Atas kehendak Ezekiel, aku disuruh menunggu saja di rumah sampai dia kembali.
"Nanti gue jelasin hasilnya," ujar Ezekiel sebelum pamit. "Pokoknya lo jangan ke mana-mana tanpa seizin gue.""Terserah," balasku malas. Apa-apa harus minta izin segala.Aku mengerti kalau dia ingin melindungi, tapi menurutku ini sudah mulai aneh. Aku bisa menjaga diri dan tahu mana bahaya dan aman. Apa dia masih menganggapku sepolos itu? Aku ingat betul dulu sangat ketakutan sampai-sampai tidak mau berpisah dengan Guardian. Tapi, sekarang aku merasa sebaiknya lebih sering menjaga diri ketimbang harus bersama pelindungku terus. Tapi, bagaimana cara membicarakannya nanti?Aku mendengar bunyi benda lembut ditepuk.Rupanya Ariya duduk di sofa ruang tamu menghadap aku. Dia diam saja. Selama beberapa menit lewat hanya helaan napas kami yang terdengar. Sampai akhirnya, dia bicara. Tampak bosan menunggu rapat ala kadar yang terjadi di luar.Dari jendela sudah menunjukkan bahwa malam telahAriya pamit beberapa saat setelah Ezekiel pulang. Keduanya tidak mengucapkan sepatah kata selain hanya dengan tatapan. Sepertinya Ariya masih kesal dengannya.Ezekiel pulang membawakan sesuatu. "Gue tahu lo lapar. Ini, gue belikan makanan."Aku berterima kasih. "Jadi, sudah dapat orangnya?"Ezekiel hanya mengiakan. "Sebentar lagi dia tiba. Tapi, gue enggak bakal membiarkan kalian satu ruang tanpa gue yang awasin."Tentu saja."Di mana Darren?" tanyaku."Dia yang jemput," jawabnya. "Sebenarnya agak susah membujuk bocah itu ke sini tanpa diseret Darren.""Dia mungkin takut," tebakku. "Takut?" Entah kenapa Ezekiel terdengar tersinggung."Kalian yang membuatnya takut, sudah memburu, sampai berjuang menyeretnya ke sini lagi." Aku berargumen. Orang lain jelas takut jika diperlakukan begitu. Meski aku tahu Ascella juga terlibat, tapi dia harus bicara. Namun, tentu dia tidak perlu diperlakukan dengan buruk seperti target kami.Ezekiel mengiakan tanda
« Liliane »Sudah beberapa hari kami tinggal di rumah Helia dan aku belum menemukan kejanggalan atau petunjuk. Bahkan Dad tidak menceritakan apa pun, barangkali agar aku tidak membocorkannya atau mungkin beliau juga sama bingungnya denganku. Harusnya dia memberitahu. Bukankah aku diciptakan untuk menjaganya? Memastikan dia tetap berada di jalan semestinya? Barangkali, Dad masih mengira aku hanyalah putrinya yang masih berusia sepuluh tahun. Padahal sudah lewat hampir delapan dekade lamanya. Mungkin, dia bermaksud melindungiku. Mungkin saja. ***Ada aturan yang Dad dan Helia sepakati. Kami hanya boleh makan di tempat yang berbeda, itu pun jadwalnya harus sama, meski kami tidak makan saat itu juga. Kenapa? Tentu saja, kami menunggu dan memastikan jawaban sesungguhnya.Dad biasanya akan mendiamkan makanan kami selama beberapa saat. Ia juga akan mencoba meletakkan makanan itu di antara tumbuhan atau hewan-hewan kecil yang berkerumun. Jika ada reaksi
"Kalau ada apa-apa, kami bakal bantu."Hanya itu pesan dari Ezekiel sebelum dia dan abangnya pergi. Entah apa rencana mereka kali ini. Sekarang, mereka mengizinkan Ascella diam di sini, meski awalnya tentu harus berdebat kecil mengenai keselamatanku. Tapi, ujungnya mau tidak mau keduanya harus meninggalkanku bersama Ascella."Kalau ada apa-apa, bilang," ucapku ke Ascella sebelum pergi meninggalkannya di kamar yang sudah disediakan.Ascella mengangguk, dia membiarkanku pergi. Sebenarnya aku ragu harus menemaninya. Lebih nyaman jika bersama gadis lain seperti Safir. Tapi, aku tahu rubah itu tidak akan menyukainya. Siapa juga yang mau percaya dengan orang lain secepat itu? Tapi, bagiku meninggalkan anak lelaki seorang diri itu bukan hal buruk. Lagi pula, aku bisa datang padanya beberapa saat nanti. Sekarang, aku lebih memilih berteman dengan sesama gadis saja dulu."Aku ke belakang dulu, ya," ujarku canggung sebelum akhirnya pergi.Tidak terlihat reaksi apa pun
