Dia.Dia yang membunuh ibuku.Dia yang selama ini mencariku.Dia juga yang merusak segalanya. Memastikan aku selalu terpisah dengan mereka.Karenanya juga, Gill harus mengorbankan diri.Dia alasan aku harus melawan.Dia lawan kami."Zibaq," bisikku.Raga siapa lagi yang kaupakai? Oh, kakaknya Ascella itu. Jadi, selama ini kami bicara dengannya. Tidak heran begitu ingin mendekat. Kini aku mengerti maksud Ezekiel beberapa hari lalu ketika "Helia" mengajaknya bekerja sama."Dia kayaknya enggak tahu, deh, konsekuensi atas keputusannya."Ezekiel tahu. Dia juga memberitahu. Kini dia membuktikan ucapannya.Aku mencoba tenang, meski Zibaq jelas masih memegang leherku, pegangannya kian erat dan membuatku merasa sesak."Azeeza," balasnya. Menyebut nama jiwaku.Darren berdiri di depan, tatapan matanya dingin menusuk, tapi dapat kurasakan kobaran api membara dalam jiwanya hendak menyerang namun akan berisiko membakarku hidup-hidup. Tidak
Penampilannya tentu berbeda dari sebelumnya. Selain pakaian yang tampak seperti jas putih rapi, ditambah juga dengan rambut yang kini disisir ke belakang dan tampak lebih rapi, namun di sisi lain membuatnya tampak seperti pemikat."Sore, Kyara!" Dia sapa aku dengan senyuman khasnya. "Aku datang tepat waktu, 'kan?""Enggak," balas Darren. "Kami nyaris terbunuh.""Nyari," sahut Khidir. "Sekarang, kita cari jalan keluar.""Bukannya ini sudah di luar?" sahutku."Belum dalam jangkauan jin itu." Khidir memicingkan mata, menatap di sebelah kirinya. Tampak mencari. "Zahra sudah mengevakuasi rakyatku yang selamat."Aku tidak melihat apa-apa, barangkali Zahra menggunakan kekuatan menghilang khas bangsa jin. Tapi, rasanya percuma karena Zibaq juga seekor jin. Barangkali gadis itu sedang beteleportasi menuju jalan keluar."Sekarang, aku akan mencari teman kita itu." Khidir berjalan beberapa langkah ke depan. "Jaga diri!"Dia melompat, bersamaan dengan itu, s
Aku telah kehilangan jejak. Mereka telah terkubur di antara reruntuhan. Sementara aku dibawa entah ke mana.Bayangan yang menyelubungiku tidak juga bersuara, hanya desiran angin menyertai, tanda suhu saat ini masih saja sama, dingin.Sepanjang perjalanan, yang kulihat hanya kota yang beku. Perlahan terselimuti salju hingga yang tampak dari atas sana hanya sebatas hamparan pasir putih, tiada tanda kehidupan maupun jejak bahwa tempat ini pernah dihuni sebelumnya.Sungguh mengerikan kekuatan Ezekiel. Tidak kusangka seorang Guardian dapat berbuat seperti ini hanya demi mencegah inang lain dari Zibaq. Namun, tentu masih banyak warga termasuk Guardian lain yang mendampingi Ezekiel belum membeku, sehingga kemungkinan mereka menjadi inang cukup tinggi. Tapi, kuanggap tindakan ini dia lakukan demi mengecilkan risiko.Malam ketika Nemesis di bawah kendali Zibaq masih tergiang. Bahkan seorang Guardian dapat dipengaruhi jin itu. Bagaimana dengan orang biasa?Khidir sudah jelas terbiasa dengan jin,
« Ascella » Hangat. Itu yang kurasakan setelah semburan badai es membekukan ragaku. Sesak awalnya, hingga seseorang atau barangkali sesuatu menyelamatkanku. Itu dia. Yang kini memberiku selimut serta aura hangat menyelubungi diri. Aku mengatur napas. Hidung tersumbat akibat udara membeku yang masuk. Kini mencair hingga napasku kembali normal. Sangat janggal jika aku masih percaya dengan makhluk ini. Dia yang merenggut jiwa kakakku, menguasai raganya dan berlagak seakan dia pengganti yang layak. Namun, yang kulakukan justru mematuhinya. Karena jika aku menolak ... "Jika kamu ingin dia selamat, patuhi perintahku." Andai aku menolak, mungkin aku maupun Kakak tidak akan bertahan hingga hari ini. Tapi, aku tidak pernah sekali pun merasa diuntungkan dalam perjanjian ini. Menyesal tiada gunanya sekarang. Makhluk itu telah mengendalikan Kakak dan aku harus menyelamatkannya. "Kamu terluka?" Tidak sewajarnya dia bertanya seperti ini. Terl
