"Ezekiel!" Tidak peduli lagi dengan nama samaran, aku terus menyeru. Memastikan bahwa Guardian-ku masih di sana. Aku coba mencarinya menggunakan kalungku. Kalungku sama sekali tidak bersinar, tanda dia sudah begitu jauh.Meski dunia tampak gelap karena sudah malam, namun tetap saja terasa janggal lantaran kegelapan ini seperti menyegel kota ini. Aku hampir tidak bisa melihat dalam jarak jauh, hanya mengandalkan firasat dan sedikit cahaya kalungku.Aku kembali menyeru. "Ezekiel!"Tidak ada yang membalas.Wuuussshhh ...!Aku merasakan dorongan, ternyata dari badai yang menyeruak dari depan. Dunia terasa terguling. Terhentak dan berputar beberapa saat hingga jatuh ke tanah yang begitu dingin. Sekujur badan terasa nyeri dan membeku ketika kulit menyentuh tanah es.Aku langsung berlutut sambil memeluk diri yang menggigil lalu mencoba mengedarkan pandangan yang tadinya gelap. Kepala terasa pusing akibatnya, tapi aku berhasil pulih sesaat dan menatap sekitar un
Sekutu Raja Iblis. Musuh para Guardian Shan. Dua kalimat yang sukses membuatku tidak mampu berkata.Tidak heran kenapa Ezekiel dan Darren begitu menyudutkan Ascella.Tidak heran kenapa mereka begitu keras kepadanya.Tidak heran pula jika Ascella punya niat di balik sikap manisnya padaku. Dia ingin aku di sisinya agar aku terjerat dalam perangkap.Ezekiel dan Darren selama ini mencoba melindungiku darinya. Tapi, aku masih saja meragukan. Aku telah meragukan pelindungku sendiri yang mana membuatku merasa malu.Semua ini telah direncanakan. Para pelindungku sudah berusaha membimbingku ke jalan yang semestinya. Tetapi lagi, aku masih saja ragu. Aku nyaris masuk ke dalam perangkap sekutu iblis.Semua rahasia akan terungkap.Namun, belum juga ditemukan titik terang.Semakin jelas siapa musuh kami sesungguhnya. Namun, semakin samar pula pola cerita masa lalu di Shan.Apa yang sebenarnya terjadi dan mengapa bisa terjadi.Bahkan jika sem
Untuk kali pertama aku mendengar kisah Guardian membunuh suatu kelompok dalam sekejab. Sementara biasanya aku dengar mereka hanya menghabisi satu lawan dalam sekali waktu juga.Ezekiel mengubur mereka hidup-hidup dengan salju. Tanda ia sengaja membuat kematian mereka begitu lamban dan menyakitkan. Itu cukup membuat seisi kota gentar. Membuatnya menjadi sosok yang ditakuti. Namun, mengapa Ezekiel bertingkah seakan senang diperlakukan seperti itu? Bukankah ditakuti sama saja dengan dikucilkan secara halus? Kulihat dia tampak ceria mengobrol bersama rakyat di sini. Bahkan menikmatinya seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia antara tidak tahu keadaan atau barangkali malas menanggapi dan terus saja bertindak sesukanya.Ezekiel memang susah ditebak. Itu juga bisa jadi penyebab kenapa disegani. Takut bila dia tersinggung, maka nasib berakhir seperti pasukan tadi. Aku sendiri belum tahu pengendalian emosi Guardian ini, apakah dia tergolong sabar atau justru pendendam. Aku belu
"Kenapa?" Ascella menatapku lagi. Kening berkerut, matanya sedikit berkaca, tanda dia kecewa.Bagaimana aku bisa percaya pada sosok yang baru kukenal? Dia memang baik, tapi tidak cukup membuatku percaya. Bahkan seorang Guardian saja sudah membuktikan dengan rela mempertaruhkan nyawa demi melindungiku. Sementara Ascella sejauh ini hanya bisa membuatku menjauh dengan kata-kata. Kalimatnya tergiang-giang dalam benakku. Dia persis seperti Delisa dulu, namun kali ini lebih keras usahanya. Jika Delisa mengucapkan teka-teki masa depan dan membiarkan orang lain memutuskan, maka Ascella cenderung lebih memaksa seperti ini. Yang mana membuatku tidak nyaman.Kutahan mulut ini agar tidak berkata kasar. Tentu saja aku akan lebih percaya pada Guardian-ku karena mereka terbukti telah melindungiku bahkan rela terluka parah. Belum begitu, sudah banyak kebaikan yang mereka lakukan demi aku dan adikku. "Ascella, aku mengerti jika kamu cemas," ujarku pada akhirnya. "Tapi, percayalah p