"Sudah cukup sampai di sini." Safir bersandar pada dinding waktu kami keluar dari rubanah. "Dia tidak lain hanya penipu."Aku terdiam. Ucapan Ascella barusan sukses membuat pikiranku kian kalut. Selagi memandangi perhiasan yang menemaniku sejak dilahirkan, kini terlihat asing kembali. Yang aku tahu, kalung ini berguna sebagai penanda keberadaan maupun keadaan sang Guardian. Tetapi, apa hanya itu?"Hei!" Safir menepuk bahuku. "Kamu masih percaya dengannya?""Tidak." Aku lantas menggeleng. "Aku hanya bingung dari mana dia tahu.""Tentu saja dia tahu," balas Safir. "Siapa lagi kalau bukan karena Zibaq?"Aku setuju dengan Safir. Jangan mudah percaya, terlebih jika dia berhubungan dengan Zibaq.Berbeda dengan kebanyakan lawan yang kudengar. Zibaq bisa dibilang paling tidak ditakuti. Ketika orang-orang takut terhadap lawannya, kami justru bertingkah seakan jin itu hanya teman yang menyebalkan."Kalau begitu, sebaiknya kita tunggu sampai para Guardian tiba,
"Eh." Aku nyaris menyebut namanya di depan barista. Kalau dia tahu, bisa gawat. Duh, Ezekiel suka sekali datang mendadak. "Kenapa di sini?" Ezekiel malah tersenyum manis. "Lo sendiri? Sang Putri datang sendirian, enggak bisa dibiarkan.""Kamu seorang Putri?" Barista di belakangku tentu terkejut."Di mata gue, dia itu Tuan Putri yang harus dilayani setiap saat." Ezekiel menatap wanita itu dengan senyuman aneh.Si wanita justru mengikuti ekspresi Ezekiel. "Ah, itu."Aku menahan napas, menahan malu.Ezekiel langsung menjauh dan menghampiri sekumpulan pemuda. Tanpa menunggu saja dia langsung mengucapkan sesuatu–entah apa–yang seketika membuat suasana meriah.Barista yang berdiri di belakangku hanya bisa menatap dalam diam. Sorot matanya menunjukkan suatu perasaan yang membuatku curiga."Ada apa?" tanyaku pelan, sekiranya tidak terdengar melainkan dia.Wanita itu perlahan menarikku mendekat. "Kamu serius berkencan dengannya?" Dia menatapku tajam
"Ezekiel!" Tidak peduli lagi dengan nama samaran, aku terus menyeru. Memastikan bahwa Guardian-ku masih di sana. Aku coba mencarinya menggunakan kalungku. Kalungku sama sekali tidak bersinar, tanda dia sudah begitu jauh.Meski dunia tampak gelap karena sudah malam, namun tetap saja terasa janggal lantaran kegelapan ini seperti menyegel kota ini. Aku hampir tidak bisa melihat dalam jarak jauh, hanya mengandalkan firasat dan sedikit cahaya kalungku.Aku kembali menyeru. "Ezekiel!"Tidak ada yang membalas.Wuuussshhh ...!Aku merasakan dorongan, ternyata dari badai yang menyeruak dari depan. Dunia terasa terguling. Terhentak dan berputar beberapa saat hingga jatuh ke tanah yang begitu dingin. Sekujur badan terasa nyeri dan membeku ketika kulit menyentuh tanah es.Aku langsung berlutut sambil memeluk diri yang menggigil lalu mencoba mengedarkan pandangan yang tadinya gelap. Kepala terasa pusing akibatnya, tapi aku berhasil pulih sesaat dan menatap sekitar un
