Ariya menatapku. "Akhirnya berjumpa lagi. Dari mana saja kau?"
"Bersama pelindungku," jawabku.Ariya mengalihkan pandangan ke Darren. "Kamu siapa lagi?"Darren tidak menjawab."Kukira kamu tahu," sahut Safir. "Bukannya kalian sudah lama berkenalan?""Aku hanya kenal Hiwaga, Paman Idris, dan Khidir. Jangan sok kenal!" Ariya berkacak pinggang, terkesan tidak menerima kedatangan kami.Safir mencibir. "Kamu kenapa, sih?""Kami menunggu adikmu," ucapku pada Ariya. Berusaha mengakihkan topik daripada membiarkan keadaan memanas."Adik yang mana?" Ariya jelas memiliki banyak adik. Hanya Arsya kakaknya.Aku menjawab, "Akram–""Makanan! Mana makanan?!" Safir jelas sudah tidak sabar.Darren masih berdiri di sisiku, tanpa suara maupun reaksi. Jelas tidak tertarik untuk ikut bicara."Aduh!" Ariya pun berjalan menghampiri kami. Dia tampak manis dengan daster panjang berwarna biru yang selaras dengan rambutnya. "Kalian sudah menumpang, sok penting lSeperti perjalanan sebelumnya, kami menggunakan tranportasi yang tersedia. Salah satunya kereta kuda punya Arsya.Kedua putri Wynter duduk menghadap kami, dengan tatapan dingin tentunya. Sesekali kulihat mereka berbisik dan seolah sengaja memperlihatkannya. Untuk apa?Aku melirik ke sebelah kiri. Mereka terlelap dengan tenang meski tampak sediki terganggu dengan dengkuran Safir. Tapi, tentu saja Darren tidak keberatan atau justru sudah lelap sehingga tidak mendengar sama sekali."Jadi." Arsya memulai obrolan, kali ini rambut hitamnya diikat ke bawah dan lebih panjang dari terakhir kali aku menjumpainya. "Sejak kapan kalian saling mengenal?""Siapa?" sahutku."Kamu dan yang tidur itu." Arsya dengan enteng menunjuk Darren dengan kipas merah tuanya.Enak sekali dia bicara."Kamu belum menjawab pertanyaanku," kata Arsya lagi sambil mengipasi diri. Suaranya terdengar anggun lagi sopan meski ucapan berbanding terbalik."Beberapa hari," jawabku singkat. Maks
Kami terlempar begitu rumah dilahap api. Tubuhku terempas seakan jatuh dari langit sementara api biru dan merah menghiasi pandangan. Begitu tiba di luar, kudengar jeritan warga memekakan telinga.Aku berpegangan erat dengan Darren selagi api biru dikendalikannya. Aneh, aku bahkan tidak merasakan panas sama sekali. Padahal api biru jelas lebih mengerikan dibandingkan yang merah.Darren membawaku ke tempat yang tidak tersentuh api meski hanya beberapa meter saja. "Jaga diri."Setelah mengucapkan itu, dia kembali menghadang Ascella yang tidak jelas rupanya sekarang di balik kobaran api. Tubuh Darren menjelma menjadi raksasa dalam wujud api biru. Mengaum selagi melepas kekuatannya. Rerumahan terbakar, beberapa jeritan perlahan lenyap, ditambah dentuman keras datang dari setiap langkah kaki mereka. Itulah Gigantropy. Raksasa dalam wujud elemen. Melawan Ascella yang mengendalikan api."Tolong! Tolong!"Jeritan itu terus tergiang hingga saat ini. Membuatku kembali
Aku tersentak. Berusaha tenang meski jelas mendengar suara itu. Safir diam, menatap pintu yang menghubungkan rubanah ini dengan ruang luar.Aku tidak ingin serta-merta menunjukkan diri. Suara itu memang familier. Itu suara seseorang yang kukenal. Tapi, di sisi lain berbeda dari yang aku ingat."Kau sembunyi!" bisik Safir.Aku berusaha mencari tempat persembunyian di ruang ini. Hanya meja ini yang bisa melindungi. Maka, aku masuk saja ke bagian bawah meja.Safir melangkah menuju pintu itu lalu membukanya. "Oh, kau rupanya.""Di mana Putri?"Mataku terbalak melihat kaki sosom itu melangkah turun dari tangga penghubung, perlahan mendekat ke meja. Aku ternganga melihat sosok itu."Hei, enggak ada orang di sini?" Dia kembali bicara seakan mengabaikan sosok Safir bersandar di antara dinding."Ezekiel!" Aku menyambutnya sambil perlahan keluar dan berdiri. "Mana Darren?""Lah, justru gue ke sini buat nanya," sahut Ezekiel."Lah?" Aku malah protes
Besoknya, aku tidak melihat Ezekiel maupun Safir, lagi. Keduanya seakan menghilang pada dini hari karena aku bangun tepat ketika matahari terbit saat melihat jendela kamar.Bosan. Kenapa aku harus diam terus?Aku ingin membantu. Sudah sewajarnya aku bertarung di sisi mereka. Namun, sepertinya aku masih dikira hanya akan menjadi beban. Sudahlah, kalau telanjur begini diskusi panjang pun tidak mempan.Aku coba membaca surat yang tergeletak di meja.Jangan ke mana-mana. Gue pergi sebentar.Sudah jelas siapa yang menulis suratnya meski tidak tertulis keterangan penulisnya. Aku menggulung kertas itu lalu membuangnya. Hanya dengan itu, aku kembali di berkeliling rumah Ezekiel sambil mencari sesuatu yang menarik. Ini sudah kesekian kalinya mereka meninggalkanku. Bukan hal baru lagi, memang sejak awal aku selalu disuruh menunggu.Sudah lama aku ingin menemani mereka, atau setidaknya menjadi penolong meski sesekali. Maksudku, siapa tahu lawan kami kali ini akan kalah
