"Kenapa?" Ascella menatapku lagi. Kening berkerut, matanya sedikit berkaca, tanda dia kecewa.Bagaimana aku bisa percaya pada sosok yang baru kukenal? Dia memang baik, tapi tidak cukup membuatku percaya. Bahkan seorang Guardian saja sudah membuktikan dengan rela mempertaruhkan nyawa demi melindungiku. Sementara Ascella sejauh ini hanya bisa membuatku menjauh dengan kata-kata. Kalimatnya tergiang-giang dalam benakku. Dia persis seperti Delisa dulu, namun kali ini lebih keras usahanya. Jika Delisa mengucapkan teka-teki masa depan dan membiarkan orang lain memutuskan, maka Ascella cenderung lebih memaksa seperti ini. Yang mana membuatku tidak nyaman.Kutahan mulut ini agar tidak berkata kasar. Tentu saja aku akan lebih percaya pada Guardian-ku karena mereka terbukti telah melindungiku bahkan rela terluka parah. Belum begitu, sudah banyak kebaikan yang mereka lakukan demi aku dan adikku. "Ascella, aku mengerti jika kamu cemas," ujarku pada akhirnya. "Tapi, percayalah p
"Siapa?" tanyaku."Putri akan tahu," bisik Darren. "Untuk saat ini, kita pandu dia ke Zibaq."Aku mengiakan. Apa pun itu, aku akan mendukung selama ia memihak kami.Ascella diam saja kali ini, sepertinya sudah kehabisan kata."Kamu ikut apa tidak?" tanya Safir, memastikan."Tentu saja," jawab Ascella. "Aku ingin memulihkan kakakku.""Bagus." Safir lalu menatap Darren. "Kasih dia baju!"Darren tanpa berkomentar lebih, hanya menberikan sehelai jaket yang cukup tebal untuk Ascella."Terima kasih," ujar Ascella.Darren lalu memgambil sehelai jaket lagi dan memasangkannya padaku."Terima kasih," ujarku."Sama-sama," balasnya.Kulihat Ascella menatapku lagi, tapi tidak ada komentar sebelum menunggu perintah lain.Kulihat Safir sudah siap, bahkan melindungi telinganya di balik topi. "Ayo, kita selamatkan mereka!"***Kukira kekuatan Guardian tidak ada pengaruhnya bagiku. Ternyata aku salah besar.Badai salju barusan malah
>Gadis berambut hijau itu telah pergi dibawa dua orang aneh itu bersama lelaki yang baru saja pulih. Janggal, semua seakan sudah terikat menginggat reaksi si gadis ketika bertemu dengan pria berambut biru gelap tadi. Keduanya tampak saling kenal bahkan akrab. Ah, jangan bodoh. Aku tahu itu Dash, teman anehnya Sylvester. Bukan Sylvester namanya kalau tidak punya kenalan aneh. "Hidup memang aneh." Begitulah komentarnya ketika pernah dikomentari begitu.Pria aneh dengan hidup aneh, namun masih diselubungi seribu misteri. Ada yang bilang, dia putra bajak laut yang diutus untuk mengawasi kota ini. Ada pula bilang dia berasal dari panti iblis dan mencari tumbal di kota ini. Ada pula yang bilang dia menjelajah sendiri ke sini setelah berpisah dengan keluarganya, entah dia bunuh kemudian kabur atau murni merantau. Banyak sekali kisah menyelubungi masa lalunya, namun tidak satu pun berhasil terbukti lantaran cara dia membicarakan masa lalunya."Gue
"Ezekiel!" Jeritanku menggema. Tidak ada balasan selain suara gema dariku.Rumah ini hanya terdiri dari lapisan es yang begitu tebal hingga nyaris tidak terlihat bagian dalamnya. Padahal aku dengar dari Ascella kalau ini hanya rumah seseorang yang telah dibekukan."Ezekiel!" seruku lagi.Lagi-lagi, gema yang menjawab.Safir yang terlebih dahulu masuk kini tampak mulai bosan mendengar panggilanku yang tidak kunjung membuahkan hasil."Kalau begini terus tidak ada kemajuan," ujarnya. "Aku akan mencari target kita!""Tunggu, Safir!" Belum selesai ucapanku, dia pergi dan menghilang di balik bayangan. Sama persis seperti gelarnya, Safir sang Bayangan.Aku menahan napas. Memang benar kata Safir, tidak berguna menyeru nama kalau orangnya saja tidak akan merespons. Namun, aku tidak akan menyerah."Ezekiel!" jeritku sekuat tenaga.Suaraku menggema, menyeru nama yang sama."Putri," tegur Darren. "Biarkan.""Kenapa?" tanyaku spontan."Di