Sekutu Raja Iblis. Musuh para Guardian Shan. Dua kalimat yang sukses membuatku tidak mampu berkata.Tidak heran kenapa Ezekiel dan Darren begitu menyudutkan Ascella.Tidak heran kenapa mereka begitu keras kepadanya.Tidak heran pula jika Ascella punya niat di balik sikap manisnya padaku. Dia ingin aku di sisinya agar aku terjerat dalam perangkap.Ezekiel dan Darren selama ini mencoba melindungiku darinya. Tapi, aku masih saja meragukan. Aku telah meragukan pelindungku sendiri yang mana membuatku merasa malu.Semua ini telah direncanakan. Para pelindungku sudah berusaha membimbingku ke jalan yang semestinya. Tetapi lagi, aku masih saja ragu. Aku nyaris masuk ke dalam perangkap sekutu iblis.Semua rahasia akan terungkap.Namun, belum juga ditemukan titik terang.Semakin jelas siapa musuh kami sesungguhnya. Namun, semakin samar pula pola cerita masa lalu di Shan.Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa bisa terjadi.Bahkan jika sem
Untuk kali pertama aku mendengar kisah Guardian membunuh suatu kelompok dalam sekejab. Sementara biasanya aku dengar mereka hanya menghabisi satu lawan dalam sekali waktu juga.Ezekiel mengubur mereka hidup-hidup dengan salju. Tanda ia sengaja membuat kematian mereka begitu lamban dan menyakitkan. Itu cukup membuat seisi kota gentar. Membuatnya menjadi sosok yang ditakuti. Namun, mengapa Ezekiel bertingkah seakan senang diperlakukan seperti itu? Bukankah ditakuti sama saja dengan dikucilkan secara halus? Kulihat dia tampak ceria mengobrol bersama rakyat di sini. Bahkan menikmatinya seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia antara tidak tahu keadaan atau barangkali malas menanggapi dan terus saja bertindak sesukanya.Ezekiel memang susah ditebak. Itu juga bisa jadi penyebab kenapa disegani. Takut bila dia tersinggung, maka nasib berakhir seperti pasukan tadi. Aku sendiri belum tahu pengendalian emosi Guardian ini, apakah dia tergolong sabar atau justru pendendam. Aku belu
Kedatangannya Elya tidak kusangka akan sepagi ini. Aku ingat kebiasaan Robert yang bangun lebih awal, barangkali mereka biasa berjanji bertemu sepagi ini. Namun, pagi ini kulihat Robert tampak mengantuk. Saat aku dititipkan di Kapel, tidak kutanyakan langsung saat itu apa yang dia kerjakan di luar sana. Sepertinya melelahkan.“Dia sedang tidur,” jawabku, tidak ada niat membangunkan Robert. Namun, aku rasa Elya bisa menunggu. Toh, gadis itu tahu pasti jadwal kerja Robert, dia biasanya juga tidak akan lama beristirahat setelah terbangun sejenak tadi. Baru hendak kutawari untuk masuk, Elya serahkan tas kecil yang melingkari pinggangnya padaku. Dia melangkah mundur. “Baik, titip pesan padanya jika nanti malam aku akan ke sini lagi.” “Kamu tidak mau menunggu?” Aku bertanya. Ingin rasanya tahu apa yang mereka berdua lakukan, kekuatan yang katanya “mengutak-atik bagian tubuh” masih tergiang dalam pikiranku. Apa gerangan yang Robert rencanakan? Apa ada kaitannya dengan cairan yang biasa dia
Membangun peradaban baru. Belum pernah terpikir jika para Guardian ingin mencapainya, tidak pula aku menduga. Kukira tujuan kami hanya bisa bertemu kembali, memulai hidup bersama seperti keluarga lainnya hingga kembali ke pelukan alam. Jika tidak akan terlahir kembali setelahnya.Elya memandangku, matanya terpaku, menunggu aku membalas, tapi aku tidak tahu jawabannya. Jika saja seorang Guardian di sini, dia pasti bisa menjawab.“Ah, Elya.” Suara tak terduga dari Frederic menyelamatkanku dari pertanyaan tadi. “Sudah lama tidak ke sini. Di mana keluargamu?”“Sedang jalan-jalan,” jawab Elya. “Kamu datang sedikit tepat waktu, aku dan Levi baru saja membahas soal kerajaan awan karena langit-langit ini.”Frederic melayangkan pandangannya pada lukisan itu. “Benarkah? Kami memilih awan karena itu mengingatkan kami akan kehidupan setelah ini,” komentarnya. “Kamu ingat sesuatu?”“Ya, Abi pernah membahas soal kerajaan di atas awan dan mengaku ingin kembali ke sana.” Elya menatapku. “Sayng sekali
