhluk itu sebelum terjatuh.Bruk!Aku jatuh sambil tetap mempertahankan posisi pasak menghadap dada makhluk tadi.Terdengar bunyi geraman dan jeritan memekakan telinga.Geligi tajam menghias pandangan selagi aku berjuang memastikan benda itu tidak menusukku.Matanya besar, tampak dipenuhi warna hitam tanpa pupil seakan tidak bernyawa tapi dikendalikan oleh sesuatu yang jahat. Badannya kurus tanpa busana, lengkap dengan jemari panjang yang tadi nyaris mematahkan leher.Krak!Aku berhasil menusuk dadanya, meski tidak begitu dalam.Keluar cairan merah gelap membanjiri tangan dan pakaianku. Disertai bau amis yang menyengat.Aku menahan mual dan menarik kembali pasak itu meski makhluk tadi memberontak.Krak!Dengan cepat aku tusuk matanya agar tidak bisa melihatku.Aku bergegas berdiri dan lari meninggalkan pasak itu menancap di salah satu bola matanya. Jika aku mengulur waktu, sudah pasti aku akan dimangsa olehnya.Makh
"Ini rumahmu?" tanyaku dengan pelan setibanya kami di sebuah tempat. Tanganku masih mengenggam tangannya, dan itu terasa dingin.Darren mengiakan. Kuharap dia tidak menyadari betapa dinginnya tanganku. Perburuan monster pertamaku sukses membuatku gugup bahkan setelah selamat sekali pun. Sedikit memalukan memang, pergi sendiri lalu diselamatkan. Rasanya lebih baik aku bersama mereka sedari awal, bukan memencar. Ah, Safir ini, main pergi saja.Darren melanjutkan langkah, sepertinya dia tidak menyadari gelagatku. Atau barangkali berpura-pura tidak menyadari. Duh, malunya.Seperti kebanyakan rumah di sini, rumah Darren terbuat dari batu bata dan sedikit menjorok ke tanah lengkap dengan pagar kawat berduri mengelilingi. Aku tahu betul fungsi utamanya untuk melindungi diri dari terkaman monster sekitar. Menyadari bahwa seluruh penduduk setiap daerah di dunia ini tidak ada amannya. Yang punya rumah saja dihantui, apalagi yang tidak punya sama sekali.Aku juga tidak tahu persis status keuan
Entah kerasukan apa dia, tetapi keesokan harinya Ezekiel bertingkah seperti biasa seakan tidak pernah mengucapkan kalimat tadi.Pada pagi hari, aku berjalan seorang diri lagi melintasi kota Adrus sesuai dengan rencananya. Meski tidak lagi bersama Safir. Barangkali dia tidak ingin wanita itu melemparku tepat di kerumunan monster lagi.Kota Adrus kali ini tampak lebih ramai dipenuhi beberapa pejalan kaki, apalagi tujuanku ke pusat perbelanjaan, bakal semakin banyak orang yang kulihat."Thalia!"Aku dikejutkan dengan panggilan dari anak itu. Ya, memang suara khasnya kadang membuatku risi."Mau ke mana?" tanya Ascella, tentu saja dengan senyuman manis itu."Ke pasar," jawabku. Tidak mau berbasa-basi, aku lalu pamit. "Aku terburu-buru, nih. Dadah!""Thalia!" Ascella justru berdiri di sampingku. "Aku tahu sedikit tentang pasar di sini. Aku temani, ya."Aduhai, ada apa dengannya?Mau tidak mau, aku biarkan Ascella menemaniku melintasi pasar."Thalia.
