"Ini rumahmu?" tanyaku dengan pelan setibanya kami di sebuah tempat. Tanganku masih mengenggam tangannya, dan itu terasa dingin.Darren mengiakan. Kuharap dia tidak menyadari betapa dinginnya tanganku. Perburuan monster pertamaku sukses membuatku gugup bahkan setelah selamat sekali pun. Sedikit memalukan memang, pergi sendiri lalu diselamatkan. Rasanya lebih baik aku bersama mereka sedari awal, bukan memencar. Ah, Safir ini, main pergi saja.Darren melanjutkan langkah, sepertinya dia tidak menyadari gelagatku. Atau barangkali berpura-pura tidak menyadari. Duh, malunya.Seperti kebanyakan rumah di sini, rumah Darren terbuat dari batu bata dan sedikit menjorok ke tanah lengkap dengan pagar kawat berduri mengelilingi. Aku tahu betul fungsi utamanya untuk melindungi diri dari terkaman monster sekitar. Menyadari bahwa seluruh penduduk setiap daerah di dunia ini tidak ada amannya. Yang punya rumah saja dihantui, apalagi yang tidak punya sama sekali.Aku juga tidak tahu persis status keuan
Entah kerasukan apa dia, tetapi keesokan harinya Ezekiel bertingkah seperti biasa seakan tidak pernah mengucapkan kalimat tadi.Pada pagi hari, aku berjalan seorang diri lagi melintasi kota Adrus sesuai dengan rencananya. Meski tidak lagi bersama Safir. Barangkali dia tidak ingin wanita itu melemparku tepat di kerumunan monster lagi.Kota Adrus kali ini tampak lebih ramai dipenuhi beberapa pejalan kaki, apalagi tujuanku ke pusat perbelanjaan, bakal semakin banyak orang yang kulihat."Thalia!"Aku dikejutkan dengan panggilan dari anak itu. Ya, memang suara khasnya kadang membuatku risi."Mau ke mana?" tanya Ascella, tentu saja dengan senyuman manis itu."Ke pasar," jawabku. Tidak mau berbasa-basi, aku lalu pamit. "Aku terburu-buru, nih. Dadah!""Thalia!" Ascella justru berdiri di sampingku. "Aku tahu sedikit tentang pasar di sini. Aku temani, ya."Aduhai, ada apa dengannya?Mau tidak mau, aku biarkan Ascella menemaniku melintasi pasar."Thalia.
Darren berdiri di depanku. Tatapan mengarah padanya.Aku menatap mereka satu per satu. Mereka saling kenal, tapi entah kenapa saat bertatapan mereka seakan malas berjumpa lagi.Ezekiel menatap Darren tanpa reaksi, sama persis seperti satunya. Keduanya tampak saling menyamakan diri.Aku lirik makhluk kurus yang kini membeku. Tatapan matanya yang kosong terasa menusuk badanku. Membuat bulu kuduk meremang, apalagi dengan kisah yang pernah disampaikan Nemesis beberapa waktu lalu. Ciri-ciri makhluk ini persis seperti yang dituturkan.***Waktu itu aku melihat bayangan serigala di balik jendelanya. Serigala itu berbulu putih, cukup besar, dan begitu tatapan kami bertemu dia lenyap beserta angin."Apa itu?" tanya Nemesis yang tadinya tampak khusyuk menatap perapian."Cuma serigala," jawabku."Kukira Wendigo.""Apa itu Wendigo?" tanyaku."Wendigo itu pemangsa yang berbahaya. Ia memiliki badan yang kurus dan begitu pucat. Ia senang memangsa makhluk ber
Aku amati pemandangan sungai yang cukup jernih di sebelah kiri. Kami duduk dekat jendela, langsung menampilkan pemandangan sungai. Ditambah dengan beberapa orang yang ikut mengamati entah apa dicari.Kubiarkan Ezekiel sibuk mengobrol dengan beberapa orang yang jaraknya sekitar tiga meja dariku. Pelindungku ini begitu antusias menceritakan sesuatu dilihat dari gerakan tangan dan barangkali dia melotot saking semangatnya bercerita. Para penonton pun tampak tertarik dengan kisahnya. Bahkan kulihat ada yang ternganga.Aku pun memasang telinga daripada bosan menunggu makanan. Sepertinya obrolan mereka tampak menarik."Biasanya kalau menangkap monster berapa kali sekali?" tanya seseorang."Enggak setiap hari, lah," jawab Ezekiel. "Kadang beberapa minggu sekali. Tergantung segawat apa situasi.""Berapa bayar buat nyewa lo?" tanya seseorang lagi.Ah, sepertinya begitu cara orang Arosia bicara. Jadi, tidak lagi aneh kalau Ezekiel bicara seperti itu. Bagaimana dengan a
"Putri." Ezekiel memanggil."Ya?" balasku."Dari Ascella, ya?" tanyanya."Iya," jawabku singkat, masih fokus membaca.Barulah kusadari, ada bayangan tinggi selama ini berada di belakangku, tertanda dia berdiri sejak tadi dan menunggu.Dan itu jelas membuat tanganku tanpa disadari mendekatkan surat itu padanya.Ezekiel membaca surat itu tepat ketika aku mendekatkannya. Dia di tampak fokus membaca.Mata birunya tampak gelap layaknya jurang tanpa dasar. Dia tidak bicara selama beberapa saat seakan sedang menahan diri untuk tidak berucap sesuatu yang tidak sepantasnya. Matanya terus menyusuri kata demi kata hingga ke bagian akhir surat.Aku hanya bisa melihat bagian luar dan menafsirkan sendiri. Semua yang kulihat akan kucoba pahami sendiri baru kemudian melihat kenyataannya nanti. Saat itu, aku hanya menyakini kalau Ezekiel cemburu setelah membaca surat itu."Dia? Mengajak lo?" Ezekiel mengangkat sebelah alis, dia tersenyum mengejek. "Mana bisa!"