Ucapan gadis itu membuatku diam. Memang para Guardian telah menjagaku dari segala bahaya. Namun, aku dan mungkin juga kakakku, Kyara, tidak tahu mengapa kami dijaga selain karena kami pewaris takhta Kerajaan Shan selama ini. Tidak seperti mereka, kami tidak ingat apa pun, hanya ikut alur yang para Guardian tuntun untuk kami.Tidak disangka ada lagi seseorang di taman. Dia berdiri di bawah naungan pohon yang jadi pusat taman, tepatnya berseberangan denganku. Rambutnya biru dengan garis-garis hitam menghiasi beberapa helai, sementara iris mata hitam, kulitnya pun sepucat anak-anak panti. Ciri-ciri anak panti yang sangat pucat membuatku ragu pada asal usul mereka. Orang Danbia memiliki kulit putih sedikit kemerahan, tak terkecuali Robert. Sementara orang Ezilis juga putih, tapi tidak sampai tampak janggal seperti anak-anak panti itu. Namun, aku belum pernah melihat gadis itu di panti dan dia tidak juga terlihat seperti orang-orang dari negeri yang kutahu.Tanganku terangkat perlahan mesk
"Pergi saja ke Kapel. Kau tidak boleh keluar dari sana sampai aku jemput." Hanya itu ucapan Robert yang aku ingat begitu waktu sekolah berakhir. Alih-alih berdiri depan sekolah bersama teman sebaya menunggu dijemput, aku langsung melangkah menuju tempat yang dia maksud. Lokasi Kapel memang tidak jauh, hanya sekitar satu jalan dari sekolahku dan itu masih berada di antara jalanan umum. Barangkali karena ini Robert membiarkanku berjalan seorang diri. Meski beberapa kesempatan–seperti Guardian lainnya–dia tidak ingin aku menjauh darinya, untuk kali ini dia mempercayakan seseorang untuk menjagaku. Kalung ini bersinar saat berada di dekat pria itu, dia pun tahu aku tanggungjawabnya. Aku teruskan langkah dengan boneka kelinci berian Arsene, untungnya tidak ada teman sekelas yang mengambilnya. Dia bisa menemaniku jika suasana Kapel ternyata begitu sunyi.Keadaan Kapel, seperti biasanya, tidak begitu ramai. Lebih terlihat beberapa orang lewat dengan pakaian yang sama seperti Frederic kenakan
"Apa?" Aku tentu heran mendengarnya. Waktu itu juga belum paham maksud dari kata "pemusnah massal" itu sendiri. Aku mulai berpikir keras akan suatu hal yang belum kupahami. Spontan saja kutanyakan persis seperti yang kupikirkan. "Pemusnah apa? Apa itu 'massal'?""Ah, lupakan, aku hanya bergurau," Ekspresi muka Robert tidak menunjukkan apa pun yang membuatnya tampak sedang bercanda, dia terlihat serius seperti biasa."Tapi, apa itu 'massal'?" Aku bersikeras ingin tahu, hati berdebar menerka maksud yang kucari.Robert berdecak pelan. "Dalam jumlah yang banyak."Aku terdiam. Kata "senjata pemusnah massal" berarti senjata yang dapat menghancurkan sesuatu dalam jumlah yang banyak. Jantungku terasa berhenti berdetak untuk sesaat. Kalimat yang baru kupelajari tadi terdengar menakutkan. "Kenapa Robert bilang begitu?" Aku protes, tidak menutupi kalau pelindungku ini memberi kesan seram sejak awal.Robert menghela napas, menggeleng pelan. "Tidak ada."Kali ini, aku mendadak jadi penasaran. Tida