Darren berdiri di depanku. Tatapan mengarah padanya.Aku menatap mereka satu per satu. Mereka saling kenal, tapi entah kenapa saat bertatapan mereka seakan malas berjumpa lagi.Ezekiel menatap Darren tanpa reaksi, sama persis seperti satunya. Keduanya tampak saling menyamakan diri.Aku lirik makhluk kurus yang kini membeku. Tatapan matanya yang kosong terasa menusuk badanku. Membuat bulu kuduk meremang, apalagi dengan kisah yang pernah disampaikan Nemesis beberapa waktu lalu. Ciri-ciri makhluk ini persis seperti yang dituturkan.***Waktu itu aku melihat bayangan serigala di balik jendelanya. Serigala itu berbulu putih, cukup besar, dan begitu tatapan kami bertemu dia lenyap beserta angin."Apa itu?" tanya Nemesis yang tadinya tampak khusyuk menatap perapian."Cuma serigala," jawabku."Kukira Wendigo.""Apa itu Wendigo?" tanyaku."Wendigo itu pemangsa yang berbahaya. Ia memiliki badan yang kurus dan begitu pucat. Ia senang memangsa makhluk ber
Aku amati pemandangan sungai yang cukup jernih di sebelah kiri. Kami duduk dekat jendela, langsung menampilkan pemandangan sungai. Ditambah dengan beberapa orang yang ikut mengamati entah apa dicari.Kubiarkan Ezekiel sibuk mengobrol dengan beberapa orang yang jaraknya sekitar tiga meja dariku. Pelindungku ini begitu antusias menceritakan sesuatu dilihat dari gerakan tangan dan barangkali dia melotot saking semangatnya bercerita. Para penonton pun tampak tertarik dengan kisahnya. Bahkan kulihat ada yang ternganga.Aku pun memasang telinga daripada bosan menunggu makanan. Sepertinya obrolan mereka tampak menarik."Biasanya kalau menangkap monster berapa kali sekali?" tanya seseorang."Enggak setiap hari, lah," jawab Ezekiel. "Kadang beberapa minggu sekali. Tergantung segawat apa situasi.""Berapa bayar buat nyewa lo?" tanya seseorang lagi.Ah, sepertinya begitu cara orang Arosia bicara. Jadi, tidak lagi aneh kalau Ezekiel bicara seperti itu. Bagaimana dengan a
"Putri." Ezekiel memanggil."Ya?" balasku."Dari Ascella, ya?" tanyanya."Iya," jawabku singkat, masih fokus membaca.Barulah kusadari, ada bayangan tinggi selama ini berada di belakangku, tertanda dia berdiri sejak tadi dan menunggu.Dan itu jelas membuat tanganku tanpa disadari mendekatkan surat itu padanya.Ezekiel membaca surat itu tepat ketika aku mendekatkannya. Dia di tampak fokus membaca.Mata birunya tampak gelap layaknya jurang tanpa dasar. Dia tidak bicara selama beberapa saat seakan sedang menahan diri untuk tidak berucap sesuatu yang tidak sepantasnya. Matanya terus menyusuri kata demi kata hingga ke bagian akhir surat.Aku hanya bisa melihat bagian luar dan menafsirkan sendiri. Semua yang kulihat akan kucoba pahami sendiri baru kemudian melihat kenyataannya nanti. Saat itu, aku hanya menyakini kalau Ezekiel cemburu setelah membaca surat itu."Dia? Mengajak lo?" Ezekiel mengangkat sebelah alis, dia tersenyum mengejek. "Mana bisa!"
"Lari! Gigantropy!"Api biru telah membakar taman. Sebagian telah berlari menyelamatkan diri. Sementara sebagiannya lagi justru terdiam menyaksikan apa gerangan yang terjadi. Untungnya belum terlihat ada yang terbakar.Tidak ada raungan seperti yang kubayangkan, justru hanya dentuman bunyi akibat langkah kaki raksasa disertai jeritan korbannya yang ketakutan.Aku hanya bisa terpaku. Entah kenapa kaki tidak ingin bergerak kala bahaya berdiri tepat di depanku. Padahal sebelumnya aku biasa memacu langkah saat bahaya mengintai dan kini malah justru terpaku bagai patung.Saat itulah, semburan api biru menyebar ke segala arah hingga menciptakan neraka kecil di tengah kota. Terlihat indah namun mematikan di saat yang sama.Aneh, kenapa terasa tidak asing?Aku jadi ingat yang menyambutku pertama kali di Arosia. Bukan, itu api merah. Tapi, kenapa aku seakan kenal dengan ini?Count punya api hitam, sama dengan Akram. Tapi ini berbeda. Bisa jadi ini api berasal dari