"Siapa?" tanyaku."Putri akan tahu," bisik Darren. "Untuk saat ini, kita pandu dia ke Zibaq."Aku mengiakan. Apa pun itu, aku akan mendukung selama ia memihak kami.Ascella diam saja kali ini, sepertinya sudah kehabisan kata."Kamu ikut apa tidak?" tanya Safir, memastikan."Tentu saja," jawab Ascella. "Aku ingin memulihkan kakakku.""Bagus." Safir lalu menatap Darren. "Kasih dia baju!"Darren tanpa berkomentar lebih, hanya menberikan sehelai jaket yang cukup tebal untuk Ascella."Terima kasih," ujar Ascella.Darren lalu memgambil sehelai jaket lagi dan memasangkannya padaku."Terima kasih," ujarku."Sama-sama," balasnya.Kulihat Ascella menatapku lagi, tapi tidak ada komentar sebelum menunggu perintah lain.Kulihat Safir sudah siap, bahkan melindungi telinganya di balik topi. "Ayo, kita selamatkan mereka!"***Kukira kekuatan Guardian tidak ada pengaruhnya bagiku. Ternyata aku salah besar.Badai salju barusan malah
>Gadis berambut hijau itu telah pergi dibawa dua orang aneh itu bersama lelaki yang baru saja pulih. Janggal, semua seakan sudah terikat menginggat reaksi si gadis ketika bertemu dengan pria berambut biru gelap tadi. Keduanya tampak saling kenal bahkan akrab. Ah, jangan bodoh. Aku tahu itu Dash, teman anehnya Sylvester. Bukan Sylvester namanya kalau tidak punya kenalan aneh. "Hidup memang aneh." Begitulah komentarnya ketika pernah dikomentari begitu.Pria aneh dengan hidup aneh, namun masih diselubungi seribu misteri. Ada yang bilang, dia putra bajak laut yang diutus untuk mengawasi kota ini. Ada pula bilang dia berasal dari panti iblis dan mencari tumbal di kota ini. Ada pula yang bilang dia menjelajah sendiri ke sini setelah berpisah dengan keluarganya, entah dia bunuh kemudian kabur atau murni merantau. Banyak sekali kisah menyelubungi masa lalunya, namun tidak satu pun berhasil terbukti lantaran cara dia membicarakan masa lalunya."Gue
"Ezekiel!" Jeritanku menggema. Tidak ada balasan selain suara gema dariku.Rumah ini hanya terdiri dari lapisan es yang begitu tebal hingga nyaris tidak terlihat bagian dalamnya. Padahal aku dengar dari Ascella kalau ini hanya rumah seseorang yang telah dibekukan."Ezekiel!" seruku lagi.Lagi-lagi, gema yang menjawab.Safir yang terlebih dahulu masuk kini tampak mulai bosan mendengar panggilanku yang tidak kunjung membuahkan hasil."Kalau begini terus tidak ada kemajuan," ujarnya. "Aku akan mencari target kita!""Tunggu, Safir!" Belum selesai ucapanku, dia pergi dan menghilang di balik bayangan. Sama persis seperti gelarnya, Safir sang Bayangan.Aku menahan napas. Memang benar kata Safir, tidak berguna menyeru nama kalau orangnya saja tidak akan merespons. Namun, aku tidak akan menyerah."Ezekiel!" jeritku sekuat tenaga.Suaraku menggema, menyeru nama yang sama."Putri," tegur Darren. "Biarkan.""Kenapa?" tanyaku spontan."Di
« Delina Wynter »Sudah kuduga, Paman Idris pasti akan membawa masalahnya dalam hidup kami. Firasatku sudah tidak baik sejak awal menatap pamanku. Dia memang baik di permukaan, tapi aku tidak bisa mempercayai orang yang isi pikirannya begitu samar. Jika aku bisa melihat masa lalu seseorang dengan menyentuh mereka, ini tidak berlaku bagi Paman Idris dan teman-temannya. Ingatan mereka seperti kabut tebal yang menutupi pandangan dan seperti kukatakan sebelumnya, aku tidak bisa percaya dengan orang yang tidak jelas masa lalunya.Bukannya mengapa, tapi ada baiknya memahami latar belakang seseorang sebelum mengenal mereka lebih dekat. Kamu tidak akan menebak dampak yang akan terjadi hanya dengan mengenal mereka. Bisa jadi karena kamu dianggap sebagai "orang yang dikenal" saja dapat membawamu ke dalam masalah. Dalam kasus keluargaku, ini justru mengikat kami dalam kisah anggota kerajaan yang ingin kembali berkuasa.Ayahku–atau biasa kami panggil "Abi"–adalah pangeran dari