« Delina Wynter »Sudah kuduga, Paman Idris pasti akan membawa masalahnya dalam hidup kami. Firasatku sudah tidak baik sejak awal menatap pamanku. Dia memang baik di permukaan, tapi aku tidak bisa mempercayai orang yang isi pikirannya begitu samar. Jika aku bisa melihat masa lalu seseorang dengan menyentuh mereka, ini tidak berlaku bagi Paman Idris dan teman-temannya. Ingatan mereka seperti kabut tebal yang menutupi pandangan dan seperti kukatakan sebelumnya, aku tidak bisa percaya dengan orang yang tidak jelas masa lalunya.Bukannya mengapa, tapi ada baiknya memahami latar belakang seseorang sebelum mengenal mereka lebih dekat. Kamu tidak akan menebak dampak yang akan terjadi hanya dengan mengenal mereka. Bisa jadi karena kamu dianggap sebagai "orang yang dikenal" saja dapat membawamu ke dalam masalah. Dalam kasus keluargaku, ini justru mengikat kami dalam kisah anggota kerajaan yang ingin kembali berkuasa.Ayahku–atau biasa kami panggil "Abi"–adalah pangeran dari
Jika kekuatan Ezekiel diakui berasal dari leluhur, maka tidak menutup kemungkinan dengan Darren. Terlebih ketika api birunya mampu melelehkan es karya adiknya hingga ruangan tadi kembali seperti semula. Akhirnya aku bisa menyimpulkan siapa lawan yang imbang bagi Ezekiel, meski sejauh ini jelas dia yang terkuat.Dengan kekuatan sebesar itu, apa yang akan Ezekiel lakukan? Lantas, sekuat apa dia sebenarnya? Apa bisa menandingi Guardian yang kujumpai sebelumnya? Entah kenapa Khidir orang pertama yang muncul di benak ketika memikirkan lawan yang imbang baginya selain Darren. Tapi, aku harus menemukannya dulu, baru meneliti kekuatan. Untuk saat ini, aku dan Darren harus fokus mencari Ezekiel maupun target."Darren," panggilku. "Kekuatanmu itu berasal dari leluhur juga?"Dia berjalan di depan, begitu pelan seakan takut jika langkahnya terdengar. "Ya."Suara dari langkah kakiku memang cukup pelan bagiku, tapi jelas lebih berisik darinya. Namun, dia tidak menegur, berart
Dia.Dia yang membunuh ibuku.Dia yang selama ini mencariku.Dia juga yang merusak segalanya. Memastikan aku selalu terpisah dengan mereka.Karenanya juga, Gill harus mengorbankan diri.Dia alasan aku harus melawan.Dia lawan kami."Zibaq," bisikku.Raga siapa lagi yang kaupakai? Oh, kakaknya Ascella itu. Jadi, selama ini kami bicara dengannya. Tidak heran begitu ingin mendekat. Kini aku mengerti maksud Ezekiel beberapa hari lalu ketika "Helia" mengajaknya bekerja sama."Dia kayaknya enggak tahu, deh, konsekuensi atas keputusannya."Ezekiel tahu. Dia juga memberitahu. Kini dia membuktikan ucapannya.Aku mencoba tenang, meski Zibaq jelas masih memegang leherku, pegangannya kian erat dan membuatku merasa sesak."Azeeza," balasnya. Menyebut nama jiwaku.Darren berdiri di depan, tatapan matanya dingin menusuk, tapi dapat kurasakan kobaran api membara dalam jiwanya hendak menyerang namun akan berisiko membakarku hidup-hidup. Tidak
Penampilannya tentu berbeda dari sebelumnya. Selain pakaian yang tampak seperti jas putih rapi, ditambah juga dengan rambut yang kini disisir ke belakang dan tampak lebih rapi, namun di sisi lain membuatnya tampak seperti pemikat."Sore, Kyara!" Dia sapa aku dengan senyuman khasnya. "Aku datang tepat waktu, 'kan?""Enggak," balas Darren. "Kami nyaris terbunuh.""Nyari," sahut Khidir. "Sekarang, kita cari jalan keluar.""Bukannya ini sudah di luar?" sahutku."Belum dalam jangkauan jin itu." Khidir memicingkan mata, menatap di sebelah kirinya. Tampak mencari. "Zahra sudah mengevakuasi rakyatku yang selamat."Aku tidak melihat apa-apa, barangkali Zahra menggunakan kekuatan menghilang khas bangsa jin. Tapi, rasanya percuma karena Zibaq juga seekor jin. Barangkali gadis itu sedang beteleportasi menuju jalan keluar."Sekarang, aku akan mencari teman kita itu." Khidir berjalan beberapa langkah ke depan. "Jaga diri!"Dia melompat, bersamaan dengan itu, s