"Ya, bilang saja begitu, mentang-mentang belum ada yang terbunuh." Robert mengucapkannya dengan nada mengejek. Entah mengapa tutur kata lembut dari temannya tidak mempengaruhi reaksinya. "Thomson." Dia sebut nama temannya itu dengan lembut, meski dapat kurasakan tekanan dari suaranya, tanda teguran halus. "Frederic." Robert sebut namanya seperti mendesis, menyebut nama dari temannya sekaligus membalas ucapannya barusan. Pria di depanku, yang kini akan kusebut sebagai Frederic, mempertahankan intonasi suara lembutnya. "Aku juga bertanggung jawab atas nyawanya. Percayalah, dia tidak akan menginjakkan kaki di sini." Di balik suaranya yang tenang, sorot matanya kian tajam, terus memandang ke arah Robert. Suasana kian canggung bagiku, terlebih melihat dua orang dewasa–pelindungku sendiri, kini tengah berada dalam perdebatan. Tampaknya tidak ada salah satu yang ingin mengalah, meski ada perbedaan dari cara menuturkan kata, tapi dapat kutebak masing-masing tetap ingin mempertahankan ke
Barangkali ini kebiasaan yang aku terapkan pada setiap Guardian, saat kami melangkah bersama, kupastikan kami selalu berdampingan. Namun, karena tubuh mereka lebih besar dariku, aku merasa lebih aman bernaung di bawah bayangan mereka. Seperti itulah yang aku lakukan bersama Robert saat ini. Tangan para Guardian selalu begitu besar dibandingkan punyaku, sehingga ketika bergandengan semua jariku tetap tidak sanggup meraih seluruh tangan mereka. Selagi melangkah, pandangan Robert lurus ke depan, sesekali pandangan kami bertemu tanpa reaksi, memastikan tidak terpisah barang sesaat.Langkah kami tertuju pada kapel, tempat yang bernuansa paling tenang di kota Anamsel sejauh ini, walau hanya sedikit tempat yang aku kunjungi di kota. Jumlah orang yang keluar masuk dari kapel masih terbilang sedikit, menambah kesan keheningan yang mendukung aura ketenangan yang dipancarkan. Para petugasnya ramah, apalagi mereka yang sering menerima barang berian dari Robert tadi, semua mengenakan pakaian biru
Malam itu terasa berbeda lantaran aku kini berbaring di kasur dengan Robert di sisiku. Cahaya remang dalam kamar membuat suasana hening terasa damai, meski di saat yang sama diliputi hawa dingin menusuk hingga ke tulang, membuatku menenggelamkan diri dalam selimut selagi memandang pelindungku yang entah mengapa memilih untuk membaringkan badan di atas selimut. Robert memandang langit-langit, mata cokelatnya bergerak mengamati sekeliling kamar, tenggelam dalam pikiran sejenak sebelum akhirnya bersuara."Hal pertama yang kuingat di Shan itu, saat itu aku menghadap Raja sebagai hadiah dari sang Ratu." Robert memulai ceritanya, pandangannya masih fokus memandang langit-langit. Cahaya lampu tidur yang menjadi satu-satunya penerang memantul di matanya.Tanganku masih menggenggam erat selimut, menyimak ucapannya. "Hadiah?" Terkesan aneh karena yang kutahu, hadiah itu biasa berwujud benda mati.Robert mengiakan, masih terus memandang ke atas. "Sang Ratu memberi Raja hadiah berupa aku, dengan
Bunyi keras kembali menyentak keheningan. Bersamaan dengan lantai kayu yang menampar wajahku saat kehilangan keseimbangan. Langsung saja aku terduduk, menatap sosok yang baru saja membuatku jatuh.Tangan besar itu meraih rambutku. Aku menjerit ketika terseret lagi. Sesuatu hendak memangsaku di hari pertama musim dingin ini. Aku menendang-nendang tanah, berupaya melawan meski tiada hasil.Terdengar bunyi daging terpotong, refleks membuatku terpaku, mengira serangan itu tertuju padaku. Tangan yang mencengkeram kepalaku mulai melemah. Aku terjatuh ke lantai, begitu kaki menyentuh lantai, segera aku merangkak menjauh."Pangeran!" Di saat itu juga tubuhku terasa terangkat. Tercium bau khas yang kukenal. Kumpulan aroma wangi yang berasal dari minuman maupun racikan yang selama ini menghias rumah baruku. Dia berdiri di depan, kedua tangan terulur siap meraihku. Segera aku mendekapnya agar tidak terjatuh. Jelas sudah siapa itu, dia pasti langsung keluar begitu melihat bayangan makhluk tadi.