Atas kehendak Ezekiel, aku disuruh menunggu saja di rumah sampai dia kembali."Nanti gue jelasin hasilnya," ujar Ezekiel sebelum pamit. "Pokoknya lo jangan ke mana-mana tanpa seizin gue.""Terserah," balasku malas. Apa-apa harus minta izin segala.Aku mengerti kalau dia ingin melindungi, tapi menurutku ini sudah mulai aneh. Aku bisa menjaga diri dan tahu mana bahaya dan aman. Apa dia masih menganggapku sepolos itu? Aku ingat betul dulu sangat ketakutan sampai-sampai tidak mau berpisah dengan Guardian. Tapi, sekarang aku merasa sebaiknya lebih sering menjaga diri ketimbang harus bersama pelindungku terus. Tapi, bagaimana cara membicarakannya nanti?Aku mendengar bunyi benda lembut ditepuk.Rupanya Ariya duduk di sofa ruang tamu menghadap aku. Dia diam saja. Selama beberapa menit lewat hanya helaan napas kami yang terdengar. Sampai akhirnya, dia bicara. Tampak bosan menunggu rapat ala kadar yang terjadi di luar.Dari jendela sudah menunjukkan bahwa malam telah
Ariya pamit beberapa saat setelah Ezekiel pulang. Keduanya tidak mengucapkan sepatah kata selain hanya dengan tatapan. Sepertinya Ariya masih kesal dengannya.Ezekiel pulang membawakan sesuatu. "Gue tahu lo lapar. Ini, gue belikan makanan."Aku berterima kasih. "Jadi, sudah dapat orangnya?"Ezekiel hanya mengiakan. "Sebentar lagi dia tiba. Tapi, gue enggak bakal membiarkan kalian satu ruang tanpa gue yang awasin."Tentu saja."Di mana Darren?" tanyaku."Dia yang jemput," jawabnya. "Sebenarnya agak susah membujuk bocah itu ke sini tanpa diseret Darren.""Dia mungkin takut," tebakku. "Takut?" Entah kenapa Ezekiel terdengar tersinggung."Kalian yang membuatnya takut, sudah memburu, sampai berjuang menyeretnya ke sini lagi." Aku berargumen. Orang lain jelas takut jika diperlakukan begitu. Meski aku tahu Ascella juga terlibat, tapi dia harus bicara. Namun, tentu dia tidak perlu diperlakukan dengan buruk seperti target kami.Ezekiel mengiakan tanda
« Liliane »Sudah beberapa hari kami tinggal di rumah Helia dan aku belum menemukan kejanggalan atau petunjuk. Bahkan Dad tidak menceritakan apa pun, barangkali agar aku tidak membocorkannya atau mungkin beliau juga sama bingungnya denganku. Harusnya dia memberitahu. Bukankah aku diciptakan untuk menjaganya? Memastikan dia tetap berada di jalan semestinya? Barangkali, Dad masih mengira aku hanyalah putrinya yang masih berusia sepuluh tahun. Padahal sudah lewat hampir delapan dekade lamanya. Mungkin, dia bermaksud melindungiku. Mungkin saja. ***Ada aturan yang Dad dan Helia sepakati. Kami hanya boleh makan di tempat yang berbeda, itu pun jadwalnya harus sama, meski kami tidak makan saat itu juga. Kenapa? Tentu saja, kami menunggu dan memastikan jawaban sesungguhnya.Dad biasanya akan mendiamkan makanan kami selama beberapa saat. Ia juga akan mencoba meletakkan makanan itu di antara tumbuhan atau hewan-hewan kecil yang berkerumun. Jika ada reaksi
"Kalau ada apa-apa, kami bakal bantu."Hanya itu pesan dari Ezekiel sebelum dia dan abangnya pergi. Entah apa rencana mereka kali ini. Sekarang, mereka mengizinkan Ascella diam di sini, meski awalnya tentu harus berdebat kecil mengenai keselamatanku. Tapi, ujungnya mau tidak mau keduanya harus meninggalkanku bersama Ascella."Kalau ada apa-apa, bilang," ucapku ke Ascella sebelum pergi meninggalkannya di kamar yang sudah disediakan.Ascella mengangguk, dia membiarkanku pergi. Sebenarnya aku ragu harus menemaninya. Lebih nyaman jika bersama gadis lain seperti Safir. Tapi, aku tahu rubah itu tidak akan menyukainya. Siapa juga yang mau percaya dengan orang lain secepat itu? Tapi, bagiku meninggalkan anak lelaki seorang diri itu bukan hal buruk. Lagi pula, aku bisa datang padanya beberapa saat nanti. Sekarang, aku lebih memilih berteman dengan sesama gadis saja dulu."Aku ke belakang dulu, ya," ujarku canggung sebelum akhirnya pergi.Tidak terlihat reaksi apa pun