"Lari! Gigantropy!"Api biru telah membakar taman. Sebagian telah berlari menyelamatkan diri. Sementara sebagiannya lagi justru terdiam menyaksikan apa gerangan yang terjadi. Untungnya belum terlihat ada yang terbakar.Tidak ada raungan seperti yang kubayangkan, justru hanya dentuman bunyi akibat langkah kaki raksasa disertai jeritan korbannya yang ketakutan.Aku hanya bisa terpaku. Entah kenapa kaki tidak ingin bergerak kala bahaya berdiri tepat di depanku. Padahal sebelumnya aku biasa memacu langkah saat bahaya mengintai dan kini malah justru terpaku bagai patung.Saat itulah, semburan api biru menyebar ke segala arah hingga menciptakan neraka kecil di tengah kota. Terlihat indah namun mematikan di saat yang sama.Aneh, kenapa terasa tidak asing?Aku jadi ingat yang menyambutku pertama kali di Arosia. Bukan, itu api merah. Tapi, kenapa aku seakan kenal dengan ini?Count punya api hitam, sama dengan Akram. Tapi ini berbeda. Bisa jadi ini api berasal dari
«Liliane»Malam ini, kami kedatangan tamu.Sesuai kesepakatan dengan keluarga Wynter, kami panggil seseorang yang kebetulan dikenal sejak dulu, yang terlibat dalam tragedi keruntuhan Shan.Sejujurnya, aku tahu berkat seorang kenalan baru Dad yang juga sedang mencari kebenaran. Ternyata, memang dia yang dicari dan kami harus segera menjalankan rencana sebelum ketahuan.Hari ini, kami kedatangan sosok yang ditunggu. Sebenarnya, Dad yang mengundangnya dengan sedikit desakan bersama Nisma Wynter yang terlalu ramai ancamannya."Selamat datang, Nyonya," sapa Dad yang tengah menegak teh di sofa. Kami masih menginap di rumah keluarga Wynter, lebih tepatnya di bagian ruang yang tersembunyi tapi tampak seperti ruang depan biasa. Aku tahu betul hari ini terdengar kabar datangnya dia, sosok yang dicari Dad. Tentu saja setelah mendengar kabar itu, dia langsung beraksi."Aku tidak menikah," balas wanita itu. Dia wanita berambut jingga dengan mata warna
Ariya menatapku. "Akhirnya berjumpa lagi. Dari mana saja kau?""Bersama pelindungku," jawabku.Ariya mengalihkan pandangan ke Darren. "Kamu siapa lagi?"Darren tidak menjawab."Kukira kamu tahu," sahut Safir. "Bukannya kalian sudah lama berkenalan?""Aku hanya kenal Hiwaga, Paman Idris, dan Khidir. Jangan sok kenal!" Ariya berkacak pinggang, terkesan tidak menerima kedatangan kami. Safir mencibir. "Kamu kenapa, sih?""Kami menunggu adikmu," ucapku pada Ariya. Berusaha mengakihkan topik daripada membiarkan keadaan memanas."Adik yang mana?" Ariya jelas memiliki banyak adik. Hanya Arsya kakaknya.Aku menjawab, "Akram–""Makanan! Mana makanan?!" Safir jelas sudah tidak sabar.Darren masih berdiri di sisiku, tanpa suara maupun reaksi. Jelas tidak tertarik untuk ikut bicara."Aduh!" Ariya pun berjalan menghampiri kami. Dia tampak manis dengan daster panjang berwarna biru yang selaras dengan rambutnya. "Kalian sudah menumpang, sok penting l
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.