Suasana hening menyelubungi. Balasannya tadi seakan tidak terduga padahal itulah yang aku harapkan, setidaknya sedikit ucapan darinya setelah itu.Terkunci di sebuah kotak perhiasan. Sesuatu yang hampir tidak pernah kubayangkan akan kisah bagaimana nasib seorang Guardian saat aku menjumpainya.Aku menatap kedua anak Wynter. "Dari mana kalian tahu bahwa di dalamnya ada Guardian?""Aku tidak tahu, hanya mengikuti petunjuk dari Stafford," jawab Ariya.Ah, jadi sama saja dengan kasusku.Aku kembali menatap kotak perhiasan itu. "Katakan, kenapa kamu diam saja?" tanyaku."Aku tidak akan bicara pada sosok yang tidak kuanggap." Balasan yang menusuk."Bicaralah pada siapa yang kamu mau," ujarku. "Keadaan sekarang cukup genting, kita sebaiknya menyelamatkan yang lain.""Baik, Putri."Dari suaranya, dia terdengar seperti anak lelaki yang begitu muda, seperti sedikit lebih tua dari Remi. Belum pernah kutemui Guardian semuda ini."Bagaimana caraku membuka ini?" tanyaku sambil mengetuk kotak itu."D
"Istana Zarqan." Aku ucapkan kembali nama tempat ini. "Jadi ini tempat kalian rapat?""Tidak juga, tempat ini lebih sering digunakan sebagai tongkrongan," jawab Zach. "Aku adalah jin yang bertugas mengatur rumah ini. Tempat khusus bagi kita untuk bernaung.""Maksudmu, kita aman di sini?""Selama lawan kita bukan sesama jin. Sayangnya lawan kita sekarang adalah Zibaq.""Kamu tahu dari mana?" heranku."Hansel-atau sekarang bernama Ezekiel-memberitahuku segalanya," jawab Zach. "Aku mendengar semua ketika tersegel. Setelah mendengar suara benda-benda bergesekan, akhirnya terdengar suara yang bisa dipahami."Aku mengiakan tanda mendengar. "Kenapa kamu bisa tersegel?""Zibaq yang dulu membuatku tersegel," jawab Zach.Tersegel? Bukannya 'disegel'? Atau justru memang itu bukan perbuatan Zibaq langsung?"Dia tidak menyegelmu langsung?" Aku bertanya untuk memastikan."Sesama jin, apalagi yang sederajat tidak bisa saling menyegel," jawab Zach. "Hiwaga yang melakukan ini."Astaga."Ironisnya, seka
Segera setelah Tirta berucap, suasana kembali hening bahkan dalam waktu lama. Seakan dia tidak ingin menyambut atau bahkan hanya sekadar mengajak Guardian lain mengobrol sejenak. Kukira sebagai pemimpin dia akan memberi pidato panjang yang emosional, tapi sepertinya keadaan tidak mendukung. Pada akhirnya, hening pun berlanjut hingga aku tidak tahu berapa lama keheningan itu berlangsung. Tanda pertemuan telah dibubarkan. Tanpa kalimat perpisahan atau pesan lain, mereka pergi begitu saja. Dialog singkat antara para Guardian itu membuatku resah entah kenapa.Apa selama ini mereka sudah saling tahu keberadaan masing-masing? Ini masuk akal karena Khidir juga dulu pernah bercerita mengirim surat kepada sesama Guardian di masa lalu, juga Arsene. Jadi, tidak menutup kemungkinan sekarang mereka hanya tinggal bertemu langsung apalagi akses jarak jauh seperti Istana Zarqan yang sangat membantu. Tapi, kenapa mereka memilih untuk tidak melawan Zibaq bersamaan di saat seperti ini? Atau m
Dia berdiri di depan celah lebar pintu kamar yang bahkan tidak jelas konsepnya ini. Waktu itu, aku memang mengaku terlalu banyak mengeluh. Melihat Khidir kembali seakan telah mencairkan keadaan. "Khidir!" Aku sebut namanya lagi kemudian berlari lalu mendekap erat dirinya. "Aku merindukanmu." Dia mengelus pelan rambut hijauku. "Ya, aku juga," balasnya lembut. "Kamu berteriak dari tadi, aku jadi cemas." Masih dalam posisi memeluk, aku lanjutkan ucapanku. "Tidak ada balasan, wajar aku teriak." "Kyara." Khidir melepas pelukan. "Kita sedang bersembunyi, tidak bisa berkumpul saat ini. Sementara aku di sini memastikan agar dia tidak datang padamu." "Aku tahu," balasku pelan."Kalau tahu, kenapa masih teriak?" balasnya. "Kamu bukan dirimu yang dua belas tahun, harusnya sudah paham."Melihat tatapan mata hijau Khidir yang lembut membuatku merasa terkunci. Seakan tidak bisa menghindar. Memang sekarang aku berusia enam belas,